Selasa, 30 Desember 2014

REFLEKSI KE TAHUN 2015

REFLEKSI KE TAHUN 2015

Oleh : Melvin M.Simanjuntak



Bercermin dari berbagai peristiwa penting yang terjadi sepanjang tahun 2014 bisa menjadi dasar referensi refleksi kita untuk melangkah dalam memasuki tahun 2015 nanti. Beberapa juga masih menjadi sorotan penting dalam bingkai pelangi Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsip hakiki untuk membangun demokratisasi yang berbudaya di negeri Indonesia ini.


Pertama iklim politik yang dewasa dan kondusif

Sewaktu NKRI melalui KPU RI menggelar pemilihan legislatif tanggal 9 April 2014, yang mungkin diyakini penguasa akan membawa keberuntungan namun justru melorotkan suara para pemilihnya, akan tetapi Presiden SBY waktu itu secara gentlement mengucapkan selamat kepada partai politik pemenang, yang disandang kembali oleh PDI Perjuangan. Pelaksanaan pemilihan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang dilaksanakan lagi-lagi pada tanggal 9 Juli 2014 berjalan kurang lancar hingga terjadi penolakan terhadap hasil pilpres namun akhirnya dapat dieksekusi setelah digugat melalui Mahkamah Konstitusi. Namun pilpres tersebut ternyata berbuntut cukup pelik dan mendalam sehingga melahirkan UU Pilkada Tak Langsung, yang kemudian "dianulir kembali" setelah suara rakyat Indonesia membahana hingga ke seluruh penjuru dunia, yang akhirnya melahirkan Perpu Nomor 1 dan Nomor 2 tahun 2014 untuk mengembalikan supremasi politik pencitraan setelah tercoreng akibat ulahnya sendiri dengan aksi walk out di rapat paripurna DPR RI. Persoalan dasar hukum untuk penyelenggaraan pilkada hingga kini masih cukup membingungkan rakyat.Mungkin karena rakyat bisa dibingungkan sehingga target politik sesaat tercapai. Kini berkembang di tengah masyarakat menjadi 2 opsi: apakah pilkada serentak dilaksanakan tetap pada bulan Juli sehingga bulan Oktober sudah terdapat para bupati dan para walikota yang baru, atau mau disetting di bulan Oktober hingga habis periode para bupati dan walikota sehingga perlu diterbitkan Perpu untuk penunjukan "pelaksana tugas" bupati walikota; untuk memperlemah pengaruh para incumbent memenangi Pilkada di daerahnya masing-masing? Bahkan usul yang lebih gres menyeruak agar Pilkada serentak diadakan pada tahun 2016 dengan alasan mungkin lebih menyehatkan pemerintahan Presiden Jokowi menggunakan politik anggaran yang ruang fiskalnya telah disetting ngepas dus mematangkan KPU RI serta pihak terkait lebih leluasa memakai ruang waktu sehingga calon-calon yang muncul sungguh-sungguh memerhatikan aspirasi rakyat serta terjamin akuntabilitas dan integritasnya, tidak asal-asalan dan serampangan, terutama yang menyangkut legal formal ijasah para calon yang sangat perlu ditelisik lebih akurat fakta kebenarannya demi kemajuan daerah, yang berdampak pada kemajuan bangsa serta negara tercinta Indonesia raya ini.


Kedua realisasi dari Good Governance

Mengingat tahun 2014 pasca pilpres barulah terbentuk pemerintahan yang sah di bawah Presiden Ir.H.Joko Widodo dan Wakil Presiden Drs.H.M.Jusuf Kalla sehingga rakyat pun dapat memaklumi kebijakan yang diambil waktu sangat menyakitkan seperti pembentukan kabinet kerja dan pencabutan subsidi BBM di tengah harga BBM dunia yang turun. Namun pada tahun 2015 nanti tentu cerita tersebut tidak cukup hanya dimaklumi tanpa tindakan yang konkret dan realisasi setidaknya program-program pembangunan jangka pendek tercapai, sesuai dengan janji-janji pada masa kampanye Pilpres. Misalnya sangat penting ketegasan pemerintah di dalam menjaga kerukunan dengan menuntaskan pergolakan keagamaan yang masih kunjung tuntas seperti masalah GKI Yasmin, HKBP Piladelpia, Ahmadiyyah, Syiah; termasuk tindakan tegas yang konkret terhadap ormas yang selalu anarkis pergerakannya yang hingga kini ternyata cuma "dicooling down" tanpa tindakan apa pun, yang sudah jauh merangsek pergolakan pada paradigma kerukunan umat beragama. Ketidaktegasan tindakan dan sikap pemerintah dalam hal itu sama saja dengan mementalkan ide revolusi mental dan menganggapnya hanya implementasi dari "tong kosong nyaring bunyinya". Di sisi lain perlu mendapat perhatian pemerintah untuk mempending niatan menaikkan tarif dasar listriik, mengingat sirkulasi listrik ke masyarakat pun sering kali macet dan terbatuk-batuk, bahkan pelayanannya pun sudah perlu direvolusi total agar tidak mengecewakan rakyat, misalnya pos pengaduan yang jelas, tanggap laporan yang presisi tinggi, efektivitas dan efisiensi kinerja; sebab listrik saat ini sudah menjadi kebutuhan hajat hidup orang banyak sebagaimana pesan kontitusi negara kita pada UUD 1945 pasal 33. Sehubungan dengan ini proses pembangunan waduk harus memerhatikan daerah-daerah yang sangat rentan pemadaman listriik terpadu sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam proses pembangunan. Demikian juga masalah akibat percepatan Kurikulum 2013 sudah perlu dievaluasi secara komprehensif dengan mengundang para pakar pendidikan untuk menyempurnakan lagi sehingga tidak sia-sia anggaran negara yang telah digelontorkan dalam membuat Kurikulum 2013. Pendiddikan sangat menentukan kualitas karakter manusia Indonesia untuk generasi mendatang sehingga sudah perlu kebajikan dan berkesinambungan dengan kurikulum sebelumnya sebab pada dasarnya pendidikan tersebut merupakan proses berkelanjutan dari tingkat dasar hingga pada taraf sarjana; serta sangat menentukan kepribadian bangsa bahkan martabat negara pada masa mendatang. Salah penanganan kurikulum memungkinkan untuk menghancurkan generasi mendatang, yang nantinya akan membentuk generasi keblingeran, ambiguitas akibat kurikulum tak jelas. Di tahun 2015 pertengahan atau akhir sudah perlu evaluasi secara komprehensif terhadap kinerja setiap menteri sebagai wujud pertanggungjawaban moral kepada rakyat untuk memperlihatkan komitmen baik yang sungguh-sungguh pro rakyat. Proses evaluasi yang dilakukan oleh Presiden sebelumnya merupakan ikhtikad yang baik sehingga secara berkala dipublikasikan kepada publik tentang capaian dan harapan, sebagai bukti niat ketulusan dan tekad bulat untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Masih banyak hal-hal pokok lain perlu mendapat perhatian pemerintahan seperti persoalan tapal batas di Pulau Kalimantan, Pulau-pulau terluar di nusantara, perbatasan di papua, dan perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif; juga kehidupan masyarakat di daerah-daerah tersebut terutama penanganan terhadap etnisitas daerah pedalaman.


