Kamis, 29 Mei 2014

KAMPANYE HITAM DAN KAMBING HITAM

KAMPANYE HITAM DAN KAMBING HITAM

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi




PENGANTAR

Jelang putaran Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) banyak sekali bertaburan dan sangat marak pemakaian istilah teknis “kampanye hitam”. Istilah tersebut merupakan terjemahan langsung dari istilah kerennya “black campaign”. Apakah pengertian “black campaign” sama dengan istilah “negative campaign”? Apabila terdapat istilah “negative campaign” berarti terdapat juga istilah “positive campaign”. Lalu apakah hubungan “kampanye hitam” dengan istilah “kambing hitam”?

Tulisan saya kali ini mencoba untuk menelisik seputar pengertian yang dimaksud di atas dengan hubungan kedua idiom politik tersebut berangkat dari fakta dan data empiris belakangan ini. Tentu ini hanya tulisan untuk memberi pencerahan pengertian yang lebih baik agar audiens memahami makna kampanye, kampanye hitam, kampanye negatif, kampanye positif dan kambing hitam. Ada tulisan saya di blog ini yang mengetengahkan tentang pemahaman dasar terhadap pengertian kampanye dan propaganda sebagai suatu studi dasar ilmu politik dan sosiologi politik. Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat di dalam pencerahan pemahaman terhadap beberapa istilah teknis yang berkembang akhir-akhir ini.


KAMPANYE HITAM DAN NEGATIF

Kedua istilah ini ibarat serupa namun sebenarnya tidak memiliki kesamaan pengertian di dalam perkembangan Ilmu Politik dan Sosiologi Politik. Kampanye hitam adalah deretan atau rangkaian upaya untuk mendiskreditkan dan menghancurkan citra politik lawan berdasarkan hal-hal yang sangat buruk, berdasarkan analogi, generalisasi terhadap sosok politisi yang tidak didukung oleh akurasi data dan fakta yang memadai. Misalnya keburukan fisik lantas serta merta digeneralisasikan bahwa fisik yang kurang baik sama dengan kelakuan yang kurang baik. Dengan fisik buruk maka itu perilakunya pun dianggap buruk. Franklin Roosevelt yang berjalan agak pincang ternyata tidak serta merta mempengaruhi kecakapannya memimpin USA di dalam menghadapi Perang Dunia Ke 2. Lalu Abraham Lincoln dilihat dari ekspresi wajahnya yang tampaknya sangar dan kurang ramah ternyata mampu menghilangkan perbedaan ras kulit hitam dan turunan Anglo-Saxon di USA. Untung Surapati yang berasal dari rakyat biasa mampu menjadi pemimpin yang memukau rakyatnya untuk berjuang. Dari kata “hitam” itu berarti memberikan pandangan yang kelam, buram, dan hitam kepada rivalitas yang lain sehingga sebagian rakyat dapat terpengaruh.

Kampanye negatif berbeda sedikit dengan kampanye hitam. Kampanye negatif menyerang lawan politiknya dengan memakai argumentasi data dan fakta yang akurat serta meyakinkan sehingga lawan politiknya kesulitan untuk melakukan apologi politiknya. Misalnya pada jaman rejim militer Orde Baru melulu memakai kata “bersih diri”, “bersih lingkungan” dan “stabilitas nasional” dengan tujuan negatif agar dapat meredam dan menidurkan semua lawan politiknya. Dengan sebutan “tidak bersih diri” saja maka asosiasi pikiran orang kebanyakan langsung menghubungkan ada hubungan dengan perilaku percaturan politik baik itu pernah dilakukan oleh orang tuanya maupun oleh kakek dan neneknya. Apabila kakek dan neneknya dulu pernah terlibat LEKRA atau GERWANI maka semua anak sampai kepada cucu-cucunya dipastikan akan mengalami kesulitan masa depannya. Contoh lain apabila seorang politisi dulunya pelanggar hak asasi manusia (HAM) maka fakta politik itu sungguh sulit untuk dilepaskan dari realitas kehidupannya, dan fakta itu dapat dimanfaatkan oleh lawan politiknya untuk merusak citra politiknya sehingga rakyat tidak mempercayainya. Capres Ir.H.Joko Widodo digosipkan sebagai “keturunan cina”padahal dari perawakan fisiknya serta dialeknya saja, tidak mungkin ada setetes pun “keturunan cina”. Ini bukan lagi kampanye negatif tapi merupakan kampanye hitam yang bertujuan untuk mendiskreditkan kredibilitas dan integritas Joko Widodo.

Kampanye negatif sebenarnya sah-sah saja untuk digunakan untuk menyerang lawan politik, dengan rentetan dan serangkaian argumentasi yang mematikan lawan politiknya, sehingga rakyat percaya dan tak memilihnya menjadi pemimpin bangsa negara ini. Lawan kampanye negatif adalah kampanye positif.  Kampanye positif mengembangkan pola pikir, argumentasi yang konstruktif, dengan mengambil aspek yang baik, misalnya mengambil sisi keberhasilannya saja, tidak antusias untuk mengambil aspek kegagalannya. Kampanye positif biasanya berguna untuk membangun dan mengembangkan pencitraan politik dan politik pencitraan dirinya sebagai sosok yang kompeten, yang akseptabilitas, dan berintegritas tinggi yang sulit disaingi lawan-lawan politiknya. Kampanye positif tidak dapat melahirkan otokritik dan kritik terhadap kebijakan politiknya sendiri maupun kebijakan politik dari lawan politiknya karena selalu berpikir positif. Di dalam realitas politik yang terjadi tidak pernah terjadi kampanye positif karena politik itu adalah seni merebut kekuasaan, sehingga tidaklah mungkin menang jika hanya bersikap defensif, melainkan harus bersikap ofensif.


KAMBING HITAM

Pada jaman rejim militer Orde Baru terdapat istilah idiom politik yang menarik, yakni “kambing hitam”. Istilah idiom politik “kambing hitam” adalah seseorang atau pun institusi yang dijadikan “tumbal politik”, “korban politik”  untuk membersihkan kebijakan politiknya sehingga tidak dapat dipersalahkan oleh rakyatnya. Misalnya ketika terjadi peristiwa sabtu kelabu pada tanggal 27 Juni 1996 pemerintah rejim militer Orde Baru langsung membuat diktum politik bahwa dalang terjadinya aksi brutal tersebut adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD di situ menjadi “kambing hitam” dari politik Orde Baru agar pemerintah Orba terbersih dari “kotoran tangan”-nya sendiri yang “menggulingkan” kepemimpinan yang sah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Penguasa Soeharto tidak mungkin “mengkambinghitamkan” Megawati karena dia justru merupakan orang yang harus disingkirkan dari hadapan publisitas. Jadi “kambing hitam” adalah pihak yang dikorbankan oleh pihak lain, yang sebenarnya sama sekali tidak terkait. Pihak yang menjadi “kambing hitam” pada masa Orba tentu bernasib sangat sial seperti yang dialami oleh Sri Bintang Pamungkas, yang “dituduh” berada di balik demontrasi anti-Soeharto di Jerman. Hal sama juga dialami oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang dipenjara tanpa proses hukum yang tidak jelas oleh rejim militer Orde Baru karena dituduh sebagai antek-antek Partai Komunis Indonesia.

Dengan demikian kampanye hitam sudah tentu akan merugikan pihak lain karena citra politiknya menjadi sangat buruk. Pendiskreditan rivalitas politik terhadap lawan politiknya tersebut tentu saja akan memposisikan lawan politiknya menjadi semacam “kambing hitam”, “korban yang tidak diuntungkan” akibat pencitraan politik lawan yang sangat buruk. Menurut saya kampanye hitam dapat diklasifikasikan sebagai proses “pengkambing-hitaman” terhadap lawan politik sehingga diharapkan rakyat tidak mungkin lagi mempercayainya. Pendiskreditan lawan politik demikian, yang membuat lawan politiknya menjadi “kambing hitam” tentu saja dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, perbuatan yang mencemarkan nama baik dari lawan politiknya, namun pembuktian hukum terhadap proses kampanye hitam tersebut bukanlah perkara mudah tetapi tentu saja bisa dibuktikan dengan penyelidikan dan penyidikan secara saksama oleh pihak berwenang.

Ditilik dari proses pendidikan politik kepada rakyat sebenarnya proses kampanye hitam sama sekali tidak dapat dibenarkan dapat memberi pencerahan pendidikan politik kepada rakyat, melainkan menjerumuskan rakyat masuk ke dalam ranah kebingungan, dan pada akhirnya rakyat pun menjadi terkotak-kotak, berada di antara pihak yang pro dan pihak yang kontra. Sebaiknya kampanye hitam digantikan dengan kampanye negatif, menyerang lawan politik dari kelemahan visi misi beserta program politiknya dengan kekuatan argumentasi data dan fakta yang akurat. Perkembangan yang terjadi menjelang Pilpres di negara Indonesia dengan maraknya kampanye hitam bahkan berani memuatnya di dalam suatu tabloid atau buletin merupakan pukulan pers terberat, mengapa berita tersebut bisa naik ke percetakan bahwa didistribusikan kepada rakyat tanpa ada pengawasan, padahal berita-berita yang dicetak begitu bisa diusut karena tentu tidak dicetak di surga, melainkan masih dicetak di wilayah hukum negara teritorial Indonesia. Namun apa boleh buat, mengutip ucapan seorang tokoh negarawan Indonesia Adam Malik, yang pernah berkata bahwa di negara ini “semua bisa diatur”.

Tulisan saya yang lain mengenai hal-hal mendasar tentang kampanye dan propaganda dapat dibaca di dalam blok ini dengan judul "KAMPANYE DAN PROPAGANDA POLITIK".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar