Sabtu, 03 Mei 2014

SUARA POLITIK, SUARA RAKYAT, SUARA TUHAN

SUARA POLITIK, SUARA RAKYAT, SUARA TUHAN
Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi[1]

ZOON POLITICON DAN WILL TO POWER
            Menurut filsuf purba Plato dan muridnya Aristoteles memaklumatkan bahwa hakikat manusia adalah zoon politicon di mana tatkala di kedalaman sanubari manusia terdapat hasrat atau nafsu tidak hanya menguasai diri sendiri melainkan juga bisa menguasai orang lain. Insan politis ini ada pada setiap manusia, membentuk kedirian dan kepribadiannya serta membangun suatu polis (baca: kota) sebagai habitat kediamannya. Dengan artiluasi makna hakikat manusia sedemikian rupa maka setidaknya di dalam diri manusia terdapat suatu potensi kekuatan yang cukup menggemaskan dan mencemaskan. Gemas ketika hasil kekuasaan itu sungguh nikmat dan dapat dirasakan untuk mencapai pemenuhan kebutuhan hidupnya dan orang lain. Cemas bila ternyata berdampak negatif, misalnya akibat kekuasaan maka perlu pembangunan dan pembangunan akan mengurangi lokasi habitat mahluk ciptaan yang lain.
Pemikiran purba ini kemudian dikembangbiakan oleh Friedrich Nietzsche yang berbicara tentang‘the will to power, yang kemudian konsep Nietzsche inilah yang digunakan Adolf Hitler saat hendak menguasai dunia dengan cara yang rasis, mengunggulkan ras Aria namun “memusnahkan” ras Yahudi.[2]  Nafsu atau kehendak untuk berkuasa (will to power) sangat ditentukan oleh legitimasinya, dari mana kekuasaan tersebut diperoleh; bias secara tradisional genetic seperti konsep Raja Huta di etnis Batak Toba, bisa dengan dominasi, dan bisa juga dengan aturan main yang diakui bersama. Namun di dalam perkembangan terbaru soal kekuasaan tidak lagi berbicara tentang legitimasi melainkan relasi, yang dikemukankan oleh Michel Foucault, pemikir dari Perancis. Menurut Foucault, kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan. Ketika satu orang berhubungan dengan orang lain maka sesungguhnya di dalam hubungan tersebut telah berlangsung kekuasaan. Pola ini dapat terlihat ketika Pemilu usai di Negara Indonesia mulai tahun 2004, 2009 di mana partai politik pemenang dengan Presiden yang terpilih memerlukan gerbong kebersamaan di bawah payung  “kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1 dan 2” yang berragam corak; tidak hanya dari kalangan karir dan professional namun juga dari berbagai kader partai politik yang berkoalisi. Jadi Kuasa itu ada di mana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara pelbagai kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia. Kekuasaan hanyalah sebuah strategi. Strategi ini berlangsung di mana-mana dan di sana terdapat sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya terjadi.[3]
VOX POPULI VOX DEI DAN HOMO HOMINI LUPUS
            Kedua istilah ini sangat menarik untuk dicermati karena keduanya sering digunakan para politisi dan pemerintahan untuk memaparkan pemaknaan dari kekuasaan dan turunannya yang bernama kepentingan. Di dalam salah satu teori Ilmu Politik “kedaulatan Tuhan” di mana segala bentuk kedaulatan dan kekuasaan atas dasar kehendak Tuhan dan Tuhan bertindak sendiri sebagai mandataris kekuasaan yang mutlak. Salah satu negara yang dapat dikatakan masih memegang teori kedaulatan Tuhan ini adalah Negara Vatikan. Untuk bias memahami kehendak Tuhan maka Paus Alexander pada jamannya menegaskan jargon adagium politisnya yang sangat terkenal itu “vox populi vox Dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan). Medium untuk dapat dikenali sebagai suara Tuhan adalah dengan cara mendengarkan, memperhatikan dan menjalankan suara-suara yang menjadi harapan rakyat banyak tentang kepentingan mereka, kebutuhan mereka, yang juga seharusnya menjadi acuan untuk kepentingan bangsa dan Negara (kolektivas bukan individualitas yang amat ditekankan di dalam kultur keindonesiaan yang mengenal semangat gotong royong). Tatkala banyak kelompok masyarakat menolak kenaikan harga BBM, solusi terbaik seharusnya tidak cukup dengan memperbaharui APBN tetapi memberi kesempatan rakyat Indonesia untuk menyatakan hati nuraninya melalui referendum. Tampaknya politik kenaikan harga BBM menjadi senjata pamungkas untuk meraih empati rakyat miskin walau tanpa ada niat mengatasi kemiskinannya, dan sarana menaikkan politik pencitraan setelah dihantam masuk angin akibat salah kelola proyek wisma atlet, hambalang, dan kuota daging impor yang ramai diperbincangkan rakyat. Tapi di sisi lain terdapat suatu pemikiran yang justru memilah dan memecah belah kepentingan dari konsep vox populi vox Dei ini. Adalah pemikiran purba Plautus pada tahun 945 M, kemudian dipopulerkan oleh Thomas Hobbes jargon adagium politis “homo homini lupus” yang berarti “manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya”.
Pemakaian jargon ini di kancah perpolitikan nasional Indonesia sungguh salah kaprah, sehingga menjelaskan secara eksplisit tentang profil dan format perpolitikan nasional yang tidak bisa dipercaya, tidak bersahabat, dan mampu menghalalkan segala cara serta mengharamkan hal-hal yang sakral. Akibatnya bagi perkembangan dunia politik di Indonesia sungguh-sungguh tidak memberikan pembelajaran politik (political education) kepada rakyat dengan tontonan dagelan yang gila-gilaan, jauh dari kultur ketimuran Indonesia ini. Eep Saefulloh Fatah benar ketika menyebut bahwa era reformasi bangsa Indonesia saat ini merupakan jaman kesempatan. Tentu pengartian kata “kesempatan”[4] dimaksud sangat  bersayap, yang bias memiliki makna yang positif dan juga negatif. Positif apabila system berbangsa dan bernegara ini ditata sedemikian rupa untuk tetap dalam kerangka semangat menuju masyarakat adil dan makmur untuk semua orang yang tinggal di bumi pertiwi Indonesia raya ini, sesuai amanat Pembukaan UUD 1945 hasil amandemen. Sesuai Pasal 29 UUD 1945 hasil amandemen yang menegaskan kebebasan beragama bagi setiap warga Negara tanpa terkecuali maka seharusnya secara legal formal sudah menggugurkan peraturan bersama menteri yang membatasi pendirian rumah-rumah ibadah bagi setiap warga Negara Indonesia. Akan tetapi faktanya tidaklah demikian, karena prinsip homo homini lupus, maka terminologi “sebangsa setanah air” rasanya menjadi tidak relevan lagi dan mulai ditinggalkan. Maraknya persoalan-persoalan yang muncul ke permukaan sudah selayaknya membuat tiap warga Negara yang mengaku bangsa Indonesia mempersoalkan “kemanusiaan Indonesia”, apakah benar masih manusia Indonesia yang ramah atau manusia Indonesia yang penuh kemunafikan, sebagaimana yang ditegaskan Mochtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia”. Negatif karena ada kelompok-kelompok kecil manusia Indonesia dengan tidak jujur, memakai prinsip homo homini lupus, membenarkan tindakan sepihak yang dilakukannya tatkala menurut pandangannya sendiri berbau “maksiat”, padahal seorang anggota DPR yang tertangkap kering menonton video tak bermoral tidak mendapat respon mereka ini, atau kasus oknum seorang atasan aparat keamanan yang menyuruh bawahannya untuk berbugil ria. Dalam situasi luar biasa biadabnya keadaban manusia Indonesia yang sedemikian rupa, rasanya gereja-gereja di seluruh Indonesia haruslah lantang memberikan suara kenabiannya agar rakyat tidak kehilangan keteladanan karena kita juga memiliki hak dan kewajiban yang sama di Negara Indonesia ini, juga ikut memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia ini sampai jaman kesempatan ini.



[1] Dosen PPKn di FKIP Universitas HKBP Nommensen, Pematang Siantar, Sumatera Utara.
[2] Friedrich Nietzsche.  The Will To Power.  Terjemahan Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale. 1968. New York : Vintage Books.
[3] Michel Foucault, Seks dan Kekuasaan, S. H. Rahayu (Penterj.), Jakarta: Gramedia, 2000, hal. 144.
[4] Eep Saefulloh Fatah, “Zaman Kesempatan”, Bandung: Mizan, 2000, hal.li

Tidak ada komentar:

Posting Komentar