Ketiga komitmen penegakkan hukum

Gerakan mental yang mulai menggeliat dilakukan Kejaksaan Agung sebaiknya tidak cuma seperti pemanasan sebelum berolah raga, di mana pada tempo berikutnya akan mengendur, melainkan tetap stabil untuk bersama-sama aparat penegak hukum lainnya mengedepankan supremasi hukum sebagai panglima pembangunan di bawah pemerintahan Presiden Republik Indonesia Jokowi. Misalnya bagaimana mereka mampu mengawal seleksi CPNS di daerah-daerah agar benar-benar bersih, tidak terbukti gosip yang berkembang di tengah masyarakat bahwa untuk menjadi PNS harus jelas "wani piro". Di beberapa daerah proses selektif sudah memasuki tahap ujian namun keresahan orang-orang yang mengikuti proses seleksi tersebut sudah terkuak. Nah, di situ kejaksaan negeri di daerah-daerah perlu memperketat pengawasan, pantauan serta pengintaian bahwa proses tersebut tidak dicemari oleh oknum-oknum yang haus untuk memperkaya dirinya sendiri. Pengawasan melekat pada gubernur, bupati dan walikota juga perlu dilakukan agar proses pembangunan daerah dapat berlangsung dengan baik untuk mensejahterakan rakyatnya, bukan pribadinya atau kelompoknya. Hanya kejaksaan dan kepolisian yang memiliki aparat yang mampu menjangkau hingga ke tingkat desa, karena itu optimalisasi kinerja mereka perlu diperhatikan baik sebagai bentuk kesungguhan dalam mewujudkan komitmen penegakkan hukum baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Mungkin ada baiknya KPK memiliki keterwakilan pada tiap propinsi agar kinerja kejaksaan dan kepolisian dapat meningkat tajam, saling menunjukkan kewibawaan dan kerja sama dalam tindak korupsi.
Senin, 01 September 2014

RAKYAT BERKEPRIBADIAN DALAM KEBUDAYAAN

RAKYAT BERKEPRIBADIAN DALAM KEBUDAYAAN

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi



Salah satu visi misi Presiden Jokowi menyebutkan mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan (http://www.jokowi.id/berita/inilah-visi-misi-jokowi-kalla/). Di sini saya lebih menyukai memakai kata "rakyat" untuk menggantikan kata "masyarakat" sebab masyarakat nanti akan cenderung dipertanyakan lebih lanjut masyarakat mana? Karena dalam masyarakat itu juga terdapat stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang bisa digolong-golongkan lagi, sedang kata rakyat cenderung memiliki makna tunggal saja. Lagi pula Presiden Jokowi terpilih berdasar pilihan rakyat, tidak dikatakan sebagai pilihan masyarakat walau pun konotasinya sinonim. Namun satu hal yang sangat sulit dicerna justru pada kata "berkepribadian", yang biasanya melekat pada makna perseorangan. Orang bisa mengatakan bahwa saya ini berkepribadian. Saya pribadi menulis tulisan ini. Saya pun mempunyai kendaraan pribadi walau belum memiliki rumah pribadi tapi saya bangga sebagai dosen ada rekening pribadi di mana gaji saya ditransfer langsung ke rekening tersebut setiap bulannya. Kepribadian yang di dalam bahasa Psikologi dikenal sebagai "personalitas", bukan privasitas sangat jelas dan terang benderang bicara tentang perseorangan. Ada pribadi skizoprenia, ada paranoid, ada normalitas, dan seterusnya. Ada orang mengatakan pribadinya menarik, pribadinya sangat ramah, pribadinya petualangan, pribadinya sangat menantang adrenalin, dan seterusnya. Tapi rakyat berkepribadian? Apa dan bagaimana maksud dari ungkapan itu bahwa rakyat berkepribadian, bahkan disebut pula "berkepribadian dalam kebudayaan"? Esensi ini sangat menarik untuk direnungkan ulang pemaknaannya sehingga bisa dipahami kata demi kata, kalimat ungkapan yang dimaksud tersebut. Cukup mencengangkan tapi tidak mengherankan apabila dilakukan eksplorasi dan elaborasi lebih lanjut terhadap makna ungkapan tersebut.


Mengacu pada nilai-nilai adiluhung yang hidup ditengah rakyat Indonesia seantero nusantara ini maka setidaknya kita pernah mendengar ucapan orang-orang luar terhadap rakyat Indonesia yang dikenal dan terkenal "ramah". Terkenal pula rakyat Indonesia menilik dari historisitasnya masih hidup karakteristik "gotong royong". Ada juga tatkala kita diperhadapkan pada suatu perkenalan pertama dengan manusia Indonesia lainnya, tentu saja kita harus bersikap "santun" dalam tutur sapa kita. Namun satu kata yang jarang hidup di dalam tatanan pergaulan politik, ekonomi, dan sosial budaya kita, namun sering mengemuka adalah kata "jujur". Demikian juga bila seseorang sudah bekerja jauh dari lingkungan keluarganya maka setidaknya orang tersebut sudah terbiasa untuk hidup "mandiri". Begitulah seterusnya dapat dilanjutkan lebih jauh, namun itulah sederetan dan serangkaian kata per kata yang memakai tanda kutip, sebagai kepribadian. Kepribadian ramah, gotong royong, santun, jujur, mandiri merupakan prinsip yang terpenting dan melekat erat pada seorang manusia Indonesia. Apakah kata-kata tersebut yang mengurai tentang kepribadian mungkin terdapat di dalam kolektivitas yang dinamakan sebagai rakyat Indonesia? Jawabannya adalah sangat mungkin. Serangkaian kata tersebut yang dimaksud sebagai rakyat Indonesia berkepribadian, ditambah dengan nilai-nilai yang termaktub di dalam serangkaian sila di dalam ideologi negara Pancasila. Bila dikatakan manusia Indonesia yang adil dan beradab berarti adalah manusia Indonesia yang sangat peduli dengan sesamanya, manusia Indonesia yang siap sedia bergotong royong meringankan beban sesamanya, manusia Indonesia yang santun dan jujur di dalam keseharian hidupnya. Bukan manusia Indonesia jika dia penindas, bukan manusia Indonesia jika dia tidak bisa jujur, bukan manusia Indonesia jika dia menghalalkan kekerasan demi "nafsu hidupnya" menguasai orang lain, bukan pula manusia Indonesia yang serakah dan loba tanpa memikirkan kepentingan dan kebutuhan hidup sesamanya manusia. Rakyat Indonesia sudah perlu kembali kepada kodrat kepribadian yang berasal dari nilai-nilai luhur yang dikembangkan oleh para leluhur kita sebagai warisan yang agung, yang memberinya suatu entitas dan identitas manusia Indonesia tersebut.


