Senin, 28 April 2014

PERGUMULAN GLOBALISASI, DAN AKSI RAKYAT

PERGUMULAN GLOBALISASI, DAN AKSI RAKYAT
Oleh : MELVIN M.SIMANJUNTAK, STh, MSi


PENGANTAR

            Globalisasi adalah buah simalakama di mana ada pilihan buat rakyat untuk menerima atau menolaknya. Jika kita menerima globalisasi maka kita harus dapat menerima apa pun hasil kerja dari kekuatan, dan pengaruh dunia di mana proses yang berjalan dapat dikatakan sebagai “amerikasasi” atau “eropasasi”. Negara-negara yang disebut “dunia berkembang” seperti Indonesia cukup enak masih dalam perkembangan saja, tidak dalam kerangka kekuatan pengaruh dari kedua pihak di atas. Itu berarti “dunia berkembang” hanya duduk manis, dan cukup jadi penonton setia, tidak dapat ikut mengambil suatu keputusan atau kebijakan tapi hanya menerima saja. Misal penentuan tarif atau harga suatu produk harus ditentukan oleh WTO1, kebijakan keuangan negarapun harus ditentukan oleh IMF2. Kedua lembaga tersebut ditambah World Bank dikuasai oleh negara adidaya Amerika Serikat. Jika ada negara “main api” maka mungkin akan mengalami nasip serupa dengan Afganistan dan Irak. Penguasaan terhadap Afganistan dan Irak adalah hasil globalisasi, di mana demokrasi disuntikan di sana. Jika kita menolak globalisasi maka harus ada konsep penolakan sebagai jalan keluar (exit strategy), namun tiap penolakan bisa dianggap sebagai bentuk perlawanan atau pembangkangan. Mereka disebut “anti-globalisasi3 atau memunculkan pandangan “de-globalisasi4.
            Bagaimana partisipasi dan pengaruh gereja terhadap globalisasi? Apakah gereja cukup membiarkan, mempengaruhi, atau menolak mentah-mentah? Gereja HKBP banyak memiliki jemaat di pedesaan, mungkin mencapai 60-70%, sehingga sudah waktunya bagi HKBP untuk mencari solusi terbaik agar tidak terjadi “kekacauan” atau “kegalauan” dalam kehidupan jemaat-jemaat di pedesaan sebab efek globalisasi suatu saat sampai juga ke desa-desa bonapasogit yang menjadi basis kuat, grass-rooted HKBP. Agro-globalisasi atau globalisasi pertanian perlu mendapat perhatian serius dan cermat dari gereja, jika tidak maka akan terjadi perubahan hidup yang luar biasa bahkan mungkin terjadi perubahan iman secara drastis. Pemikiran bersama terhadap “hantu globalisasi” harus berakhir dengan konsep dan “action plan” atau “rencana strategis”, tidak sebatas wacana. Namun demikian nilai dan hakekat “kebersamaan” harus menjadi kata kunci. Hal ini ada di dalam konsep persekutuan Kristen, dan juga persekutuan adat seperti bius. Betapapun juga gereja HKBP tetap beridentitas “batak” dan “kristen” sehingga sepantasnya kedua sisi tersebut menjadi pijakan dan pilar utama untuk mengantisipasi gelombang dari globalisasi jika HKBP benar-benar punya hasrat peduli terhadap mutu kehidupan jemaat sebagaimana tertuang dalam misi HKBP di dalam Aturan dan Peraturan HKBP 2002.

EFEK GLOBALISASI

            Dahulu kalau kita kirim pesan harus melalui orang yang pergi ke tujuan di mana pesan bisa sampai atau melalui kantor pos, seolah-olah pesan tidak dapat dikirim tanpa ada orang yang pergi mengantar pesan. Sampai pertengahan abad ke 19 setelah Samuel Morse menemukan kode pesan yang disebut Morse ternyata bisa dikirim melalui satelit. Sekarang orang tidak perlu repot kirim surat lamaran atau surat ucapan selamat melalui orang pengantar surat tapi sudah dapat dikirim lewat e-mail (electronic mail atau surat elektronik). Di tahun 1999 kode tidak lagi digunakan bahkan negara Perancis sejak tahun 1997 sudah membuang pemakaian kode Morse. Pergeseran atau perubahan sistem komunikasi yang manual (antar surat) telah menjadi sistem komunikasi global, tinggal klik saja maka sekian detik surat sudah sampai. Lebih dari 200 satelit mengorbit di atas bumi sebagai distributor komunikasi. Perubahan sistem komunikasi didorong dengan adanya kemajuan di dunia ilmu pengetahuan, dengan serangkaian penemuan. Dulu orang tidak bisa berbicara langsung namun dengan ditemukan telepon maka orang bisa bicara langsung tanpa ada batasan ruang, kecuali batasan dana. Perubahan sistem komunikasi berpengaruh pada perubahan perilaku, ada prestise dan gaya hidup (life style).
Dulu awal 1990 orang Indonesia ramai-ramai pakai kartu telepon yang bisa menghubungi handphone dan pakai pager, karena handphone masih barang luks, barang mewah. Yang punya handphone saat itu pasti orang kaya. Namun sekarang tidak lagi demikian, tukang sayur bahkan pedagang dan buruh hampir seluruhnya memakai handphone. Dulu orang-orang sempat pakai pager, sebelum pakai handphone sekarang, dan pakai kartu telepon namun sekarang pager dan kartu telepon sudah menghilang. Masih ingat dulu era 1980-an orang-orang ramai belajar Dos, Lotus, WS 4, lalu muncul WS 5 dan WS 7. Sekarang orang sudah bicara laptop, notebook, PDA (Personal Data Assistance) dengan model pentium 4 atau Caleron serta paket program pengetikan model Microsoft Word (pengganti WS?), Excell (pengganti Lotus?) dan Powerpoint. Microsoft sekarang tidak bisa sembarang dipakai karena harus pakai ijin (lisensi) terkait dengan hak cipta, yang di negeri kita sudah diratifikasi, disahkan. Tapi kita tidak perlu khawatir, sebab masih ada alternatifnya seperti Linux, DAS, yang dapat dipakai dan diakses secara gratis. Paling cuma bayar biaya listrik. Begitu cepat dan pesat kemajuan teknologi. Percepatan teknologi tidak mungkin diputar ulang dan kembali ke jaman sebelumnya. Percepatan teknologi sangat mendorong kemajuan suatu bangsa sehingga disebut “bangsa maju” bagi yang cepat mengambil-alih teknologi sedang bagi bangsa yang lambat disebut “bangsa terbelakang” untuk tidak menyebut “bangsa bodoh”. Manusia harus mampu menghadapi perkembangan teknologi, dan jika tidak maka dia akan ketinggalan jaman, kekurangan informasi dan menjadi dekat dengan kebodohan. Coba kita simak berapa banyak sekarang orang pergi ke Wartel (Warung Telepon)? Berapa banyak fasilitas telepon umum terpaksa ditarik kembali karena sudah sangat jarang orang memakainya? Bandingkan dengan berapa banyak orang pergi ke Warnet (Warung Internet)? Sampai ada mie instan internet (indomie, telor, dan kornet). Sepele memang tapi itu juga sebenarnya efek globalisasi. Tak terasa tapi mampu mengubah gaya hidup, bahkan mengubah pencaharian (nafkah) hidup, bahkan tiap orang dituntut serta didorong untuk mampu memakai komputer.
Perubahan lain sangat penting mendapat perhatian kita secara serius adalah persaingan dalam dunia tenaga kerja, dan “perang sembako”. Coba kita kita lihat mereka yang duduk di teras pucuk pimpinan, mulai dari level manager hingga direksi dan CEO (Chief Executive Office) rata-rata berasal dari negara-negara luar, jika tidak dari Eropa tentu dari Amerika Serikat. Demikian juga kita perhatikan para pemain bola di negeri kita ada dari Afrika, dan Amerika Latin (Amerika Selatan). Mereka tidak hanya menyerbu “dunia usaha dan bisnis” namun juga telah merasuki juga “dunia olah raga” dan “dunia pendidikan” seperti para pemain sepak bola dan guru-guru di Sekolah Global, Land Scope dan Sekolah-sekolah yang menyebut diri “taraf internasional”. Seolah-olah ada kesan tenaga kerja luar negeri jauh lebih unggul, lebih bermutu daripada tenaga kerja lokal. Lucunya semua tenaga kerja luar negeri “tidak perlu” dan “bukan keharusan” (sebagai syarat utama) untuk dapat bermain di bumi pertiwi. Nasionalisme seakan-akan kandas ditelan bumi orang lain. Jika tenaga pekerja dari negara Asia lain seperti Kamboja, Laos, dan Vietnam lebih murah dan terampil maka mereka sudah pasti akan menyerbu ke negeri Indonesia. Mungkin itu sebabnya mengapa peusahaan besar Sony “hengkang” dari bumi pertiwi, selain tentu ketegasan hukum kian larut dan bikin bingung. Jadi seharusnya mereka yang bekerja di Indonesia harus mengerti dan memiliki kemampuan berbahasa Indonesia sebagai identitas nasional yang patut dipertahankan, bahkan harus mampu memahami kebudayaan Indonesia sehingga mampu berpikir dari sudut pandang “orang Timur”. Padahal pandangan Timur saat ini sangat gencar bergema menjadi “dagangan politik”, salah satunya dipakai Anthony Giddens dengan tulisan hebohnya “The Third Way”, yang amat berpengaruh pada pengambilan kebijakan politik negara Inggris. Amerika Serikat juga sedang berusaha untuk memadu pemikiran Anthony Giddens dengan Samuel Huntingthon. Luar biasa bukan “penjajahan” terhadap dunia sekitar kita; dijajah ekonomi juga dijajah tenaga kerja?

AKSI RAKYAT
            Setiap negara menyatakan diri bahwa rakyat berdaulat penuh, artinya rakyat dapat menumbangkan Pemimpin atau Penguasa. Karena itu ada istilah “fox populi fox Dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan. Tuhan menyatakan kehendakNya kepada umatNya.Tiap pemimpin harus mendengar suara rakyat jika ingin berkuasa terus, jika tidak maka dia harus berbesar hati menerima kehilangan kuasanya. Persoalannya apakah rakyat turut terlibat aktif dalam pengambilan keputusan yang menentukan masa depannya? Contoh apakah rakyat terlibat dalam amandemen konstitusi negara, padahal bisa dilakukan dengan referendum. Kesan saya, rakyat saat menjadi marjinal, kaum pinggiran, kerjanya cuma demonstrasi seolah-olah menjadi oposisi padahal punya kedaulatan.Lantas dimana peran aktif rakyat?
            Selain itu rakyat pun harus dapat bersatu padu, satu kepentingan, tidak pecahbelah sehingga ada politisi malah bertanya,”rakyat mana?”. Nilai kebersamaan dan kepaduan sangat perlu untuk melengkapi kedaulatan yang dimilikinya agar dapat proaktif dalam penentuan masa depan, tidak bisa diam melompong saja seperti ompong. Dalam rangka itu rakyat perlu dicerahkan, dicerdaskan agar tidak bisa dijajah dan mampu menghadapi individualitas yang sangat digembar-gemborkan globalisasi.


1  WTO, World Trade Organization, adalah lembaga perdagangan dunia yang menentukan tarif dan nilai dagang suatu negara
2  IMF, International Monetary Fund adalah lembaga keuangan dan penentuan kebijakan fiskal dunia.
3  Sekarang gerakan anti-globalisasi telah berkembang dan mengambil bentuk Global People’s Forum di mana warga Indonesia turut ambil bagian. Selanjutnya lihat Christ Harman,” Anti-Kapitalisme ”, Jakarta: Teplok Press, 2003; juga lihat Ivan Illich,” Menggugat Kaum Kapitalis ”, Jakarta: Melibas, 2001. Kedua buku tsb cukup keras menyerang perilaku dan moralitas kapitalis dan globalisasi.
4  Cukup menarik usulan Walden Bello dalam bukunya “De-Globalisasi”, Bantul:Pondok Edukasi,2004 memberikan solusi alternatif untuk pembaharuan terhadap lembaga-lembaga IMF, WTO, dan Bank Dunia (World Bank).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar