HINGAR BINGAR POLITIK
TANAH AIR
Oleh : Melvin
M.Simanjuntak, STh, MSi
Mungkin kita pernah mendengar alunan musik jenis Heavy Metal seperti Iron Maiden dengan
lagu anyarnya “Powerslave” atau jenis Trash
Metal yang full bising seperti Testament, Napalm Death, Megadeath, dan
Metalica. Alunan musik demikian itulah yang disebut irama hingar bingar,
seperti mendengar dentuman suara mesin jet pesawat tempur yang bisa memekakkan
telinga kita. Dengan konsep hingar bingar model musik “pembangkangan kaum muda”
demikian hendak melukiskan realitas politik tanah air di awal sampai kepada
tanggal 9 Juli 2014 di mana masyarakat pemilih di nusantara Indonesia akan
menentukan pilihan pemimpin negeri ini melalui demokrasi pilpres. Tapi yang
menjadi perhatian kita bersama saat ini justru hingar bingar tersebut
disebabnya maraknya kampanye hitam terhadap pasangan kontestan capres dan
cawapres. Soal kampanye hitam dan seputar kampanye dapat diakses di : http://www.pisomel.blogspot.com/2014/05/kampanye-hitam-dan-kambing-hitam.html
). Apakah mungkin hingar bingar politik di tanah air disebabkan cuma ada 2
pasangan capres cawapres? Ataukah karena di negeri ini tidak terdapat lembaga
khusus menangani masalah kampanye yang bisa tampil proporsional dan profesional
seperti di negeri Paman Sam? Satu hal yang pasti bisa kita banggakan bahwa
maraknya kampanye sekalipun berwujud kampanye hitam telah menyeret rakyat untuk
turut berpartisipasi secara proaktif untuk menentukan masa depan bangsa dan
negara Indonesia ini.
DISINTEGRASI BANGSA ?
Banyak pihak semakin khawatir dengan maraknya kampanye hitam
akan termanipulasi menjadi suatu kebenaran yang salah apabila negara – dalam hal
ini aparat berwenang seperti Bawaslu dan Kepolisian Republik Indonesia tidak
secara profesional dan proporsional menangani permasalahan yang ada seperti
distribusi tabloid bernama Obor Rakyat. Bagaimana mungkin bahan cetakan picisan
yang tidak memakai bahasa jurnalistik yang profesional dan argumentatif dapat
menyebar di tengah lingkungan santri dan masyarakat luas. Rakyat tentu
bertanya, mungkinkah hal seperti itu menjadi suatu teladan yang diperbolehkan
di negara hukum Indonesia ini? Mestinya di negara hukum kita ini, hal seperti
itu dapat ditangani dengan perangkat hukum yang ada, sehingga tidak terkesan
peserta kontestan yang lain merasa sangat dirugikan dengan manipulasi data yang
tertulis di tabloid itu. Di dalam realitas politik tanah air yang sudah hingar
bingar, hal-hal yang bertentangan dengan produk hukum tentu harus dilawan dan
diproses secara hukum sehingga demokrasi tidak mencelakakan bagi rakyat
Indonesia. Lantas mengapa kita khawatir akan disintegrasi bangsa? Menurut saya
bahan jurnalistik picisan pada tabloid Obor Rakyat tersebut teramat jelas
mendengungkan isu-isu yang berkaitan dengan ras, dan agama, atau dikenal dengan
isu “SARA” (Suku, Agama, Ras) sehingga tidak lagi menjungjung nilai persatuan
Indonesia sebagaimana termaktub pada sila ke 3 Pancasila, dan secara universal
sudah merupakan format propaganda anti-humanitas ( baca juga tulisan saya ini http://www.pisomel.blogspot.com/2014/05/kampanye-dan-propaganda-politik.html
).
Sebelum kita sampai kepada pokok bahasan “disintegrasi”, ada
baiknya kita bahas dahulu tentang konsep dasar bangsa. Bangsa dalam bahasa
Inggrisnya disebut “nation” yang berasal dari bahasa Latin “nasci” yang berarti
“be born”, “yang lahir”, yang kemudian berkembang menjadi “natio” yang memiliki
arti yang sangat dekat dengan bangsa, yakni “ras, spesis” (dalam arti etnik). Dengan
arti demikian Kohn beranggapan bahwa bangsa adalah buah hasil tenaga hidup
manusia dalam sejarah, suatu bangsa merupakan keragaman ras yang berbeda-beda
namun satu sehingga amat mustahil dirumuskan matematis. Pengertian Kohn ini
membawa teorinya tiba pada satu pemikiran bahwa adanya bangsa ditentukan dan
dibangun oleh adanya persamaan-persamaan baik itu karena adanya persamaan bahasa,
persamaan ras, persamaan agama, persamaan budaya, persamaan teritorial, maupun
persamaan nasib dan tujuan hidup. Lebih lanjut menurutnya akibat persamaan
tersebut yang terus tumbuh dan berkembang di dalam satu teritorial menentukan
sejarah mereka sehingga memiliki persamaan nasib, dan tujuan bersama, yang pada
akhirnya mengarah pada pembentukan suatu bangsa tersendiri, yang khas. Misalnya
bangsa di Eropa continental bangkit karena revolusi bahwa bahasa milik
pribadi-pribadi kelompok khas (Anderson, 2001: 126). Contoh lainnya seperti
bangsa Indonesia yang dibentuk atas dasar persamaan nasib, sebagai anak negeri
yang terjajah.
Teori lain dikemukakan oleh Ernest Renan, seorang filosof
Perancis akhir abad ke-19. Teorinya mendapat penerimaan luas dan didasarkan
atas evolusi masyarakat Eropa dalam sejarahnya hingga pertengahan abad ke-19,
masa berkembang luasnya faham nasionalisme di Eropa. Evolusi yang dimaksud
ialah timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di benua itu sejak zaman pra-Sejarah
hingga zaman modern. Unsur-unsur yang membentuk suatu bangsa atau negara bangsa
ialah: (1) Jiwa atau asas kerohanian yang sama, berupa pandangan hidup dan
system nilai; (2) Memiliki solidaritas
besar, misalnya disebabkan persamaan nasib dalam sejarah; (3) Munculnya suatu
bangsa merupakan hasil Dario sejarah; (4) Karena merupakan hasil suatu sejarag
apa yang disebut bangsa itu sebenarnya tidaklah abadi atau kekal; (5) Wilayah
dan ras bukanlah suatu peyebab timbulnya bangsa. Wilayah hanya memberi ruang
untuk menjalankan kehidupan, sedangkan jiwa bangsa dibentuk oleh pemikiran,
system kepercayaan, kebudayaan dan agama. Karena itu ia menyebut bangsa sebagai
‘suatu asas kerohanian yang sama’. Renan juga mengemukakan beberapa faktor
penting terbentuknya jiwa atau semangat suatu bangsa: (1) Kejayaan dan
kemuliaan di masa lampau; (2) Suatu keinginan hidup bersama baik pada masa
sekarang maupun pada masa yang akan datang; (3) Penderitaan bersama atau rasa
senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan solidaritas besar untuk bangkit;
(4) Penderitaan besar yang dialami bersama dalam sejarah melahirkan pula apa
yang disebut ‘Le capital social’ (modal sosial) . Ini berguna bagi pembentukan
dan pembinaan faham kebangsaan. Tetapi
apa yang terjadi di masa lalu tidaklah sepenting apa yang diharapkan di masa
depan; (5) Karena yang penting ialah apa yang dihasratkan di masa depan maka
terbentuknya suatu bangsa yang kuat memerlukan “persetujuan bersama pada waktu
sekarang”, beru[a musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama; (6) Adanya
keinginan untuk hidup bersama; (7) Jika demikian halnya, maka harus bersedia
pula untuk memberikan pengorbanan. Kesediaan berkorban ini penting dikembangkan
agar semangat kebangsaan tetap kuat; (8) Pemilihan umum merupakan syarat mutlak
yang menentukan kehidupan suatu bangsa. Apa yang dikemukakan Renan ini terkait
dengan tuntutan akan demokrasi dan keadilain.
Kembali kepada hingar bingar realitas politik tanah air. Apabila
permasalahan di dalam kampanye hitam mengarah pada konflik yang bersifat SARA
maka ada kemungkinan besar rentan terjadinya proses disintegrasi. Karena
disintegrasi adalah suatu keadaan di mana orang-orang di dalam masyarakat tidak
dapat lagi menjalin kerukunan dan kebersamaan, melainkan saling bertikai dan
saling menghancurkan sehingga terjadi perpecahan dalam kehidupan sosial. Ada pun
ciri-ciri terjadinya disintegrasi di suatu masyarakat antara lain:1. Ketidaksamaan
tujuan antara anggota suatu kelompok sehingga tidak ada keterpaduan, 2. Sebagian
besar anggota kelompok tidak mematuhi norma-norma yang berlaku, 3. Menurunnya
wibawa tokoh-tokoh pemimpin kelompok, 3. Kurang berfungsinya sanksi hukum
sebagaimana mestinya. Dengan demikian rasa khawatir banyak pihak sangat
beralasan apabila tidak adanya solusi preventif dan proaktif terhadap hal-hal
yang sudah jelas merupakan format pelanggaran hukum, dan merugikan pihak lain,
sehingga keadilan sebagai ujung tombak tidak bisa dirasakan oleh rakyat
Indonesia. Namun bila segera tanggap dan hukum pun ditegakkan maka rasa percaya
rakyat terhadap hukum akan semakin tinggi, dan rasa khawatir akan ancaman
disintegrasi pun dapat hilang dengan sendirinya. Selain itu rakyat pun pada
proses demokratisasi melalui Pilpres ini haruslah sadar bahwa inti demokrasi
adalah boleh berbeda pendapat atau pun berbeda pilihan, namun tetap tidak
berbeda dalam bertanah air Indonesia. Kita harus mampu dewasa dalam berpolitik
dengan tetap menjaga kerukunan, bukan dengan menebar “teror politik” yang
seolah-olah menakut-nakuti rakyat dengan terus menerus secara sistematis
membeda-bedakan rakyat Indonesia secara SARA.