PANGGIL,
PANGGILAN, DAN PEMANGGILAN
Oleh : Melvin
M. Simanjuntak, STh, MSi
1.
PENGANTAR
Panitia menghubungi saya untuk mengupas tentang fakta pergumulan usia
pelayan penatua di gereja-gereja, khususnya di gereja HKBP. Judul semula
diberikan panitia adalah “ In Old Age or
Until Old Age ” menurut saya belum mempertajam apa yang hendak diutarakan
mengenai kesenjangan pemikiran dan budaya tentang kiprah generasi muda dan
generasi tua di dalam penatalayanan gereja. Sasaran pemikiran yang diharapkan
sebenarnya kira-kira apakah usia sangat menentukan di dalam melayani Tuhan
melalui gerejaNya? Kemudian apakah masa bakti seumur hidup bagi pelayan penatua
di HKBP dapat memberi kepuasan pada level kebutuhan jemaat, yang menyangkut
motivasi panggilan, integritas, dedikasi, dan komitmen pelayanannya? Kedua pertanyaan
ini sangat penting dan susah-susah mudah untuk memberi ulasan teologis yang
memadai, namun bukan berarti tidak bisa dikupas secara faktual teologis. Demi
sasaran dimaksud maka saya mengubah judul semula menjadi seperti tertulis di
atas, untuk membuka alternatif pemikiran.
Suatu iklan produk kebutuhan menyajikan distorsi pemikiran antara
generasi muda dan generasi tua, dengan mengungkap ketimpangan persepsi dan
perspektif terhadap manusia pada usia muda dan di saat tua. Iklan itu hendak
mengatakan bahwa masih muda belum pantas mengutarakan opininya, kecuali yang
sudah tua. Rasanya iklan itu mengekploitasi kultur masyarakat Timur yaang
mengagungkan dan menguatkan pendapat bahwa generasi tua lebih mapan, lebih bajik,
dan lebih matang; sedangkan generasi muda cuma kencur, masih ingusan, polos dan
hijau, gampang terombang-ambing, plin-plan, dan kurang makan garam (kurang daya
empiris). Gampang, ingat saja pepatah kita,”Tua-tua keladi, makin tua malah
makin jadi”, atau dikatakan,” Belum banyak makan garam”. Sayangnya sangat minim
juga dikuak bahwa banyak penguasa dunia justru pada saat usia tua mencapai
taraf kehancuran dan kebobrokan akut, misal Ferdinand Marcos, Soekarno,
Soeharto.
2.
PANGGILAN TUHAN ATAU
MOTIF PRIBADI ?
Banyak kisah di dalam Alkitab menyajikan tentang panggilan Tuhan
terhadap manusia pada saat usia muda. Yakub menerima berkat dari ayahnya Ishak
dan pergi mengembara ke daerah Midian atau Mesopotamia
pada usia muda. Musa pun dipanggil Tuhan setelah memberi advokasi kepada
rakyatnya dan menerima panggilan Tuhan di usia muda. Tuhan memanggil Samuel
menjadi hakim sekaligus nabi bagi bangsa Israel pada usia sangat muda. Demikian kenaikan Saul, Daud, dan Yosia
menjadi raja atas bangsa Israel
saat usia mereka relatif muda. Nabi Yeremia sudah dipanggil Tuhan saat masih di
dalam kandungan. Umumnya ketika dipanggil Tuhan mereka pada menolak karena usia
masih sangat muda, namun akhirnya mereka memperlihatkan kemampuan baik di dalam
kepemimpinan maupun inteligensia (integritas, moralitas, motivasi, dan dedikasi)
sangat mengagumkan. Hakim “muda” Samuel berani membawa Firman Tuhan yang
menghukum hakim “tua” Eli dan keluarga atas segala kesalahannya. Raja “muda”
Yosia dengan gagah dan berani kembali memberlakukan pembaharuan di dalam sistem
pemerintahannya sekaligus menyatakan “kembali kepada Firman Tuhan”. Mengapa ada
kemampuan luar biasa yang ditunjukan mereka? Jawabannya panggilan Tuhan
benar-benar dihayati sebagai kekuatan mentalitas dan spiritualitas yang hakiki
yang tidak akan membiarkan mereka terjatuh dan hanyut terbawa arus. Artinya
kesungguhan, kesetiaan, dan kejujuran telah menjadi prinsip pelayanan mereka
terhadap Tuhan. Jadi mereka mendengar Firman Tuhan, mendengar aspirasi rakyat
atau umatnya, kemudian melakukan gerakan pembelaan, bukan pengekangan. Mereka
bersandar pada asas sangat penting bahwa segala sesuatu di mata Tuhan dapat
memungkinkan terjadi sehingga tidak ada rasa kekuatiran dan kebingungan di
dalam kiprah pelayanan mereka.
Nah, sangat penting bagi para pelayan HKBP untuk terlebih dahulu
memahami dan mengimani tentang panggilan Tuhan ke dalam dunia kehidupannya
sehingga ketika diperhadapkan pada persoalan di kenyataan hidup dan tantangan
justru meneguhkannya. Dalam tradisi gereja biasanya ditanyakan tentang dasar
panggillan Tuhan kepada seorang pelayan (baik pendeta, guru huria, bibelvrouw,
diakones, evangelis, dan sintua). Ketika saya mau menerima tahbisan kependetaan
ditanyakan dasar panggilan Tuhan, yang menjadi motivasi hidup saya untuk melayani
Tuhan. Lalu saya menjawab dari 2 nas Alkitab sangat penting bagi makna
panggilan Tuhan. Pertama saya
mengungkap firman Tuhan mengatakan,”Kamu
telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran” (Rom.6:18). Saya
datang ke gereja HKBP bukan untuk mencari pekerjaan namun mencari Tuhan dengan
membawa dan membela kebenaran yang saya imani, yang berangkat dari Alkitab. Kepentingan
gereja harus ditempatkan di atas kepentingan pribadi dan keluarga. Tuhan sendiri
membela orang-orang tertindas, terhukum, dan termiskin (bdg.Luk.4:18-19)
sebagai keberpihakan kebenaranNya maka hendaknya setiap orang Kristen harus
juga menegaskan komitmen tersebut, bukan membantahnya atau menundanya. Di
tradisi gereja HKBP makna ini disebut dengan ungkapan yang terkait dengan persembahan,”hupelehon
do diriku”,”diparar Ho do hami”. Panggilan Tuhan harus dipahami sebagai
persembahan hidup dari seluruh hidup kita sehingga tidak bergantung pada
suara-suara kekuatan dunia, misalnya kekuatan individualisme, egoisme dan
kapitalisme atau materialisme. Karena ada warga jemaat berlebihan berkat dan
memberi ucapan syukur besar-besaran maka kuatir menyatakan kebenaran, takut
menyinggung perasaan orang dermawan tersebut sehingga kerjanya jaga-jaga
perasaan bukan lagi menegakkan kebenaran padahal kebenaran Tuhan harus
dinyatakan kepada semua orang tanpa diskriminasi walau pun menyakitkan hati.
Kedua saya memaparkan sabda
Tuhan Yesus di dalam Injil Yohanes bahwa Dia adalah Gembala Yang Baik (Yoh.10).
Tuhan Yesus mencari satu domba yang sesat agar kembali ke jalan kebenaran,
bahkan Gembala Yang Baik harus rela meski haruus merenggut nyawaNya. Selain
kebenaran mesti diungkap, kebaikan dan pengorbanan harus juga tercermin di
dalam kehidupan pribadi seorang gembala/pelayan. Dia tidak mementingkan diri atau
kelompoknya sendiri, tidak egois, tidak oportunis, tidak chauvinis, tidak
narsis, melainkan harus siap sedia di segala medan dan waktu pelayanan. Kapan pun dan di
mana pun pelayan gereja sudah menjadi milik Tuhan. Jadi tidak melihat materi
tetapi esensinya sehingga kalau terjadi kerumitan dan kegaduhan tidak kabur
dengan pindah gereja. Misionaris Burton dari Inggris ketika melayani di
Silindung tahun 1824 menghadapi statement orang Batak,”Dang olo hami manadingkon adatnami naung leleng huhangoluhon hami. Dang
adong sipaubaon disi. Alai molo dipatuduhon hamu tu hami dalan tu hamoraon
dohot hasangapon, las do rohanami manjangkon hamu”.1
Pergumulan tentang kekayaan dan kehormatan ternyata sudah lama diperdebatkan
bahkan hingga kini. Konsep budaya Batak tentang kekayaan, kehormatan, dan
kebahagiaan (hamoraon, hasangapon,
hagabeon) masih bisa didebat secara luas karena belum ada suatuu pandangan
yang meyakinkan tentang hal demikian. Apakah konsep itu berkaitan dengan 3
prinsip lain, yakni sahala, sumangot, tondi
dan dalihan na tolu (hulahula, dongantubu, boru)? Terhadap
pandangan tersebut sudah selayaknya mendapat perhatian saksama dan keseriusan
dari seluruh komponen HKBP agar bisa satu persepsi untuk kejelasan dan
kepastian sehingga generasi tidak bingung. Warisan generasi tua tentang
ketidaktuntasan pandangan hidup budaya Batak menjadi tanggung jawab bersama
kita, termasuk keberanian generasi muda untuk mengkajinya.
Panggilan Tuhan sebenarnya hanya berkaitan dengan 3 hal pokok sangat
penting untuk dipahami, yang seluruhnya tidak ada kaitan dengan faktor usia
manusia. Pertama panggilan Tuhan
sangat terkait pilihan di mana Tuhan sudah punya perencanaan untuk memilih
pelayannya sejak masih anak-anak (Rom.9:11) sehingga tidak ada kata salah di
dalam implementasi kehendak Tuhan, dan manusia pun tidak boleh menolak pilihan
Tuhan, sebab pilihan Tuhan sudah tentu baik dan layak buat manusia. Jika ada
seorang Kristen menolak panggilan Tuhan maka dia dapat digolongkan sebagai
tidak tahu diri, kurang ajar, dan tidak layak (bdg.2 Tes.1:11). Kedua panggilan Tuhan adalah kudus
sebab Dia kudus adanya sehingga panggilan Tuhan kadang disebut “panggilan
sorgawi” karena datangnya dari sana ,
bukan dari keinginan dunia misalnya supaya menjadi orang terpandang dan
dihormati (lih.1 Tim.1:9; Flp.3:14; Ibr.3:1). Dengan makna ini setiap orang
yang telah dipanggil dan dipilih menjadi pelayan harus hidup sewajarnya,
sederhana, tidak lagi sembarangan dalam perangai kehidupannya, dan menjadi
teladan yang membawa kedamaian di hati warga jemaatnya. Jangan sampai timbul
suara kritik dari jemaat yang menyatakan,”holan hata do!” bahkan “pangula huria
borngin, arian bandit !”. Bisa saja terjadi jabatan pelayan digunakan untuk
menutupi topengnya, menutup aibnya, dan menebus dosanya, sebagai jalan pertobatan.
Pelayan Tuhan sebisanya hidup kudus, dengan menjaga sikap dan perkataan.
Menurut hemat saya di dalam tulisan sebelumnya telah dikaitkan antara istilah
“sintua” dan “santo”, yang cara menulis akronimnya pun sama.2 Ketiga
panggilan Tuhan terkait erat dengan pengharapan, sedang pengharapan harus
sinkron pelaksanaannya dengan prinsip lain seperti kasih dan iman, sampai
timbul istilah teologi “realitas berpengharapan” (Ef. 1:8; 4:4). Walau pun dunia
ini carut marut penuh tantangan dan pencobaan namun di dunia yang kita injak
ini ada pengharapan untuk berharap menuju pada jalan kesempurnaan, berharap ada
perubahan, berharap semakin maju iptek, iman, dan Kerajaan Tuhan. Dalam kerangka
ini diusulkan tokoh mashab kritis Frunkfur Erich Fromm perlunya “The Revolution of Hope” (Revolusi
Harapan). Revolusi harapan dimaksud Fromm adalah pencermatan terhadap situasi
sosial kita sekarang (apa yang kita hadapi dan di mana posisi keberadaan kita?)
dan pengandalan atas kekuatan ide (harus ada idealistik untuk solusi, disebut
Fromm sebagai “kemungkinan nyata” terhadap yang pertama).3
Kedua hal tersebut harus mendapat perhatian yang serius dari kalangan muda
warga gereja HKBP jika memang benar-benar ingin melakukan langka Yosia, yakni
melakukan pembaharuan di struktur HKBP, tentu harus ada gerakan yang
konstruktif, berani dan proaktif, tidak lempar batu sembunyi tangan.
3.
BUDAYA ORGANISATIONAL
DAN ARUS PEMIKIRAN
Mungkin kita sudah membaca buku menarik berjudul “Jesus,the Organizer” dari seorang hamba Tuhan yang melayani di
negara Filipina, Jose P.M.Cunanan.4 Buku
tersebut mengeksplorasi bahwa pelayanan Yesus merupakan pembelajaran sangat
menarik tentang pengorganisasi. Coba kita bedah secara cermat dan matang
tentang perikop berjudul “Yesus memberi makan lima ribu orang” di Markus 6:30 -44, yang paralelnya dapat
dibaca di Matius 14:13-21 dan Lukas 9:10-17. Pertama kita mendapat informasi bahwa Yesus “mendengar berita itu”,
adanya kelaparan di dalam masyarakatNya. (Mat.14:13; Mrk.6:37). Kedua Yesus bergerak, tidak diam
termangu, do something, lakukan
sesuatu. Ketiga Yesus berhati
nurani, Dia tergerak, He has a
compassionation, manghilala di dongan na dokdok manang na hansitan. Dia
tidak membiarkan dan mengabaikan situasi itu (Mat.14:13;Mrk.6:32-34). Keempat Yesus mendelegasikan dan
menugaskan murid-muridNya untuk memeriksa situasi sosial, memeriksa berapa
orang yang kelaparan, apa daya atau stok pangan (Mrk.6:38). Kelima Yesus membentuk organisasi
dengan mengatur 5.000 orang kelaparan itu menjadi kelompok kecil untuk
memudahkan intervensi sosial, tidak repot dan tidak ribut (Mrk.6:39-40). Ada kerrja sama yang
elegan, cantik bermain, tidak asal-asalan, dan masing-masing mengerti tugas
serta posisinya. Panggilan dan pilihan Tuhan untuk melayani umatNya tidak
terlepas dari kenyataan hidup dan situasi sosial di mana kita berada, dengan
dominasi budaya dan sistem kemasyarakatan yang melekat, termasuk pengelolaan
organisasinya sebab gereja HKBP adalah juga suatu organisasi. Bagaimana budaya
organisasi orang Batak?
Sekarang kita tengok orang Batak. Pertama
karakteristik orang Batak adalah suka berkumpul sehingga banyak sekali
punguan-punguan baik bersifat intern (perkumpulan marga-marga) maupun ekstern
(kumpulan kampung-kampung, parsahutaon). Sejak dini orang Batak rupanya sudah
berorganisasi. Problemnya orang Batak tidak pandai memanage kepentingan dan ambisinya sehingga seringkali saat ada
masalah kemudian kabur begitu saja, bukan dihadapi dan diselesaikan secara baik
dan elegan. Pengaturan rekrutmen, pemupukan hubungan baik, dan pendekatan
komunikasi seringkali juga menjadi kendala yang menguatkan arah perpecahan.
Sudah perlu ada peninjauan terhadap model perkumpulan orang Batak, sebab hanya
bersifat introvertif, primordial, dan nepotisme. Di sinilah sudah perlu
reaktualisasi terhadap organisasi bius yang tidak hanya mencakup semarga dan
sekampung, melainkan meluas sehingga tidak hanya jago kandang. Meski tidak
disebut bius, perkumpulan seperti Palito dan Kerabat dapat digolongkan sebagai
organisasi bius modern. Kedua setiap
orang Batak telah diajari teknis pengambilan posisi di dalam situasi sosial
tertentu. Ketika pesta semarga digelar, tentu sebagai saudara semarga tidak
duduk di posisi hulahula atau menjadi parhobas (boru), sebab ada waktunya
bertindak sebagai hulahula, boru, dan dongantubu. Ketiga adanya konsep kerajaan di mana setiap orang Batak memandang
dirinya sebagai haruslah proporsional, dan pas momentumnya, tidak pukul rata
sehingga menjadi aral pergerakan orang Batak. Budaya orang Batak demikian
sedikit banyak dibawa ke dalam organisasi gereja sehingga pergeseran dan
pergesekan tidak dapat dihindari kecuali mengelolanya menjadi kekuatan untuk
membangun. Andrew Brown menyatakan bahwa improvisasi untuk aktualisasi diri di
dalam berorganisasi harus memiliki pemahaman terhadap perubahan/pergeserran
budaya, ada strategi serta performance
ssehingga bisa tampil efektif untuk mengorganisasikan kebutuhan dan identitas
anggotanya.5 Kekuatan ide sangat
berperan dan berpengaruh di dalam infiltrasi strategi dan performance.
4.
PELAYAN MUDA : URGENSI ?
Di jaman rasul Nommensen memang faktor usia menjadi pertimbangan
penting untuk meyakinkannya bahwa orang-orang Kristen baru tersebut benar-benar
pengikut Tuhan Yesus yang setia. Dalam perkembangannya tidak bias dijadikan
jaminan bahwa factor usia bias dinyatakan telah matang secara kerohanian dan
pemikiran. Ada
contoh kasat mata di mana orang-orang Kristen muda ternyata masih saja bimbang
walaupun usianya dan pendidikannya rasanya tidak mungkin. Tokoh Raja Patik
Tampubolon, mantan guru huria yang sempat membimbing dan memasuki daerah
spiritualitas Parmalim, demikian juga Raja Mulia Naipospos, mantan guru huria,
menjadi datu atau pimpinan tertinggi kepercayaan Parmalim yang bermarkas di
Huta Tinggi, Laguboti.6 Mereka
sudah pensiun dan berumur di atas 50 tahun saat meretas jalan tersebut. Di HKBP
masih saja ada pertimbangan usia dalam pemutasian pendeta. Yang sudah berumur
rasanya dianggap lebih bijaksana menempati pos-pos pelayanan di kota-kota.
Padahal Tuhan tampaknya menyukai kalangan muda mungkin karena beberapa
pertimbangan. Pertama orang muda
masih bias ditempa, diajari, dan dibimbing seturut kehendakNya. Kedua energitas dan dinamitas orang
muda lebih semangat ketimbang orang tua yang telah berumur. Ketiga orang muda mampu mengambil sikap
adaptif untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial yang dihadapinya. Keempat orang muda apalagi belum
menikah belum memiliki beban dan tanggung jawab yang berarti ketimbang orang
tua yang banyak menimbang urusan keluarga, kekerabatan, dan pekerjaan.
Pertanyaan kita sangat relevan dengan kebutuhan ini sebenarnya adalah apakah
sudah waktunya dan sangat mendesak terjadinya alih generasi? Selanjutnya apakah
generasi muda sudah memiliki kapasitas, abilitas, dan integritas memadai untuk
memikul salib Kristus di dalam pelayanan gereja tanpa mudah terombang-ambing
dimakan isu-isu modern? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, dan perlu proses
waktu untuk dapat mengatakan kemungkinan bisa.
Selain itu penguasaan budaya organisasi dan arus pemikiran di atas
memang didominasi oleh kalangan orang tua, yang telah berusia 45 tahun ke atas
dengan track record dan empiris yang
serba cukup sehingga bisa lebih bijaksana dan dianggap layak di dalam
pengambilan keputusan, namun tidak berarti kalangan muda tidak mampu. Kembali ke pokok pergumulan kita tentang
penatalayanan di gereja HKBP maka tidak ada masalah pemilihan terhadap para
pelayan muda sebagai rekrutmen walau pun disebut “sintua naposo”. Jika ada
istilah ini rasanya perlu ada istilah “sintua namatua” agar ada “check and balance”, keseimbangan.
Rasanya dapat saling melengkapi untuk menunjang penatalayanan. Kekuatan ide,
dan pemahaman atas kecenderungan perubahan jaman lebih cermat diikuti generasi
muda, ditambah dengan akselerasi pelayanan serta nilai plus lain seperti
kemampuan wawasan yang luas. Ketika ada ide untuk membuat periodisasi pelayanan
penatua maka sudah perlu peninjauan terhadap pemahaman makna teologis tentang
tahbisan (tohonan) sebab HKBP masih memahami tahbisan berasal dari Tuhan dan
bersifat permanen, dibawa sampai mati. Ini pergumulan besar warga jemaat HKBP
dan perlu kajian mendalam, bukan karena ikut-ikutan saja. Kesulitan yang
dihadapi justru di desa-desa karena hal itu ada kaitan dengan konsep kerajaan
tadi, sebagai basis kekuatan dan identitas gereja HKBP. Bisa saja cuma
pembatasan di jabatan pelayanan saja dengan membatasi faktor usia sampai usia
45 tahun misalnya, namun generasi muda juga harus ada komitmen untuk
mempersiapkan diri sebagai kader pelayan, sebagaimanna dilakukan Tuhan terhadap
para pelayanNya di atas. Di kota-kota tidak ada kesulitan tentang ini karena
sumber daya manusia mencukupi namun di desa-desa akan menjadi masalah besar,
sebab umumnya yang tua-tua saja tinggal di desa sedang generasi mudanya sudah
merantau. Ketika penulis melayani di desa, sungguh sulit bisa mendapatkan guru
sekolah minggu, sebab yang tinggal hanya anak-anak remaja yang serba terbatas.
Namun sekarang kembali ke hati nurani generasi muda, apakah cukup termangu dan
berbisik-bisik tanpa tergerak?
1 Justin Sihombing,”Sedjarah ni Huria Kristen Batak Protestan”, Medan :Philemon & Liberty:1961,hal.10-11
2 Baca Buletin Narhasem, edisi Juli 2007 dari
penulis di mana ada kaitan antara makna sintua dan santo.
4 Jose P.M.Cunanan,”Jesus, the Organizer” telah diterjemahkan oleh YAKOMA PGI, banyak
didiskusikan di kalangan gereja dan aktivis kemanusiaan. Untuk akses melalui
internet, silahkan klik : http://daga.dhs.org/daga/press/urm/urm5/urm5i.htm
6 Parmalim sebenarnya didirikan Raja
Sisingamangaraja XII sebagai upaya preventif agar penyebaran agama Islam tidak
merembes cepat ke tanah Batak sekaligus mencegah kolonialisasi dari Belanda
dengan berharap orang-orang Batak tertarik untuk melestarikan budaya Batak.
Untuk itulah Singamangaraja menugaskan salah satu panglimanya Guru Somalaing
Pardede untuk menggarap ide tersebut, namun dalam perkembangannya bergeser
menjadi suatu kepercayaan. Tentang ini dapat dibaca karya Batara Sangti
Simanjuntak berjudul Sejarah Batak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar