RaNAH JARGON “UT
OMNES UNUM SINT”[1]
Oleh : Melvin
M.Simanjuntak, STh, MSi[2]
Pengantar
Ketika saya diminta
untuk membawakan suatu materi yang memuat jargon GMKI yang tenar itu, “Ut Omnes Unum Sint”, rasanya sangat
berat dan terbeban sekali karena harus merefleksikan pengertian yang sangat
mendalam dari 4 kata yang merangkainya. Ke 4 kata tersebut mungkin dapat
dikatakan sebagai 4 landasan pilar yang membangun GMKI sebagai organisasi
masyarakat yang menjadi salah satu pilar dari Kelompok Cipayung. Ke 4 pilar di
dalam “ber-GMKI” menurut saya mencakup: 1. Penelaahan Alkitab, 2. Anggaran
Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), 3. Tripanji GMKI (Tinggi Ilmu,
Tinggi Iman, Tinggi Pengabdian), dan 4. Jargon “Ut Omnes Unum Sint”. Jargon cukup penting di dalam ranah kehidupan
kita, misal Barrack Obama dengan “Change,
we can”. Tuhan sendiri pun memakai jargon untuk menyatakan identitasnya ,
“Aku adalah Aku”, “Aku adalah Roti”, dst.
Pada kesempatan ini saya menyampaikan bahwa konsep
jargon “Ut Omnes Unum Sint” dengan
penjelajahan tidak hanya bicara tentang doa Tuhan Yesus dari ayat Yohanes
17:21, melainkan juga bicara tentang politik multikulturalisme, imajinasi
keadilan, dan jargon politik persatuan atau keesaan. Ternyata jargon tersebut
tidak hanya digunakan oleh GMKI, tetapi juga oleh pejabat Gereja
India Selatan (the Church of South India), Federasi Mahasiswa Kristen Se-dunia (the World
Student Christian Federation, WSCF), Universitas
Mainz, the United Church of Canada, Young
Men’s Christian Association (YMCA), dan biarawan Graymoor yang dikenal sebagai “Masyarakat Tobat” (the
Society of the Atonement) sudah 100 tahun memakai jargon ini[3].
1.
Ut
Omnes Unum Sint Adalah Doa Tuhan Yesus
Teks Yohanes 17:21 berisi
sebagaiberikut, “supaya mereka semua
menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam
Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah
yang telah mengutus Aku”. “supaya
mereka semua menjadi satu” di dalam teks Vulgata tertulis “ut omnes unum sint”. Doa Tuhan Yesus
ini bicara tentang kesatuan, atau keesaan religius seperti “Bapa di dalam Aku,
dan Aku di dalam Bapa”, merupakan makna ontologis, satu sama lain tak
terpisahkan bukan hanya “seia-sekata” atau musyawarah untuk mufakat. Beberapa
faktor teologis disebutkan Tuhan Yesus untuk mencapai “keesaan” dimaksud, yakni:
pertama ketaatan dan percaya kepada
Firman (ayat Yoh 17:6), kedua
perpisahan dari dunia (ayat Yoh 17:14-16), ketiga
pengudusan dalam kebenaran (ayat Yoh 17:17,19), keempat hidup di dalam Kristus (ayat Yoh 17:23), kelima keinginan untuk membawa
keselamatan kepada yang hilang (ayat Yoh 17:21,23), keenam mengenal dan mengalami kasih Bapa dan persekutuan Kristus
(ayat Yoh 17:26). Pemahaman yang esa seperti doa Tuhan Yesus ini dikooptasi dan
dikembangkan oleh Rasul Paulus, dengan teologi kesatuan talenta dan kesatuan
tubuh Kristus. Maksud dan tujuan doa Tuhan Yesus tentu saja bukan untuk
mempersatukan para muridNya, melainkan secara hakekat benar-benar “satu
adanya”. Sejak abad keenambelas, doa ini disebut "Doa Tuhan Yesus sebagai
Imam Besar", "Doa Penyerahan" atau "Doa Kemenangan".
Sebab suasana kemenangan sangat jelas ditekankan dalam doa ini. Tuhan Yesus
menang, karena Dia berhasil melakukan tugas yang ditetapkan bagi Dia oleh Allah
Bapa. “Satu adanya” merupakan proses
berkelanjutan, terus menerus nyata pada ucapan dan tindakan orang percaya yang
memiliki kesamaan hubungan kepada Bapa dan Anak, memiliki sikap yang sama
terhadap dunia, fidelitas terhadap Firman Allah dan urgensi untuk menjangkau
mereka yang hilang (bdg. 1 Yoh 1:7).
2.
Ut
Omnes Unum Sint Adalah Ranah Multikulturalisme dan Keadilan
Multikulturalisme
(Multi= Banyak, Ragam, Aneka; Kultural= kebudayaan) adalah racikan atau ramuan
jitu kristalisasi ideologisasi keragaman kebudayaan suatu bangsa di dalam pola
kesederajatan. Misal budaya ulos Batak dapat sejajar dan memiliki nilai yang
sama dengan budaya batik Jawa. Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan
bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah” amat jelas
sebagai bukti pemerintah harus melaksanakan apa yang sekarang disebut sebaai
“politik multikulturalisme”. Watson sangat brilian memaparkan tentang proses multikultural
yang terjadi di daerah Sumatera, deeengan menuliskan, “Masyarakat
Sumatra sudah selalu memegang sangat
betul-betul kepada dugaan dari suatu perkembangan tradisi dan belum pernah
terpengaruh ke obyektivitas praktek budaya mereka. Kata " adat" menandakan
keseluruhan cakupan institusi dari hukum
dan politik ke capaian, upacara agama,
dan perilaku sehari-hari. Tatkala mereka menyatakan, " Kain dipakai usang, Adat dipakai baru"[4].
Artinya jika kain dipakai terus menerus tentu saja akan berubah kusam, menipis,
bahkan menjadi robek dan jelas menjadi using, karena tak bisa digunakan lagi.
Akan tetapi hal berbeda terjadi ketika adat terus menerus digunakan maka adat
tersebut akan berubah, mengalami proses pembaharuan, dan tetap berguna untuk
selama hayat manusia pemakainya. Di
dalam proses multikulturalisme tersebut terdapat 2 proses berkelanjutan yang
sangat penting untuk dicermati bersama, yakni: pertama proses keseragaman
kebudayaan (cultural diversity) dan
kedua proses keseragaman dunia (global
uniformity). Yang pertama dapat dipahami apabila berangkat dari kebudayaan
lokal menjadi kebudayaan nasional, sebagaimana dimaksud konstitusi negara kita.
Namun untuk yang kedua mungkin akan terjadi perdebatan dan perbenturan apabila
yang dimaksud adalah tak lain tak bukan politik “demokrasi” atau “perdagangan
bebas” (free market).
Jargon Ut Omnes Unum Sint secara hakiki
seharusnya dan sudah waktunya diletakkan di dalam kerangka politik
multikulturalisme, untuk mengejawantahkan prinsip-prinsip Pancasila dengan sila
“Persatuan Indonesia”, keragaman pluralitas masyarakat yang dipersatukan ke
dalam “Bhinneka Tunggal Ika” sehingga negara kita tidak sepatutnya berbicara
tentang masyarakat minoritas dan masyarakat mayoritas, karena hal ini tidak
tercantum dan tertulis di dalam konstitusi UUD 1945 kita. Di sinilah sering
kita terjebak pada pola pemahaman yang sangat menyesatkan ini, dan GMKI
terpanggil untuk membenahi pemahaman yang benar. Substansi ini tentu saja akan
berkaitan dengan pemahaman kita yang cocok dalam menghayati jargon “Ut Omnes Unum Sint”. Jika kita simak
dengan saksama dan secara logis kalimat “mereka menjadi satu”, dari banyak,
bentuk plural menjadi singular, maka dapat dirangkai dengan kalimat lain “All for One”, atau kita balik menjadi “One for All”, maka jargon ini berbicara
tentang keadilan dalam kebersamaan, keadilan yang bagi rakyat. “Keadilan Semua
untuk Satu”, “Keadilan Satu untuk Semua”, sehingga filosofis ini akan mengisi
ruang yang pengap tentang proses demokratisasi kita di era reformasi ini. Masalahnya
adalah bagaimana kita semua turut ambil bagian memperjuangkan, menyuarakan
tentang ini agar dapat diimplementasikan menjadi realitas kenegaraan dan
kebangsaan kita, atau kita hanya cukup “senang” mendengar ini menjadi dendang
yang dilantunkan John Lennon, “You may
say that I'm a dreamer. But I'm not the only one. I hope someday you'll join
us. And the world will be as one’. Terjemahan bebasnya kira-kira seperti
ini, “anda dapat sebut saya sebagai pemimpi. Tapi saya tidak sendirian. Saya
harap kelak anda akan bergabung. Dan dunia akan menjadi satu”.
[1] Disampaikan
pada Masa Perkenalan (MAPER) GMKI Cabang Siantar-Simalungun, 28 September 2013
di STT HKBP Pematang Siantar. Tentang jargon “ut omnes unum sint” pernah ditulis menjadi buku oleh P.K.Pilon. “Ut
Omnes Unum Sint: Oikumenika Bagian Sejarah”, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1973.
[2] Kini Dosen
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada FKIP Universitas HKBP
Nommensen di Pematang Siantar
[3] WSCF, YMCA, dan
juga GMKI adalah termasuk pelopor dari gerakan oikumenis, yang berupaya untuk
menyatukan gereja sebagai tubuh Kristus, dengan melahirkan Dewan Gereja-gereja
Indonesia/DGI (sekarang bernama PGI) dengan tokohnya yang ikut andil melahirkan
GMKI adalah John R.Mott, selain Dr.Johannes Leimena, Dr.O.E.Engelen dari putra
Indonesia.
[4] Silahkan dibaca
lebih lanjut C.W.Watson,”Multiculturalism”, Philadelphia:
Open University Press, 2000, hal.74. Buku lain yang mengkaji lebih filosofis moralitas
di dalam Multikulturalisme dapat dibaca Charles Taylor, “Multiculturalism: Examining the
Politics of Recognition”, New York: Princeton University Press, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar