KAMPANYE HITAM DAN
KAMBING HITAM
Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi
PENGANTAR
Jelang putaran Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
(Pilpres) banyak sekali bertaburan dan sangat marak pemakaian istilah teknis “kampanye
hitam”. Istilah tersebut merupakan terjemahan langsung dari istilah kerennya “black
campaign”. Apakah pengertian “black campaign” sama dengan istilah “negative
campaign”? Apabila terdapat istilah “negative campaign” berarti terdapat juga
istilah “positive campaign”. Lalu apakah hubungan “kampanye hitam” dengan
istilah “kambing hitam”?
Tulisan saya kali ini mencoba untuk menelisik seputar
pengertian yang dimaksud di atas dengan hubungan kedua idiom politik tersebut
berangkat dari fakta dan data empiris belakangan ini. Tentu ini hanya tulisan
untuk memberi pencerahan pengertian yang lebih baik agar audiens memahami makna
kampanye, kampanye hitam, kampanye negatif, kampanye positif dan kambing hitam.
Ada tulisan saya di blog ini yang mengetengahkan tentang pemahaman dasar
terhadap pengertian kampanye dan propaganda sebagai suatu studi dasar ilmu
politik dan sosiologi politik. Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat di
dalam pencerahan pemahaman terhadap beberapa istilah teknis yang berkembang
akhir-akhir ini.
KAMPANYE HITAM DAN NEGATIF
Kedua istilah ini ibarat serupa namun sebenarnya tidak
memiliki kesamaan pengertian di dalam perkembangan Ilmu Politik dan Sosiologi
Politik. Kampanye hitam adalah deretan atau rangkaian upaya untuk
mendiskreditkan dan menghancurkan citra politik lawan berdasarkan hal-hal yang
sangat buruk, berdasarkan analogi, generalisasi terhadap sosok politisi yang
tidak didukung oleh akurasi data dan fakta yang memadai. Misalnya keburukan
fisik lantas serta merta digeneralisasikan bahwa fisik yang kurang baik sama
dengan kelakuan yang kurang baik. Dengan fisik buruk maka itu perilakunya pun
dianggap buruk. Franklin Roosevelt yang berjalan agak pincang ternyata tidak
serta merta mempengaruhi kecakapannya memimpin USA di dalam menghadapi Perang
Dunia Ke 2. Lalu Abraham Lincoln dilihat dari ekspresi wajahnya yang tampaknya
sangar dan kurang ramah ternyata mampu menghilangkan perbedaan ras kulit hitam
dan turunan Anglo-Saxon di USA. Untung Surapati yang berasal dari rakyat biasa
mampu menjadi pemimpin yang memukau rakyatnya untuk berjuang. Dari kata “hitam”
itu berarti memberikan pandangan yang kelam, buram, dan hitam kepada rivalitas
yang lain sehingga sebagian rakyat dapat terpengaruh.
Kampanye negatif berbeda sedikit dengan kampanye hitam. Kampanye
negatif menyerang lawan politiknya dengan memakai argumentasi data dan fakta
yang akurat serta meyakinkan sehingga lawan politiknya kesulitan untuk melakukan
apologi politiknya. Misalnya pada jaman rejim militer Orde Baru melulu memakai
kata “bersih diri”, “bersih lingkungan” dan “stabilitas nasional” dengan tujuan
negatif agar dapat meredam dan menidurkan semua lawan politiknya. Dengan sebutan
“tidak bersih diri” saja maka asosiasi pikiran orang kebanyakan langsung
menghubungkan ada hubungan dengan perilaku percaturan politik baik itu pernah
dilakukan oleh orang tuanya maupun oleh kakek dan neneknya. Apabila kakek dan
neneknya dulu pernah terlibat LEKRA atau GERWANI maka semua anak sampai kepada
cucu-cucunya dipastikan akan mengalami kesulitan masa depannya. Contoh lain
apabila seorang politisi dulunya pelanggar hak asasi manusia (HAM) maka fakta
politik itu sungguh sulit untuk dilepaskan dari realitas kehidupannya, dan
fakta itu dapat dimanfaatkan oleh lawan politiknya untuk merusak citra
politiknya sehingga rakyat tidak mempercayainya. Capres Ir.H.Joko Widodo
digosipkan sebagai “keturunan cina”padahal dari perawakan fisiknya serta
dialeknya saja, tidak mungkin ada setetes pun “keturunan cina”. Ini bukan lagi
kampanye negatif tapi merupakan kampanye hitam yang bertujuan untuk mendiskreditkan
kredibilitas dan integritas Joko Widodo.
Kampanye negatif sebenarnya sah-sah saja untuk digunakan
untuk menyerang lawan politik, dengan rentetan dan serangkaian argumentasi yang
mematikan lawan politiknya, sehingga rakyat percaya dan tak memilihnya menjadi
pemimpin bangsa negara ini. Lawan kampanye negatif adalah kampanye
positif. Kampanye positif mengembangkan
pola pikir, argumentasi yang konstruktif, dengan mengambil aspek yang baik,
misalnya mengambil sisi keberhasilannya saja, tidak antusias untuk mengambil
aspek kegagalannya. Kampanye positif biasanya berguna untuk membangun dan
mengembangkan pencitraan politik dan politik pencitraan dirinya sebagai sosok
yang kompeten, yang akseptabilitas, dan berintegritas tinggi yang sulit
disaingi lawan-lawan politiknya. Kampanye positif tidak dapat melahirkan
otokritik dan kritik terhadap kebijakan politiknya sendiri maupun kebijakan
politik dari lawan politiknya karena selalu berpikir positif. Di dalam realitas
politik yang terjadi tidak pernah terjadi kampanye positif karena politik itu
adalah seni merebut kekuasaan, sehingga tidaklah mungkin menang jika hanya
bersikap defensif, melainkan harus bersikap ofensif.
KAMBING HITAM
Pada jaman rejim militer Orde Baru terdapat istilah idiom
politik yang menarik, yakni “kambing hitam”. Istilah idiom politik “kambing
hitam” adalah seseorang atau pun institusi yang dijadikan “tumbal politik”, “korban
politik” untuk membersihkan kebijakan
politiknya sehingga tidak dapat dipersalahkan oleh rakyatnya. Misalnya ketika
terjadi peristiwa sabtu kelabu pada tanggal 27 Juni 1996 pemerintah rejim
militer Orde Baru langsung membuat diktum politik bahwa dalang terjadinya aksi
brutal tersebut adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD di situ menjadi “kambing
hitam” dari politik Orde Baru agar pemerintah Orba terbersih dari “kotoran
tangan”-nya sendiri yang “menggulingkan” kepemimpinan yang sah Ketua Umum
Partai Demokrasi Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Penguasa Soeharto tidak
mungkin “mengkambinghitamkan” Megawati karena dia justru merupakan orang yang
harus disingkirkan dari hadapan publisitas. Jadi “kambing hitam” adalah pihak
yang dikorbankan oleh pihak lain, yang sebenarnya sama sekali tidak terkait.
Pihak yang menjadi “kambing hitam” pada masa Orba tentu bernasib sangat sial
seperti yang dialami oleh Sri Bintang Pamungkas, yang “dituduh” berada di balik
demontrasi anti-Soeharto di Jerman. Hal sama juga dialami oleh sastrawan
Pramoedya Ananta Toer, yang dipenjara tanpa proses hukum yang tidak jelas oleh
rejim militer Orde Baru karena dituduh sebagai antek-antek Partai Komunis Indonesia.
Dengan demikian kampanye hitam sudah tentu akan merugikan
pihak lain karena citra politiknya menjadi sangat buruk. Pendiskreditan rivalitas
politik terhadap lawan politiknya tersebut tentu saja akan memposisikan lawan
politiknya menjadi semacam “kambing hitam”, “korban yang tidak diuntungkan”
akibat pencitraan politik lawan yang sangat buruk. Menurut saya kampanye hitam
dapat diklasifikasikan sebagai proses “pengkambing-hitaman” terhadap lawan
politik sehingga diharapkan rakyat tidak mungkin lagi mempercayainya.
Pendiskreditan lawan politik demikian, yang membuat lawan politiknya menjadi “kambing
hitam” tentu saja dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum,
perbuatan yang mencemarkan nama baik dari lawan politiknya, namun pembuktian
hukum terhadap proses kampanye hitam tersebut bukanlah perkara mudah tetapi
tentu saja bisa dibuktikan dengan penyelidikan dan penyidikan secara saksama
oleh pihak berwenang.
Ditilik dari proses pendidikan politik kepada rakyat
sebenarnya proses kampanye hitam sama sekali tidak dapat dibenarkan dapat
memberi pencerahan pendidikan politik kepada rakyat, melainkan menjerumuskan
rakyat masuk ke dalam ranah kebingungan, dan pada akhirnya rakyat pun menjadi
terkotak-kotak, berada di antara pihak yang pro dan pihak yang kontra. Sebaiknya
kampanye hitam digantikan dengan kampanye negatif, menyerang lawan politik dari
kelemahan visi misi beserta program politiknya dengan kekuatan argumentasi data
dan fakta yang akurat. Perkembangan yang terjadi menjelang Pilpres di negara
Indonesia dengan maraknya kampanye hitam bahkan berani memuatnya di dalam suatu
tabloid atau buletin merupakan pukulan pers terberat, mengapa berita tersebut
bisa naik ke percetakan bahwa didistribusikan kepada rakyat tanpa ada
pengawasan, padahal berita-berita yang dicetak begitu bisa diusut karena tentu
tidak dicetak di surga, melainkan masih dicetak di wilayah hukum negara
teritorial Indonesia. Namun apa boleh buat, mengutip ucapan seorang tokoh
negarawan Indonesia Adam Malik, yang pernah berkata bahwa di negara ini “semua
bisa diatur”.
Tulisan saya yang lain mengenai hal-hal mendasar tentang kampanye dan propaganda dapat dibaca di dalam blok ini dengan judul "KAMPANYE DAN PROPAGANDA POLITIK".
Tulisan saya yang lain mengenai hal-hal mendasar tentang kampanye dan propaganda dapat dibaca di dalam blok ini dengan judul "KAMPANYE DAN PROPAGANDA POLITIK".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar