SETAN GLOBALISASI ATAU GOMBALISASI
Melvin M. Simanjuntak
Pengantar
Banyak media elektronik menayangkan
ritual, mitos, dan ekspresi “keseraman” tentang profil “dunia lain”, suatu
dunia pasca-kematian atau “dunia para arwah”. “Dunia lain” itu seolah-olah
memberi kesan kuat “ada dunia lain” selain “surga” atau “nirvana” sebagaimana
diajarkan para pemuka agama.
Tayangan-tayangan seperti “dunia lain”, “gentayangan”, “percaya nggak percaya”,
“pesugihan”, “pemburu hantu”, dan ekspedisi ke alam gaib” merupakan fenomena
sosial sekarang, sebagai lingkup kekuatan imajinasi. Imajinasi antara “real” (nyata) dan “unreal” (maya) komersial tersebut ternyata dapat dilihat dari sisi
berbeda. Pandangan sisi berbeda dan secara analogis inilah maksud tulisan
berikut.
Pandangan berbeda mencuat ketika
hakekat kejahatan atau keburukan manusia telah melampaui ambang batas real,
meninggalkan realitas kehidupan serta meninggalkan logika dan norma umum maka ada “ruang emosional tak terkendali”, yang
sementara kita anggap saja sebagai “bayang-bayang”, mirip seperti sketsa
nasionalisme yang dilukiskan Benedict
Anderson dalam karyanya Imagined
Communities. Menurut Ben Anderson, nation
atau nationality dipahami sebagai
sebuah bangunan budaya jenis khusus (cultural
artifacts of a particular kind). Bangunan budaya demikian dimaksud sebagai
komunitas politis dan dibayangkan sebagai suatu sifat terbatas secara inheren
sekaligus berkedaulatan. Bangsa sebagai komunitas tidak akan peduli terhadap
ketidakadilan yang ada dan eksploitasi yang melekat dalam setiap bangsa, karena
bangsa selalu dipahami sebagai kesetiakawanan secara mendatar, horisontal (horizontal comradship).
Di sini nation terkait dengan kekuasaan (sovereignty), kolektivitas politik nyata dengan wilayah (beserta
batas-batasnya) yang nyata, sedangkan nasionalisme dipahami sebagai “sebuah
impian” (imagined) untuk menuju
kolektivitas politik. Namun menurut Anderson
kolektivitas politik belum terwujud atau belum real dan wilayah politiknya juga demikian. Anderson memaparkan
adanya 3 dimensi dari “impian” (imagined)
yakni “impian seperti berkuasa” (imagined
as sovereign), “impian terbatas” (imagined
as limited),dan “impian sebagai suatu komunitas, kebersamaan” (imagined as a community).
Itulah maksud simbolisasi
“bayang-bayang” atau saya sebut “ruang emosional tak terkendali”, sebagai
pemaknaan citra dari ungkapan “di sini
ada setan”. Pencitraan adalah hakiki penting sebagai ekspresi personifikasi realitas
kehidupan, untuk meraih penokohan atau target utama dalam kenyataan hidup. Bila
hal ini dimaknai dengan konstelasi efek globalisasi maka gambaran sama atau
setidaknya “menyerupai” menjadi lebih jelas dan mudah dipahami. Karena itu
dianggap saja formulasi “di sini ada setan” sebagai medium spiritulisasi
terhadap adanya irisan “nyata” dus “maya” antara kejahatan dan kebaikan,
realitas dan imajinasi. Jean Paul Sartre dalam karyanya Psikologi Imajinasi mengekspresikan imajinasi sebagai wajah
refleksi dari “dunia mimpi” dimana “dunia mimpi” mempengaruhi alam sadar hakekat manusia ke dalam bertindak
sebagaimana disitir Sigmund Freud. Bila mediasi dari medium spiritualitas
tersebut ditarik ke dalam hakekat manusia sesungguhnya maka nomasi hakekat
manusia mencapai taraf “beyond human being”, menjadi citra manusia
sesungguhnya, sebagai problema utama dari kancah neomodernisasi.
Dengan demikian tulisan ini akan
menyajikan ekspresi “sementara” tentang
hakekat manusia karena gambaran
“sesungguhnya” sudah tidak memungkinkan karena terdapat juga “ruang
emosional tak terkendali” antara “dosa”,
dan “ketidakberdosaan”. Berangkat dari situ baru terlihat ekspresi kenyataan
efek dari globalisasi dan mencoba
merekam solusi yang diberikan beberapa pihak.
“Beyond
Human Being” Adalah Pergumulan Modern
Pertanyaan mendasar dan sangat klise namun sulit terjawab adalah “apakah
hakekat manusia sekarang sesungguhnya
suci atau berdosa?”. Pandangan Kristen menyatakan adanya dosa warisan dari
genetika Adam dan Hawa, namun tidak mengaitkan bahwa mungkin saja penebusan Kristus telah melenyapkan
dimensi keberdosaan itu. Ini mudah dipahami apalagi dalam doktrin Lutheran
dikenal adanya justificatio Dei,
sebagai medium hak prerogatif untuk
menghilangkan noda hitam dalam hakekat manusia setelah pengakuan percaya (credo).
Dalam banyak duna silat ilmu pengetahuan termasuk teologi didalamnya,
disebutkan tentang definisi hakekat manusia.
Ada yang bilang bahwa hakekat manusia itu adalah supreme
player atau homo ludens (teori
Johan Huizinga), ada juga homo laborans (teori Karl Marx), ada juga homo economicus (teori Adam Smith), ada juga homo societus (teori
August Comte), walau ada
sebutan-sebutan lain seperti homo faber,
homo theologicus,dan homo esperans. Yang penting di sini
memahami makna homo ludens dan homo laborans agar paham sebenarnya efek
dari homo economicus. Defini-definisi
hakekat manusia demikian juga merupakan upaya pencitraan.
Dalam pemikiran Timur seperti Cina
dan Batak misalnya dipahami bahwa tarian (tortor)
dan musik (gondang) sebagai wajah
permainan yang sebenarnya punya tujuan untuk “memelihara keseimbangan alam (ekosistem)” atau “menaklukkan alam (eksploitasi)”, sebagaimana terlihat pada
gerakan-gerakan dan suara-suara yang bergema yang sangat bernuansa horisontal
dan vertikal. Dengan sketsa tersebut setidaknya dapat suatu ekspresi penting
bahwa permainan terjadi spontanitas, “seolah-olah berada di dunia lain” antara
nyata dan maya, memasuki batas waktu dan ruang, dan membuat suatu social order (keteraturan umum). Misal
saat kita menonton film di bioskop/teater atau teve, saat menonton kompetisi
olahraga sepak bola, atau saat bermain pinball
lewat komputer.
Homeros, filsuf Yunani menyatakan bahwa perlombaan kuno dalam masyarakat
Olympus (asal kompetisi olahraga dunia, Olimpiade) sangat menentukan kehidupan
sebagai supremasi “keunggulan” atau setidaknya dapat dikatakan “menjadi hakekat
manusia sesungguhnya”. Dalam antropologi ditemukan adanya potlatch, suatu adat istiadat suku Kwakiutl di Kolombia. Potlatch adalah pesta akbar masyarakat itu dengan titik tolok utama
memberi hadiah-hadiah, dan hadiah-hadiah itu menyatakan keunggulannya. Dalam
epos Mahabharata yang terbawa juga ke Indonesia juga terdapat suatu cerrita
tentang keberadaan potlatch raksasa.
Singkatnya dapat dipahami bahwa dinamika kebudayaan berangkat dari
struktur pencitraan suatu permainan dan permainan sangat menentukan orientasi
tindakan ke depan berdasarkan yang dimainkan sekarang. Bila permainan menjadi
hakekat manusia lalu digabung dengan konsep manusia bekerja, maka hampir sama
maknanya. Hasilnya menurut Marx adalah free conscious activity, sebagai
kebebasan hakekat manusia terletak dalam tindakan. Menurut Karl Marx dalam karyanya Capital: A Critique of Political Economy (New York, hal. 20-21)
hakekat citra tersebut adalah totalitas hakekat hubungan hasil kerja (totality of these relations of production) mempengaruhi struktur
ekonomik masyarakat sebagai dasar nyata yang dibangun melalui suprastruktur
masyarakat secara legal dan politis sehingga membentuk kesadaran massal. Kenyataan
hasil kerja (mode of production)
secara umum membangun proses-proses sosial, politik, dan intelektualitas, yang
keberadaannya ditentukan oleh kesadaran tersebut.
Bagi Marx, lingkup kerja adalah proses partisipasi keterhubungan antara
citra manusia dan citra alam dimana terletak pada permainan yang mencakup
aturan-aturan main (the rules of the
games) dan pengelolaan keterhubungan itu. Hal itu menentukan kelas-kelas
masyarakat. Konsep totalitas demikian terdapat juga dalam masyarakat Batak
Toba, sebagaimana dikaji Phillip Tobing dalam The Structure of The Toba-Batak Belief In The High God yang
menyebut totalitas keterbungan alam (banua
ginjang, banua tonga, dan banua toru)
direfleksikan ke dalam komunitas mikrokosmik antara hulahula, dongantubu, dan boru.
Tobing menyatakan itu dengan bahasa, “The
Toba-Batak conceive the whole cosmic
space as the totality of under-, middle-, and upperworld. In this totality each
of these three worlds has a function, through which the harmony and the existence of the universe is possible”
(hal.28-29).
Doktrin totalitas mirip atau senada dengan doktrin keistimewaan manusia.
Karena itu bekerja harus dipandang sebagai profesi kodrat manusia untuk
termotivasi “menjadi sungguh-sungguh manusia” seperti saat Adam dan Hawa diciptakan
dan juga saat Allah berinisiasi dan memberi janji kepada Abram. Kerusakan citra
oleh setan mengurangi keistimewaan namun sekaligus membuka ruang
ketergantungan. Citra manusia demikian relevan dengan citra homo esperans, manusia yang berharap. Ketergantungan
citra demikian dijawab Lutheran bahwa
keputusan yang diambil manusia hanya berserah sepenuhnya kepada Allah untuk
menghindari resiko dari keputusan berdasar pengetahuan dan tanggung jawab.
Hubungan korelasi antara permainan dan
manusia juga terdapat dalam pemikiran pemikir fisika jenius, Albert
Einstein. Einstein menyatakan dice thrown
out of the cup, hakekat manusia tidak hanya pada taraf mengetahui kebutuhan
hidup namun juga memahami hal-hal terkait dengan kehidupannya sendiri, termasuk
dimensi panggilan hidup. Permainan hakekat manusia terletak pada tahu kebutuhan
dan strategi pemenuhan hal itu, sebagai wujud panggilan personal yang menuntut
pengetahuan dan keahlian. Dalam situasi arena permainan itu hakekat manusia
dihadapkan pada pilihan dilematis, yakni menangani sendiri secara mandiri atau
kerja sama dengan orang lain yang memiliki kepentingan atau tujuan yang sama.
Misal mengangkat teve 14 inci tentu bisa dilakukan oleh satu orang, tetapi
mendorong mobil mogok dibutuhkan orang lain.
Perkembangan hakekat manusia dewasa ini berhadapan antara 2 kutub utama,
yakni individualisme dan kolektivisme (komunalisme). Kedua hal tersebut
dilematis dimana pada masyarakat kota
terkesan kuat untuk lebih individualistik sedangkan masyarakat desa lebih komunalistik.
Bronislaw Malinowski menyatakan bahwa masyarakat desa atau tradisional terdapat
mekanisme prinsip timbal balik (priciple
of reciprocity), Emile Durkheim menyebutnya solidaritas, dan Erich Fromm
menyebutnya kolektivisme. Kepedulian sesama dan kerja sama kelompok masyarakat
banyak dikenal masyarakat Timur. Masyarakat Barat setelah pencerahan dan
hegemoni rasionalitas serta pengaruh humanisme telah menempati kepentingan
pribadi sebagai hak asasi sehingga tradisi-tradisi kolektif mulai diabaikan. Misal
pola kerja marsiadapari di berbagai
desa di daerah Batak Toba merupakan perwujudan budaya resiprositas dan
solidaritas. Budaya ini di masyarakat kota seperti Porsea, Dolok Sanggul,
bahkan Onan Ganjang telah dipengaruhi kekuatan kapitalisme sehingga nilai-nilai
kekerabatan mulai dinomorduakan sehingga benar hipotesis Anthony Giddens dalam The Third Way bahwa individualisme baru
diasosiasikan dengan mundurnya tradisi dan adat kebiasaan dari kehidupan kita,
sebuah fenomena yang bertautan dengan dampak globalisasi.
Kritik Marx terhadap individualisme menyatakan bahwa “kebebasan individu
untuk berkembang adalah situasi bebas bagi semua warga untuk berkembang” telah
menimbulkan rasa solidaritas yang membentuk komunalisme. Kemunculan sosialisme
di Barat sebagai refleksi dari Timur justru muncul dari ketidakpercayaan
kekuatan individualisme. Pada akhirnya konstelasi demikian membawa warga dan negara kepada pilihan welfare society atau welfare state, tujuan rakyat yang
sejahtera atau negara makmur. Pilihan-pilihan demikian tidak mudah dan sangat
dipengaruhi dunia hakekat manusia itu sendiri. Bila di desa maka dunia tradisi
menjadi penting, sedang di kota
lebih dikuasai rasionalitas sebagai pilar modernisasi.
Setan Dunia: Globalisasi dan Tradisionalisasi
Tidak mungkin bicara globalisasi
tanpa identifikasi terhadap situasi dunia sekarang karena penting dicatat
identifikasi dunia sekarang sebagaimana dikemukakan oleh Vaclav Havel. Havel menyatakan bahwa, ”dunia – juga kehidupan – adalah
suatu sistem keseluruhan yang dapat diketahui, diperintah oleh beberapa aturan
universal yang ditangkap oleh manusia dan secara rasional terarah untuk
mendapat keuntungannya sendiri. Dia menimbulkan kepercayaan yang membanggakan
bahwa manusia adalah mampu secara obyektif menggambarkan, menjelaskan, dan
mengontrol segala sesuatu yang ada dan mampu memiliki satu-satunya kebenaran
mengenai dunia ini. Ini adalah era ideologi, doktrin, interpretasi kenyataan,
suatu era bertujuan untuk mendapat sebuah teori universal mengenai dunia.
Kegagalan komunisme dapat dianggap sebagai tanda pemikiran modern – yang
berdasarkan premis bahwa dunia secara obyektif bisa diketahui dan pengetahuan
yang didapat dipukul rata secara mutlak hingga krisis yang akut. Era ini
menciptakan peradaban teknologi global yang pertama, dan telah melebihi
kedalaman jurang paling dalam“.
Rasionalitas hakekat manusia telah
menimbulkan kepercayaan diri yang tinggi sehingga rasionalitas menjadi kebenaran dalam dunia berperadaban
teknologi global sehingga superioritas menjadi suatu krisis saat alam berada
dalam ancaman. Kehabisan sumber daya alam akibat semangat eksplorasi dan
eksploitasi pencarian keuntungan pribadi telah memunculkan semangat
neo-kolonialisme baru yang kolaborasi dengan industrialisasi dan kapitalisme.
Sistem economic capital merambah ke
semua aspek kehidupan dengan menciptakan slogan-slogan time is money tentu dengan rasionalitas menyingkirkan nilai-nilai
tradisional.
Konsep demikian dikerjakan Robert McNamara melalui proyek pembangunan World Bank, yang menganggap nilai-nilai
tradisional sebagai penghambat pembangunan. McNamara menyatakan bahwa
“...persoalannya bukan lagi apakah pertumbuhan ekonomi harus berlanjut atau
tidak. Sebab pertumbuhan ekonomi sudah tidak bisa dielakkan di dunia ini. Atau
persoalannya juga bukan apakah dampak program pertumbuhan ekonomi terhadap
lingkungan harus ditangani atau tidak. Karena persoalan ini juga sudah menjadi
keharusan maka sebenarnya menjadi persoalan apakah kedua pertimbangan tersebut
bisa mempunyai titik temu”. Selama 13 tahun kepemimpinan McNamara (1968-19811),
World Bank menaikkan nilai pinjaman
sampai 6 kali lipat, menambah staf dari 1.574 menjadi 5.201, membentuk “divisi
lingkungan”, dan membawa misi moral ke dalam lembaga tersebut.
Dalam teori memang luar biasa McNamara namun dalam prakteknya World Bank justru terseret ke dalam
perilaku buruk, yakni cenderung memperbesar kekuatan lembaga dengan
mengabaikankompleksitas alam dan sistem sosial budaya negara-negara berkembang
yang meminjan. Kelipatan pinjaman sedemikian besar akan menciptakan sudut
ketergantungan negara peminjam. World
Bank malah mengajarkan pada generasi
bahwa kontrol dan dominasi adalah bagian dari setiap perencanaan pembangunan yang mengubah umat
manusia dan alam dalam skala global, yang dikenal sebagai sudut pandang Faustian Paradox.
Berbeda
dengan World Bank, rekannya International Monetary Fund (IMF) secara
progresif mendorong negara-negara berkembang untuk bertindak sesuai tindakan
dalam paket Structural Adjustment
Programs, yang di Indonesia menimpa dunia perbankan untuk melakukan
restrukturalisasi atau rekapitulasi tanpa menghilangkan pinjamannya. Tindakan
dalam paket tersebut mengharuskan negara-negara yang dibinanya untuk
menghilangkan subsidi terhadap bahan-bahan
kebutuhan pokok dan privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Kebijakan itulah
menimpa negara Indonesia
pada masa reformasi.
Kecenderungan
produk kebijakan World Bank dan IMF
lebih “mengamankan” kebijakan negara-negara tampak di atas. Negara superpower Amerika Serikat (AS) sendiri
malah melakukan tindakan sebaliknya dari IMF dan World Bank dengan melakukan proteksi terhadap semua produk
pertanian. AS bahkan melakukan subsidi sektor pertanian sebesar US$ 180 milliar
dalam 10 tahun. Itu berarti pertahun subsidi mengalir sebesar US$ 18 milliar
atau setara Rp. 176 triliun, nilai setara dengan jumlah APBN negara Indonesia.
Program proteksi tersebut di AS dikeenal sebagai Agriculture Risk Protection Act. Pengertian lain bahwa petani AS
atau AS sendiri belum siap menghadapi globalisasi atau mungkin mengantisipasi
efek-efek globalisasi. Bila AS
dapat mengambil tindakan demikian, mengapa Indonesia tidak bisa? Jangan lupa
bukan hanya AS yang bersikap demikian, namun juga negara-negara Uni Eropa, dan
Jepang. Itulah mengapa banyak pihak, terutama Kwik Kian Gie lebih menginginkan Indonesia keluar dari paket program
IMF agar tindakan penyelamatan terhadap sistem sosial budaya dan kekayaan alam
tidak menjadi makin parah. Karena itu butuh exit
strategy untuk menutupi defisit anggaran dari pinjaman dengan strategi
pertumbuhan berbasis kerakyatan.
Dalam
pandangan yang berkembang, globalisasi dianggap sebagai pola permainan yang
sudah didesain sedemikian rupa oleh para pemain negara-negara maju sehingga
hasilnya tetap saja mereka makin maju dan jurang kesenjangan makin dalam bahkan mulai tidak terkendali
karena pelbagai penolakkan. WTO telah
merencanakan liberalisasi perdagangan yang adil (fair) dari hasil pertemuan September 2003 di Cancun. Pertemuan
Cancun membuka fron atau blok perdagangan baru dimana negara-negara maju
(direpresentasikan lewat G-8) tetap bertahan melakukan kebijakan subsidi sedang
negara-negara berkembang ingin negara-negara maju mencabut subsidi supaya
kompetisi perdagangan berjalan sportif dan fair.
Itu berarti semua produk pertanian dari
kelompok G 90 akan lebih mahal daripada produk pertanian lokal sehingga
tidak mungkin banting harga atau bertarung secara sehat. Negosiasi antara WTO,
AS, dan G-90 terus berlangsung walau kedua blok tetap bertahan pada pendirian
masing-masing sehingga akan lebih menyulitkan pertemuan WTO pada tanggal 31
Juli 2004 di markas WTO di Geneva, Swiss.
Model
pembangunan rancangan World Bank dan IMF telah menimbulkan skeptisme dan jurang
makin dalam, karena terdapat pihak-pihak yang dirugikan bahkan sengaja
disingkirkan dalam proses tersebut, sebagaimana terbaca di atas. Walau
globalisasi dirasakan tidak terelakkan lagi namun ada beberapa sikap bijak
untuk mengantipasi dampaknya. Anthony Giddens dalam Runaway World menyatakan bahwa globalisasi menimbulkan aneka resiko
dan ketidakpastian dalam perekonomian elektronik global (global electronic economy). Resiko yang dimaksud adalah resiko
eksternal yang datang dari luar, secara
alami atau berdasar tradisi, dan resiko “buatan” (manufactured risk) dari efek perkembangan ilmu pengetahuan manusia terhadap dunia.
Resiko eksternal bisa dipahami karena tidak ada obat mujarab mengatasi bencana
alam atau kecelakaan, namun resiko buatan perlu disikapi. Besarnya resiko
buatan telah menempatkan dunia saat ini berada tidak terkendali (runaway world).
Karya Giddens
lain, Living In A Post-Traditional
Society, justru menganjurkan pemberdayaan nilai-nilai tradisional sejalan
dengan nilai keluarga, nilai ekologis dan nilai demokrasi yang diambilnya dari
pandangan timur. Tradisionalisasi yang disebutnya sebagai masyarakat postradisional, bisa dipandang sebagai
tesis utamanya dalam solusi Jalan Ketiga, dalam karya Giddens lainnya The Third Way yang memaparkan 7 nilai
Jalan Ketiga, yakni persamaan, perlindungan terhadap kaum lemah, kebebasan
sebagai otonomi, tak ada hak tanpa tanggung jawab, tak ada otoritas tanpa
demokrasi, pluralisme kosmopolitan, dan terakhir konservatisme filosofis. Kehancuran komunitas
lokal seperti terjadi pada bius,
tidak serta merta merupakan kehancuran praktek kehidupan lokal. Praktek
kehidupan lokal itu menumbuhkan kembali tradisi dengan pemaknaan baru
eksistensi adat istiadat lokal (local customs), yang bisa berujung pada
kemunculan relik atau habit
(kebiasaan). Kebiasaan lokal itu kemudian berkembang menjadi museum kehidupan (the living museum) sebagai refleksi
keadaban manusia. Dengan demikian The
Third Way Giddens mengkolaborasi modernitas dan tradisional, sebagai jalan
menekan kekuatan resiko efek globalisasi.
Berbeda
solusi namun senada, Walden Bello dalam karya De-globalisasi justru mengajukan restrukturalisasi lembaga-lembaga
World Bank dan IMF yang sangat didominasi negara-negara maju dengan jalan deglobalisasi. Deglobalisasi adalah
dekonstruksi terhadap konstelasi saat ini dengan prinsip keseimbangan dan
keadilan bagi negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Bello lebih
melihat perubahan terbaik dilakukan dari
dalam, bukan dengan membentuk tandingan atau melawannya, sebagaimana dilakukan
kelompok Anti-Globalisasi dan Anti-Kapitalisme seperti Sustainable and Self Reliant Communities Movement dan Reclaim thee Sreets.
Konstelasi
dunia demikian membuat globalisasi saat ini tidak terelakkan, namun masih bisa
dicarikan solusi terhadap efek-efeknya seperti solusi-solusi dari Giddens dan Bello di atas, yakni
antara pilihan sikap pemberdayaan tradisionalisasi atau deglobalisasi. Kedua
pilihan itu logis dan perlu kajian mendalam untuk aplikasi ke dalam sistem
sosial budaya masyarakat Batak Toba agar rekonstruksi berjalan baik dan lancar.
Masyarakat Batak Toba dapat menggunakan 3 pilar utama untuk pembangunan, yakni
penguatan kembali sistem bius,
pengembangan konsep marsiadapari, dan penafsiran teks-teks sidapot solup do na ro dengan basis kuat onan (pasar tradisional) sebagai wujud permainan manusia. Kekuatan
itu perlu mendapat perhatian semua pihak, karena itu merupakan pengetahuan
lokal (local knowledge) sebagaimana
dikatakan Clifford Geertz, berupa kajian-kajian strategis lanjutan tentang
model pembangunan yang berpihak pada semua rakyat. Lantas dimana peranan dan
pengaruh gereja? Gereja-gereja dapat mengambil partisipasi dalam pengayaan
kekuatan bius agar kontrol dan keseimbangan pembangunan dapat dimediasikan.
Jakarta, 19 Juli 2004
Ditulis oleh,
Melvin M.Simanjuntak