Seiring dengan perkembangan setelah ditutupnya BP7 dan lenyapnya penataran-penataran tentang Pancasila maka manusia Indonesia yang merasa sudah modern tak pernah lagi memperbincangkan tentang nilai-nilai luhur tersebut apalagi membicarakan Pancasila, seolah-olah kepribadian rakyat Indonesia ini sudah berubah dari ramah menjadi "rajin menjamah", dari santun berubah menjadi pendendam dan pemarah yang penuh angkara murka, dari jujur menjadi penipu ulung, dari mandiri berubah menjadi terbelenggu, dari gotong royong berubah menjadi potong oyong, dan seterusnya. Sungguh meringgis dan mencemaskan bila diperhatikan kecenderungan yang dominan buruk tersebut di dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara kita. Dengan keadaan yang buruk tersebut otomatis meruntuhkan semboyan kebudayaan kita, yang semestinya berangkat dari pemahaman budi menjadi manusia Indonesia yang berbudi pekerti. Rasanya reformasi yang telah berjalan di bangsa dan negara kita tersebut sudah merenggut kepribadian yang asasi dan kebudayaan Indonesia sendiri menjadi tidak mengakar pada nilai-nilai dan norma-norma luhur. Konsep revolusi mental dan visi misi Presiden Jokowi sudah saatnya mencermati kecenderungan perubahan yang kurang ajar tersebut agar kembali pada pola-pola ajar dengan penguatan pada sistem nilai, sistem norma, serta re-eksplorasi dan re-elaborasi terhadap Pancasila agar kembali pada tatanan kehidupan rakyat Indonesia ini.

POLITIK MINYAK VERSUS POLITIK LINGKUNGAN

POLITIK MINYAK VERSUS POLITIK LINGKUNGAN

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi



Belakangan ini marak sekali diskursus mengenai minyak, dengan isu sentral pada dorongan untuk menaikkan harga BBM agar teratasi defisit anggaran akibat subsidi yang membengkak. Ada anggapan atau asumsi bahwa kenaikan harga minyak merupakan satu-satunya solusi yang terbaik untuk menutupi defisit tersebut tanpa memikirkan solusi-solusi lainnya misal mengapa konsumsi minyak begitu besar di negara Indonesia? Apakah negara Indonesia tidak memiliki sumber energi lain untuk menggantikan sumber energi minyak? Apakah alam negara Indonesia tidak berlimpah ruah sehingga sama sekali tidak memiliki manfaat apa-apa untuk bisa dimanfaatkan di dalam menopang sendi-sendi kehidupan ini? Katakanlah oke minyak naik, lalu apakah disamaratakan harga minyak yang digunakan perseorangan dengan pihak perusahaan seperti PLN atau perusahaan lainnya yang juga memakai sumber energi minyak? Problematik ini sungguh mencengangkan dus mencemaskan bahkan mengherankan padahal begitu banyak sumber energi alam yang bisa digunakan untuk menggantikan pemanfaatan minyak bumi. Tampaknya inovatif dan inventif menjadi mandeg sehingga anggapan pilihan untuk menaikkan harga minyak menjadi satu-satunya opsi yang terbaik.


Tulisan ini tidak mau terjebak di dalam wacana keharusan untuk menaikkan harga minyak atau pun tidak harus naik, namun lebih mencermatinya sebagai paradigma politik minyak melawan politik lingkungan (Politics of the Environment). Pemikir dari Cambridge Neil Carter, dalam tulisannya Politics of the Environment : Ideas, Activism, Policy tahun 2007 membuat tesis paradigma berganda bahwa politik lingkungan berbeda dalam setidaknya dua cara: pertama, "ia memiliki perhatian utama dengan hubungan antara masyarakat manusia dan alam" dan kedua, "seperti kebanyakan isu tunggal lainnya, ia datang penuh dengan ideologinya sendiri dan gerakan politik". Berdasarkan tesis tersebut setiap kebijakan yang dimaksud di dalam politik lingkungan haruslah memerhatikan dan mencermati hubungan faktor manusia dengan alam sekitarnya, demikian juga paradigma terkait yang menyebabkan politik lingkungan hadir dengan keunikan ideologisasinya. Lain halnya dengan Frank Fisher di dalam tulisan "Citizens, Experts, and the Environment: The Politics of Local Knowledge" tahun 2000 menjelaskan bahwa politik lingkungan khususnya adalah sarang bagi warga negara yang aktif menantang pengenaan teori ahli yang mengabaikan bentuk pengetahuan lokal yang dapat membantu untuk berhubungan fakta teknis untuk nilai-nilai sosial. Ada kelalaian hubungan manusia dengan alam sekitarnya sehingga ikut juga tergerus pengetahuan lokal yang sebenarnya memperlengkapi paradigma politik lingkungan. Minyak bumi, gas bumi, batu bara, plutonium, uranium merupakan sumber kekayaan alam, yang jelas berhubungan erat dengan kebijakan politik lingkungan; tidak hanya untung besar dalam bidang ekonomi namun "mewariskan" kesusahan dan kepahitan bagi generasi berikutnya.


Penguasa politik di negara mana pun itu akan selalu cenderung dan condong berpijak pada tesis profesor kondang Amerika Serikat Samuel Huntington. Huntington dalam bukunya yang cukup menggemparkan dunia akademisi dan perpolitikan dunia “the clash of civilization” memang membuat suatu paradigma yang menyatakan bahwa minyak merupakan sumber kekayaan alam dunia yang sangat dibutuhkan bagi negara-negara di belahan dunia ini, sehingga barangsiapa yang mampu menguasai stok minyak dunia maka mereka dapat dipastikan sebagai penguasa dunia. Penguasa dunia harus mampu mengontrol dunia termasuk mengontrol harga minyak dunia. Dengan paradigma ini politik minyak dipandang semata-mata sebagai alat kekuatan hegemoni perekonomian, karena diperoleh keuntungan sangat besar namun sering mengabaikan pentingnya politik lingkungan yang mensinergikan hubungan ekosistem antara manusia dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Karena itu kebijakan politik minyak sebaiknya juga mempertimbangkan urgensi kepentingan politik lingkungan, tidak semata-mata dorongan untuk mendongrak perekonomian nasional negaranya demi menyelamatkan politik anggaran dan politik pencitraan. Khusus di negara Indonesia ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan penting bagi penguasa politik negeri Indonesia raya ini. Pertama selalu ada opsi lain, tidak pernah cuma opsi tunggal. Bila dikatakan cuma itu opsi tunggal maka hal itu dapat dikategorikan sebagai pendidikan politik pembodohan kepada rakyat Indonesia sebab kekayaan alam negeri ini sangat berragam dan sumber energi pun banyak pilihan; tinggal political will pemerintahan. Kedua sekali pun akhirnya harga minyak harus naik maka sangat perlu perhitungan kenaikannya, tidak asal naik saja dan main pukul rata saja antara wong cilik sama wong gedongan yang sama sekali tidak menurut pada kaidah rasionalitas dan realistis. Misalnya kenaikan minyak premium untuk sepeda motor harganya cukup dengan Rp. 7.000 per liter, sedangkan untuk kendaraan roda empat dan roda empat lebih bisa dikenakan harga Rp. 10.000 per liter. Kenapa harus begitu? Sebab pendapatan para pemakai prototipe kendaraan tersebut jelas sangat berbeda. Begitu juga untuk perusahaan misalnya dikenakan harga Rp. 15.000 per liter agar mendorong perusahaan tersebut untuk mengalihkan sumber energinya untuk tidak merugi. Lalu dana subsidi minyak tersebut dapat digunakan untuk pengembangan sumber energi alternatif, juga bisa dimanfaatkan untuk pengadaan waduk yang dapat bermain bagi kalangan petani sekaligus mengamankan pasokan listrk kepada rakyat Indonesia.
Minggu, 31 Agustus 2014

REVOLUSI HARAPAN DAN REVOLUSI MENTAL

REVOLUSI HARAPAN DAN REVOLUSI MENTAL

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi




Pascapilpres Indonesia yang penuh pesona, penuh semangat, dan sangat semarak dengan rentetan trik politik dan rumor politik yang bagi masyarakat awam sangat sulit dibedakan kebenaran dan kebohongannya. Mungkin sebagian benar, sebagian bohong, sebagian lagi cuma pepesan kosong saja. Namun yang pasti Presiden Republik Indonesia terpilih adalah Ir.Haji Joko Widodo, kesatria sederhana dan polos namun tegas dari daerah Kota Solo. Ada beberapa catatan penting perlu kita beberkan di sini sehubungan dengan konsep pemikiran revolusi mental dan kemenangan Presiden Indonesia terpilih Jokowi :


Pertama terbangunnya koalisi rakyat dengan politisi

Di dalam sejarah perpolitikan Indonesia baru kali ini dapat dikatakan bahwa rakyat berperan sangat besar untuk menggalang dan mempengaruhi suara para pemilih dengan membawa nama "relawan". Biasanya rakyat baru mau bergerak dan terdorong hatinya apabila karena faktor kemanusiaan seperti bencana tsunami yang pernah melanda propinsi Aceh atau bencana gunung meletus, dan seterusnya. Tapi ini terjadi hanya karena urusan Pilpres? Ada beberapa sebab mengapa rakyat merelakan dirinya tanpa bayaran (no money politics) untuk turut berpartisipasi dan mengambil peran aktif selama musim kampanye sampai selesai. Pertama ada kekuatirkan rakyat terhadap kebangkitan rejim Orde Baru di mana kebetulan salah satu capres merupakan menantu dari mantan Presiden Soeharto yang berkuasa 32 tahun lebih secara otoriter dan menekan habis semua lawan politiknya, sekali pun berakhir dengan kekerasan sebagaimana terjadi pada tanggal 27 Juni 1996. Kedua terkait dengan itu juga terbayang bagi rakyat bagaimana akhirnya Indonesia yang dipimpin rejim Soeharto bangkrut dan meninggalkan banyak utang negara. Kebangkrutan tentu saja sama sekali bukan sesuatu yang diharapkan rakyat bahkan sedapatnya perlu dihindari. Kekuatiran atas kebangrutan negara memang turut membayangi kebangkitan rejim Orde Baru tersebut dan itu bukan sesuatu yang baik, bahkan jelas-jelas akan memutarbalikkan arah reformasi di negeri ini yang telah menelan korban jiwa. Anehnya sebagian rakyat malah senang dan menyambut gembira kembalinya dan hidupnya "momok" rejim Orde Baru yang berakhir dengan tragedi berdarah serta kehancuran perekonomian negara Indonesia. Ketiga rakyat sudah muak sekali dengan kepemimpinan "rejim militer" yang telah berkuasa di negeri ini pascareformasi selama 10 tahun, namun tidak banyak terobosan perubahan apa-apa di negara Indonesia ini. Belum lagi malah semakin marak "sinetron korupsi" yang justru banyak dilakukan oleh partai politik penguasa sehingga rakyat pun menjadi cerdas dan cerah, bahwa "rejim militer" memimpin negeri ini ternyata hanya mampu berada di arena status quo; bahkan kasus-kasus hak asasi manusia pun tidak pernah kunjung selesai ditambah maraknya penutupan rumah ibadah yang terkesan kuat "dibiarkan" bahkan mungkin boleh jadi justru "dipelihara" oleh negara. Dalam banyak kasus kemanusiaan negara terkesan membiarkan bahkan tidak berpihak lagi kepada rakyatnya sendiri seperti pengusiran kelompok agama syiah dan ahmadiyyah, padahal mereka belum menanggalkan identitas "kewarganegaraannya" yang mestinya "dijamin" penuh keamanan dan kenyamannya sesuai amanah konstitusi negara Republik Indonesia ini. Ketiga rakyat pada akhirnya menjadi "tidak percaya" terhadap para politisi, mengingat perilaku dan gaya hidupnya yang justru mampu "bergembira" di tengah kesusahan dan kesulitan hidup rakyatnya sendiri. Ketidakpercayaan rakyat terhadap sikap penguasa pada akhirnya bersikap bahwa siapa pun pemimpin militer atau mantan militer sudah pasti tidak akan banyak berbuat lebih, menyangkut keberpihakan, kepada rakyatnya sehingga kehadiran sosok Jokowi bisa sedikit banyak mengembalikan rasa percaya diri rakyat yang hampir raib tersebut. Keempat kehadiran sosok Jokowi yang sangat sederhana, lugu, polos, bicara apa adanya, wong ndeso namun terpelajar, dan telah membuktikan dirinya mampu memimpin Kota Solo dan Jakarta mampu menyegarkan kembali gairah hidup rakyat Indonesia ini seolah-olah bangsa ini diberi "figur malaikat" mendampingi dan memimpinnya ke arah kehidupan yang lebih baik lagi. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya pembentukan relawan yang tidak kenal status sosial lagi, relawan yang berragam, yang benar-benar mau berpartisipasi untuk kebaikan dan terobosan pembaharuan di negara tercinta ini, Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke seperti Barisan Relawan Jokowi for Presiden (BARA JP), Laskar Jokowi, Jokowi Mania (Jo-Man), Kawan, dan seterusnya.


Kedua membuka revolusi pengharapan dengan sosok terbaik putra bangsa

Eric Fromm dalam bukunya THE REVOLUTION OF HOPE :Toward A Humanized Technology menjabarkan dimensi harapan yang paradoksal namun lintas batas, tidak terkurung dalam waktu dan ruang tetapi dipacarkan dari psikologis manusia tatkala ketabahan dan iman yang rasional untuk memilih antara "kebaikan yang pasti datang" dan "mimpi kedatangan kebaikan". Di dalam kedirian dan kepribadian manusia terdapat keinginan terhadap "sesuatu" untuk memenuhi hakekat kehidupannya. Menurut Fromm harapan adalah unsur instrinsik struktur kehidupan, sebuah dinamika dalam spirit manusia. Harapan seiring bersifat psikis dalam kehidupan dan pertumbuhan, dicontohkan melalui pertanyaan berikut; apakah berbeda dengan anak yang lahir? Ia mungkin tidak memiliki kesadaran, namun kegiatannya mengungkapkan harapannya untuk dilahirkan dan untuk bernapas secara mandiri. Apakah tidak berharap untuk menyusu pada ibunya? Apakah bayi tidak berharap untuk berdiri tegak dan berjalan?
Apakah si sakit tidak berharap untuk sembuh, napi jadi bebas, yang lapar berharap makan? Apakah kita tidak berharap untuk bangun ketika kita tertidur? Apakah cinta membuat seseorang tidak menyiratkan harapan dalam potensi, dalam kapasitasnya untuk membangkitkan pasangannya? Fromm menyebutkan tentang "messianic hope" (harapan mesianis), dan "fraction hope (harapan fraksi). Harapan mesianis bisa lahir dari perubahan jaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, atau kehadiran sosok yang dianggap benar-benar berbeda dari yang biasanya seperti Jokowi. Harapan fraksi terjadi ketika manusia diperhadapkan dengan gejala-gejala kebuntuan lapangan kerja, kebuntuan perkembangan ekonomi, kebuntuan rasa keadilan dan kebenaran, dan seterusnya yang memberi distorsi bahkan destruktif terhadap kehidupannya. Jadi singkat kata tatkala manusia diperhadapkan dengan "harapan palsu" dan "harapan konkret" maka timbul harapan baru untuk memilih di antara kedua pilihan tersebut. Akhirnya terjadilah revolusi harapan untuk membuka peluang dan ruang mencapai hakekat kemanusiaannya yang sudah sempat terbengkalai. Uniknya revolusi harapan dari rakyat Indonesia ini disuguhi pula dengan kehadiran pemikiran "revolusi mental" sebagai "harapan mesianis" tersebut yang diberikan oleh sosok putra terbaik negeri ini yang diekspresikan dengan tampilan wajahnya yang kekampungan tapi pemikirannya jelas tidak kampungan.


Ketiga titik kulminasi kejenuhan rakyat yang kehilangan teladan dan kepercayaan terhadap ketidakhadiran negara

Ketika manusia sedang dahaga maka saat awal minum dari gelas pertama itulah yang sungguh nikmat dan mampu menghilangkan rasa dahaganya. Namun apabila manusia itu terus berulang minum tentu akan sampai kepada titik kejenuhan bahkan mual akibat kepenuhan air. Walau pun kebutuhan mausia sangat bervariasi, banyak prototipenya namun pada akhirnya akan tiba pada tingkat kejenuhan. Misalnya kebutuhan komunikasi, mulai dari berbicara langsung, dan korespondensi, namun kini sudah tambah dengan adanya elektronik mail dan sms sehingga telegram pun sudah dianggap sebagai budaya tertinggal. Bahkan ketika awalnya manusia cuma dapat berteman dari tetangganya, dari teman sekolahnya, dari rekan kerjanya; kini bisa bertambah sahabat dari dunia maya melalui fesbuk, twitter, dan seterusnya hanya lewat pendekatan teknologi semata. Dalam konteks kebangsaan kita saat ini sangat terang hilangnya keteladanan dari kepemimpinan nasional. Mulai dari program penghematan ternyata para pemimpinnya sendiri tidak mampu menunjukkan cara-cara hidup berhemat, bahkan terkesan glamor dan penuh kemewahan seperti batalnya rencana untuk membangun gedung DPR RI yang baru, yang dilengkapi dengan ruangan istirahat bahkan SPA. Hal ini diperparah dengan ketidakhadiran negara di saat rakyat menghadapi konflik di dalam kehidupan bermasyarakatnya seperti kasus di Mesuji, kasus di tanah Papua, bahkan di saat rakyat menghadapi bencana seperti erupsi Sinabung sangat terkesan negara terlambat kehadirannya sehingga makin mempersulit kehidupan rakyat saja. Tiadanya teladan, tiadanya kehadiran negara, maraknya korupsi, diskriminasi penegakkan hukum, semuanya menghilangkan rasa kepercayaan rakyat sehingga sampai kepada titik kulminasi kejenuhan yang akut. Kebuntuan ini menjadi terbuka lagi dengan kehadiran sosok Jokowi, yang mampu memberi "angin segar" kepada rakyat untuk meniti kembali masa depan dan hakekat kemanusiaannya. Semoga di masa kepemimpinan nasional Presiden Jokowi dapat memenuhi janjinya untuk membangun dan membawa rakyat menuju kehidupan yang lebih baik dengan penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, membuka lapangan kerja baru, serta meningkatkan pendapatan rakyat Indonesia.
Kamis, 28 Agustus 2014

LANGKAH TAK POPULER TAPI SUDAH POPULER


LANGKAH TAK POPULER TAPI SUDAH POPULER

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi



Akhirnya Presiden RI terpilih Jokowi bicara kepada media massa bahwa dalam pertemuannya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin tanggal 27 Agustus 2014 di Bali juga membicarakan persoalan bangsa dan negara yang sangat genting, yakni masalah harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Presiden terpilih Jokowi meminta kepada Presiden Yudhoyono agar menaikkan harga BBM sehingga tidak menjadi beban negara melalui subsidi BBM dan meringankan beban pertama nanti di pemerintahannya. Namun Presiden Yudhoyono menolaknya. Mungkin persoalan tersebut dianggap sudah merupakan keputusan strategis yang menjadi wilayah kerja pertama Presiden terpilih Jokowi atau mungkin saja merupakan salah satu test case terhadap kompetensi dan kapabilitas Presiden terpilih Jokowi untuk mengatasi persoalan tersebut. Tentu saja apabila persoalan ini nantinya menjadi agenda pertama dan terutama dari Presiden terpilih Jokowi maka sudah pasti akan menghadapi resistensi dari kalangan mahasiswa dan kaum buruh, yang paling merasakan efeknya. Jadi BBM dinaikkan akan menimbulkan demonstrasi dari berbagai kalangan yang merasakan akibat langsung kenaikan tersebut dan jika tidak dinaikkan tentu saja menguntungkan bagi para mafia minyak, yang ujung-ujungnya pemerintah harus mengimpor BBM kembali.


Akan tetapi yang menjadi sorotan kali ini adalah justru pernyataan Presiden terpilih Jokowi bahwa beliau siap mengambil langkah tidak populer di tengah popularitasnya yang sedang melejit dan melambung sangat tinggi sebagai Pemimpin yang mampu menggerakkan rakyat serta memberikan teladan kepada rakyatnya dengan kesederhanaannya seperti ucapan-ucapannya yang juga sederhana. Walau langkah tersebut dianggap banyak kalangan sebagai langkah dilematis atau tidak populer, namun reaksi dan respon rakyat Indonesia sebagian besar cenderung menyetujuinya. Mungkin pengambilan keputusan untuk menaikkan harga BBM sudah perlu dilakukan dengan polling atau paling tidak dengan referendum rakyat, sebab menyangkut hajat hidup orang banyak sesuai amanah UUD 1945. Sudah tepat apabila subsidi BBM yang selama ini dirasakan oleh kalangan menengah ke atas bisa dialihkan dengan pengadaan bibit dan pupuk kepada rakyat, perbaikan infrastruktur di daerah-daerah, dan pengadaan waduk yang dapat menyentuh rakyat pada umumnya namun perlu pengecualian di dalam implementasinya.Misalnya harga BBM untuk pengguna kendaraan roda dua lebih murah daripada untuk pengguna roda empat atau lebih, sebab logikanya penghasilan para pengguna kendaraan roda empat atau lebih jauh melampaui para pengguna roda dua. Apabila para pengguna roda empat beralih untuk menggunakan kendaraan roda dua, setidaknya sudah mengurangi kemacetan arus lalu lintas di jalan raya. Di Singapura, harga BBM RON 92 sebesar Rp 8.754 per liter. RON 92 ini diijinkan untuk digunakan pada kendaraan bermotor Euro 2. Di Malaysia, harga BBM RON 95 atau setara Pertamax Plus senilai RM 2,1 atau setara dengan Rp 7.000 per liter.  Solusi lain bisa saja diterapkan subsidi BBM dengan substitusi pendanaannya dari uang yang dirampok para koruptor.


Solusi bagi pemerintah baru Jokowi nantinya menurut David Sumual Kepala Ekonom Bank Central Asia adalah  hanya punya satu cara cepat untuk membuat ruang fiskal, yaitu memangkas subsidi bahan bakar minyak. Jika Jokowi tidak menaikkan harga BBM maka solusinya adalah dengan dua cara yakni:  “Efisiensi anggaran dan optimalisasi pendapatan". Artinya bisa saja Jokowi melakukan pemangkasan anggaran terhadap kebutuhan yang bersifat tidak wajib dan tidak memiliki landasan hukum seperti anggaran pendidikan dan kesehatan yang sudah ditentukan perundang-undangan. Akan tetapi sangat perlu ditelisik lebih lanjut mengapa bisa terjadi penurunan target pajak pada anggaran APBN tahun 2014. Bayangkan sumber pemasukan dari setoran pajak kian seret. APBNP 2014 menetapkan setoran perpajakan sekitar Rp 1.246,1 triliun, malah turun dari target APBN 2014 yang mematok Rp 1.280,3 triliun. Program pemerintah mengenai penghematan energi juga sudah layak untuk dilanjutkan namun perlu konsistensi. Jangan cuma rakyat disuruh berhemat energi namun pemerintah sendiri dalam prakteknya tidak menjalankan program penghematan tersebut. Apa pun langkah yang diambil oleh Presiden terpilih Jokowi nantinya pada awal tahun 2015 walau pun disebut sebagai langkah tidak populer namun justru bisa semakin mempopulerkan citranya asalkan tetap dibangun konsistensi kinerja pemerintahan yang baik berwibawa dan komunikasi yang efektif kepada rakyat agar dapat dimengerti dengan saksama.Tampaknya ini lebih menyangkut masalah memberlakukan trust rakyat untuk kepentingan rakyat itu sendiri, bukan dengan cara karikatif melalui BLT atau BLSM.

Rabu, 27 Agustus 2014

MENYOAL REVOLUSI MENTAL DI INDONESIA ?

MENYOAL REVOLUSI MENTAL DI INDONESIA ?

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi



PENGANTAR

Ada hal menarik pasca pilpres di tahun 2014 ini di mana Presiden Republik Indonesia (RI) terpilih yang nanti tanggal 20 Oktober 2014 akan dilantik sebagai Presiden RI ke 7, untuk menggantikan Presiden Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono, sangat gencar menggemakan suatu istilah yang disebutnya "REVOLUSI MENTAL". Apa maksud dari istilah tersebut? Lalu bagaimana kita mau memahami bahkan mempersiapkan diri kita menghadapi dan mewarnai "REVOLUSI MENTAL" yang dimaksudnya? Tulisan ini akan mengupas secara mendalam mulai dari pemahaman tentang REVOLUSI MENTAL baik dari aspek etimologis, maupun aspek sosio-antropologis, bahkan mungkin perlu sedikit refleksi teologis terhadap soal "REVOLUSI MENTAL" tersebut. Mungkin rakyat berada antara suka dan tidak suka begitu mendengar kata "REVOLUSI", sebagai pernah terjadi REVOLUSI FISIK pada masa Kemerdekaan yang selalu disuarakan Soekarno atau pernah mendengar tentang REVOLUSI PERANCIS yang sempat membuat chaos selama beberapa tahun negara tersebut. Agar kita dapat memahami secara baik tentu kita harus memulainya dari pemahaman istilah tersebut.


Di dalam makna leksikon kata "revolusi" berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki 3 arti, yakni :1 perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yg dilakukan dng kekerasan (spt dng perlawanan bersenjata); 2 perubahan yg cukup mendasar dl suatu bidang: dialah pelopor -- dl bidang arsitektur bangunan bertingkat; 3 peredaran bumi dan planet-planet lain dl mengelilingi matahari; (akses 27-08-2014, http://kbbi.web.id/revolusi ). Tampaknya pengertian "revolusi" yang afdol dan pas di dalam pembahasan tulisan ini adalah yang dijelaskan pada pengertian kedua, yakni "perubahan yg cukup mendasar dl suatu bidang: dialah pelopor". Singkatnya perubahan sangat cepat yang mendasar serta hakiki sekali. Sedangkan makna "mental" secara leksikon tersebut adalah [v] (1) terpelanting; terpental; (2) terlempar kembali; berbalik arah; [Sd a] ada gunanya, ada pengaruhnya (tt obat, nasihat, dsb); (1) a bersangkutan dng batin dan watak manusia, yg bukan bersifat badan atau tenaga: bukan hanya pembangunan fisik yg diperhatikan, melainkan juga pembangunan --; (2) n batin dan watak (akses 27-08-2014, http://kamusbahasaindonesia.org/mental/mirip). Yang dimaksud di sini dengan kata mental adalah "(1) a bersangkutan dng batin dan watak manusia, yg bukan bersifat badan atau tenaga: bukan hanya pembangunan fisik yg diperhatikan, melainkan juga pembangunan --; (2) n batin dan watak". Singkatnya mental adalah keadaan bukan fisik melainkan kebatinan atau kejiwaan dan perangai manusia.


Di dalam teori dasar sosiologi yang dikenal sebagai format "social change" adalah perubahan reformasi, perubahan transformasi, perubahan evolusi, dan terakhir revolusi. Perubahan reformasi hanya perbaikan dan penataan kembali agar lebih sempurna dan lebih lengkap namun wujudnya tetap. Perubahan transformasi juga tidak mengubah bentuk namun lebih memperkuat, memberdayakan, dan menyesuaikan dengan kecenderungan perubahan masyarakat dan budaya tersebut. Kalau perubahan evolusi dan revolusi keduanya mengubah bentuk sehingga tidak berwujud seperti semula. Charles Darwin dalam teorinya menyebutkan bahwa manusia pada awalnya merupakan bentuk evolusi yang berkelanjutan dari sebangsa kera, seperti pithecanthropus erectus, pithecanthropus robustus, pithecanthropus mojokertensis, dst. Perubahan evolusi selalu bertahap dan pelan-pelan tapi pasti mengubah wujud aslinya. Berbeda dengan evolusi, perubahan revolusi mengandalkan pada akselerasi atau kecepatan. Contoh pas tentang ini apabila kita menonton film-film horor aliens atau predator yang dibintangi aktor laga Arnold Schwarzenegger.Contoh konkret dapat kita perhatikan pada binatang trenggiling saat terancam akan mengubah dirinya menjadi seperti "bola" atau sebatang kayu yang dibakar akan mengubah wujud kayu tersebut menjadi arang. Mungkin teori fisikawan matematis Stephen Hawking yang menggemparkan dunia dengan teori ledakan dasyatnya (the Big Bang Theory) bahwa setiap ledakan eksplosif sangat dasyat dipastikan akan melahirkan bintang-bintang, sebab hanya faktor ledakan yang bisa meluluhlantakkan massa tunggal dengan suhu sangat tinggi di jagat raya, dapat mengekspresikan tentang revolusi yang dimaksud.


PERSOALAN LEKSIKON "MENTAL" ATAU "MENTALITAS"

Apakah yang dimaksud Presiden Joko Widodo itu benar "REVOLUSI MENTAL" atau "REVOLUSI MENTALITAS" ? Pengertian mentalitas adalah [n] keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan: faktor -- merupakan faktor penentu dl pembangunan (ibid, http://kamusbahasaindonesia.org/mental/mirip), yang rasanya jauh lebih tepat apabila menjadi fokus target pembangunan karakter (character building). Mengubah batin dan jiwa manusia sungguh lebih sulit daripada mengubah pola pemikirannya, mengubah pola sikapnya. Mungkin Indonesia di bawah pimpinan Presiden Jokowi banyak membutuhkan "purgatori" untuk membakar jiwa dan batin manusia agar dapat dimurnikan atau disucikan kembali sebagaimana banyak ajaran agama yang menjalankan praktek puritanisme atau ajaran sufisme. Pemahaman ini sangat penting agar tidak disalahartikan apa yang dimaksud dengan peristilahan "REVOLUSI MENTAL" tersebut, yang seolah-olah kedengaran biasa saja, namun saat kita mendalaminya ternyata sungguh tidak rasional dan tidak realistis menurut pemikiran manusia sehat. Tentang substansi ini perlu sekali urun rembug agar terjadi persamaan persepsi tentang istilah "REVOLUSI MENTAL" tersebut.


Namun boleh jadi secara filosofi merujuk pada pengertian yang dimaksud oleh filsuf tenar Friedrich Nietzsche, yang memberikan aksioma sangat penting bahwa di dalam kedirian manusia itu terdapat "mental budak", yang hampir sama konotasinya dengan "mental tempe" menurut khalayak orang Indonesia pada umumnya. Lawan daripada mental budak ini tidak lain adalah mental baja. Pengertian tersebut akan membingungkan makna yang dimaksud sehubungan dengan maksud yang lain, yang diungkap dengan kalimat "mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan" sesuai visi misi Presiden Jokowi. Menurut riset Prof. A.S. Munandar menunjukkan betapa sangat beragamnya mental manusia Indonesia, maka dapat kita simpulkan bahwa bagian dari sistem mental kita ini sangat beragam sesuai dengan keanekaragaman budaya yang dimiliki bengsa ini. Nilai budaya tidak lagi berbeda hanya karena faktor tempat asal, tapi juga profesi, religi, dan teknologi, misalnya. Karena keberagamannya maka pengindetifikasian sikap mental dari bangsa Indonesia yang tidak melalui penelitian empiris dan hanya untuk memenuhi satubagian dari tujuan (pembangunan). Setelah revolusi, mentalitas bangsa Indonesia bersumber pada kehidupan ketidakpastian, tanpa pedoman dan orientasi yang tegas shg terjadi kemerosotan ekonomi dan kemunduran dalam berbagai sektor kehidupan sosial budaya. Selanjutnya dapat dibaca tulisan lain saya yang mengupas tentang mentalitas terkait dengan pembangunan dan kebudayaan di situs: http://www.pisomel.blogspot.com/2014/05/kebudayaan-mentalitas-pembangunan.html


ADA APA MANUSIA INDONESIA ?

Budayawan Achdiat Karta Mihardja dengan rajin telah mengumpulkan perdebatan sengit dari generasi sastrawan masa Pujangga Baru, antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dengan Armyjn Pane menjadi sebuah buku berjudul "POLEMIK KEBUDAYAAN". Polemik Kebudayaan terjadi di antara tokoh sastrawan raksasa tersebut selama kurang lebih 3 tahun, antara Agustus 1935-Juni 1939. Perdebatan tersebut dilandasi oleh latar belakang dan mindset kedua tokoh raksasa tersebut yang bertolak belakang satu sama lain; STA bersandar pada pemikiran ala Barat, sedangkan Armyjn Pane kukuh mempertahankan pemikiran ala Timur. Polemik Kebudayaan tersebut dapat dikatakan sebagai peletakan dasar terhadap kebudayaan nasional Indonesia ini. Apabila Polemik Kebudayaan tersebut mendapat perhatian saksama, mungkin saja akan sangat membantu dan melengkapi pengertian yang dimaksud untuk mewujudkan ungkapan "masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan" (akses 27-8-2014, http://www.jokowi.id/berita/inilah-visi-misi-jokowi-kalla/ ). Ketidakkonsistenan dan ketidaktegasan konfrontatif dari hasil polemik kebudayaan tersebut tentu melahirkan serangkaian karakteristik manusia indonesia menurut Mochtar Lubis yang sulit terbantahkan, yakni bahwa manusia Indonesia itu munafik (hipokrisi), segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, artistik, tidak hemat boros serta senang berpakaian bagus dan berpesta. Karakteristik Lubis tersebut apabila dicermati lebih lanjut memang berangkat dari akar kebudayaan ketimuran, yang jarang berterus terang, dan terlalu banyak berbasa basi dengan bahasa bombastis. Jika bertolak dari pemikiran Barat yang mengandalkan rasionalitas dan sangat respek terhadap aspek kemanusiaannya, tentu akan bicara "to the point", bertanggung jawab, tidak mudah percaya takhayul karena mengandalkan rasio, dan berpikir realistis dalam artian jika dia cuma bergaji Rp 10 juta untuk apa memakai Toyota Alphard yang ongkos perawatannya saja sudah menghabisi keuangannya. Hanya satu ciri dari karakter manusia Indonesia yang juga dimiliki manusia Barat, yakni "artistik". Simak saja bagaimana perkembangan tattoo, tindik, bahkan sampai body painting cukup marak dilakukan oleh manusia Indonesia, baik di desa maupun di kota. Yang lucu nilai artistik tersebut melalu dihubung-hubungkan dengan hal-hal yang tidak logis, misalnya tindik pada daun telinga cowok dikatakan sebagai penanda "jantan", padahal arti "jantan" itu sendiri mengacu pada perilaku kebinatangan.


Maraknya kasus-kasus pidata mulai dari pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, penjualan narkoba, bahkan sampai kepada tindak terorisme dan korupsi amat jelas tidak lagi mengekspresikan sistem nilai kemanusiaan Indonesia sebagaimana dituangkan pada sila kedua Pancasila "kemanusiaan yang adil dan beradab". Tampaknya kemanusiaan Indonesia tersebut tercabut dari akar kebudayaannya, tercabut dari akar spiritualitasnya, bahkan tak memahami lagi arti kata "kemanusiaan" itu sendiri. Parahnya lagi sebagian besar para politisi dan para pejabat negara tidak mampu memberikan keteladanan terbaik tentang manusia Indonesia yang sesungguhnya, sehingga tidak ada lagi code of conduct tentang manusia Indonesia yang dulu dikenal sebagai ramah, baik, suka menolong, dan jujur. Hal ini diperparah tatkala terjadi era reformasi yang kebablasan di mana serangkaian penataran P4 yang di bawah naungan BP7 dihilangkan dari muka bumi Indonesia, sehingga sia-siakan saja memberi pemahaman tentang sila kedua tanpa pedoman dari hasil kajian-kajian akademis tentang sistem nilai dan sistem norma masyarakat Indonesia. Pendidikan pun agaknya tidak mengakomodir substansi ini sehingga patokan dan batasan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi absurd, suram dan buram. Itu pun apabila ada etika dan kontrol masyarakat mungkin dapat membantu untuk menghayati nilai-nilai kemanusiaan Indonesia, namun jika tidak maka tentu saja semakin marak terjadi deviasi sosial, distorsi, dan diferensiasi di dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia.
Selasa, 26 Agustus 2014

POLITIK BLUSUKAN MODEL INDONESIA

POLITIK BLUSUKAN MODEL INDONESIA

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi



Ketika mencari etimologis kata "blusukan" ternyata sulit di dapat di dalam perbendaharaan kamus baik yang manual maupun yang online di internet. Namun pelacakan dan jelajah khasanah pemikiran masih berlanjut, dan belum berakhir. Akhirnya dapat juga pengertian, etimologis, dan asal kata "blusukan". Adalah Kamus Bahasa Jawa berjudul Bausastra Jawa yang ditulis oleh Widodo cs yang diterbitkan oleh Kanisius Yogyakarta pada tahun 2011 menyebutkan kata "blusuk".Kata "blusuk" dari dialek Jawa "mblusuk" berarti "memasuki" atau "mendatangi", hampir sama dengan kata lain seperti "blesek". Adanya sufiks "an" pada kata "blusuk" bisa berarti "memasuki ke" atau "mendatangi ke". Kata "blusak-blusuk" memiliki makna "memasuki ke mana-mana". Jadi tidaklah benar dan tidak tepat apabila ada orang yang menyebutkan atau mengaitkan kata "blusuk" dengan kata Indonesia asli "busuk", dengan mengatakan adanya infiks "l" di tengah huruf "b" dan huruf "u". Pendapat terakhir adalah pandangan orang yang sudah mentok, sudah buntu di dalam menjelajahi pengertian atau etimologis kata "blusukan". Kata teknis "blusukan" ini sengaja saya padankan dengan kata depan "politik" serta kata-kata "model Indonesia" untuk memperlihatkan bahwa sistem blusukan yang digunakan oleh politisi Jokowi merupakan refleksi revitalisasi produk dalam negeri, yang lahiriah, yang gamblang dimengerti oleh rakyat pedesaan dan perkotaan.


"Blusukan" yang gencar didengungkan politisi Jokowi sudah membumi, mendarat di hati rakyat Indonesia. Tidak hanya orang Jawa yang memahami kata tersebut, namun orang diluar Jawa pun mau tidak mau, suka dan tidak suka, menjadi asyik dan perlu memahami makna kata "blusukan". Politik blusukan khas Indonesia ini boleh jadi bisa mengekspresikan model politik demokrasi di negara Indonesia, yang tidak perlu repot-repot dan capek-capek harus mengadopsi perkosakataan asing.Namun paradigma pemikiran "blusukan" ini sangat menarik dan masih perlu pengkajian lebih mendalam, sehubungan dengan pengadministrasian negara atau mungkin dapat dihubungkan dengan sistem menejemen modern. Akan tetapi ditilik dari etimologis tersebut bahwa kata "blusukan" hanya memiliki makna tunggal, "memasuki" maka agak sulit untuk menariknya ke bidang kajian yang lebih luas. Yang pasti kata "blusukan" sudah memperkaya wawasan demokrasi Indonesia, menambah perkosakataan Indonesia, bahkan mewarnai kancah perpolitikan dalam negeri Indonesia selama Pilpres berlangsung pada tahun 2014. Meminjam istilah Fritjof Capra "turning point" ( titik balik ) terhadap resonansi sains, kemasyarakatan, dan perkembangan kebudayaan maka proses Pilpres Indonesia di tahun 2014 ini dapat diartikulasikan sebagai titik balik peradaban politik demokrasi Indonesia, yang dimaknai dengan kehadiran politik "blusukan". Mengapa disebut "titik balik" politik demokrasi Indonesia ?


Menjawab pertanyaan tersebut maka mari kita memasuki panorama sepanjang Pilpres Indonesia tahun 2014 berlangsung. Tatkala pemilu legislatif rakyat masih bicara tentang money politics dengan istilah "wani piro", sehingga membuat para politisi harus rela menggelontorkan "serangan fajar" untuk merebut hati para pemilih agar dapat memenangi kontestan Pileg tersebut, untuk duduk sebagai anggota DPRD atau DPD atau DPR RI. Namun hal berbeda terjadi pada ajang Pilpres di mana rakyat Indonesia tidak lagi bicara "money politics" melainkan merelakan dirinya untuk ikut serta secara proaktif menjadi relawan dalam rangka menggalang suara para pemilih agar dapat memenangkan pasangan Capres Jokowi dan Cawapres Jusuf Kalla. Animo spirit yang sedemikian dasyat diberikan rakyat Indonesia disebabkan oleh efek politik "blusukan", suatu politik pencitraan yang real politik disuguhkan oleh politisi Jokowi, yang membuat rakyat ingin tahu dan penasaran ada apa dengan politik "blusukan". Di dalam teori politik mutakhir, model demikian dapat disebut sebagai model politik persuasi personalitas, dalam artinya mendekatkan diri di tengah rakyat; mendengar dan berbicara langsung kepada rakyat untuk mendapatkan "reward politik". Reward politik tersebut menjadi visi misi bahkan diimplementasikan menjadi sederet program yang diunggulkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Kontribusi rakyat melalui partisipasinya yang luar biasa bahkan rela memberikan tabungannya untuk ditransfer ke rekening kontestan Jokowi-Jusuf Kalla telah membuktikan bahwa politik "blusukan" sungguh-sungguh merasuki dan memenuhi benak rakyat Indonesia sehingga mereka bersikap untuk memutuskan bahwa sosok Jokowi yang layak dan diharapkan mampu memimpin negara kesatuan republik Indonesia ini ke arah yang lebih baik. Selain politik "blusukan" yang benar-benar "booming" tersebut, artikulasi isu politik lain sungguh-sungguh mengisi dan melengkapi politik "blusukan" tersebut, seperti "revolusi mental", "poros maritim dunia", "kebudayaan yang berkepribadian" seolah-olah terintegrasi dengan langsung menjadi sebuah "pengharapan baru" rakyat Indonesia setelah 10 tahun negara Indonesia ini dipimpin oleh Susilo Bambang Yudoyono. Kerinduan rakyat terhadap citra yang natural, yang alami, yang polos, seakan-akan terjawab dengan adanya politik "blusukan" yang dibawakan oleh sosok dengan perawakan ndeso pula Joko Widodo. Rakyat pun tersihir dan terkesima dengan politik "blusukan" politisi Jokowi. Semoga rakyat sungguh-sungguh mendapat jawaban mengatasi kebutuhan yang membludak di abad globalisasi ini dengan kemenangan Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke 7, menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Akhirnya civil society dapat mengungguli cengkraman kuat dominan militeristik.