SUARA POLITIK, SUARA RAKYAT, SUARA
TUHAN
Oleh : Melvin
M.Simanjuntak, STh, MSi[1]
ZOON POLITICON DAN WILL TO POWER
Menurut filsuf purba Plato dan
muridnya Aristoteles memaklumatkan bahwa hakikat manusia adalah zoon politicon
di mana tatkala di kedalaman sanubari manusia terdapat hasrat atau nafsu tidak
hanya menguasai diri sendiri melainkan juga bisa menguasai orang lain. Insan
politis ini ada pada setiap manusia, membentuk kedirian dan kepribadiannya
serta membangun suatu polis (baca: kota) sebagai habitat kediamannya. Dengan
artiluasi makna hakikat manusia sedemikian rupa maka setidaknya di dalam diri
manusia terdapat suatu potensi kekuatan yang cukup menggemaskan dan
mencemaskan. Gemas ketika hasil kekuasaan itu sungguh nikmat dan dapat dirasakan
untuk mencapai pemenuhan kebutuhan hidupnya dan orang lain. Cemas bila ternyata
berdampak negatif, misalnya akibat kekuasaan maka perlu pembangunan dan
pembangunan akan mengurangi lokasi habitat mahluk ciptaan yang lain.
Pemikiran purba ini kemudian dikembangbiakan oleh Friedrich
Nietzsche yang berbicara tentang‘the will to power, yang kemudian konsep Nietzsche inilah yang
digunakan Adolf Hitler saat hendak menguasai dunia dengan cara yang rasis,
mengunggulkan ras Aria namun “memusnahkan” ras Yahudi.[2] Nafsu atau kehendak untuk berkuasa (will to
power) sangat ditentukan oleh legitimasinya, dari mana kekuasaan tersebut
diperoleh; bias secara tradisional genetic seperti konsep Raja Huta di etnis
Batak Toba, bisa dengan dominasi, dan bisa juga dengan aturan main yang diakui
bersama. Namun di dalam perkembangan terbaru soal kekuasaan tidak lagi
berbicara tentang legitimasi melainkan relasi, yang dikemukankan oleh Michel
Foucault, pemikir dari Perancis. Menurut Foucault, kekuasaan adalah satu
dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan. Ketika satu
orang berhubungan dengan orang lain maka sesungguhnya di dalam hubungan
tersebut telah berlangsung kekuasaan. Pola ini dapat terlihat ketika Pemilu
usai di Negara Indonesia mulai tahun 2004, 2009 di mana partai politik pemenang
dengan Presiden yang terpilih memerlukan gerbong kebersamaan di bawah payung “kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1 dan 2” yang
berragam corak; tidak hanya dari kalangan karir dan professional namun juga
dari berbagai kader partai politik yang berkoalisi. Jadi Kuasa itu ada di
mana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara pelbagai kekuatan, terjadi
secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia. Kekuasaan hanyalah
sebuah strategi. Strategi ini berlangsung di mana-mana dan di sana terdapat
sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar,
melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam
dan memungkinkan semuanya terjadi.[3]
VOX POPULI VOX DEI DAN HOMO HOMINI
LUPUS
Kedua istilah ini sangat menarik
untuk dicermati karena keduanya sering digunakan para politisi dan pemerintahan
untuk memaparkan pemaknaan dari kekuasaan dan turunannya yang bernama
kepentingan. Di dalam salah satu teori Ilmu Politik “kedaulatan Tuhan” di mana
segala bentuk kedaulatan dan kekuasaan atas dasar kehendak Tuhan dan Tuhan
bertindak sendiri sebagai mandataris kekuasaan yang mutlak. Salah satu negara
yang dapat dikatakan masih memegang teori kedaulatan Tuhan ini adalah Negara
Vatikan. Untuk bias memahami kehendak Tuhan maka Paus Alexander pada jamannya
menegaskan jargon adagium politisnya yang sangat terkenal itu “vox
populi vox Dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan). Medium untuk dapat
dikenali sebagai suara Tuhan adalah dengan cara mendengarkan, memperhatikan dan
menjalankan suara-suara yang menjadi harapan rakyat banyak tentang kepentingan
mereka, kebutuhan mereka, yang juga seharusnya menjadi acuan untuk kepentingan
bangsa dan Negara (kolektivas bukan individualitas yang amat ditekankan di
dalam kultur keindonesiaan yang mengenal semangat gotong royong). Tatkala
banyak kelompok masyarakat menolak kenaikan harga BBM, solusi terbaik
seharusnya tidak cukup dengan memperbaharui APBN tetapi memberi kesempatan
rakyat Indonesia untuk menyatakan hati nuraninya melalui referendum. Tampaknya
politik kenaikan harga BBM menjadi senjata pamungkas untuk meraih empati rakyat
miskin walau tanpa ada niat mengatasi kemiskinannya, dan sarana menaikkan
politik pencitraan setelah dihantam masuk angin akibat salah kelola proyek
wisma atlet, hambalang, dan kuota daging impor yang ramai diperbincangkan
rakyat. Tapi di sisi lain terdapat suatu pemikiran yang justru memilah dan
memecah belah kepentingan dari konsep vox populi vox Dei ini. Adalah pemikiran
purba Plautus pada tahun 945 M, kemudian dipopulerkan oleh Thomas Hobbes jargon
adagium politis “homo homini lupus” yang berarti “manusia menjadi serigala bagi
manusia lainnya”.
Pemakaian jargon ini di kancah perpolitikan nasional
Indonesia sungguh salah kaprah, sehingga menjelaskan secara eksplisit tentang
profil dan format perpolitikan nasional yang tidak bisa dipercaya, tidak
bersahabat, dan mampu menghalalkan segala cara serta mengharamkan hal-hal yang
sakral. Akibatnya bagi perkembangan dunia politik di Indonesia sungguh-sungguh
tidak memberikan pembelajaran politik (political education) kepada rakyat
dengan tontonan dagelan yang gila-gilaan, jauh dari kultur ketimuran Indonesia
ini. Eep Saefulloh Fatah benar ketika menyebut bahwa era reformasi bangsa
Indonesia saat ini merupakan jaman kesempatan. Tentu pengartian kata
“kesempatan”[4]
dimaksud sangat bersayap, yang bias memiliki
makna yang positif dan juga negatif. Positif apabila system berbangsa dan
bernegara ini ditata sedemikian rupa untuk tetap dalam kerangka semangat menuju
masyarakat adil dan makmur untuk semua orang yang tinggal di bumi pertiwi
Indonesia raya ini, sesuai amanat Pembukaan UUD 1945 hasil amandemen. Sesuai
Pasal 29 UUD 1945 hasil amandemen yang menegaskan kebebasan beragama bagi
setiap warga Negara tanpa terkecuali maka seharusnya secara legal formal sudah
menggugurkan peraturan bersama menteri yang membatasi pendirian rumah-rumah
ibadah bagi setiap warga Negara Indonesia. Akan tetapi faktanya tidaklah
demikian, karena prinsip homo homini lupus, maka terminologi
“sebangsa setanah air” rasanya menjadi tidak relevan lagi dan mulai
ditinggalkan. Maraknya persoalan-persoalan yang muncul ke permukaan sudah
selayaknya membuat tiap warga Negara yang mengaku bangsa Indonesia
mempersoalkan “kemanusiaan Indonesia”, apakah benar masih manusia Indonesia
yang ramah atau manusia Indonesia yang penuh kemunafikan, sebagaimana yang
ditegaskan Mochtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia”. Negatif karena ada
kelompok-kelompok kecil manusia Indonesia dengan tidak jujur, memakai prinsip
homo homini lupus, membenarkan tindakan sepihak yang dilakukannya tatkala
menurut pandangannya sendiri berbau “maksiat”, padahal seorang anggota DPR yang
tertangkap kering menonton video tak bermoral tidak mendapat respon mereka ini,
atau kasus oknum seorang atasan aparat keamanan yang menyuruh bawahannya untuk
berbugil ria. Dalam situasi luar biasa biadabnya keadaban manusia Indonesia
yang sedemikian rupa, rasanya gereja-gereja di seluruh Indonesia haruslah
lantang memberikan suara kenabiannya agar rakyat tidak kehilangan keteladanan
karena kita juga memiliki hak dan kewajiban yang sama di Negara Indonesia ini,
juga ikut memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia ini sampai jaman
kesempatan ini.
[1]
Dosen PPKn di FKIP Universitas HKBP Nommensen, Pematang Siantar, Sumatera Utara.
[2]
Friedrich Nietzsche. The Will To Power. Terjemahan Walter
Kaufmann and R. J. Hollingdale. 1968. New York : Vintage Books.
[3]
Michel Foucault, Seks dan Kekuasaan,
S. H. Rahayu (Penterj.), Jakarta: Gramedia, 2000, hal. 144.
[4]
Eep Saefulloh Fatah, “Zaman Kesempatan”, Bandung: Mizan, 2000, hal.li
Tidak ada komentar:
Posting Komentar