SINTUA, SANTO, DAN SANCTORUM
Melvin M. Simanjuntak 1
PENGANTAR
Tohonan
Sintua (tahbisan penatua) senantiasa menarik untuk dilakukan kajian agar
pemahaman bisa proporsional, satu kesatuan, dan menyeluruh. Dewasa ini tohonan sintua merebak dan berkembang
dengan dipengaruhi oleh pemahaman bahwa ada baiknya jabatan tidak bersifat
indefinitif. Artinya perlu suatu periode implementasi jabatan karena kekuatan
fisik juga bersifat terbatas. Usul berkembang sebaiknya periode berlaku cukup 3
tahun atau 5 tahun, atau 12 tahun, dengan bersandar pada pemahaman secara
teologis. Namun sisi lain merasa tidak perlu menanggapi perkembangan tentang
jabatan sintua demikian. Akhirnya semua kembali kepada kita, kepada warga
jemaat HKBP dan pimpinan HKBP untuk menyikapi perkembangan demikian.
Tulisan ini tidak hendak menyajikan
perdebatan cukup panjang mengenai jabatan penatua, namun mencoba menyodorkan 2
titik pandang yang perlu direnungkan. Pertama
jabatan sintua sebenarnya memiliki keterlekatan (embededness) dengan makna pemahaman santo, orang suci (the holy
person), dan persekutuan orang-orang Kristen yang telah disucikan darah Tuhan
Yesus di dalam gereja yang dikepalaiNya (communio
sanctorum). Cara penulisan sintua dengan disingkat “St” sama dengan cara
penulisan untuk orang-orang Kristen yang telah disucikan tersebut setidaknya
menunjukkan adanya keterkaitan erat. Kedua
jabatan sintua sebenarnya memiliki dasar teologis juga dengan pengertian successio apostolica, yang terkait
dengan semangat pekabaran para rasul. Namun perlu juga disajikan tentang
sejarah pemahaman tohonan sintua
agar pemahaman bersifat holistik, menyeluruh dan satu kesatuan (integralistik)
sehingga menghindari kesalahpahaman.
MAKNA SINTUA DAN SANTO
Justin Sihombing, mantan Ephorus HKBP mengeksplorasi tentang sejarah dari
istilah “tohonan”. Justin Sihombing
mengambil dasar teologis dari Yehezkiel 3:17-19 dan Yehezkiel 33:7-9,
disebutnya “Sijaga Tondi” atau
“Pemelihara Rohani”.2 Dia juga
merujuk pada 2 Korintus 5:18, 20; Kisah Para Rasul 20:28, dan Ephesus 4:11. Jadi penting bagi pelayan yang
menerima tohonan agar dipahami bahwa
tohonan mereka berasal dari Tuhan, na sian Tuhanta do tohonan i, dan semua
kalimat yang keluar dari mulut partohonan
seharusnya adalah Firman Tuhan yang menjadi titik perhatian utama atau
peringatan utama, “ingkon
sipasingothononmu do i tu nasida sian Ahu” (Yeh.33:7). Jika tidak demikian
maka Tuhan akan menagih “utang darah” dari kita kemudian hari di hari
penghakiman tentunya, “anggo mudarna
sian tanganmu do tungguonku” (Yeh.33:8). Ini menjadi “hutang darah” jika
kita tidak memberikan peringatan kepada mereka yang selalu berjalan di dalam kegelapan,
mereka yang masih mengerjakan kejahatan. Karena tohonan berasal dari Tuhan, bukan dari manusia maka tohonan yang diterima mengandung daya
kudus, dengan dasar bahwa Tuhan pada hakekatnya adalah mahakudus. Dengan
demikian setiap pelayan yang telah ditahbiskan tidak bisa lagi sembarang
bicara, sembarang bersikap, dan separuh-separuh dalam pelayanannya. Ukuran
hidupnya tidak lagi ditentukan oleh dirinya, namun terkait dengan pencitraan
nama Tuhan. Sebab dirinya telah menjadi persembahan yang hidup dihadapan Tuhan
dan telah menyerahkan diri untuk melayani kemuliaan Tuhan. Di situlah kekudusan
akan dapat diukur dengan evaluasi dari jemaat. Namun gereja HKBP tidak memakai
istilah santo, melainkan istilah
“jolma na badia”, “pangula na badia”, “pandita na badia”, “sintua na badia”,
dengan makna yang serupa akan tetapi juga dianggap sebagai orang yang dituakan.
Panggilan akrab “panditanami” dan “sintuanami” sebenarnya secara verbal telah
menegaskan hal demikian. Secara khusus karya tulisan mantan Sekretaris Jenderal
HKBP masa Ephorus Pdt.G.H.M.Siahaan, Pdt.Prof.DR. F.H.Sianipar mengutarakan
seluk beluk tentang tohonan sintua.3 Berdasar pandangan demikian tohonan sintua bersifat permanen tetap
melekat hingga lonceng panggilan menghadap Tuhan di surga, tidak periodik,
namun dapat saja “pensiun” mengingat keterbatasan fisik manusia. Jika memang
ada keinginan sejumlah warga jemaat HKBP untuk menggunakan sistem periodik
sebagaimana gereja tetangga maka sebaiknya tidak lagi menggunakan predikat “tohonan” dan perlu peninjauan dasar
teologis secara menyeluruh sehingga tidak hanya pemenuhan kebutuhan sesaat
melainkan untuk langkah antisipasi pelayanan ke masa depan.
Secara etimologis terdapat 3 istilah untuk pengertian penatua di dalam
bahasa Yunani (Koine) sebagai bahasa awal Alkitab Perjanjian Baru pada masa
gereja mula-mula. Pertama istilah presbyteros, yang sering sekali
mendapat pengertian atau diterjemahkan menjadi “penatua” misal disebut dalam
Titus 1:5, Kisah Para Rasul 14:23. Dalam perkembangan dewasa ini di dalam
perjalanan gereja istilah tersebut sering dimaknai sebagai tohonan imam atau pendeta tapi dasar penguatan lain untuk tohonan pendeta adalah istilah “pastor”, yang diterjemahkan menjadi
“gembala” seperti diungkapkan oleh panutan agung Tuhan Yesus dalam Injil
Yohanes pasal 10, sebagai Gembala Yang Baik. Pendelegasian tugas penggembalaan
telah diberikan Tuhan Yesus kepada muridNya bernama Simon Petrus
(Yoh.21:15-19), demikian juga tugas yang diberikanNya kepada Rasul Paulus saat
bertobat (Kis.9:15). Kedua istilah episkopos, yang diterjemahkan “penilik
jemaat” misal dalam Titus 1:7, Filipi 1:1, dan 1 Timotius 3:1-7. Istilah inilah
yang menjadi rujukan dan dasar teologis terhadap pemahaman tohonan sintua. Dari istilah ini muncul istilah “episkopal” untuk
tata gereja yang dianut Gereja Ortodoks Timur, Gereja Katolik, dan beberapa
gereja-gereja protestan seperti Gereja Anglikan di Inggris dan Metodis. Ketiga istilah “diakonos”, yang sering tidak diterjemahkan karena pengertian yang
sangat luas, mungkin pengertiannya adalah “pelayan”, misal dalam Filipi 1:1,
dan 1 Timotius 3:8-13. Di bahasa Batak Toba diterjemahkan menjadi “pangurupi” (= penolong, pembantu,
asisten) di Filipi 1:1 dan Roma 16:1; parhobas
(= pengerja, petugas) di 1 Timotius 3:8-13; dan parhalado (= majelis) di 1 Timotius 4:6. Masa para rasul kedudukan diakonos memiliki kedudukan tertinggi
daripada episkopos dan presbiteros. Presbiter hanya mengurusi
orang-orang miskin sedangkan diakonos
memiliki tahbisan untuk menumpangkan tangan (memberkati), membaptis,
menjatuhkan sanksi gereja, dan memiliki kekuasaan penuh di dalam gereja dan di
seluruh kehidupan jemaat. Sebaliknya dalam sejarah gereja mula-mula disebut
sebagai pemimpin jemaat adalah episkopos,
yang kini dikenal dengan sebutan “Ephorus, Bishop, Paus, Moderamen, dan Ketua
Sinode”. Episkopos dibantu para presbiter yang berperan sebagai semacam “senat”
seperti model kepemimpinan Senat di Kerajaan Romawi dahulu atau Senat Guru
Besar di Perguruan Tinggi.
Perkembangan terjadi dan bergeser maknanya setelah jemaat melihat serta
memahami bahwa pemimpin jemaat dan pejabat-pejabatnya lebih banyak melayani di
sekitar mesbah atau altar maka posisi pemahaman presbiter menjadi bergeser
dibawah kepemimpinan episkopos. Lalu perkembangan terjadi bahwa struktur pelayan
di dalam gereja menjadi sangat hirarkis dan terjadi jarak batas antara pelayan
dengan yang dilayani. Pelayan memiliki kuasa klerus, kleros (lih.Bil.18:20) dengan jemaat yang disebut kaum awam
berasal dari laikoi, laypersons, dari laos
yang berarti bangsa. Ada
nuansa bening masa reformasi gereja antara Martin Luther, Johanes Calvin,
Zwingli sehingga terjadi pergeseran makna penatua tersebut, terkait dengan
penegakkan disiplin gereja. Calvin menerjemahkan penatua menjadi 2 kategori
berdasarkan 1 Timotius 5:17, yakni penatua yang memberikan pimpinan kepada
jemaat, dan penatua yang memberikan pengajaran, peneguhan, dan pemberitaan
Firman. Di sini harus dipahami bahwa jaman di mana belum terdapat tata gereja
(konstitusi, aturan-aturan gereja lain) dan dipengaruhi Yohannes maka seluruh
pelayanan ditangani dan dikelola oleh penatua (presbiteros), sedang pada jemaat-jemaat yang sangat dipengaruhi
Rasul Paulus sudah terdapat tentang pembagian tugas penatalayanan walau sering
tumpang tindih menyangkut kedudukan secara struktur. Martin Luther menolak
adanya hirarki kepemimpinan bahkan dia menghapus batas antara kaum awam dan
klerus (pimpinan majelis tinggi) dengan menyatakan bahwa “semua orang percaya
adalah imamat” (1 Petrus 2:9), yang disebut doktrin imamat am orang percaya. Artinya tiap orang Kristen sebagai
jemaat yang mengaku Kristus Tuhan adalah seorang “imam tak berjubah”, yang
termasuk golongan orang kudus. Pengertian orang kudus (santo) dalam pandangan Luther menjadi meluas, tidak hanya sebatas
dan berlaku untuk para pelayan. Lebih lanjut Luther menegaskan bahwa jika
pejabat-pejabat gereja tidak becus melayani jemaat seperti dilakukan Paus
dengan menebar surat
pengampunan dosa (bulla) maka jemaat
dapat mengambil-alih penatalayanan gereja. Dewasa ini di gereja HKBP terdapat diakones sebagai tahbisan tersendiri, berbeda dengan penatua, juga
terdapat penginjil (evangelis) yang berbeda dengan tohonan pendeta; sedang di gereja GKPS masih terdapat tahbisan yang
disebut syamas, semakna dengan
diaken yang dimaksud.
SINTUA DAN SANCTORUM COMMUNIO
Sanctorum
Communio adalah persekutuan orang percaya berdasar imamat am yang dipanggil
Tuhan didalam gereja untuk mengembangkan visi misi Kerajaan Allah ke dalam
dunia ini. Di dalam Alkitab terdapat persekutuan umat yang secara langsung
terjalin relasi kasih dan kebenaran berdasar prinsip hakiki antara “Aku dan
Engkau” ( I and Thou)4 sebagaimana dimulai dari kisah Adam dan
Hawa (Kejadian pasal 1 dan 2). Pada masa itu persekutuan yang terjadi adalah
persekutuan langsung, di mana jalin hubungan amat jelas perbedaan kehendaknya,
antara Pencipta dan yang diciptakan, Penguasa Alam Raya dan yang dikuasai,
Pemerintahan Allah (providensia Dei)
dan yang diperintahkan. Dalam bahasa kristen sekarang dapat dikatakan hubungan
antara Pelayan dan yang dilayani, sebagaimana diungkap Tuhan Yesus, “Aku datang
bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani” (Mrk.10:45) yang dikutip ulang
oleh Rasul Paulus, “jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani” (Rom
12:7). Perkembangan pascakejatuhan dalam dosa telah merusak hubungan manis dan
mesra tersebut sehingga dosa menciptakan sekat antara Tuhan dan umatNya. Karena
itu hingga pada jaman sekarang hubungaan Tuhan dan manusia tidak lagi bersifat
langsung melainkan melalui mediasi atau mediator tertentu, misal melalui para
nabi, para rasul, bahkan Tuhan Yesus sendiri telah bersabda baahwa tidak ada
yang sampai kepada Bapa jika tidak melaluiNya (Yoh.14:6). Dengan demikian
hubungan Tuhan sebagai Engkau dan manusia sebagai aku menjadi nyata dan
tercermin dalam realitas ilahi. Wajah hubungan demikian menjadi cermin
penentuan hubungan manusia dengan sesamanya. Dalam konteks hubungan demikin
dapat dimengerti dan dikembangkan makna persekutuan dalam gereja. Teolog
kondang yang sangat berani menentang Adolf Hitler, Dietrich Bonhoeffer
menyatakan,”Aktivitas Engkau dalam membentuk pribadi tidak bergantung pada
beradanya secara pribadi. Sekarang kita tambahkan bahwa berada itu juga tidak
tergantung pada kehendak Engkau manusia. Tidak ada seorang pun dapat membuat orang
lain menjadi Aku, menjadikan pribadi moral sadar akan tanggung jawabnya. Allah
atau Roh Kudus mendatangi Engkau yang konkret”.5
Pemaknaan hubungan tersebut sangat menentukan persekutuan jemaat di dalam
gereja, dan sangat mustahil umat dapat memahami hakiki persekutuan jika tidak
memahami dasar dari persekutuan dari hubungan yang dipaparkan di atas. Berdasar
pandangan ini dapat dikembangkan lebih lanjut dari teologi rakyat.
Di dalam doktrin kredo jemaat HKBP terdapat kata “hatopan” yang dahulu
digunakan sebagai modal sosial (social
capital) mendasar untuk sebuah kampung (huta), misal parnampunaon hatopan, mual hatopan, losung hatopan.
Kepemilikan alam dan asset merupakan milik bersama (poverty in the community) sebagaimana sinkron dengan napas teologis
Injil Lukas (lih.Luk.3:11; 12:13-15; 16:14-15; 18:9). Pemeliharaan lingkungan
dan hubungan kerabat sangat ditentukan dengan pola budaya dominasi dari
hatopan. Pengembangan percikan pemikiran ini sampai sekarang kurang mendapat
tempat sewajarnya, sehingga terkesan sangat kuat bahwa teologi di dalam ranah
gereja kita hanya tambal sulam. Sempat mencuat pemikiran brilian dari
Pdt.Hercules Marbun dahulu di era 1970-an mencoba mengutarakan kontekstualisasi
antara kebatakan dan Injil namun justru memunculkaan keraguan, mungkin lebih
tepat sebagai “ketakutan”. Karena itu
persoalan di dalam persekutuan HKBP belum terdapat kajian cermat dan
pengembangan tentang inkulturasi dan kontekstualisasi antara persekutuan model
Kristen dan punguan atau parsaoran di marga-marga Batak Toba menjadi bahasa
klise dewasa ini, padahal dalam konteks demikian fungsionalisasi sintua dapat
dipahami baik dan membuka cakrawala serta era baru. Sintua sebagai orang tua
yang dituakan di dalam persekutuan gereja dapat memaknai ruang hatopan dimaksud,
dan menjadi cermin hubungan “Aku dan Engkau”, asal tidak terjebak dalam
permainan pengaruh yang kurang baik, yang dikenal dewasa ini sebagai “sisuan
bulu”. Pengertian ini melenyapkan pandangan pemikiran tentang kebersamaan dan
kerja sama di dalam persekutuan umat. Di dalam makna persekutuan hatopan makna
“sisuan bulu” tidak sesuai dengan pemahaman iman Kristen tentang koinonia, dan
tidak sesuai dengan konsep punguan orang Batak yang marak hingga ke kota-kota
besar seperti parsahutaon.
1 Ketika penulis membuat artikel ini melayani di HKBP
Kuta Jaya di Tangerang Banten sejak
Nopember 2006.
2 Lihat Justin
Sihombing, “Tohonan: Sidjaga Tondi”,
Tarutung: Colportage HKBP, tanpa tahun
3
F.H.Sianipar, “Tohonan Parmahanion,
Tohonan Sintua”, Tarutung : Kantor Pusat HKBP, tanpa tahun.
4 Teori ini
dikemukakan sebagai tesis teologi relasi dari Martin Buber, sedang pandangan
karl Barth, hubungan demikian disebutkan sebagai “relatio entis”.
5 Lihat John
de Gruchy,”Saksi Bagi Kristus:Kumpulan Cuplikan Karya Dietrich Bonhoeffer”,Jakarta :BPK GM,1993,
hal.59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar