MENUJU KESATUAN ATAU PERSATUAN N.K.R.I ?[1]
Oleh : Melvin M. Simanjuntak, STh, MSi[2]
1.
Ephorus HKI Pdt.DR.Langsung Sitorus meminta saya
untuk membawakan penyajian makalah mengenai pokok pemikiran “Pandangan Gereja Tentang Pendirian Rumah
Ibadah Ditinjau Dari PBM No.8/9 Tahun 2006” yang sampai dewasa ini kita
pergumulkan terlebih bagi gereja-gereja yang berada di tengah masyarakat yang
pluralis. Ada beberapa yang perlu kita mengerti tentang kecenderungan
perkembangan perubahan di dalam masyarakat dan Negara kita. Pertama ada perubahan dinamis di dalam
perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini di mana iklim demokratis
setelah reformasi berjalan telah membuat NKRI sangat sulit dimengerti.
Pasca-kejatuhan Orde Baru yang selalu mengangkat dan meninggikan Pancasila
serta Bhineka Tunggal Ika ternyata membuat masyarakat menjadi “gamang” dan
“merasa malu” untuk mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan Pancasila dan
Bhineka Tunggal Ika akibat euphoria reformasi. Akhirnya MPR di masa
kepemimpinan Prof.DR.H.Amien Rais cukup berhasil mengamandemen UUD 1945 melalui
4 tahapan. Ketua Umum PGI Pdt.DR.Nathan Setiabudi ketika itu di Jakarta pada
tanggal 5 Pebruari 2002 meminta agar PAH I untuk berhati-hati dalam
mengamandemen pasal 29 UUD 1945 mengingat mengubah UUD 1945 merupakan suatu
pekerjaan yang sangat berat dan membawa implikasi terhadap hal-hal sosial. Akibatnya
UUD 1945 Pasal 29 tetap dan tidak mengalami perubahan. Pasal tersebut terdiri
atas dua ayat yang menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa (ayat 1) dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu (ayat 2). Kedua ada masalah
sangat prinsipil dari kata “kesatuan” di dalam kalimat “Negara Kesatuan
Republik Indonesia” dengan kalimat ketiga dari isi Pancasila yakni “Persatuan
Indonesia”. Artinya pada istilah “kesatuan” pihak minoritas mesti mengikuti
norma-norma dan ketentuan yang disuarakan pihak “mayoritas”, sedangkan kata
“persatuan” mengindikasikan dan mempertegas bahwa setiap kelompok minoritas
telah diakui dan diikat di dalam ideology tersebut setelah bersatu di dalam
NKRI. Persoalan prinsipil inilah rupanya tidak sinkron dengan pengakuan kredo
NKRI tentang kebhinekaan-tunggal-ika, yang mengakui perbedaan di dalam
persatuan Negara Republik Indonesia ini. Ketiga
kebebasan setelah kungkungan Orde Baru selama kurang lebih 32 tahun membuat
beberapa kelompok masyarakat menjadi lebih berani menampilkan “perbedaan”
menjadi suatu “permasalahan”, yang dapat mengatas-namakan agama tertentu untuk
menekan agama tertentu yang tidak sinkron dengan kredonya, sesuai tafsir
keagamaannya sendiri sekali pun terkesan menghalalkan kekerasan demi tujuannya.
Karena itu banyak pihak menyebut bahwa reformasi yang berjalan di Negara
Republik Indonesia sudah kebablasan, yang justru sedikit banyak berbeda dengan
prinsip demokrasi yang sering digemakan pada saat ini.
2.
Dalam suasana soSial politis demikian maka
rasanya tidak cukup Departemen Agama sebagai sarana mengakomodasi aspirasi
Islam di Negara Republik Indonesia, sehingga timbul pikiran untuk mengambil
format model kenegaraan Amerika Serikat (AS) di mana mayoritas Kristen tidak
dapat diutak-atik, misalnya calon Presiden AS tidak boleh terlibat kasus
kejahatan apa pun termasuk soal perselingkuhan. Kekuatan etika Kristen di AS
telah memberi inspirasi bagi saudara-saudara kita untuk “mengimitasi” model
Negara AS di Negara Republik Indonesia. Maraknya proses hukum berbau agama
seperti “syariat Islam menjadi bukti penguatan akomodasi aspirasi Islam di
Negara Republik Indonesia, termasuk apa yang menjadi pokok penting pembicaraan
kita di sini yakni “Surat Peraturan Bersama” tentang Pendirian Rumah Ibadah
(kita singkat: SPB). Negara hukum Republik Indonesia berdasar UUD 1945 pasal 29
memang jelas TIDAK MELARANG warganya untuk memeluk dan menganut kepercayaannya
masing-masing, namun pemerintah berkelit dengan aspek “legalitas” pendirian
rumah ibadah, yang secara implisit tidak tertulis di dalam pasal 29 UUD 1945
tersebut. SPB tersebut telah menambahi peranan pemerintah sebagai pihak
pengendali atau pengontrol, bukan lagi menjadi fasilitator sebagai eksplisit
dinyatakan di dalam Pasal 29 UUD 1945 tersebut. Pemerintah selama ini menilai,
bahwa rakyat selalu berkonflik dalam masalah agama, (walaupun intinya adalah
seringnya terjadi konflik dalam mendirikan rumah ibadah bagi umat non-Muslim),
sehingga pemerintah “perlu” turun tangan untuk mengatur tatacara pendirian
rumah ibadah (non-Muslim) tersebut. Juga dalam peraturan dua menteri ini tidak
memungkinkan adanya multiinterpretasi, karena apabila timbul permasalahan, maka
keputusan terakhir ada pada Gubernur untuk tingkat Provinsi, dan pada
Bupati/Walikota di tingkat Kabupaten/kota.
Mungkin ini penjabaran slogan “Bersama Kita Bisa” dalam seluruh kehidupan masyarakat, sehingga menjadi “Bersama Kita Bisa Menyamakan Semua!”. Hal ini mengingatkan kita kajian George Orwel (nama aslinya Eric Arthur Blair) di dalam novel fiksinya berjudul “Nineteen Eighty-Four pada tahun 1948. Orwell member suatu ekspresi prediktif suatu negara pada tahun 1984, di mana suatu rezim totaliter mengontrol semua perilaku baik perkataan maupun perbuatan setiap warga negaranya. Satu orang pun tidak boleh luput dari pengendalian pengamatan penguasa yang dnamakannya“Big Brother” (ingat satu tayangan di Televisi swasta kita itu). Tapi di dalam novel tersebut Orwell tidak mengatur tata cara berpakaian, tata cara berinternet, termasuk tata cara merokok sebagaimana telah dikendalikan melalui peraturan pemerintah di Negara Republik Indonesia ini.
Mungkin ini penjabaran slogan “Bersama Kita Bisa” dalam seluruh kehidupan masyarakat, sehingga menjadi “Bersama Kita Bisa Menyamakan Semua!”. Hal ini mengingatkan kita kajian George Orwel (nama aslinya Eric Arthur Blair) di dalam novel fiksinya berjudul “Nineteen Eighty-Four pada tahun 1948. Orwell member suatu ekspresi prediktif suatu negara pada tahun 1984, di mana suatu rezim totaliter mengontrol semua perilaku baik perkataan maupun perbuatan setiap warga negaranya. Satu orang pun tidak boleh luput dari pengendalian pengamatan penguasa yang dnamakannya“Big Brother” (ingat satu tayangan di Televisi swasta kita itu). Tapi di dalam novel tersebut Orwell tidak mengatur tata cara berpakaian, tata cara berinternet, termasuk tata cara merokok sebagaimana telah dikendalikan melalui peraturan pemerintah di Negara Republik Indonesia ini.
3.
SPB ini sebenarnya merupakan hasil pengembangan
dari SKB (Surat Keputusan Bersama) dari 2 Menteri tahun 1967 lalu direvisi lagi
menjadi SKB dua menteri No 1/1969, yang menjadi Peraturan Bersama (Perber) dan
dituangkan menjadi SPB pada saat ini. Awalnya hanya disebut butuh 60 umat
beragama untuk mendirikan rumah ibadah namun di dalam SKB bertambah jadi 90
orang umat beragama yang satu ditambah lagi sedikitnya 60 dari umat beragama
penduduk sekitar di mana rumah ibadah tersebut akan didirikan. Yang menjadi
masalahnya buat kita bahwa pembahasan tentang SKB tersebut sudah disetujui
dengan kehadiran institusi PGI, KWI, MUI, Walubi, dan PHDI bersama-sama dengan
pemerintah yang diwakili oleh pihak Departemen Agama dan Departemen Dalam
Negeri. Di dalam pembahasan tersebut dirumuskan 6 bab pokok penting telah
bersifat final. Pertama Bab I dalam satu pasal tentang Ketentuan Umum. Kedua Bab
II berisi 6 pasal tentang Tugas Kepala Daerah di dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama. Ketiga Bab III berisi 5 pasal tentang Forum Kerukunan Umat
Beragama. Keempat Bab IV berisi 4 pasal tentang pendirian rumah ibadah yang
mencakup prinsip pendirian rumah ibadah, syarat pendirian rumah ibadah, forum
rekomendasi, dan jangka waktu penetapan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah
ibadah. Kelima enam bab lainnya mengenai ijin sementara penggunaan bangunan,
penyelesaian perselisihan, pengawasan, belanja, ketentuan peralihan, dan
ketentuan penutup (berikut terlampir dalam tulisan ini). Dewasa ini SKB
berkembang jadi wacana untuk ditingkatkan menjadi Undang-Undang setelah terjadi
kesulitan bahkan adanya kekerasan untuk melarang umat beragama di dalam
melaksanakan peribadahannya termasuk peristiwa di Ciketing, Bekasi. Diskusi
kita saat ini tentu bermanfaat untuk mengembangkan wacana tersebut sehingga
mengeliminir kesulitan-kesulitan yang dialami umat beragama di dalam beribadah.
Tentu saja kita harus memerhatikan produk hukum yang berlaku di Negara Republik
Indonesia ini terkait tentang SKB ini. Pertama
UUD 1945 pasal 29 dikaitkan dengan pasal 28 mengenai batasan hak-hak asasi
manusia. Kedua TAP MPR Nomor III
tahun 2000 tentang tata urutan peraturan perundang-undangan sama sekali tidak
menyebutkan adanya peraturan menteri apalagi peraturan bersama dua menteri. Ketiga Undang Undang Nomor 10 tahun
2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan mengimplementasikan TAP MPR Nomor
III tahun 2000 tersebut. Di dalam Bab II Pasal 7 misalnya dinyatakan tentang
jenis-jenis hirarki perundang-undangan namun tidak ada menyebutkan perihal SKB
atau SPB itu sehingga kita dapat menafsirkan bahwa bIsa saja produk tersebut
hanya berlaku bagi institusi pembuatnya, yakni Departemen Dalam Negeri dan
Departemen Agama. Keempat Undang
Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung. Di dalam undang-undang ini
disebut tentang ijin mendirikan bangunan (IMB) beserta proses serta
prosedurnya. Menurut Prof.DR. H.Mahfud
MD, Ketua Mahkamah Konstitusi menegaskan,”"Isi atau materi dalam Surat
Keputusan Bersama (SKB) dua menteri tersebut mendesak untuk ditinjau ulang dan
direvisi tanpa menghilangkan esensi dari makna SKB tersebut karena saat ini
kondisi di lapangan sudah tidak relevan lagi," katanya di rumah
pribadinya, Sambilegi, Maguwoharjo, Depok, Sleman, pada Selasa tanggal 14
September 2010. Menurut Mahfud, SKB dua menteri yang ditandatangani Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Agama tersebut awalnya memang diperuntukkan
menghindari konflik horizontal di tengah masyarakat namun untuk kondisi saat
ini SKB tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi di tengah masyarakat karena
tingkat mobilitas penduduk yang sangat cepat.
[1]
Judul ini mengekspresikan pokok diskusi kita tentang “Pandangan Gereja Tentang
Pendirian Rumah Ibadah Ditinjau dari PBM No. 8/9 tahun 2006 di Pelpem GKPS
Pusat Pematang Siantar pada Sabtu, 23 Juli 2011.
[2]
Pendeta HKBP, yang menamatkan studi STh dari STT Jakarta dan S2 dari
Pascasarjana Universitas Padjadjaran bidang studi Sosiologi dan Antropologi
tahun 2005, kini melayani sebagai Dosen Tetap bidang studi PPKN di Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas HKBP Nommensen di Pematang Siantar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar