PERGUMULAN GLOBALISASI, DAN AKSI RAKYAT
Oleh : MELVIN M.SIMANJUNTAK, STh, MSi
PENGANTAR
Globalisasi adalah
buah simalakama di mana ada pilihan buat rakyat untuk menerima atau menolaknya.
Jika kita menerima globalisasi maka kita harus dapat menerima apa pun hasil
kerja dari kekuatan, dan pengaruh dunia di mana proses yang berjalan dapat
dikatakan sebagai “amerikasasi” atau
“eropasasi”. Negara-negara yang
disebut “dunia berkembang” seperti Indonesia cukup enak masih dalam
perkembangan saja, tidak dalam kerangka kekuatan pengaruh dari kedua pihak di
atas. Itu berarti “dunia berkembang” hanya duduk manis, dan cukup jadi penonton
setia, tidak dapat ikut mengambil suatu keputusan atau kebijakan tapi hanya
menerima saja. Misal penentuan tarif atau harga suatu produk harus ditentukan
oleh WTO1, kebijakan keuangan negarapun harus
ditentukan oleh IMF2. Kedua lembaga tersebut
ditambah World Bank dikuasai oleh negara adidaya Amerika Serikat. Jika ada
negara “main api” maka mungkin akan mengalami nasip serupa dengan Afganistan
dan Irak. Penguasaan terhadap Afganistan dan Irak adalah hasil globalisasi, di
mana demokrasi disuntikan di sana .
Jika kita menolak globalisasi maka harus ada konsep penolakan sebagai jalan
keluar (exit strategy), namun tiap
penolakan bisa dianggap sebagai bentuk perlawanan atau pembangkangan. Mereka
disebut “anti-globalisasi”3 atau memunculkan pandangan “de-globalisasi”4.
Bagaimana
partisipasi dan pengaruh gereja terhadap globalisasi? Apakah gereja cukup
membiarkan, mempengaruhi, atau menolak mentah-mentah? Gereja HKBP banyak
memiliki jemaat di pedesaan, mungkin mencapai 60-70%, sehingga sudah waktunya
bagi HKBP untuk mencari solusi terbaik agar tidak terjadi “kekacauan” atau
“kegalauan” dalam kehidupan jemaat-jemaat di pedesaan sebab efek globalisasi suatu saat sampai juga
ke desa-desa bonapasogit yang
menjadi basis kuat, grass-rooted
HKBP. Agro-globalisasi atau
globalisasi pertanian perlu mendapat perhatian serius dan cermat dari gereja,
jika tidak maka akan terjadi perubahan hidup yang luar biasa bahkan mungkin
terjadi perubahan iman secara drastis. Pemikiran bersama terhadap “hantu globalisasi” harus berakhir
dengan konsep dan “action plan” atau
“rencana strategis”, tidak sebatas wacana. Namun demikian nilai dan hakekat “kebersamaan” harus menjadi kata kunci.
Hal ini ada di dalam konsep persekutuan Kristen, dan juga persekutuan adat
seperti bius. Betapapun juga gereja
HKBP tetap beridentitas “batak” dan “kristen” sehingga sepantasnya kedua sisi
tersebut menjadi pijakan dan pilar utama untuk mengantisipasi gelombang dari
globalisasi jika HKBP benar-benar punya hasrat peduli terhadap mutu kehidupan
jemaat sebagaimana tertuang dalam misi HKBP di dalam Aturan dan Peraturan HKBP
2002.
EFEK GLOBALISASI
Dahulu kalau kita
kirim pesan harus melalui orang yang pergi ke tujuan di mana pesan bisa sampai
atau melalui kantor pos, seolah-olah pesan tidak dapat dikirim tanpa ada orang
yang pergi mengantar pesan. Sampai pertengahan abad ke 19 setelah Samuel Morse menemukan kode pesan yang
disebut Morse ternyata bisa dikirim
melalui satelit. Sekarang orang tidak perlu repot kirim surat
lamaran atau surat ucapan selamat melalui orang
pengantar surat tapi sudah dapat dikirim lewat e-mail (electronic mail atau surat
elektronik). Di tahun 1999 kode tidak lagi digunakan bahkan negara Perancis
sejak tahun 1997 sudah membuang pemakaian kode Morse. Pergeseran atau perubahan
sistem komunikasi yang manual (antar
surat ) telah menjadi sistem komunikasi global, tinggal klik saja maka sekian
detik surat
sudah sampai. Lebih dari 200 satelit mengorbit di atas bumi sebagai distributor
komunikasi. Perubahan sistem komunikasi didorong dengan adanya kemajuan di
dunia ilmu pengetahuan, dengan serangkaian penemuan. Dulu orang tidak bisa
berbicara langsung namun dengan ditemukan telepon maka orang bisa bicara
langsung tanpa ada batasan ruang, kecuali batasan dana. Perubahan sistem
komunikasi berpengaruh pada perubahan perilaku, ada prestise dan gaya hidup (life style).
Dulu awal 1990
orang Indonesia
ramai-ramai pakai kartu telepon yang bisa menghubungi handphone dan pakai pager,
karena handphone masih barang luks,
barang mewah. Yang punya handphone
saat itu pasti orang kaya. Namun sekarang tidak lagi demikian, tukang sayur
bahkan pedagang dan buruh hampir seluruhnya memakai handphone. Dulu orang-orang sempat pakai pager, sebelum pakai handphone
sekarang, dan pakai kartu telepon namun sekarang pager dan kartu telepon sudah menghilang. Masih ingat dulu era
1980-an orang-orang ramai belajar Dos,
Lotus, WS 4, lalu muncul WS 5 dan WS 7. Sekarang orang sudah bicara laptop, notebook, PDA (Personal Data
Assistance) dengan model pentium 4 atau Caleron serta paket program
pengetikan model Microsoft Word
(pengganti WS?), Excell (pengganti
Lotus?) dan Powerpoint. Microsoft
sekarang tidak bisa sembarang dipakai karena harus pakai ijin (lisensi) terkait
dengan hak cipta, yang di negeri kita sudah diratifikasi, disahkan. Tapi kita
tidak perlu khawatir, sebab masih ada alternatifnya seperti Linux, DAS, yang dapat dipakai dan
diakses secara gratis. Paling cuma bayar biaya listrik. Begitu cepat dan pesat
kemajuan teknologi. Percepatan teknologi tidak mungkin diputar ulang dan kembali
ke jaman sebelumnya. Percepatan teknologi sangat mendorong kemajuan suatu
bangsa sehingga disebut “bangsa maju” bagi yang cepat mengambil-alih teknologi
sedang bagi bangsa yang lambat disebut “bangsa terbelakang” untuk tidak
menyebut “bangsa bodoh”. Manusia harus mampu menghadapi perkembangan teknologi,
dan jika tidak maka dia akan ketinggalan jaman, kekurangan informasi dan menjadi
dekat dengan kebodohan. Coba kita simak berapa banyak sekarang orang pergi ke
Wartel (Warung Telepon)? Berapa banyak fasilitas telepon umum terpaksa ditarik
kembali karena sudah sangat jarang orang memakainya? Bandingkan dengan berapa
banyak orang pergi ke Warnet (Warung Internet)? Sampai ada mie instan internet
(indomie, telor, dan kornet). Sepele memang tapi itu juga sebenarnya efek globalisasi. Tak terasa tapi mampu
mengubah gaya
hidup, bahkan mengubah pencaharian (nafkah) hidup, bahkan tiap orang dituntut
serta didorong untuk mampu memakai komputer.
Perubahan lain
sangat penting mendapat perhatian kita secara serius adalah persaingan dalam
dunia tenaga kerja, dan “perang sembako”.
Coba kita kita lihat mereka yang duduk di teras pucuk pimpinan, mulai dari
level manager hingga direksi dan CEO (Chief
Executive Office) rata-rata berasal dari negara-negara luar, jika tidak
dari Eropa tentu dari Amerika Serikat. Demikian juga kita perhatikan para
pemain bola di negeri kita ada dari Afrika, dan Amerika Latin (Amerika
Selatan). Mereka tidak hanya menyerbu “dunia usaha dan bisnis” namun juga telah
merasuki juga “dunia olah raga” dan “dunia pendidikan” seperti para pemain
sepak bola dan guru-guru di Sekolah Global, Land Scope dan Sekolah-sekolah yang
menyebut diri “taraf internasional”. Seolah-olah ada kesan tenaga kerja luar
negeri jauh lebih unggul, lebih bermutu daripada tenaga kerja lokal. Lucunya
semua tenaga kerja luar negeri “tidak perlu” dan “bukan keharusan” (sebagai
syarat utama) untuk dapat bermain di bumi pertiwi. Nasionalisme seakan-akan
kandas ditelan bumi orang lain. Jika tenaga pekerja dari negara Asia lain
seperti Kamboja, Laos, dan Vietnam lebih murah dan terampil maka mereka sudah
pasti akan menyerbu ke negeri Indonesia. Mungkin itu sebabnya mengapa peusahaan
besar Sony “hengkang” dari bumi
pertiwi, selain tentu ketegasan hukum kian larut dan bikin bingung. Jadi seharusnya
mereka yang bekerja di Indonesia
harus mengerti dan memiliki kemampuan berbahasa Indonesia
sebagai identitas nasional yang patut dipertahankan, bahkan harus mampu
memahami kebudayaan Indonesia
sehingga mampu berpikir dari sudut pandang “orang Timur”. Padahal pandangan
Timur saat ini sangat gencar bergema menjadi “dagangan politik”, salah satunya
dipakai Anthony Giddens dengan tulisan hebohnya “The Third Way”, yang amat berpengaruh pada pengambilan kebijakan
politik negara Inggris. Amerika Serikat juga sedang berusaha untuk memadu
pemikiran Anthony Giddens dengan Samuel Huntingthon. Luar biasa bukan
“penjajahan” terhadap dunia sekitar kita; dijajah ekonomi juga dijajah tenaga
kerja?
AKSI RAKYAT
Setiap negara
menyatakan diri bahwa rakyat berdaulat penuh, artinya rakyat dapat menumbangkan
Pemimpin atau Penguasa. Karena itu ada istilah “fox populi fox Dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan. Tuhan
menyatakan kehendakNya kepada umatNya.Tiap pemimpin harus mendengar suara
rakyat jika ingin berkuasa terus, jika tidak maka dia harus berbesar hati
menerima kehilangan kuasanya. Persoalannya apakah rakyat turut terlibat aktif
dalam pengambilan keputusan yang menentukan masa depannya? Contoh apakah rakyat
terlibat dalam amandemen konstitusi negara, padahal bisa dilakukan dengan
referendum. Kesan saya, rakyat saat menjadi marjinal, kaum pinggiran, kerjanya
cuma demonstrasi seolah-olah menjadi oposisi padahal punya kedaulatan.Lantas
dimana peran aktif rakyat?
Selain
itu rakyat pun harus dapat bersatu padu, satu kepentingan, tidak pecahbelah
sehingga ada politisi malah bertanya,”rakyat mana?”. Nilai kebersamaan dan
kepaduan sangat perlu untuk melengkapi kedaulatan yang dimilikinya agar dapat
proaktif dalam penentuan masa depan, tidak bisa diam melompong saja seperti
ompong. Dalam rangka itu rakyat perlu dicerahkan, dicerdaskan agar tidak bisa
dijajah dan mampu menghadapi individualitas yang sangat digembar-gemborkan
globalisasi.
1
WTO, World Trade Organization,
adalah lembaga perdagangan dunia yang menentukan tarif dan nilai dagang suatu
negara
2
IMF, International Monetary Fund
adalah lembaga keuangan dan penentuan kebijakan fiskal dunia.
3
Sekarang gerakan anti-globalisasi telah berkembang dan mengambil bentuk Global People’s Forum di mana warga Indonesia
turut ambil bagian. Selanjutnya lihat Christ Harman,” Anti-Kapitalisme ”, Jakarta : Teplok
Press, 2003; juga lihat Ivan Illich,” Menggugat
Kaum Kapitalis ”, Jakarta :
Melibas, 2001. Kedua buku tsb cukup keras menyerang perilaku dan moralitas
kapitalis dan globalisasi.
4
Cukup menarik usulan Walden Bello dalam bukunya “De-Globalisasi”, Bantul:Pondok Edukasi,2004 memberikan solusi
alternatif untuk pembaharuan terhadap lembaga-lembaga IMF, WTO, dan Bank Dunia
(World Bank).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar