Kamis, 24 April 2014

SETAN GLOBALISASI ATAU GOMBALISASI

SETAN GLOBALISASI ATAU GOMBALISASI
Melvin M. Simanjuntak


Pengantar

            Banyak media elektronik menayangkan ritual, mitos, dan ekspresi “keseraman” tentang profil “dunia lain”, suatu dunia pasca-kematian atau “dunia para arwah”. “Dunia lain” itu seolah-olah memberi kesan kuat “ada dunia lain” selain “surga” atau “nirvana” sebagaimana diajarkan  para pemuka agama. Tayangan-tayangan seperti “dunia lain”, “gentayangan”, “percaya nggak percaya”, “pesugihan”, “pemburu hantu”, dan ekspedisi ke alam gaib” merupakan fenomena sosial sekarang, sebagai lingkup kekuatan imajinasi. Imajinasi antara “real” (nyata) dan “unreal” (maya) komersial tersebut ternyata dapat dilihat dari sisi berbeda. Pandangan sisi berbeda dan secara analogis inilah maksud tulisan berikut.
            Pandangan berbeda mencuat ketika hakekat kejahatan atau keburukan manusia telah melampaui ambang batas real, meninggalkan realitas kehidupan serta meninggalkan  logika dan norma umum maka ada  “ruang emosional tak terkendali”, yang sementara kita anggap saja sebagai “bayang-bayang”, mirip seperti sketsa nasionalisme yang dilukiskan  Benedict Anderson dalam karyanya Imagined Communities. Menurut Ben Anderson, nation atau nationality dipahami sebagai sebuah bangunan budaya jenis khusus (cultural artifacts of a particular kind). Bangunan budaya demikian dimaksud sebagai komunitas politis dan dibayangkan sebagai suatu sifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Bangsa sebagai komunitas tidak akan peduli terhadap ketidakadilan yang ada dan eksploitasi yang melekat dalam setiap bangsa, karena bangsa selalu dipahami sebagai kesetiakawanan secara mendatar, horisontal (horizontal comradship).
            Di sini nation terkait dengan kekuasaan (sovereignty), kolektivitas politik nyata dengan wilayah (beserta batas-batasnya) yang nyata, sedangkan nasionalisme dipahami sebagai “sebuah impian” (imagined) untuk menuju kolektivitas politik. Namun menurut Anderson kolektivitas politik belum terwujud atau belum real dan wilayah politiknya juga demikian. Anderson memaparkan adanya 3 dimensi dari “impian” (imagined) yakni “impian seperti berkuasa” (imagined as sovereign), “impian terbatas” (imagined as limited),dan “impian sebagai suatu komunitas, kebersamaan” (imagined as a community).
            Itulah maksud simbolisasi “bayang-bayang” atau saya sebut “ruang emosional tak terkendali”, sebagai pemaknaan citra dari  ungkapan “di sini ada setan”. Pencitraan adalah hakiki penting sebagai ekspresi personifikasi realitas kehidupan, untuk meraih penokohan atau target utama dalam kenyataan hidup. Bila hal ini dimaknai dengan konstelasi efek globalisasi maka gambaran sama atau setidaknya “menyerupai” menjadi lebih jelas dan mudah dipahami. Karena itu dianggap saja formulasi “di sini ada setan” sebagai medium spiritulisasi terhadap adanya irisan “nyata” dus “maya” antara kejahatan dan kebaikan, realitas dan imajinasi. Jean Paul Sartre dalam karyanya Psikologi Imajinasi mengekspresikan imajinasi sebagai wajah refleksi dari “dunia mimpi” dimana “dunia mimpi” mempengaruhi alam sadar  hakekat manusia ke dalam bertindak sebagaimana disitir Sigmund Freud. Bila mediasi dari medium spiritualitas tersebut ditarik ke dalam hakekat manusia sesungguhnya maka nomasi hakekat manusia mencapai taraf “beyond human  being”, menjadi citra manusia sesungguhnya, sebagai problema utama dari kancah neomodernisasi.
            Dengan demikian tulisan ini akan menyajikan ekspresi “sementara” tentang  hakekat manusia karena gambaran  “sesungguhnya” sudah tidak memungkinkan karena terdapat juga “ruang emosional  tak terkendali” antara “dosa”, dan “ketidakberdosaan”. Berangkat dari situ baru terlihat ekspresi kenyataan efek dari globalisasi dan  mencoba merekam solusi yang diberikan beberapa pihak.

Beyond Human Being” Adalah Pergumulan Modern
Pertanyaan mendasar dan sangat klise namun sulit terjawab adalah “apakah hakekat  manusia sekarang sesungguhnya suci atau berdosa?”. Pandangan Kristen menyatakan adanya dosa warisan dari genetika Adam dan Hawa, namun tidak mengaitkan bahwa mungkin saja penebusan Kristus telah melenyapkan dimensi keberdosaan itu. Ini mudah dipahami apalagi dalam doktrin Lutheran dikenal adanya justificatio Dei, sebagai medium hak prerogatif untuk menghilangkan noda hitam dalam hakekat manusia setelah pengakuan  percaya (credo). Dalam banyak duna silat ilmu pengetahuan termasuk teologi didalamnya, disebutkan tentang definisi hakekat manusia.
Ada yang bilang bahwa hakekat manusia itu adalah  supreme player atau homo ludens (teori Johan Huizinga), ada juga homo laborans (teori Karl Marx), ada juga homo economicus (teori Adam Smith), ada juga homo societus (teori August Comte), walau ada sebutan-sebutan lain seperti homo faber, homo theologicus,dan homo esperans. Yang penting di sini memahami makna homo ludens dan homo laborans agar paham sebenarnya efek dari homo economicus. Defini-definisi hakekat manusia demikian juga merupakan upaya pencitraan.
            Dalam pemikiran Timur seperti Cina dan Batak misalnya dipahami bahwa tarian (tortor) dan musik (gondang) sebagai wajah permainan yang sebenarnya punya tujuan untuk “memelihara keseimbangan alam (ekosistem)” atau “menaklukkan alam (eksploitasi)”, sebagaimana terlihat pada gerakan-gerakan dan suara-suara yang bergema yang sangat bernuansa horisontal dan vertikal. Dengan sketsa tersebut setidaknya dapat suatu ekspresi penting bahwa permainan terjadi spontanitas, “seolah-olah berada di dunia lain” antara nyata dan maya, memasuki batas waktu dan ruang, dan membuat suatu social order (keteraturan umum). Misal saat kita menonton film di bioskop/teater atau teve, saat menonton kompetisi olahraga sepak bola, atau saat bermain pinball lewat komputer.
Homeros, filsuf Yunani menyatakan bahwa perlombaan kuno dalam masyarakat Olympus (asal kompetisi olahraga dunia, Olimpiade) sangat menentukan kehidupan sebagai supremasi “keunggulan” atau setidaknya dapat dikatakan “menjadi hakekat manusia sesungguhnya”. Dalam antropologi ditemukan adanya potlatch, suatu adat istiadat suku Kwakiutl di Kolombia. Potlatch adalah pesta  akbar masyarakat itu dengan titik tolok utama memberi hadiah-hadiah, dan hadiah-hadiah itu menyatakan keunggulannya. Dalam epos Mahabharata yang terbawa juga ke Indonesia juga terdapat suatu cerrita tentang keberadaan potlatch raksasa.
Singkatnya dapat dipahami bahwa dinamika kebudayaan berangkat dari struktur pencitraan suatu permainan dan permainan sangat menentukan orientasi tindakan ke depan berdasarkan yang dimainkan sekarang. Bila permainan menjadi hakekat manusia lalu digabung dengan konsep manusia bekerja, maka hampir sama maknanya. Hasilnya menurut Marx adalah  free conscious activity, sebagai kebebasan hakekat manusia terletak dalam tindakan. Menurut Karl Marx dalam karyanya Capital: A Critique of Political Economy (New York, hal. 20-21) hakekat citra tersebut adalah totalitas hakekat hubungan hasil kerja (totality of these relations of production) mempengaruhi struktur ekonomik masyarakat sebagai dasar nyata yang dibangun melalui suprastruktur masyarakat secara legal dan politis sehingga membentuk kesadaran massal. Kenyataan hasil kerja (mode of production) secara umum membangun proses-proses sosial, politik, dan intelektualitas, yang keberadaannya ditentukan oleh kesadaran tersebut.
Bagi Marx, lingkup kerja adalah proses partisipasi keterhubungan antara citra manusia dan citra alam dimana terletak pada permainan yang mencakup aturan-aturan main (the rules of the games) dan pengelolaan keterhubungan itu. Hal itu menentukan kelas-kelas masyarakat. Konsep totalitas demikian terdapat juga dalam masyarakat Batak Toba, sebagaimana dikaji Phillip Tobing dalam The Structure of The Toba-Batak Belief In The High God yang menyebut totalitas keterbungan alam (banua ginjang, banua tonga,  dan banua toru) direfleksikan ke dalam komunitas mikrokosmik antara hulahula, dongantubu, dan boru. Tobing menyatakan itu dengan bahasa, “The Toba-Batak conceive the  whole cosmic space as the totality of under-, middle-, and upperworld. In this totality each of these three worlds has a function, through which the harmony and the  existence of the universe is possible” (hal.28-29).
Doktrin totalitas mirip atau senada dengan doktrin keistimewaan manusia. Karena itu bekerja harus dipandang sebagai profesi kodrat manusia untuk termotivasi “menjadi sungguh-sungguh manusia” seperti saat Adam dan Hawa diciptakan dan juga saat Allah berinisiasi dan memberi janji kepada Abram. Kerusakan citra oleh setan mengurangi keistimewaan namun sekaligus membuka ruang ketergantungan. Citra manusia demikian relevan dengan citra homo esperans, manusia yang berharap. Ketergantungan citra demikian dijawab  Lutheran bahwa keputusan yang diambil manusia hanya berserah sepenuhnya kepada Allah untuk menghindari resiko dari keputusan berdasar pengetahuan dan tanggung jawab.
Hubungan korelasi antara permainan dan  manusia juga terdapat dalam pemikiran pemikir fisika jenius, Albert Einstein. Einstein menyatakan dice thrown out of the cup, hakekat manusia tidak hanya pada taraf mengetahui kebutuhan hidup namun juga memahami hal-hal terkait dengan kehidupannya sendiri, termasuk dimensi panggilan hidup. Permainan hakekat manusia terletak pada tahu kebutuhan dan strategi pemenuhan hal itu, sebagai wujud panggilan personal yang menuntut pengetahuan dan keahlian. Dalam situasi arena permainan itu hakekat manusia dihadapkan pada pilihan dilematis, yakni menangani sendiri secara mandiri atau kerja sama dengan orang lain yang memiliki kepentingan atau tujuan yang sama. Misal mengangkat teve 14 inci tentu bisa dilakukan oleh satu orang, tetapi mendorong mobil mogok dibutuhkan orang lain.
Perkembangan hakekat manusia dewasa ini berhadapan antara 2 kutub utama, yakni individualisme dan kolektivisme (komunalisme). Kedua hal tersebut dilematis dimana pada masyarakat kota terkesan kuat untuk lebih individualistik sedangkan masyarakat desa lebih komunalistik. Bronislaw Malinowski menyatakan bahwa masyarakat desa atau tradisional terdapat mekanisme prinsip timbal balik (priciple of reciprocity), Emile Durkheim menyebutnya solidaritas, dan Erich Fromm menyebutnya kolektivisme. Kepedulian sesama dan kerja sama kelompok masyarakat banyak dikenal masyarakat Timur. Masyarakat Barat setelah pencerahan dan hegemoni rasionalitas serta pengaruh humanisme telah menempati kepentingan pribadi sebagai hak asasi sehingga tradisi-tradisi kolektif mulai diabaikan. Misal pola kerja marsiadapari di berbagai desa di daerah Batak Toba merupakan perwujudan budaya resiprositas dan solidaritas. Budaya ini di masyarakat kota seperti Porsea, Dolok Sanggul, bahkan Onan Ganjang telah dipengaruhi kekuatan kapitalisme sehingga nilai-nilai kekerabatan mulai dinomorduakan sehingga benar hipotesis Anthony Giddens dalam The Third Way bahwa individualisme baru diasosiasikan dengan mundurnya tradisi dan adat kebiasaan dari kehidupan kita, sebuah fenomena yang bertautan dengan dampak globalisasi.
Kritik Marx terhadap individualisme menyatakan bahwa “kebebasan individu untuk berkembang adalah situasi bebas bagi semua warga untuk berkembang” telah menimbulkan rasa solidaritas yang membentuk komunalisme. Kemunculan sosialisme di Barat sebagai refleksi dari Timur justru muncul dari ketidakpercayaan kekuatan individualisme. Pada akhirnya konstelasi demikian  membawa warga dan negara kepada pilihan welfare society atau welfare state, tujuan rakyat yang sejahtera atau negara makmur. Pilihan-pilihan demikian tidak mudah dan sangat dipengaruhi dunia hakekat manusia itu sendiri. Bila di desa maka dunia tradisi menjadi penting, sedang di kota lebih dikuasai rasionalitas sebagai pilar modernisasi.

Setan Dunia: Globalisasi dan Tradisionalisasi

            Tidak mungkin bicara globalisasi tanpa identifikasi terhadap situasi dunia sekarang karena penting dicatat identifikasi dunia sekarang sebagaimana dikemukakan oleh Vaclav Havel. Havel menyatakan bahwa, ”dunia – juga kehidupan – adalah suatu sistem keseluruhan yang dapat diketahui, diperintah oleh beberapa aturan universal yang ditangkap oleh manusia dan secara rasional terarah untuk mendapat keuntungannya sendiri. Dia menimbulkan kepercayaan yang membanggakan bahwa manusia adalah mampu secara obyektif menggambarkan, menjelaskan, dan mengontrol segala sesuatu yang ada dan mampu memiliki satu-satunya kebenaran mengenai dunia ini. Ini adalah era ideologi, doktrin, interpretasi kenyataan, suatu era bertujuan untuk mendapat sebuah teori universal mengenai dunia. Kegagalan komunisme dapat dianggap sebagai tanda pemikiran modern – yang berdasarkan premis bahwa dunia secara obyektif bisa diketahui dan pengetahuan yang didapat dipukul rata secara mutlak hingga krisis yang akut. Era ini menciptakan peradaban teknologi global yang pertama, dan telah melebihi kedalaman jurang paling dalam“.
            Rasionalitas hakekat manusia telah menimbulkan kepercayaan diri yang tinggi sehingga rasionalitas  menjadi kebenaran dalam dunia berperadaban teknologi global sehingga superioritas menjadi suatu krisis saat alam berada dalam ancaman. Kehabisan sumber daya alam akibat semangat eksplorasi dan eksploitasi pencarian keuntungan pribadi telah memunculkan semangat neo-kolonialisme baru yang kolaborasi dengan industrialisasi dan kapitalisme. Sistem economic capital merambah ke semua aspek kehidupan dengan menciptakan slogan-slogan time is money tentu dengan rasionalitas menyingkirkan nilai-nilai tradisional.
Konsep demikian dikerjakan Robert McNamara melalui proyek pembangunan World Bank, yang menganggap nilai-nilai tradisional sebagai penghambat pembangunan. McNamara menyatakan bahwa “...persoalannya bukan lagi apakah pertumbuhan ekonomi harus berlanjut atau tidak. Sebab pertumbuhan ekonomi sudah tidak bisa dielakkan di dunia ini. Atau persoalannya juga bukan apakah dampak program pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan harus ditangani atau tidak. Karena persoalan ini juga sudah menjadi keharusan maka sebenarnya menjadi persoalan apakah kedua pertimbangan tersebut bisa mempunyai titik temu”. Selama 13 tahun kepemimpinan McNamara (1968-19811), World Bank menaikkan nilai pinjaman sampai 6 kali lipat, menambah staf dari 1.574 menjadi 5.201, membentuk “divisi lingkungan”, dan membawa misi moral ke dalam lembaga tersebut.
Dalam teori memang luar biasa McNamara namun dalam prakteknya World Bank justru terseret ke dalam perilaku buruk, yakni cenderung memperbesar kekuatan lembaga dengan mengabaikankompleksitas alam dan sistem sosial budaya negara-negara berkembang yang meminjan. Kelipatan pinjaman sedemikian besar akan menciptakan sudut ketergantungan negara peminjam. World Bank malah mengajarkan pada  generasi bahwa kontrol dan dominasi adalah bagian dari setiap  perencanaan pembangunan yang mengubah umat manusia dan alam dalam skala global, yang dikenal sebagai sudut pandang Faustian Paradox.
            Berbeda dengan World Bank, rekannya International Monetary Fund (IMF) secara progresif mendorong negara-negara berkembang untuk bertindak sesuai tindakan dalam paket Structural Adjustment Programs, yang di Indonesia menimpa dunia perbankan untuk melakukan restrukturalisasi atau rekapitulasi tanpa menghilangkan pinjamannya. Tindakan dalam paket tersebut mengharuskan negara-negara yang dibinanya untuk menghilangkan subsidi  terhadap bahan-bahan kebutuhan pokok dan privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Kebijakan itulah menimpa negara Indonesia pada masa reformasi.
Kecenderungan produk kebijakan World Bank dan IMF lebih “mengamankan” kebijakan negara-negara tampak di atas. Negara superpower Amerika Serikat (AS) sendiri malah melakukan tindakan sebaliknya dari IMF dan World Bank dengan melakukan proteksi terhadap semua produk pertanian. AS bahkan melakukan subsidi sektor pertanian sebesar US$ 180 milliar dalam 10 tahun. Itu berarti pertahun subsidi mengalir sebesar US$ 18 milliar atau setara Rp. 176 triliun, nilai setara dengan jumlah APBN negara Indonesia. Program proteksi tersebut di AS dikeenal sebagai Agriculture Risk Protection Act. Pengertian lain bahwa petani AS atau AS sendiri belum siap menghadapi globalisasi atau mungkin mengantisipasi efek-efek globalisasi. Bila AS dapat mengambil tindakan demikian, mengapa Indonesia tidak bisa? Jangan lupa bukan hanya AS yang bersikap demikian, namun juga negara-negara Uni Eropa, dan Jepang. Itulah mengapa banyak pihak, terutama Kwik Kian Gie lebih  menginginkan Indonesia keluar dari paket program IMF agar tindakan penyelamatan terhadap sistem sosial budaya dan kekayaan alam tidak menjadi makin parah. Karena itu butuh exit strategy untuk menutupi defisit anggaran dari pinjaman dengan strategi pertumbuhan berbasis kerakyatan.
Dalam pandangan yang berkembang, globalisasi dianggap sebagai pola permainan yang sudah didesain sedemikian rupa oleh para pemain negara-negara maju sehingga hasilnya tetap saja mereka makin maju dan jurang kesenjangan  makin dalam bahkan mulai tidak terkendali karena pelbagai  penolakkan. WTO telah merencanakan liberalisasi perdagangan yang adil (fair) dari hasil pertemuan September 2003 di Cancun. Pertemuan Cancun membuka fron atau blok perdagangan baru dimana negara-negara maju (direpresentasikan lewat G-8) tetap bertahan melakukan kebijakan subsidi sedang negara-negara berkembang ingin negara-negara maju mencabut subsidi supaya kompetisi perdagangan berjalan sportif dan fair. Itu berarti semua produk pertanian dari  kelompok G 90 akan lebih mahal daripada produk pertanian lokal sehingga tidak mungkin banting harga atau bertarung secara sehat. Negosiasi antara WTO, AS, dan G-90 terus berlangsung walau kedua blok tetap bertahan pada pendirian masing-masing sehingga akan lebih menyulitkan pertemuan WTO pada tanggal 31 Juli 2004 di markas WTO di Geneva, Swiss.
            Model pembangunan rancangan World Bank dan IMF telah menimbulkan skeptisme dan jurang makin dalam, karena terdapat pihak-pihak yang dirugikan bahkan sengaja disingkirkan dalam proses tersebut, sebagaimana terbaca di atas. Walau globalisasi dirasakan tidak terelakkan lagi namun ada beberapa sikap bijak untuk mengantipasi dampaknya. Anthony Giddens dalam Runaway World menyatakan bahwa globalisasi menimbulkan aneka resiko dan ketidakpastian dalam perekonomian elektronik global (global electronic economy). Resiko yang dimaksud adalah resiko eksternal yang datang dari  luar, secara alami atau berdasar tradisi, dan resiko “buatan” (manufactured risk) dari efek perkembangan  ilmu pengetahuan manusia terhadap dunia. Resiko eksternal bisa dipahami karena tidak ada obat mujarab mengatasi bencana alam atau kecelakaan, namun resiko buatan perlu disikapi. Besarnya resiko buatan telah menempatkan dunia saat ini berada tidak terkendali (runaway world).
Karya Giddens lain, Living In A Post-Traditional Society, justru menganjurkan pemberdayaan nilai-nilai tradisional sejalan dengan nilai keluarga, nilai ekologis dan nilai demokrasi yang diambilnya dari pandangan timur. Tradisionalisasi yang disebutnya sebagai masyarakat postradisional, bisa dipandang sebagai tesis utamanya dalam solusi Jalan Ketiga, dalam karya Giddens lainnya The Third Way yang memaparkan 7 nilai Jalan Ketiga, yakni persamaan, perlindungan terhadap kaum lemah, kebebasan sebagai otonomi, tak ada hak tanpa tanggung jawab, tak ada otoritas tanpa demokrasi, pluralisme kosmopolitan, dan terakhir  konservatisme filosofis. Kehancuran komunitas lokal seperti terjadi pada bius, tidak serta merta merupakan kehancuran praktek kehidupan lokal. Praktek kehidupan lokal itu menumbuhkan kembali tradisi dengan pemaknaan baru eksistensi  adat istiadat lokal (local customs), yang bisa berujung pada kemunculan relik atau habit (kebiasaan). Kebiasaan lokal itu kemudian berkembang menjadi museum kehidupan (the living museum) sebagai refleksi keadaban manusia. Dengan demikian The Third Way Giddens mengkolaborasi modernitas dan tradisional, sebagai jalan menekan kekuatan resiko efek globalisasi.
            Berbeda solusi namun senada, Walden Bello dalam karya De-globalisasi justru mengajukan restrukturalisasi lembaga-lembaga World Bank dan IMF yang sangat didominasi negara-negara maju dengan jalan deglobalisasi. Deglobalisasi adalah dekonstruksi terhadap konstelasi saat ini dengan prinsip keseimbangan dan keadilan bagi negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Bello lebih melihat perubahan  terbaik dilakukan dari dalam, bukan dengan membentuk tandingan atau melawannya, sebagaimana dilakukan kelompok Anti-Globalisasi dan Anti-Kapitalisme seperti Sustainable and Self Reliant Communities Movement dan Reclaim thee Sreets.
Konstelasi dunia demikian membuat globalisasi saat ini tidak terelakkan, namun masih bisa dicarikan solusi terhadap efek-efeknya seperti solusi-solusi dari Giddens dan Bello di atas, yakni antara pilihan sikap pemberdayaan tradisionalisasi atau deglobalisasi. Kedua pilihan itu logis dan perlu kajian mendalam untuk aplikasi ke dalam sistem sosial budaya masyarakat Batak Toba agar rekonstruksi berjalan baik dan lancar. Masyarakat Batak Toba dapat menggunakan 3 pilar utama untuk pembangunan, yakni penguatan kembali sistem bius, pengembangan konsep marsiadapari,  dan penafsiran teks-teks sidapot solup do na ro dengan basis kuat onan (pasar tradisional) sebagai wujud permainan manusia. Kekuatan itu perlu mendapat perhatian semua pihak, karena itu merupakan pengetahuan lokal (local knowledge) sebagaimana dikatakan Clifford Geertz, berupa kajian-kajian strategis lanjutan tentang model pembangunan yang berpihak pada semua rakyat. Lantas dimana peranan dan pengaruh gereja? Gereja-gereja dapat mengambil partisipasi dalam pengayaan kekuatan bius agar kontrol dan keseimbangan pembangunan dapat dimediasikan.



Jakarta, 19 Juli 2004
Ditulis oleh,

Melvin M.Simanjuntak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar