KIPRAH KAUM MUDA DI GEREJA DAN
MASYARAKAT
Melvin
M.Simanjuntak1
PENGANTAR
Rasanya
adalah banyol dan konyol jika ditanyakan pada diri sendiri, ”Siapa sih yang
tidak pernah mengalami masa muda? Bahkan orang tua pun merasa sering
menyatakan,”Rambut boleh ubanan tapi hati masih berjiwa muda!”. Albert
Einstein, Newton ,
Colombus, Stephen Hawking, Bill Gates, hingga George Soros tentu telah melewati
dan mengalami masa muda. Dalam masa muda ada kenangan pahit sepahit sayur pahit
namun ada juga kenangan manis. Misal ketika naik kelas, dapat hadiah dari ortu,
dan diterima cintanya namun jika sebaliknya maka wajah pun jadi asam, kusut serasa
belum mandi. Kisah masa muda Raja Daud dan Raja Salomo sangat menarik untuk
menjadi cermin kita. Sebelum Daud mengalahkan kekuatan Goliat ternyata Daud
telah “dijatuhkan mentalnya” oleh Saul dengan menyatakan, ”Tidak mungkin engkau
dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda,
sedangkan dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit” (1 Sam.17:33).
“Masa muda” sering jadi alasan untuk menolak panggilan pelayanan atau menolak
untuk mengemban tugas yang mulia dan luhur. Tidak hanya Saul mengatakan itu
tapi nabi juga memakai alasan klise itu seperti dilakukan nabi Yeremia
(Yer.1:6). Kerentanan identitas masa muda amat mudah untuk diguncang jika tidak
kuat mental dan tidak punya prinsip teguh seperti batu karang. Ketika Salomo
diangkat menjadi raja Israel
muncul juga alasan klise itu “masih sangat muda” dan “belum berpengalaman” (1
Raj.3:7). Ternyata alasan-alasan itu sama sekali tidak logis, karena terbukti
Daud sukses menghadapi Goliat, dan Salomo luar biasa sukses menjadi Raja Israel yang
kuat serta mendirikan rumah ibadah Tuhan di Yerusalem. So, bukan ukuran usia
sangat muda dan belum pengalaman untuk meraih sukses ke hari depan.
Berbagai
gerakan dan perjuangan di muka bumi ini tidak luput dari perhatian kaum muda.
Mulai perjuangan kemerdekaan hingga ke perjuangan di dalam gerakan oikumene
gereja juga tidak lepas dari kiprah kaum muda. Lihat saja Sukarno dan Muhammad
Hatta ketika berjuang demi meraih kemerdekaan bagi bangsa Indonesia justru
terjadi ketika mereka masih muda, ketika mereka masih belum berumah-tangga
bahkan mereka rela keluar masuk penjara dan mengalami “pembuangan” seperti
pengalaman bangsa Israel. John Scott, seorang pemuda gereja, berjuang agar
seemua gereja bisa menjadi satu wadah, satu persekutuan, yang disebut YOUTH
MOVEMENT CHRISTIAN ASSEMBLY (YMCA) telah membidani suatu cikal bakal
kelahiran suatu persekutuan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (World Christian
Churches) dan juga sempat memberi motivasi kepada muda-mudi Kristen di
Indonesia untuk memperjuangkan keesaan gereja di Indonesia. Ketika muncul
reformasi di negara kita ini, justru kaum muda tampil ke depan bahkan hingga
beberapa di antara mereka jadi korban “keganasan” peluru militer sampai gugur.
Namun hal itu tidak membuat langkah mereka jadi mundur atau surut melainkan
berakhir dengan dramatis, dengan keputusan akhir “Suharto nyatakan diri mundur
dari Presiden Indonesia
untuk selamanya”. Beberapa contoh dan bisa dikatakan “teladan” yang ditunjukkan
kaum muda sangat prestatif, perjuangan mereka tidak sia-sia, namun ada hasil
dan prestasi yang hendak diraih. Rasul Batak Ingwer Ludwig Nommensen ketika
tiba di Barus lalu masuk ke perkampungan orang-orang Batak Toba adalah saat
masih lajang, masih kategori naposobulung. Baru kemudian beliau menikah.
APA PERGUMULAN DAN PERJUANGAN
KAUM MUDA ?
Apa sih
pergumulan kaum muda dan waktu masa muda? Sangat pelik kita bisa menjawab ini
namun semuanya terkait dengan perasaan “kejiwaan” dan tata pergaulan yang
selayaknya dipahami. Menurut Erik Homberger Erikson, tiap orang muda selalu
mengalami masalah pencarian jati diri (identitas),2 mencari keakuan,
dalam artinya masa muda sangat memerlukan legitimasi “pengakuan” yang wajar,
dan sosok imitasi (pengidolaan) yang pas di hatinya. Jika kedua ini tidak
didapat dari ortunya maka jangan salahkan mereka yang mencoba mengambil potret
dari lingkungan pergaulannya. Raja Salomo sebagai raja hikmat dan kebajikan
telah mengingatkan kita, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya,
maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu” (Ams.22:6).
Kebimbangan untuk mengambil peran (kiprah) karena tidak diberi peluang serta
kesempatan dan nilai kepatutan yang sangat minus didapat sangat membantu untuk
meracuni krisis jati diri mereka, sehingga mudah marah, kecewa, sakit hati,
dongkol, benci, bahkan sampai masa bodoh (apatis) yang justru telah menciptakan
jurang sangat dalam sehingga mudah dipengaruhi. Karena itu ungkapaan bunga
bunga huria sudah sangat usang dan hanya lips service saja.
Semestinya tidak lagi bunga bunga huria namun kaum muda harus masuk
menjadi “TIANG PARTUNGGUL” (Hak.16:26) atau “AUGA NI KRISTUS”
(Mat.11:29-30), karena mereka adalah the next generation, penyambung
antara orang tua dan anak-anak. Di gereja HKBP sudah mulai dibiasakan calon
penatua dapat diambil dari kaum muda, tidak hanya menjadi guru sekolah minggu
dan pemanis ruang ibadah saja. Mengapa kita tidak belajar dari sejarah
tokoh-tokoh di dalam Alkitab ?
Dalam Kitab
Pengkhotbah pasal 11 ayat 9 sampai 10 dicatat, ”Bersukarialah,
hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan
turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa
karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan ! Buanglah
kesedihan dari hatimu dan jauhkanlah penderitaan dari tubuhmu, karena kemudaan
dan fajar hidup adalah kesia-siaan”. Setidaknya terdapat beberapa hal
penting yang dapat kita rekam dalam ingatan kita. Pertama suka cita
selalu terkait dengan tingkat kepuasan, kesenangan hidup. Apakah
anda bersuka cita jika usia anda terus bertambah; dari 20 tahun ke 25, dari 25
tahun ke 40 tahun, dari 40 tahun ke 60 tahun, dan seterusnya? Di sini kita
dapat memakai ukuran kepuasan kita misal “kurang puas”, “cukup puas”, “puas”,
dan “sangat puas”. Dari keempat patokan tersebut, mana yang benar-benar membuat
anda menjadi puas. Misal apakah anda puas dengan kehidupan anda saat ini
ataukah anda akan berkata saya perlu berprestasi, menunjukkan potensi (talenta)
diri supaya orang lain tahu bahwa anda memiliki “otak”,“punya ide”, “punya
kemampuan (abilitas)”, “punya tanggung jawab”? Semua harus bisa diuji dan dapat
dibuktikan, karena kita adalah orang beriman. Iman tanpa perbuatan adalah mati
dan kesia-siaan (Yak.2:17-18, 20), karena “iman adalah dasar dari segala
sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang
tidak kita lihat” (Ibr.11:1). Kita punya harapan dan jika harapan kita
tercapai maka itu sudah menjadi bukti, namun pencapaian itu harus dengan
tindakan. Di sini kita perlu perencanaan hidup untuk bisa mewujudkan harapan
kita. Amsal 16:3 memberi nasihat kepada kita bahwa, ”Serahkanlah perbuatanmu
kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu”, sebab di sisi lain juga
TUHAN memberi jawaban menarik, ”Aku telah mengatakannya, maka Aku hendak
melangsungkannya, Aku telah merencanakannya, maka Aku hendak melaksanakannya”
(Yes.46:11b), seperti difirmankan juga kepada Rasul Paulus, ”Ia akan menerangi,
juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan
apa yang direncanakan di dalam hati” (1 Korintus 4:5b). Merantau tanpa
tujuan dan hasil adalah “bohong” dan “kesia-siaan”.
Kedua suka
cita juga berhubungan dengan keinginan hati, kebutuhan hidup, bukan
kebuntuan hidup. Ada
ragam keinginan atau kebutuhan hidup, dan berbeda juga tingkatannya. Ada kebutuhan hidup
paling dasar, yakni basic needs, kebutuhan dasar. Tiap orang perlu makan
dan minum adalah kebutuhan dasar. Tiap orang perlu pakaian tapi tanpa
pakaian orang tidak mati, asal bisa makan dan minum. Soal kebutuhan pakaian
berhubungan dengan orang lain. Malu kan
dilihat orang tanpa pakaian. Itu membuat manusia menjadi berbudaya. Punya budi
(pikiran dan hati), dan daya (ada kemampuan, kesanggupan). Orang Papua tidak
malu dengan pakaian hanya pakai koteka, sebab itu budaya mereka. Setiap
budaya selalu berubah mengikuti perubahan jaman dan kemajuan ilmu pengetahuan
serta teknologi. Tuhan berfirman,”Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia
ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat
membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah
dan yang sempurna (Rm. 12:2).
Perencanaan
pencapaian tingkat kebutuhan harus memakai ukuran moralitas; apakah baik,
pantas, dan tepat buat aku, sahabatku, dan orang lain? Nah, di sini muncul
kebutuhan sekunder atau kebutuhan sosial. Manusia adalah homo
societus, tidak ada orang bisa hidup sendiri dewasa ini. Dia perlu bergaul,
dan bersahabat, ramah terhadap dunianya (lingkungan kerja dan lingkungan
alamnya). Kemudian ketiga kebutuhan tertinggi manusia adalah kebutuhan
aktualisasi diri,3 kebutuhan dihargai dan menghormati orang lain
(ada respek). “Oh, saya kagum terhadap tokoh Ruth atau Ester dalam
Alkitab !”, tapi apakah ada keinginan untuk bisa seperti dia atau bisa melebihi
dia? Itu adalah kebutuhan aktualisasi diri, yang menantang diri untuk mampu
bertindak, berbuat sesuatu, do something. Ada terobosan yang greget, tidak diam
melompong, tapi perlu proaktif (punya ide lalu bertindak berdasarkan ide
tersebut dan bertanggung jawab terhadap ide tersebut). Jika cuma bisa ngomong doang,
ya sama dengan ember bocor yang susah untuk menampung air. Ungkapan “pandangan
matamu” memiliki pengertian “realistis”, “tujuan pengharapan”
dengan perencanaan, “punya prinsip” dengan sikap proaktif, dan harus “menatap
ke depan” agar tidak terjebak dalam masa lalu, pengalaman pahit yang sudah
tinggal kenangan. “Pandangan matamu” mengajak kita untuk melihat apa yang bisa
kita lakukan ke depan, bagi persekutuan muda-mudi gereja, terutama dalam hal ketajaman
analisis realitas, kejelian melihat peluang dan kesempatan, dan kiat menggapai
target yang diharapkan. Orang Kristen tidak boleh diam, ragu, dan
bengong, tapi harus berbuat agar imannya tidak mati dan berbuah sesuai Firman
Tuhan, “Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah mati bagi hukum Taurat oleh
tubuh Kristus, supaya kamu menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia,
yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita berbuah bagi Allah
(Rm. 7:4).
Dari
penjelasan tersebut menjadi jelas bahwa mencari dan memiliki identitas sebagai
milik Kristus dengan dasar iman kepadaNya dan berbuat demi Kristus agar berbuah
sehingga berbuah bagi pengembangan Kerajaan Allah di dunia. Sebagai kaum muda
Kristen Batak Toba perlu mengingat akan budayanya dan imannya sebagai identitas
utama, selain dari nama saja untuk menunjukkan identitas. Namun identitas
menjadi berarti ketika prestasi dapat dicapai. Bagaimana bisa mencapai prestasi
jika tidak berbuat sesuatu, yang baik, yang pantas, yang tepat bagi dirinya,
keluarganya, dunianya, dan juga bagi gerejanya? Di sini begitu indah
sapaan rasul Paulus tentang nilai perjuangan dengan menyatakan, “Karena senjata
kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang
diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan
benteng-benteng” (2 Kor.10:4).
KIPRAH KAUM MUDA DI GEREJA
DAN MASYARAKAT
Cukup banyak
muda-mudi Batak Toba sudah sangat maju baik dalam pemikiran inteligensianya
maupun pengimanannya terhadap tatanan dan tantangan yang dihadapinya. Mereka
memiliki integritas kepribadian memadai, moralitas cukup, dan pola bekerja yang
profesional. Hanya kendala yang mereka hadapi adalah justru sistem gereja
sendiri, yang kurang memberi ruang gerak leluasa untuk peningkatan daya
proaktivitas, dan inovasi dalam kontribusi partisipatif gereja sehingga mereka
pun jadi bingung untuk ambil peranan fungsional dan responsibilitas bahwa
mereka juga memiliki “saham” di dalam gereja, tidak hanya para orang tua. Jika
simak sejarah perjuaangan ranah pemikiran mereka mulai dari Perjanjian Sipirok
hingga ke Sipoholon, rasanya satu pun tidak mem-booming melainkan cukup
menina-bobokan mereka sebagai bunga-bunga ni huria atau kasarnya hanya
sebagai “penggembira” (cheerleaders), yang senantiasa disiram, dipupuk,
dan tidak pernah panen alias menjadi dewasa iman sebagaimana diharap gereja
untuk turut dalam “pembangunan tubuh Kristus”,”kesatuan iman dan pengetahuan
yang benar”,dan “kedewasaan penuh” (Ef.4:12-13), sehingga sebenarnya patut
dipertanyakan sampai kapan gereja berhasil dan tuntas dalam memperlengkapi
mereka? Bukankah semua orang Kristen memang belum sempurna tetapi tetap
melangkah dalam arakan mengikut Tuhan Yesus (Mat.5:48; Luk.6:36; Yoh.17:23)
agar disempurnakan pada akhirnya? Lalu sampai kapan gereja memasuki taraf
“Kristen makanan keras” untuk tidak melulu menjadi “Kristen susu” apalagi
menjadi “Kristen Latah” yang sekadar ikut-ikutan sesuai ranah teologis yang
diungkap Rasul Paulus dalam 1 Korintus 3?
Dalam
realitas demikian menurut saya, sudah waktunya perlu kontemplasi tentang
peranan dan fungsi muda-mudi di dalam gereja dalam rangka Parheheon
Naposobulung, supaya bulung-nya senantiasa mekar dan semerbak narwastu. Ada 2 model menarik untuk
kiprah muda-mudi di dalam gereja dan masyarakat. Pertama muda-mudi harus
menjadi AUGA NI KRISTUS, KUK KRISTUS. Kuk pada binatang seperti kerbau
dan sapi biasanya untuk menahan dan menanggung beban berat yang ditimpakan
kepadanya. Jika kuk tidak ada maka sulit binatang itu membawa beban berat.
Demikian Tuhan Yesus telah menanggung dan memikul beban dosa akibat ulah manusia,
ulah dari para orang tua dan para imam. Jadi rasanya sulit masuk akal jika
masih saja ada muda-mudi yang menyatakan sikap apatis, masa bodoh, dan tidak
tahu menahu penatalayanan gereja. Mereka sepantasnya menjadi kuk gereja agar
akselerasi dan proaktivitas gereja dapat melaju sekencang mobil sporti, tidak
berjalan seperti keong. Kedua muda-mudi dapat berperan aktif sebagai TIANG
PARTUNGGUL atau TIANG PENYANGGA. Titah TUHAN kepada bangsa Israel untuk
mengolehkan darah domba ke tiang pintu, tiang penyangga agar malaikat pencabut
nyawa melewati rumah-rumah mereka ternyata sangat ampuh. Tiap rumah sudah pasti
ada tiang penyangga untuk menahan dan menanggung beban atap rumah yang berat.
Jika tiang penyangga tidak ada maka rumah akan sangat rapuh untuk ditiup angin,
apalagi sekarang ini angin cukup kencang dan kuat karena pepohonan sudah mulai
berkurang di perkotaan. Partisipasi proaktif di dalam gereja bisa saja
diberikan kepada muda-mudi mengingat efek globalisasi saat ini tidaklah mungkin
dapat diantisipasi segera oleh para orang tua karena kecepatan dan ketangkasan
sudah mulai berkurang. Pemikiran ini perlu mendapat perhatian saksama dan perlu
kontemplasi supaya benar-benar matang dan relevan dengan akselerasi kemajuan
jaman saat ini (masa reformasi) dan para orang tua sudah sepantasnya duduk di
singgasana kebajikan, memberi nasihat-nasihat dan saran berdasarkan track
pengalaman yang panjang. Sekali lagi kita diingatkan oleh nasihat baik dari
teolog kondang Dietrich Bonhoeffer, “Let church be a church”, “Biar gereja
menjadi sungguh Gereja”.
1 Kini staf pengajar PPKn pada FKIP Universitas HKBP Nommensen di Pematangsiantar, telah menuntaskan studi bidang
Sosiologi dan Antropologi pada Universitas Padjadjaran dengan tesis “Pasar
tradisional di Onan Ganjang” tahun 2005, mendalami Studi Pembangunan, Gender,
Ekologi, dan Economic Anthropology. Sempat mengikuti aktivitas di
PGI Wilayah DKI Jakarta dan PGI Wilayah Sumatera Utara.
2 Erik H.Erikson berdarah Yahudi yang lolos dari genggaman
NAZI, mencetuskan konsep psikologi ego yang disebut “identity crisis”,
“krisis identitas” yang dialami tiap orang pada masa muda dan masa tua. Pada
masa tua orang cenderung kembali berkelakuan seperti anak-anak. Soal ini sudah
pernah dikupas dalam Buletin Narhasem edisi Maret 2007
3 Teori Psikologi tentang aktualisasi diri (Self-Actualization)
berasal dari Abraham Maslow, sebagai peringkat kebutuhan manusia yang
tertinggi, pada puncak piramida. Teori tentang kebutuhan dasar (basic needs)
tidak hanya terdapat dalam dunia psikologi, selain Maslow ada Murray , namun di dunia antropologi juga
seperti diungkapkan Bronislow Malinowski.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar