Kamis, 15 Mei 2014

NILAI KEMANUSIAAN UNIVERSAL

NILAI KEMANUSIAAN UNIVERSAL
Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, Msi


PENGANTAR

Untuk mengenal secara mendalam tentang nilai-nilai kemanusiaan yang universal, berlaku umum dan mendunia maka sangat perlu kita terlebih dulu menjelajahi pemikiran filsafat kemanusiaan, karena inti pokoknya adalah “MANUSIA DAN DUNIANYA”. Terdapat paling tidak 2 pemikiran filsafat yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, yakni : EKSISTENSIALISME dan juga HUMANISME.  Pokok dan titik sentral filsafat eksistensialisme : -eksistensi (ke-ber-ada-an) manusia; cara manusia berada, mengada-dirinya, dan keberadaan-nya di dunia. Manusia menjadi unsur sangat penting di dunia, sehingga titik tolaknya adalah “ego-sentrisme”. Istilah definisi yang sering dipakai : manusia ialah kebebasan. Artinya tidak ada kebebasan tanpa manusia, kebebasan menjadi bermakna karena manusia dan kebebasan bisa dimengerti di dalam pengertian keberadaan (eksistensi) manusia.
Filsuf tenar Perancis membuat diktum, “human is condemned to be free“, “manusia dikutuk untuk bebas. Akibat kutukan kebebasan itulah manusia menjadi bebas berbuat. Manusia menciptakan kondisi dan situasinya dunianya sendiri.Ada 2 cara manusia mengada: 1. etre en soi, being in itself (berada dalam diri sendiri), 2. etre pour soi,being for itself (berada untuk dirinya sendiri). Filsuf Denmark Soren Kierkegaard, sbg perintis filsafat eksistensialisme menyoroti kisah dosa Adam di Taman Eden. Menurut Soren, ketakutan dan kecemasan ketika berhadapan dengan kebebasannya sendiri menimbulkan “dosa asal”. Jadi ketakutan dan kecemasan selalu menghantui kebebasan manusia. Kemudian dlm perkembangan eksistensialisme jadi  2 pokok pemikiran besar, yakni :
1.  Eksistensialisme,menemukan makna keberadaan dirinya di dalam pelukan Tuhan. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan kehilangan makna jika dipisah. Para filsuf di sini adalah Kierkegaard, Karl Jaspers, Martin Buber, Gabriel Marcel, Paul Tillich, dll. Inilah berkembang jadi POSTMODERNISME POSITIF.
2.  Eksistensialisme bermakna hanya untuk dirinya. Keberadaan “pihak lain” (baik Tuhan dan manusia lain) dianggap mengancam kebebasan. Pemikiran ini melahirkan istilah “homo homini lupus”, keberadaan orang lain jadi lawan dirinya, yang menjadi salah satu prinsip politik modern.
Di Perancis eksistensialisme juga dikenal sebagai “HUMANISME”, yang dikembangkan Erasmus Huis. Puncak gerakan humanisme terjadi ketika Perancis memasuki revolusi, yang mengobarkan semangat humanisme, yang mementingkan “kebebasan”, “kesetaraan”, “persaudaraan” (liberte, egalite, et fraternite. Semangat eksistensialisme dan humanisme harus dimengerti pada “action” (perbuatan), bukan pada “quietism” (kebungkaman), dengan landasannya:   I ought to commit myself and then act my commitment”, “saya harus komit dan berbuat dalam komitmen”. Masalahnya manusia tidak bisa menipu dirinya (self-deception) dari tanggung jawab yg terlibat (enggagement) di dalam dunia sosio-politis. Makna kebebasan manusia harus diletakkan pada relasi maupun rivalitasnya di dunia; mencari lawan atau mencari kawan. Di Inggris, negara pertama mencetuskan Hak Asasi Manusia, tertuang di Magna Charta (disebut juga sbg “Libertatum Magna Charta) tahun 1215 membatasi kewenangan Raja John, tdk semena-mena kn Tuhan juga tdk semena-mena, tdk ada diskriminasi antara warga kehormatan dan budak. Bagian ini juga masuk dalam konstitusi Inggris, “Bill of Rights” 1689. Di Amerika Serikat Franklin Roosevelt pada 6 Januari 1941 menegaskan “Four Freedoms” yakni :1. Freedom of speech and expression (bebas bicara dan ekspresi), 2.Freedom of worship (bebas beribadah), 3.Freedom from want (bebas dari keinginan), 4.Freedom from fear (bebas dari takut).  Pandangan 4 Kebebasan tsb masuk dlm kata2 pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi, "Sedangkan mengabaikan dan memandang rendah hak asasi manusia telah mengakibatkan tindakan biadab yang marah hati nurani umat manusia, dan munculnya sebuah dunia di mana manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan beragama; kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan aspirasi tertinggi dari rakyat biasa…”. Hak Asasi Manusia di Indonesia juga dijamin UUD 1945 mencakup :1.sama kedudukan di hukum dan pemerintah, 2.hak bekerja dan hidup layak,3.hak membela negara,4.hak bebas berkumpul, berserikat, 5.hak bebas berpikir lisan dan tulisan, 6.hak pendidikan,7. hak dipelihara negara jika miskin.

II.  TEORI-TEORI SEPUTAR KEMANUSIAAN

A Theory of Justice by John Rawls : Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu Ia melihat tentang Equal Right dan juga Economic Equality. Dalam Equal Right harus diatur different principles sbg prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada yang dicabut (tidak ada HAM yg dilanggar) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Basic Rights harus terpenuhi sbg jalan untuk menegakkan kesetaraan. Rasionalitas ada 2 bentuk yaitu Instrumental Rationality dimana akal budi yang menjadi instrument untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi dan kedua yaitu Reasonable, yaitu bukan fungsi dari akal budi praktis dari orang per orang.
Menurut Rawls ada beberapa asumsi dasar yg bekerja di masyarakat, yakni :
1.  anggota masyarakat tidak memandang tatanan sosial masyarakat tidak berubah. Masyarakat harus menuju keadilan, sehingga masyarakat terbuka pada perubahan, terutama perubahan struktur sosial.
2.  kerjasama dibedakan dengan aktifitas yang terkoordinasi hal ini dapat dilihat dari :
A. Bentuk kerjasama selalu berpijak pada keadilan sedangkan coordinated activity berpijak pada efektifitas/ efisiensi
B.  Kerjasama (organizing principle) aturan dibuat untuk mengatur anggota-anggotanya (mengikat, mengatur kepentingan-kepentingan anggota) sedangkan dalam coordinated activity aturan dibuat untuk kepentingan yang membuat aturan.
C.  Dalam kerjasama (organizing principle) harus sah secara publik (harus disepakati oleh partisipan) sedangkan dalam coordinated activity tidak ada organisasi, aturan tidak harus sah secara publik.
Menurut Sosiologi Modern, Ulrich Beck, Masyarakat beresiko (The Risk Society), adalah bentuk pergeseran baru dari masyarakat industrial. Ini merupakan bentuk masyarakat akibat refleksif modernitas (reflexive modernity), yakni bagaimana resiko dihalangi, diminimalkan, atau disalurkan. Resiko diproduksi dari sumber-sumber kesejahteraan di masyarakat modern dari berbagai aktivitas kehidupan.Nilai universal: perlindungan manusia, termasuk harga diri manusia. Nonhegemonik: pengakuan terhadap ‘sisi lain’ yang direpresentasikan oleh individu/ kelompok dari latar budaya berbeda, masa depan, nature, obyek, alasan/cara berpikir diversifikasi (keragaman) aktor
Selain teori itu  David Held  dengan teori kritisnya: lemahnya demokrasi  ketika hanya menjadi sebuah kebijakan nasional. Seperti ijin untuk penebangan hutan hujan, yang mungkin akan membahayakan pihak lain, secara formal tidak ada tanggung jawab dari negara pengambil keputusan jika terjadi bencana di luar teritorinya. Pertumbuhan yang cepat dari interkoneksi dan interrelasi antara negara dan masyarakat yang bersifat cenderung kompleks, muncul tantangan terhadap demokrasi dalam batas-batas negara. Globalisasi merupakan fenomena multidimensional yang meliputi domain aktivitas dan interaksi yang beraneka ragam, termasuk ekonomi, militer, budaya, sosial, politik, lingkungan dan sebagainya.
Menurut teori Marta Nussbaum (1999) : Pandangan kosmopolitan, yang mengatakan, “Kenali kemanusiaan di mana pun seseorang menghadapi hal itu, tidak terhalang oleh sifat yang aneh bagi mereka dan menjadi bersemangat untuk memahami kemanusiaan di semua samaran yang aneh. (Nussbaum, 1999). Pemikiran kosmopolitan saling menerima dan mengerti tidak berarti manusia meninggalkan identitasnya seperti, agama, etnis, ras, budaya dan kenegaraan, namun ia menekankan pentingnya melihat segalanya untuk kebaikan bersama seluruh penduduk bumi sehingga menciptakan toleransi yang besar. Martha Nussbaum bersama peraih Nobel Ekonomi Amartya Sen merumuskan pendekatan kapabilitas (capabilities approach), yakni suatu pendekatan untuk mengukur tingkat kebebas­an yang substantif, misalnya, kemampuan untuk hidup panjang, terlibat dalam berbagai transaksi ekonomi dan partisipasi dalam aktivitas politik.


Catatan: tulisan ini merupakan slide dari perkuliahan yang diberikan penulis, yang diracik dari berbagai sumber referensi, sebagaimana dapat dipahami dari tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar