SUARA NABI POLITIK EKOLOGI1
Melvin M. Simanjuntak
1.
Amanat Ekologis Tuhan
Ketika saya
menerima surat untuk memberikan frestchrift dari Pdt. Manarias Sinaga,
MTh berjudul “Kepemimpinan dan Masyarakat” terbetik di dalam pikiran saya untuk
mencoba memberikan alternatif pemikiran sinkron dengan yang diberikan namun
bisa bermakna eksoterik. Saya menawarkan judul pemikiran ini untuk mengundang
perhatian saksama kalangan pendeta dan warga jemaat gereja yang mewarisi suara
kenabian dengan lantang membawa pesan politik di kancah kemasyarakatan di
tingkat lokal, nasional, dan global sebab gereja berada di antaranya. Perhatian
saksama kita tentu adalah melaksanakan amanat Tuhan yang tertulis di dalam
Kitab Kejadian 2:15 sebagai eksistensi manusia paling hakiki. Di dalam Kejadian
2:15 disabdakan,”TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam
taman Eden
untuk mengusahakan dan memelihara taman itu”. Firman TUHAN itu mengandung
beberapa bangunan teologi yang sangat mendasar. Pertama Tuhan telah
memberikan posisi adiluhung kepada manusia sebagai pekerja (employee)
dan pemelihara (providensitor). Bekerja dan memelihara menjadi kodrat
kedirian, identitas dasar manusia. Bagian ini titik keseimbangan di dalam
diri manusia dan mengandung perspektif teologis ekologis. Manusia bekerja di
dalam Taman Eden harus juga peduli terhadap apa pun yang terdapat dan terjadi
di dalam taman tersebut. Sikap desruptif akhirnya diambil manusia akibat
egosentrisnya sehingga menciptakan ketidakseimbangan ekosistem yang diberikan
Tuhan untuk dipelihara manusia. Sikap ini merupakan resiko ciptaan manusia
belaka, bukan efek dari keberdosaan manusia.2 Beban moral ini sangat
berat untuk dipikul umat manusia untuk kembali mengutuhkan ciptaan Tuhan.
Kedua
adalah hak prerogatif Tuhan untuk mengambil dan menempatkan kodrat hakiki
manusia untuk mendiami dunia ini, entah di Afrika, Eropa, Amerika, Australia,
maupun Asia namun semua insan fertilitas tersebut harus memiliki rasa tanggung
jawab untuk menyamankan dunia ini, bukan untuk membuatnya menjadi sarang
“perebutan” dan konflik sehingga menjauh dari perdamaian yang diidam-idamkan
umat manusia. ”And the world has be live as one” yang didendangkan The
Beatles di lagu “Imagine” sebenarnya refleksi dari doa Tuhan Yesus di
Yohanes 17 di mana perdamaian hanya kasat mata nikmat terdengar di atas sehelai
kertas. Kecemasan eksplisit ditunjukkan Ben Anderson dengan menguak relung hati
setiap insan untuk memperbincangkan tentang multikulturalisme, yang di dalamnya
bisa dieksploitasi demi kepentingan trans-kultur untuk tujuan dominasi terhadap
koloni-koloni dunia.3
2. Suara
Kenabian Ekologi
Ketika Tuhan
Allah menciptakan langit dan bumi ternyata ada sesuatu aral sehingga ada
ketidakseimbangan. Terkesan belum sempurna, kesengajaan Tuhan, atau memang ada
kendala ketika permulaan penciptaan dilakukan Tuhan. Situasi chaos ini
berada di dalam cakupan kairos Tuhan, bukan dalam kronos
kalkulasi manusia manusia saat ini, namun amat menarik bahwa Tuhan rupanya
menciptakan bumi berdasar sketsa dan rupa-Nya sendiri. Rupanya tidak menarik
menurut Tuhan gambaran dari ciptaanNya bernama bumi sehingga membuatNya untuk
membentuk kembali. Mungkin ada ketidakseimbangan dan ketidakteraturan yang
terjadi sehingga dari observasi Roh Allah yang menginspeksi hasil ciptaan tersebut
sangat jauh dari cakupan ekologis. “Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap
gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan
air” (Kej.1:2). Dalam Holy Bible terjemahan NIV dinyatakan,”Now
the earth was formless and empty, darkness was over the surface of the deep,
and the Spirit of God was hovering over the waters” (Gen.1,2). Banyak
pandangan arkeologi justru melakukan kalkulasi kronologis dari penciptaan
padahal Tuhan Allah sama sekali tidak mengukur dari percaturan waktu sehingga
muncul temuan-temuan fosil berumur jutaan dan miliaran tahun. Lalu di dalam
proses penciptaan tersebut Tuhan memperlengkapi dan menata kembali sistem
astrologis dimaksud agar bisa bergerak secara mekanis, organis, dan teratur
seperti pante rei di alur-alur sungai. Thomas Hobbes berpendapat senada
malahan menyebut proses penciptaan tersebut sebagai “prosthetic Gods”.4
Menurut Hobbes penjelasan menarik tentang penciptaan justru diterangkan dengan
elegan oleh Nabi Yesaya, ”Betapa kamu memutarbalikkan segala sesuatu! Apakah
tanah liat dapat dianggap sama seperti tukang periuk, sehingga apa yang dibuat
dapat berkata tentang yang membuatnya: “Bukan dia yang membuat aku”; dan apa
yang dibentuk berkata tentang yang membentuknya: Ia tidak tahu apa-apa”? (Yes.29:16).
Proses konfigurasi dan formulasi penciptaan dunia secara universal telah
“ditukangi” Tuhan dengan baik dan apik, sebagaimana drasakan keteraturannya
termasuk suplemen yang diperlukan dan diperhitungkan Tuhan sangat diperlukan
manusia, yakni cahaya atau terang. Bayangkan jika dunia tidak ada cahaya atau
terang, sudah pasti manusia akan disebut binatang gelap.
Sebutan
“tukang” kepada Tuhan oleh nabi Yesaya sangat ramah lingkungan, karena “tukang”
biasa bekerja dengan perlengkapan memadai dan menghitung material yang
diperlukan. Tuhan Yesus pun mendapat gelar sebagai anak “tukang kayu”.
Terminologi Yunani “teknon” memiliki makna filosofi tersendiri.5
Pertama pribadi teknon sudah pasti memiliki ketrampilan khusus
sebagaimana halnya dengan istilah “teknokrat”, sangat berdekatan dengan
pengertian teknologi. Kedua “tukang kayu” sangat mengekspresikan
hubungan erat antara pribadi manusia dan manfaat ketersediaan sumber alam. Nabi
Elia pun memakai simbol kapak dalam mengajari muridnya Elisa untuk memperlihatkan
hubungan ekologis pribadi manusia dengan alamnya.6 Berangkat dari
suasana rumah yang sempit dan sesak sehingga ventilasi udara sangat kurang
menyegarkan mendorong komunitas nabi untuk bekerja sama bagi pengumpulan kayu
dan balok. Namun ketika pengumpulan kayu dilakukan justru terjadi keanehan,
sebagaimana dinyatakan berikut, “Dan terjadilah, ketika seorang sedang
menumbangkan sebatang pohon, jatuhlah mata kapaknya ke dalam air. Lalu
berteriak-teriaklah ia : “Wahai tuanku! Itu barang pinjaman!” (2 Raja-raja
6:5). Keramaian dan kebisingan membuat manusia menjadi lengah dan ceroboh
sehingga kapaknya pun terjatuh di sungai Yordan. Nabi sebagai mandataris Allah,
ebed YHWH, memberi semacam legitimasi atau lisensi bagi penebang kayu
agar hubungan ekologis tidak terganggu hanya karena making profit dan
kelobaan manusia. Suara kenabian demikian sangat perlu untuk mengeliminasi
pengrusakan lingkungan hidup dus membungkam kerakusan manusia.
Di awal tahun
1980-an mengemuka perdebatan hangat suara kenabian ekologis yang sampai
sekarang belum tuntas mengenai penciptaan. Perdebatan terjadi antara kelompok
yang membela habis teori Darwinisme dan teori Alkitabiah. Yang pertama sering
disebut dengan “CREATIONIST”, sedangkan yang kedua “EVOLUTIONARY
SCIENCES”. Para pakar sains yang mengimani Alkiabiah datang dari
organisasi-organisasi bersifat kristiani misalnya dari Bryan
College , Christian
Heritage College ,
Liberty Baptist University .
Persoalan tersebut sampai kepada tingkat pengadilan, sehingga hakim William
R.Overton dalam catatan putusannya menyatakan 4 hal sangat penting dan sangat
prinsipil.7 Pertama
Alkitab ditulis dari Firman Tuhan sehingga kami percaya dapat memberi inspirasi
kehidupan. Dengan demikian secara historis dan ilmiah benar di dalam seluruh
tulisan yang dikandungnya. Kedua segala bentuk dan jenis mahluk termasuk
manusia diciptakan langsung oleh tindakan Tuhan selama minggu penciptaan
sebagaimana dikisahkan di dalam Kitab Kejadian. Perubahan secara biologis yang
timbul sejak penciptaan merupakan penyempurnaan di dalam pengubahan jenis
ciptaan. Ketiga air bah (the great flood) secara umum merupakan
peristiwa historis, perluasan dunia di dalam efek dan tingkatannya. Keempat
kami adalah suatu organisasi umat Kristen yang menerima Yesus Kristus sebagai
Tuhan dan Juruselamat. Menarik sekali putusan Overton dengan berdasar beberapa
karakteristik esensial tentang sains, yakni pertama sains berpedoman
pada hukum alam, kedua sains merupakan penjelasan atau pemaparan dengan
mengacu pada hukum alam, ketiga sains merupakan cobaan berlandaskan
dunia empiris (pengalaman semata), keempat simpulan sains bersifat
tentatif sehingga tidak ada kata akhir, dan kelima sains bisa saja salah
karena berlaku prinsip trial and error (coba dan salah).8 Perdebatan tersebut sangat hangat dibicarakan
di dalam forum mailing list namun rasanya belum menjemaat di dalam
percakapan-percakapan pastoral gereja, padahal penting bagi gereja untuk
memberikan suara kenabian yang berkaitan dengan lingkungan hidup di mana gereja
berdiri megah.
3. Dunia Ekologi dan Ekologi Dunia
Sepanjang
pinggir danau Toba hampir semua penduduk lokal memanfaatkan sumber air itu
untuk tujuan pribadi, misalnya mencuci pakaian, mandi, dan mencari ikan. Namun
kalau diperhatikan saksama sungguh menyesakkan dada. Betapa tidak rasa
kepemilikan sumber alam tersebut tidak seiring dengan upaya pemeliharaan,
sehingga banyak sekali sampah dibuang ke danau tersebut. Substansi sangat dalam
terbetik dari pemanfaatan sumber alam, yakni nikmat sekali memakai daripada
memelihara. Proses natural yang terjadi setiap hari di pinggir danau Toba
adalah kearifan lokal. Banyak deterjen masuk ke dalam danau, dan sisa-sisa
bungkusnya menjadi penghias panorama keindahan danau Toba. Tidak ada
pengelolaan sumber air itu bisa berkelanjutan sehingga mengeliminasi kerusakan
akut terhadap kelangsungan hidup danau Toba. Misal ada ketentuan untuk kontrol
pemanfaatan ikan, ada pengaturan untuk proses sanitasi bagi penduduk lokal, dan
ada upaya hieginisasi di sepanjang danau Toba. Setidaknya sejumlah kabupaten
secara khusus dapat memberikan kontribusi pemeliharaan danau Toba, yakni
Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba, Kabupaten
Simalungun, dan Kabupaten Karo. Kelangkaan jenis ikan ihan Batak, jurung
akibat tiadanya pengelolaan keberlanjutan sehingga pemanfaatan ikan secara
maksimal dan majemen limbah secara baik tanpa keseimbangan ekosistem merupakan
causa prima kelangkaan tersebut. Persoalan limbah perusahaan besar di kabupaten
Toba membuktikan ketimpangan ekosistem dan secara teologis telah menafikan
upaya pemeliharaan sebagaimana diamanatkan Tuhan di atas kepada manusia.
Pembalakan
hutan di Sumatera Utara telah menimbulkan kerusakan hebat di mana-mana, tidak
hanya merusak panorama pandangan mata namun juga mengakibatkan banjir bandang
tidak terbendung dan erosi serta tanah longsor. Efek dasyat tersebut harus
menjadi pengalaman sangat berharga. Mungkin kalau danau itu bisa bicara dia
akan mengatakan,”Ale Tuhan Debata, sesa ma dosanasida, ai dang diboto nasida
na binahennasida i?” Adanya serangkaian aksi damai untuk menolak eksistensi
kaum kapitalis yang bersikap desruptif ternyata kurang disikapi secara arif
bijaksana. Mereka melulu mengatasnamakan pemberdayaan ekonomi rakyat padahal
perekonomian rakyat tetap tidak berdaya. Berbeda halnya dengan peristiwa yang
terjadi di India .
Seorang pakar biodiversitas dan direktur Research Foundation for Science,
Technology, and Ecology, New Delhi di India yang meraih hadiah Nobel di
bidang Lingkungan Hidup bernama Vandana Shiva berhasil menunjukkan kekuatan
rakyat semesta dengan mengerahkan para ibu agar tidak menebang hutan, padahal
perusahaan yang telah ditunjuk pemerintah resmi mengantongi surat HPH (Hak
Penguasaan Hutan).9 Sebab menurut keyakinan orang India bahwa
pepohonan pada hakekatnya juga mahluk hidup sebagai ciptaan Tuhan yang bernyawa
sehingga penebangan hutan sama dengan pembunuhan terhadap mahluk hidup dan itu
pelanggaran berat terhadap hukum agama. Suatu teladan suara kenabian yang patut
dicontoh masyarakat Batak yang mau konflik hanya karena kepentingan ekonomi
segelintir orang.
Kasus
Indorayon yang sarat dengan berbagai vested interests, kepentingan
sesaat yang sesat tidak juga dapat berdamai dengan alam. Walau kasus limbah
Indorayon menelan korban harta benda dan nyawa, namun proses aksi penutupan
rupanya tidak cukup kuat untuk tidak membuat Indorayon beroperasi kembali.
Ternyata Indorayon amat lihai memanfaatkan kerentanan konflik di dalam budaya
Batak, yang bisa dipecah-belah karena kepentingan ekonomi, sosial politik, dan
kultur Batak Toba.10 Kasus
limbah Indorayon berakhir dengan kemenangan kapitalis dengan tetap berjalannya
industrialisasi yang katanya dapat memakmurkan rakyat? Mungkin orang Batak
sudah kehilangan pencitraan tradisi yang diyakini. Harry Parkin sebagaimana
juga dicatat A.A.Sitompul menyebutkan adanya tradisi budaya Batak untuk
ekosistem kehutanan. “Ketika orang Batak dulu mencari dan mengumpulkan kapur
barus, tak dapat tidak mereka memakai bahasa khusus, yaitu hata ni
partondung”.11 Tradisi
lain yang perlu mendapat kontemplatif masyarakat Batak adalah kisah mitos Tunggal
Panaluan. Walau kisah itu sangat mistis namun sebenarnya sangat mengandung
muatan ekologis teologis yang mengekspresikan hubungan harmonis mahluk hidup
antara manusia, hewan, dengan tumbuhan. Hubungan mesra tersebut menjadi sangat
terganggu akibat ketidakramahan manusia dan hewan itu sendiri untuk menjalin
sinergitasnya. Artinya manusia dan hewan sama-sama memiliki karakteristik dan
mentalitas “rakus”, mengenyangkan perutnya tanpa memikirkan keberlanjutan
ekosistemnya. Kasus zat besi yang berbahaya di daerah Sulawesi
disinyalir menimbulkan kerusakan pada anatomi tubuh dan gangguan pada kehidupan
masyarakat akibat limbah pabrik Newmont sempat juga menyita perhatian para
pencinta alam.
Peneliti
biologis Garret Hardin tahun 1968 menguak ketidakberesan regulasi pemanfaatan
kekayaan laut dan atmosfir sehingga manusia menjadi rakus dan suka-sukanya saja
sehingga terjadi tragedi yang dikenal “Tragedy of the Commons”.12
Persoalan merembet menjadi pertentangan
antara hak individual (perseorangan) dan hak kebersamaan (komunitas) sehingga
Hardin menyatakan dengan pasti bahwa tidak ada hak kepemilikan perseorangan
jika menyangkut sumber atau kekayaan alam, melainkan menjadi hak kepemilikan
kolektif atau komunitas. Terminologi “Tragedy of The Commons”
ditemukan Hardin dari pamplet kecil terkenal tahun 1833 yang dipakai peneliti
matematika amatir bernama William Forster Lloyd (1794-1852), yang ternyata
digunakan juga oleh filsuf ternama Whitehead. Menurut Hardin,”In a welfare
state, how shall we deal with the family, the religion, the race, or the class
(or indeed any distinguishable and cohesive group) that adopts over breeding as
a policy to secure its own aggrandizement? To couple the concept of freedom to
breed with the belief that everyone born has an equal right to the commons is
to lock the world into a tragic course of action”.13 Hal serupa
pernah terjadi di Amerika Serikat, tepatnya di negara bagian Texas akibat
kerusakan hidrologik dan erosi tanah kering, sebagaimana diungkapkan Walter
Firey dan Raymond Dasmann.14
Pertanyaan
Hardin sangat sederhana namun mengajak pemikiran pemerhati dan peminat ekologi
tahu aturan main di dalam pemeliharaan lingkungan hidup. Bagaimana mungkin
pengontrolan ketat bisa dilakukan terhadap keluarga, grup ras dan keagamaan,
dan kelas-kelas masyarakat sebagai upaya pemeliharaan sebagai kebijakan yang
nyaman mengingat 2 aspek yang saling berkorelasi. Pertama kebebasan
individu yang sangat dihargai sehingga otomatis menyulitkan kontrol mengingat
perkembangan populasi berada di lahan yang terbatas, ruang terbatas, dan
perkembangan populasi tidak seiring peningkatan sistem kebijakan serta makanan.
Kedua peningkatan populasi sudah pasti akan meningkatkan dampak polusi.
Kepadatan penduduk akan menyulitkan kontrol terhadap implementasi dari
kebijakan sistem. Pertambahan penduduk tentu mengurangi zat Oksigen dan
meningkatkan pembakaran zat karbohidrat. Contoh di wilayah Tangerang terdapat
ribuan pabrik dengan pekerja yang berjumlah ribuan juga. Bagaimana pemerintah
dan pencinta lingkungan hidup dapat mengontrol keteraturan pembuangan limbah
terhadap pabrik-pabrik tersebut? Apakah sistem yang dicanangkan Kementerian
Lingkungan Hidup tentang Amdal dapat terjamin dan siapa yang bisa menjamin, mengingat
sudah berlakunya UU Otonomi Daerah? Kedua hal yang diungkap Hardin sebenarnya
baru 2 masalah besar tentang politik ekologi yang ramai dibicarakan, yang
bermuara menjadi isu Global Warming.15 Ternyata kebijakan
sistem tentang politik ekologi hingga kini masih saja belum bisa disepakat
negara adidaya Amerika Serikat sebab dikuatirkan akan menimbulkan efek besar
terhadap perekonomiannya sehingga Protocol Kyoto masih belum diratifikasi
Konggres Amerika Serikat walau saat ini sudah mulai dikampanyekan kesadaran
lingkungan hidup oleh Al Gore.
Pada
hakekatnya permasalahan lingkungan hidup yang mengancam kehidupan orang percaya
dapat dianggap sebagai pergumulan serius bagi gereja sehingga kemegahan gereja
yang berdiri semakin kokoh dan mengakar dalam masyarakat. Di dalam Konfesi HKBP
tahun 1996 memasukkan suatu klausul yang menghubungkan dimensi kebudayaan dan
lingkungan hidup, tidak terpisah karena dianggap sudah terintegrasi sebagai
produksi tangan-tangan manusia. Dalam Konfesi HKBP 1996 pasal 5 terdapat 2 pokok
pemikiran teologis yang sangat hakiki. Pertama “Allah menciptakan
manusia dengan tempat tinggalnya dan tempatnya bekerja di dunia ini”
(Kej.2:5-15) sebagai asal muasal sumber kehidupan. Kedua “karya Yesus
Kristus adalah membebaskan manusia, segala ciptaan dan juga dunia ini
(Kol.1:15-20; Roma 8:19-33).16 Kedua prinsip ekologis dalam kredo gereja HKBP
sangat berharap terjadinya tingkat kesadaran tertinggi terhadap lingkungan
hidupnya sehingga mampu bertanggung jawab.
1 Tulisan ini
merupakan refleksi teologis terhadap perkembangan pandangan-pandangan ekologis
dan salah satu buah karya dari sejumlah tulisan yang sedang digarap dengan
judul buku “Ratapan Pusuk Buhit” dengan kajian lebih komprehensif.
2 Anthony Giddens
menyebut sebagai “manufactured risks”, buah resiko perbuatan
manusia itu sendiri.
3 Benedict Anderson,”Imagined
Communities: Komunitas-komunitas Terbayang”, Yogyakarta
: Insist dan Pustaka Pelajar, 2002
4 Lihat David
Macauley,” Minding Nature:The Philosophers of Ecology ”,New York :Guilford Press,1996,
halaman 25
5 Teolog modern
Marcus Borg dalam tulisannya Meet Jesus At the First Time mengeksplorasi
tentang terminologi “teknon” yang digunakan untuk menyebut Yesus sebagai anak
tukang kayu.
6 Kajian Ihromi
sangat menarik dalam memberi perspektif teologis yang bercorak ekologis. Lihat
Martin L.Sinaga dan Pramudianto,” Pergulatan dan Kontekstualisasi Pemikiran
Protestan Indonesia ”, Jakarta : STT Jakarta UPI
Press, 1999
7 Dicatat di dalam
Michael Zimmerman,” Science, Nonscience, dan Nonsense ”, Baltimore : The Johns
Hopkins University Press, 1995, hal. 20
8 Zimmerman, ibid,
hal. 21
9 Vandana Shiva, “ Pembangunan
Bangsa ”, Jakarta
: Yayasan Obor, juga perhatikan wawancara David Barsamian dengan Vandana Shiva
di bulan Desember 2002 yang dapat diakses di : http://www.thirdworldtraveler.com/Vandana_Shiva/Vandana_Shiva_page.html
10 Kajian disertasi
Victor Silaen dengan mengangkat aksi rakyat walau menelan korban nyawa tetap
tidak bergeming dan tidak berdamai dengan alam. Lihat Victor Silaen,”Gerakan
Sosial Baru: Perlawanan Komunitas Lokal Pada Kasus Indorayon di Toba Samosir ”,
Yogyakarta : IRE Press, 2006. Selain Victor
Silaen mega kasus limbah Indorayon juga banyak diutarakan para pemikir dan
aktivis, misal George Junus Aditjondro,”Pola-Pola Gerakan Lingkungan ”,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003; juga J.Anto dan Benget Silitonga,”Menolak
Menjadi Miskin: Gerakan Rakyat Porsea Melawan Konspirasi Gurita Indorayon”,
Medan : Bakumsu,
2004
11 Hata ni
partondung mirip mantera dapat direaktualisasikan sebagai tradisi budaya
Batak agar setiap orang Batak tidak main-main dengan hutan karena bisa membawa
bencana yang dasyat. Sebagaimana dikutip A.A.Sitompul, “ Manusia dan Budaya
“, Jakarta :
BPK GM, 2000, hal.73. Tradisi budaya Batak dapat digunakan sebagai senjata
ampuh untuk membatasi penebangan hutan oleh warganya sendiri.
12 Lihat artikel
Garret Hardin, “Tragedy of The Commons”, terbit di jurnal “Scence”
tahun 1968, 162:1243-1248 pernah menjadi bahan perdebatan hangat ketika penulis
studi lanjut di UNPAD; juga disinggung oleh Lorraine Elliott, “The
Global Politics of The Environment“, Hampshire: MacMillan, 1998, hal.10;
perhatikan juga John W.Bennet, “Human Ecology as Human Behavior “, New
Jersey: Transaction Publ., 1996, hal. 59, 355-356.
13 Hardin, ibid,
juga perhatikan tulisannya yang lain, Perspectives in Biology and Medicine
6, 1963, hal.366
14 J.W.Bennet, op.cit,
hal. 238
15 Lihat Elliott, op.
cit., perhatikan juga tulisan provokatif amat menarik disajikan Zimmerman, op.cit.
16 Pengakuan Iman
HKBP tahun 1996, Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2000, hal. 88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar