Sabtu, 03 Mei 2014

RaNAH JARGON “UT OMNES UNUM SINT”

RaNAH JARGON “UT OMNES UNUM SINT”[1]
Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi[2]

Pengantar
Ketika saya diminta untuk membawakan suatu materi yang memuat jargon GMKI yang tenar itu, “Ut Omnes Unum Sint”, rasanya sangat berat dan terbeban sekali karena harus merefleksikan pengertian yang sangat mendalam dari 4 kata yang merangkainya. Ke 4 kata tersebut mungkin dapat dikatakan sebagai 4 landasan pilar yang membangun GMKI sebagai organisasi masyarakat yang menjadi salah satu pilar dari Kelompok Cipayung. Ke 4 pilar di dalam “ber-GMKI” menurut saya mencakup: 1. Penelaahan Alkitab, 2. Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), 3. Tripanji GMKI (Tinggi Ilmu, Tinggi Iman, Tinggi Pengabdian), dan 4. Jargon “Ut Omnes Unum Sint”. Jargon cukup penting di dalam ranah kehidupan kita, misal Barrack Obama dengan “Change, we can”. Tuhan sendiri pun memakai jargon untuk menyatakan identitasnya , “Aku adalah Aku”, “Aku adalah Roti”, dst.
Pada kesempatan ini saya menyampaikan bahwa konsep jargon “Ut Omnes Unum Sint” dengan penjelajahan tidak hanya bicara tentang doa Tuhan Yesus dari ayat Yohanes 17:21, melainkan juga bicara tentang politik multikulturalisme, imajinasi keadilan, dan jargon politik persatuan atau keesaan. Ternyata jargon tersebut tidak hanya digunakan oleh GMKI, tetapi juga oleh pejabat Gereja India Selatan (the Church of South India), Federasi Mahasiswa Kristen Se-dunia (the World Student Christian Federation, WSCF), Universitas Mainz, the United Church of Canada, Young Men’s Christian Association (YMCA), dan biarawan Graymoor yang dikenal sebagai “Masyarakat Tobat” (the Society of the Atonement) sudah 100 tahun memakai jargon ini[3].  

1.         Ut Omnes Unum Sint Adalah Doa Tuhan Yesus
Teks Yohanes 17:21 berisi sebagaiberikut, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”. “supaya mereka semua menjadi satu” di dalam teks Vulgata tertulis “ut omnes unum sint”. Doa Tuhan Yesus ini bicara tentang kesatuan, atau keesaan religius seperti “Bapa di dalam Aku, dan Aku di dalam Bapa”, merupakan makna ontologis, satu sama lain tak terpisahkan bukan hanya “seia-sekata” atau musyawarah untuk mufakat. Beberapa faktor teologis disebutkan Tuhan Yesus untuk mencapai “keesaan” dimaksud, yakni: pertama ketaatan dan percaya kepada Firman (ayat Yoh 17:6), kedua perpisahan dari dunia (ayat Yoh 17:14-16), ketiga pengudusan dalam kebenaran (ayat Yoh 17:17,19), keempat hidup di dalam Kristus (ayat Yoh 17:23), kelima keinginan untuk membawa keselamatan kepada yang hilang (ayat Yoh 17:21,23), keenam mengenal dan mengalami kasih Bapa dan persekutuan Kristus (ayat Yoh 17:26). Pemahaman yang esa seperti doa Tuhan Yesus ini dikooptasi dan dikembangkan oleh Rasul Paulus, dengan teologi kesatuan talenta dan kesatuan tubuh Kristus. Maksud dan tujuan doa Tuhan Yesus tentu saja bukan untuk mempersatukan para muridNya, melainkan secara hakekat benar-benar “satu adanya”. Sejak abad keenambelas, doa ini disebut "Doa Tuhan Yesus sebagai Imam Besar", "Doa Penyerahan" atau "Doa Kemenangan". Sebab suasana kemenangan sangat jelas ditekankan dalam doa ini. Tuhan Yesus menang, karena Dia berhasil melakukan tugas yang ditetapkan bagi Dia oleh Allah Bapa.  “Satu adanya” merupakan proses berkelanjutan, terus menerus nyata pada ucapan dan tindakan orang percaya yang memiliki kesamaan hubungan kepada Bapa dan Anak, memiliki sikap yang sama terhadap dunia, fidelitas terhadap Firman Allah dan urgensi untuk menjangkau mereka yang hilang (bdg. 1 Yoh 1:7).

2.         Ut Omnes Unum Sint Adalah Ranah Multikulturalisme dan Keadilan
Multikulturalisme (Multi= Banyak, Ragam, Aneka; Kultural= kebudayaan) adalah racikan atau ramuan jitu kristalisasi ideologisasi keragaman kebudayaan suatu bangsa di dalam pola kesederajatan. Misal budaya ulos Batak dapat sejajar dan memiliki nilai yang sama dengan budaya batik Jawa. Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah” amat jelas sebagai bukti pemerintah harus melaksanakan apa yang sekarang disebut sebaai “politik multikulturalisme”. Watson sangat brilian memaparkan tentang proses multikultural yang terjadi di daerah Sumatera, deeengan menuliskan, “Masyarakat  Sumatra sudah selalu memegang sangat betul-betul kepada dugaan dari suatu perkembangan tradisi dan belum pernah terpengaruh ke obyektivitas praktek budaya mereka. Kata " adat" menandakan keseluruhan cakupan institusi dari  hukum dan  politik ke capaian, upacara agama, dan perilaku sehari-hari. Tatkala mereka menyatakan, " Kain dipakai usang, Adat dipakai baru"[4]. Artinya jika kain dipakai terus menerus tentu saja akan berubah kusam, menipis, bahkan menjadi robek dan jelas menjadi using, karena tak bisa digunakan lagi. Akan tetapi hal berbeda terjadi ketika adat terus menerus digunakan maka adat tersebut akan berubah, mengalami proses pembaharuan, dan tetap berguna untuk selama hayat manusia pemakainya. Di dalam proses multikulturalisme tersebut terdapat 2 proses berkelanjutan yang sangat penting untuk dicermati bersama, yakni: pertama proses keseragaman kebudayaan (cultural diversity) dan kedua proses keseragaman dunia (global uniformity). Yang pertama dapat dipahami apabila berangkat dari kebudayaan lokal menjadi kebudayaan nasional, sebagaimana dimaksud konstitusi negara kita. Namun untuk yang kedua mungkin akan terjadi perdebatan dan perbenturan apabila yang dimaksud adalah tak lain tak bukan politik “demokrasi” atau “perdagangan bebas” (free market).
Jargon Ut Omnes Unum Sint secara hakiki seharusnya dan sudah waktunya diletakkan di dalam kerangka politik multikulturalisme, untuk mengejawantahkan prinsip-prinsip Pancasila dengan sila “Persatuan Indonesia”, keragaman pluralitas masyarakat yang dipersatukan ke dalam “Bhinneka Tunggal Ika” sehingga negara kita tidak sepatutnya berbicara tentang masyarakat minoritas dan masyarakat mayoritas, karena hal ini tidak tercantum dan tertulis di dalam konstitusi UUD 1945 kita. Di sinilah sering kita terjebak pada pola pemahaman yang sangat menyesatkan ini, dan GMKI terpanggil untuk membenahi pemahaman yang benar. Substansi ini tentu saja akan berkaitan dengan pemahaman kita yang cocok dalam menghayati jargon “Ut Omnes Unum Sint”. Jika kita simak dengan saksama dan secara logis kalimat “mereka menjadi satu”, dari banyak, bentuk plural menjadi singular, maka dapat dirangkai dengan kalimat lain “All for One”, atau kita balik menjadi “One for All”, maka jargon ini berbicara tentang keadilan dalam kebersamaan, keadilan yang bagi rakyat. “Keadilan Semua untuk Satu”, “Keadilan Satu untuk Semua”, sehingga filosofis ini akan mengisi ruang yang pengap tentang proses demokratisasi kita di era reformasi ini. Masalahnya adalah bagaimana kita semua turut ambil bagian memperjuangkan, menyuarakan tentang ini agar dapat diimplementasikan menjadi realitas kenegaraan dan kebangsaan kita, atau kita hanya cukup “senang” mendengar ini menjadi dendang yang dilantunkan John Lennon, “You may say that I'm a dreamer. But I'm not the only one. I hope someday you'll join us. And the world will be as one’. Terjemahan bebasnya kira-kira seperti ini, “anda dapat sebut saya sebagai pemimpi. Tapi saya tidak sendirian. Saya harap kelak anda akan bergabung. Dan dunia akan menjadi satu”.



[1]  Disampaikan pada Masa Perkenalan (MAPER) GMKI Cabang Siantar-Simalungun, 28 September 2013 di STT HKBP Pematang Siantar. Tentang jargon “ut omnes unum sint” pernah ditulis menjadi buku oleh P.K.Pilon. “Ut Omnes Unum Sint: Oikumenika Bagian Sejarah”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973.
[2]  Kini Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada FKIP Universitas HKBP Nommensen di Pematang Siantar
[3]  WSCF, YMCA, dan juga GMKI adalah termasuk pelopor dari gerakan oikumenis, yang berupaya untuk menyatukan gereja sebagai tubuh Kristus, dengan melahirkan Dewan Gereja-gereja Indonesia/DGI (sekarang bernama PGI) dengan tokohnya yang ikut andil melahirkan GMKI adalah John R.Mott, selain Dr.Johannes Leimena, Dr.O.E.Engelen dari putra Indonesia.
[4]  Silahkan dibaca lebih lanjut C.W.Watson,”Multiculturalism”, Philadelphia: Open University Press, 2000, hal.74. Buku lain yang mengkaji lebih filosofis moralitas di dalam Multikulturalisme dapat dibaca Charles Taylor, “Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition”, New York: Princeton University Press, 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar