Kamis, 08 Mei 2014

KIPRAH KAUM MUDA DI GEREJA DAN MASYARAKAT

KIPRAH KAUM MUDA DI GEREJA DAN MASYARAKAT
Melvin M.Simanjuntak1


PENGANTAR
Rasanya adalah banyol dan konyol jika ditanyakan pada diri sendiri, ”Siapa sih yang tidak pernah mengalami masa muda? Bahkan orang tua pun merasa sering menyatakan,”Rambut boleh ubanan tapi hati masih berjiwa muda!”. Albert Einstein, Newton, Colombus, Stephen Hawking, Bill Gates, hingga George Soros tentu telah melewati dan mengalami masa muda. Dalam masa muda ada kenangan pahit sepahit sayur pahit namun ada juga kenangan manis. Misal ketika naik kelas, dapat hadiah dari ortu, dan diterima cintanya namun jika sebaliknya maka wajah pun jadi asam, kusut serasa belum mandi. Kisah masa muda Raja Daud dan Raja Salomo sangat menarik untuk menjadi cermin kita. Sebelum Daud mengalahkan kekuatan Goliat ternyata Daud telah “dijatuhkan mentalnya” oleh Saul dengan menyatakan, ”Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedangkan dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit” (1 Sam.17:33). “Masa muda” sering jadi alasan untuk menolak panggilan pelayanan atau menolak untuk mengemban tugas yang mulia dan luhur. Tidak hanya Saul mengatakan itu tapi nabi juga memakai alasan klise itu seperti dilakukan nabi Yeremia (Yer.1:6). Kerentanan identitas masa muda amat mudah untuk diguncang jika tidak kuat mental dan tidak punya prinsip teguh seperti batu karang. Ketika Salomo diangkat menjadi raja Israel muncul juga alasan klise itu “masih sangat muda” dan “belum berpengalaman” (1 Raj.3:7). Ternyata alasan-alasan itu sama sekali tidak logis, karena terbukti Daud sukses menghadapi Goliat, dan Salomo luar biasa sukses menjadi Raja Israel yang kuat serta mendirikan rumah ibadah Tuhan di Yerusalem. So, bukan ukuran usia sangat muda dan belum pengalaman untuk meraih sukses ke hari depan.
Berbagai gerakan dan perjuangan di muka bumi ini tidak luput dari perhatian kaum muda. Mulai perjuangan kemerdekaan hingga ke perjuangan di dalam gerakan oikumene gereja juga tidak lepas dari kiprah kaum muda. Lihat saja Sukarno dan Muhammad Hatta ketika berjuang demi meraih kemerdekaan bagi bangsa Indonesia justru terjadi ketika mereka masih muda, ketika mereka masih belum berumah-tangga bahkan mereka rela keluar masuk penjara dan mengalami “pembuangan” seperti pengalaman bangsa Israel. John Scott, seorang pemuda gereja, berjuang agar seemua gereja bisa menjadi satu wadah, satu persekutuan, yang disebut YOUTH MOVEMENT CHRISTIAN ASSEMBLY (YMCA) telah membidani suatu cikal bakal kelahiran suatu persekutuan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (World Christian Churches) dan juga sempat memberi motivasi kepada muda-mudi Kristen di Indonesia untuk memperjuangkan keesaan gereja di Indonesia. Ketika muncul reformasi di negara kita ini, justru kaum muda tampil ke depan bahkan hingga beberapa di antara mereka jadi korban “keganasan” peluru militer sampai gugur. Namun hal itu tidak membuat langkah mereka jadi mundur atau surut melainkan berakhir dengan dramatis, dengan keputusan akhir “Suharto nyatakan diri mundur dari Presiden Indonesia untuk selamanya”. Beberapa contoh dan bisa dikatakan “teladan” yang ditunjukkan kaum muda sangat prestatif, perjuangan mereka tidak sia-sia, namun ada hasil dan prestasi yang hendak diraih. Rasul Batak Ingwer Ludwig Nommensen ketika tiba di Barus lalu masuk ke perkampungan orang-orang Batak Toba adalah saat masih lajang, masih kategori naposobulung. Baru kemudian beliau menikah.


APA PERGUMULAN DAN PERJUANGAN KAUM MUDA ?

Apa sih pergumulan kaum muda dan waktu masa muda? Sangat pelik kita bisa menjawab ini namun semuanya terkait dengan perasaan “kejiwaan” dan tata pergaulan yang selayaknya dipahami. Menurut Erik Homberger Erikson, tiap orang muda selalu mengalami masalah pencarian jati diri (identitas),2 mencari keakuan, dalam artinya masa muda sangat memerlukan legitimasi “pengakuan” yang wajar, dan sosok imitasi (pengidolaan) yang pas di hatinya. Jika kedua ini tidak didapat dari ortunya maka jangan salahkan mereka yang mencoba mengambil potret dari lingkungan pergaulannya. Raja Salomo sebagai raja hikmat dan kebajikan telah mengingatkan kita, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu” (Ams.22:6). Kebimbangan untuk mengambil peran (kiprah) karena tidak diberi peluang serta kesempatan dan nilai kepatutan yang sangat minus didapat sangat membantu untuk meracuni krisis jati diri mereka, sehingga mudah marah, kecewa, sakit hati, dongkol, benci, bahkan sampai masa bodoh (apatis) yang justru telah menciptakan jurang sangat dalam sehingga mudah dipengaruhi. Karena itu ungkapaan bunga bunga huria sudah sangat usang dan hanya lips service saja. Semestinya tidak lagi bunga bunga huria namun kaum muda harus masuk menjadi “TIANG PARTUNGGUL” (Hak.16:26) atau “AUGA NI KRISTUS” (Mat.11:29-30), karena mereka adalah the next generation, penyambung antara orang tua dan anak-anak. Di gereja HKBP sudah mulai dibiasakan calon penatua dapat diambil dari kaum muda, tidak hanya menjadi guru sekolah minggu dan pemanis ruang ibadah saja. Mengapa kita tidak belajar dari sejarah tokoh-tokoh di dalam Alkitab ?
Dalam Kitab Pengkhotbah pasal 11 ayat 9 sampai 10 dicatat, ”Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan ! Buanglah kesedihan dari hatimu dan jauhkanlah penderitaan dari tubuhmu, karena kemudaan dan fajar hidup adalah kesia-siaan”. Setidaknya terdapat beberapa hal penting yang dapat kita rekam dalam ingatan kita. Pertama suka cita selalu terkait dengan tingkat kepuasan, kesenangan hidup. Apakah anda bersuka cita jika usia anda terus bertambah; dari 20 tahun ke 25, dari 25 tahun ke 40 tahun, dari 40 tahun ke 60 tahun, dan seterusnya? Di sini kita dapat memakai ukuran kepuasan kita misal “kurang puas”, “cukup puas”, “puas”, dan “sangat puas”. Dari keempat patokan tersebut, mana yang benar-benar membuat anda menjadi puas. Misal apakah anda puas dengan kehidupan anda saat ini ataukah anda akan berkata saya perlu berprestasi, menunjukkan potensi (talenta) diri supaya orang lain tahu bahwa anda memiliki “otak”,“punya ide”, “punya kemampuan (abilitas)”, “punya tanggung jawab”? Semua harus bisa diuji dan dapat dibuktikan, karena kita adalah orang beriman. Iman tanpa perbuatan adalah mati dan kesia-siaan (Yak.2:17-18, 20), karena “iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr.11:1). Kita punya harapan dan jika harapan kita tercapai maka itu sudah menjadi bukti, namun pencapaian itu harus dengan tindakan. Di sini kita perlu perencanaan hidup untuk bisa mewujudkan harapan kita. Amsal 16:3 memberi nasihat kepada kita bahwa, ”Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu”, sebab di sisi lain juga TUHAN memberi jawaban menarik, ”Aku telah mengatakannya, maka Aku hendak melangsungkannya, Aku telah merencanakannya, maka Aku hendak melaksanakannya” (Yes.46:11b), seperti difirmankan juga kepada Rasul Paulus, ”Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati” (1 Korintus 4:5b). Merantau tanpa tujuan dan hasil adalah “bohong” dan “kesia-siaan”.
Kedua suka cita juga berhubungan dengan keinginan hati, kebutuhan hidup, bukan kebuntuan hidup. Ada ragam keinginan atau kebutuhan hidup, dan berbeda juga tingkatannya. Ada kebutuhan hidup paling dasar, yakni basic needs, kebutuhan dasar. Tiap orang perlu makan dan minum adalah kebutuhan dasar. Tiap orang perlu pakaian tapi tanpa pakaian orang tidak mati, asal bisa makan dan minum. Soal kebutuhan pakaian berhubungan dengan orang lain. Malu kan dilihat orang tanpa pakaian. Itu membuat manusia menjadi berbudaya. Punya budi (pikiran dan hati), dan daya (ada kemampuan, kesanggupan). Orang Papua tidak malu dengan pakaian hanya pakai koteka, sebab itu budaya mereka. Setiap budaya selalu berubah mengikuti perubahan jaman dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi. Tuhan berfirman,”Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rm. 12:2).
Perencanaan pencapaian tingkat kebutuhan harus memakai ukuran moralitas; apakah baik, pantas, dan tepat buat aku, sahabatku, dan orang lain? Nah, di sini muncul kebutuhan sekunder atau kebutuhan sosial. Manusia adalah homo societus, tidak ada orang bisa hidup sendiri dewasa ini. Dia perlu bergaul, dan bersahabat, ramah terhadap dunianya (lingkungan kerja dan lingkungan alamnya). Kemudian ketiga kebutuhan tertinggi manusia adalah kebutuhan aktualisasi diri,3 kebutuhan dihargai dan menghormati orang lain (ada respek). “Oh, saya kagum terhadap tokoh Ruth atau Ester dalam Alkitab !”, tapi apakah ada keinginan untuk bisa seperti dia atau bisa melebihi dia? Itu adalah kebutuhan aktualisasi diri, yang menantang diri untuk mampu bertindak, berbuat sesuatu, do something. Ada terobosan yang greget, tidak diam melompong, tapi perlu proaktif (punya ide lalu bertindak berdasarkan ide tersebut dan bertanggung jawab terhadap ide tersebut). Jika cuma bisa ngomong doang, ya sama dengan ember bocor yang susah untuk menampung air. Ungkapan “pandangan matamu” memiliki pengertian “realistis”, “tujuan pengharapan” dengan perencanaan, “punya prinsip” dengan sikap proaktif, dan harus “menatap ke depan” agar tidak terjebak dalam masa lalu, pengalaman pahit yang sudah tinggal kenangan. “Pandangan matamu” mengajak kita untuk melihat apa yang bisa kita lakukan ke depan, bagi persekutuan muda-mudi gereja, terutama dalam hal ketajaman analisis realitas, kejelian melihat peluang dan kesempatan, dan kiat menggapai target yang diharapkan.  Orang Kristen tidak boleh diam, ragu, dan bengong, tapi harus berbuat agar imannya tidak mati dan berbuah sesuai Firman Tuhan, “Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah mati bagi hukum Taurat oleh tubuh Kristus, supaya kamu menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita berbuah bagi Allah (Rm. 7:4).
Dari penjelasan tersebut menjadi jelas bahwa mencari dan memiliki identitas sebagai milik Kristus dengan dasar iman kepadaNya dan berbuat demi Kristus agar berbuah sehingga berbuah bagi pengembangan Kerajaan Allah di dunia. Sebagai kaum muda Kristen Batak Toba perlu mengingat akan budayanya dan imannya sebagai identitas utama, selain dari nama saja untuk menunjukkan identitas. Namun identitas menjadi berarti ketika prestasi dapat dicapai. Bagaimana bisa mencapai prestasi jika tidak berbuat sesuatu, yang baik, yang pantas, yang tepat bagi dirinya, keluarganya, dunianya, dan juga bagi gerejanya?  Di sini begitu indah sapaan rasul Paulus tentang nilai perjuangan dengan menyatakan, “Karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng” (2 Kor.10:4).


KIPRAH KAUM MUDA DI GEREJA DAN MASYARAKAT

Cukup banyak muda-mudi Batak Toba sudah sangat maju baik dalam pemikiran inteligensianya maupun pengimanannya terhadap tatanan dan tantangan yang dihadapinya. Mereka memiliki integritas kepribadian memadai, moralitas cukup, dan pola bekerja yang profesional. Hanya kendala yang mereka hadapi adalah justru sistem gereja sendiri, yang kurang memberi ruang gerak leluasa untuk peningkatan daya proaktivitas, dan inovasi dalam kontribusi partisipatif gereja sehingga mereka pun jadi bingung untuk ambil peranan fungsional dan responsibilitas bahwa mereka juga memiliki “saham” di dalam gereja, tidak hanya para orang tua. Jika simak sejarah perjuaangan ranah pemikiran mereka mulai dari Perjanjian Sipirok hingga ke Sipoholon, rasanya satu pun tidak mem-booming melainkan cukup menina-bobokan mereka sebagai bunga-bunga ni huria atau kasarnya hanya sebagai “penggembira” (cheerleaders), yang senantiasa disiram, dipupuk, dan tidak pernah panen alias menjadi dewasa iman sebagaimana diharap gereja untuk turut dalam “pembangunan tubuh Kristus”,”kesatuan iman dan pengetahuan yang benar”,dan “kedewasaan penuh” (Ef.4:12-13), sehingga sebenarnya patut dipertanyakan sampai kapan gereja berhasil dan tuntas dalam memperlengkapi mereka? Bukankah semua orang Kristen memang belum sempurna tetapi tetap melangkah dalam arakan mengikut Tuhan Yesus (Mat.5:48; Luk.6:36; Yoh.17:23) agar disempurnakan pada akhirnya? Lalu sampai kapan gereja memasuki taraf “Kristen makanan keras” untuk tidak melulu menjadi “Kristen susu” apalagi menjadi “Kristen Latah” yang sekadar ikut-ikutan sesuai ranah teologis yang diungkap Rasul Paulus dalam 1 Korintus 3?
Dalam realitas demikian menurut saya, sudah waktunya perlu kontemplasi tentang peranan dan fungsi muda-mudi di dalam gereja dalam rangka Parheheon Naposobulung, supaya bulung-nya senantiasa mekar dan semerbak narwastu. Ada 2 model menarik untuk kiprah muda-mudi di dalam gereja dan masyarakat. Pertama muda-mudi harus menjadi AUGA NI KRISTUS, KUK KRISTUS. Kuk pada binatang seperti kerbau dan sapi biasanya untuk menahan dan menanggung beban berat yang ditimpakan kepadanya. Jika kuk tidak ada maka sulit binatang itu membawa beban berat. Demikian Tuhan Yesus telah menanggung dan memikul beban dosa akibat ulah manusia, ulah dari para orang tua dan para imam. Jadi rasanya sulit masuk akal jika masih saja ada muda-mudi yang menyatakan sikap apatis, masa bodoh, dan tidak tahu menahu penatalayanan gereja. Mereka sepantasnya menjadi kuk gereja agar akselerasi dan proaktivitas gereja dapat melaju sekencang mobil sporti, tidak berjalan seperti keong. Kedua muda-mudi dapat berperan aktif sebagai TIANG PARTUNGGUL atau TIANG PENYANGGA. Titah TUHAN kepada bangsa Israel untuk mengolehkan darah domba ke tiang pintu, tiang penyangga agar malaikat pencabut nyawa melewati rumah-rumah mereka ternyata sangat ampuh. Tiap rumah sudah pasti ada tiang penyangga untuk menahan dan menanggung beban atap rumah yang berat. Jika tiang penyangga tidak ada maka rumah akan sangat rapuh untuk ditiup angin, apalagi sekarang ini angin cukup kencang dan kuat karena pepohonan sudah mulai berkurang di perkotaan. Partisipasi proaktif di dalam gereja bisa saja diberikan kepada muda-mudi mengingat efek globalisasi saat ini tidaklah mungkin dapat diantisipasi segera oleh para orang tua karena kecepatan dan ketangkasan sudah mulai berkurang. Pemikiran ini perlu mendapat perhatian saksama dan perlu kontemplasi supaya benar-benar matang dan relevan dengan akselerasi kemajuan jaman saat ini (masa reformasi) dan para orang tua sudah sepantasnya duduk di singgasana kebajikan, memberi nasihat-nasihat dan saran berdasarkan track pengalaman yang panjang. Sekali lagi kita diingatkan oleh nasihat baik dari teolog kondang Dietrich Bonhoeffer, “Let church be a church”, “Biar gereja menjadi sungguh Gereja”.

1 Kini staf pengajar PPKn pada FKIP Universitas HKBP Nommensen di Pematangsiantar, telah menuntaskan studi bidang Sosiologi dan Antropologi pada Universitas Padjadjaran dengan tesis “Pasar tradisional di Onan Ganjang” tahun 2005, mendalami Studi Pembangunan, Gender, Ekologi, dan Economic Anthropology. Sempat mengikuti aktivitas di PGI Wilayah DKI Jakarta dan PGI Wilayah Sumatera Utara.
2 Erik H.Erikson berdarah Yahudi yang lolos dari genggaman NAZI, mencetuskan konsep psikologi ego yang disebut “identity crisis”, “krisis identitas” yang dialami tiap orang pada masa muda dan masa tua. Pada masa tua orang cenderung kembali berkelakuan seperti anak-anak. Soal ini sudah pernah dikupas dalam Buletin Narhasem edisi Maret 2007
3 Teori Psikologi tentang aktualisasi diri (Self-Actualization) berasal dari Abraham Maslow, sebagai peringkat kebutuhan manusia yang tertinggi, pada puncak piramida. Teori tentang kebutuhan dasar (basic needs) tidak hanya terdapat dalam dunia psikologi, selain Maslow ada Murray, namun di dunia antropologi juga seperti diungkapkan Bronislow Malinowski.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar