Senin, 05 Mei 2014

CATATAN DEMOKRASI DI NEGARA INDONESIA

CATATAN DEMOKRASI DI NEGARA INDONESIA

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi


  Dari historisnya demokrasi berangkat dari kata Yunani “demos” yang berarti “rakyat”, dan kata “kratein” berarti “kekuasaan” atau “kedaulatan”. Secara harafiah demokrasi berarti kedaulatan rakyat, atau kekuasaan rakyat. Menurut Joseph A. Schmeter demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana tiap individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat, sedangkan Phillippe C. Schmitter memberikan batasan demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yg bertindak secara tdk langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yg telah terpilih. Tokoh demokrasi Indonesia yang pernah menjadi Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid memahami demokrasi sebagai proses  dalam kehidupan bermasyarakat, yang harus diwujudkan terus-menerus, untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Namun batasan demokrasi yang cukup singkat dan padat diberikan oleh Abraham Lincoln yang menegaskan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people). Berdasarkan keterangan batasan tersebut terdapat beberapa hal pokok di dalam pengertian demokrasi. Pertama demokrasi mengakui adanya kekuasaan dan kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat memiliki kekuasaan yang otonom. Kedua kekuasaan pemerintahan berasal dari kekuasaan rakyat yang telah memberikan suara melalui suatu kompetisi yang disebut pemilihan umum. Ketiga rakyat dapat meminta suatu pertanggungjawaban kepada pemerintahan yang dipilihnya apabila dirasakan tidak dapat memenuhi tugas-tugas menyejahterakan rakyatnya. Di sini rakyat dapat meminta agar segera dilaksanakan pemilihan umum ulang untuk mengganti pemerintahan yang dianggap tidak bertanggung jawab. Keempat pemerintahan yang dipilih dan ditentukan oleh rakyat haruslah menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, jujur, adil, bebas, dan sejahtera. Kelima semua pemerintahan yang demokratis harus banyak mendengar aspirasi dan kebutuhan rakyatnya, tidak dapat memilah-milah rakyat dengan berbagai tipologi berdasar stratifikasi sosial; bahwa yang demonstrasi ini adalah dari kelompok itu dan itu yang tidak perlu didengarkan. Sepanjang aksi demontrasi tersebut menyangkut kebutuhannya, dan tidak bersifat rasialisme atau merusak hubungan dengan masyarakat yang lebih besar, tentu hukum harus menjadi panglima sebagai solusinya.

  Dengan demikian di alam demokrasi seharusnya terdapat norma-norma, syarat-syarat, dan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Menurut Nurcholish Madjid, dibutuhkan setidaknya 6 unsur atau norma pokok untuk tatanan masyarakat yang demokratis, yakni :1. Kesadaran akan pluralisme, 2. Musyawarah, 3. Cara harus sejalan dengan tujuan, 4. Kejujuran dalam pemufakatan, 5. Kebebasan murni, persamaan hak & kewajiban, 6. Trial and error dalam berdemokrasi. Menurut Robert  A. Dahl, memandang penting beberapa prinsip di dalam sistem demokrasi, yakni : 1. Kontrol atas kebijakan pemerintah, 2. Pemilu yang jujur (+ adil ), 3. Hak memilih dan dipilih, 4. Kebebasan berpendapat tanpa ada ancaman, 5. Kebebasan mengakses informasi, 6. Kebebasan berserikat. Selain penyelenggaraan negara, harus ada syarat-syarat yang saling berkaitan dan saling menguatkan agar demokrasi dapat dikonsolidasikan. Ke 5 syarat tersebut adalah : 1.Harus diciptakan kondisi bagi berkembangnya masyarakat sipil (civil society), 2. Harus ada masyarakat politik yang relatif otonom, 3. Semua tokoh politik/politisi harus tunduk pada aturan hukum yang melindungi kebebasan individu, 4. Harus ada birokrasi negara yang dimanfaatkan oleh pemerintahan demokratis yang baru, 5. Harus ada masyarakat ekonomi yang dilembagakan. Selain itu demokrasi juga menurut Juan J.Linz memerlukan 2 kriteria penting, yakni :
1.       Demokrasi modern harus bersifat inklusif. Artinya siapa memberikan suara, jenis-jenis parpol apa yang dapat bersaing, masyarakat harus bebas memberikan aspirasinya
2.       Penguasa harus memerintah dengan demokratis. Artinya pemilu yang bebas, adanya partisipasi rakyat, tidak melanggar konstitusi, tidak melanggar hak rakyat, menjaga kaum minoritas.

  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah 3 kali melaksanakan pemilu legislatif dan pemilu presidensial, mulai di tahun 2004, kemudian tahun 2009, dan sekarang tahun 2014 yang baru melaksanakan pemilu legislatif. Namun demikian sepanjang tahun 2004 dan 2009 pemilu disinyalir penuh spekulatif dan manipulatif yang menguntungkan pihak tertentu. Pemilu tahun 2004, 2009, dan 2014 sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya karena di dalam pemilu itu terdapat beberapa hal yang reformis, yakni pertama memilih perwakilan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dulu pada masa Orde Baru direpresentasikan sebagai utusan daerah dan golongan, kedua pemilu presidensial secara langsung yang tidak lagi ditentukan oleh Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR) yang pada jaman Orde Baru diklaim sebagai mandataris kedaulatan rakyat, ketiga pemilu legislatif sebagai tolok ukur untuk menentukan pencalonan presiden dan wakil presiden dalam satu paket, padahal di dalam sistem presidensial di mana presiden tidak dapat dijatuhkan (impeachment) oleh parlemen (DPR RI) seharusnya tidak dapat menjadi tolok ukur, ketiga lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak lagi ditentukan oleh lembaga eksekutif (presiden) namun sudah melalui fit and proper test di parlemen (DPR RI).  Pemilihan komisioner di parlemen sudah tentu banyak dipengaruh unsur lobi politik, dan juga unsur dominasi partai politik yang dominan sehingga dapat dikatakan sarat dengan kepentingan politik bangsa dan negara. Mungkin kita dapat memberikan beberapa solusi mengatasi kebuntuan tersebut. Pertama calon presiden dan wakil presiden dapat dijaring oleh MPR, yang kemudian disampaikan kepada lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk dijadikan dasar hokum agar dapat menjalankan pemilu presiden dan wakil presiden. Kedua pencalonan dapat juga dijaring oleh KPU dengan melaksanakan suatu konvensi rakyat sehingga hasilnya dapat diteruskan untuk pemilu presiden dan wakil presiden. Ketiga penjaringan bakal calon dapat juga berdasarkan konsensus atau referendum rakyat di mana rakyat dapat menentukan pilihannya.

  Berdasarkan pemilu di tahun 2004, pemilu tahun 2009, dan pemilu legislatif 2009 penyakit kekacauan masih saja tetap sama bila dicermati dengan baik. Pertama kekacuan dimulai dengan penyusunan daftar pemilih tetap (DPT) yang bermasalah. Kedua kekacauan terjadi pada saat rekapitulasi penghitungan suara yang sering berbeda mulai dari tingkat desa/kelurahan, lalu ke tingkat kecamatan, kemudian tingkat kota/kabupaten, sampai ke tingkat propinsi bahkan pusat. Namun pada pemilu tahun 2004 machine error di mana memakai IT untuk tabulasi data menjadi kambing hitam yang empuk untuk disalahkan, karena tidak ada satu pihak pun yang bersedia untuk menyatakan bertanggung jawab. Ketiga terjadinya money politics (politik uang) dan juga politik dagang sapi (politik transaksional) menjadi peluang terbaik bagi para politisi melancarkan lobi-lobi politik untuk mempengaruhi rakyat sebagai pemegang suara kedaulatan. Fakta ini sangat sulit untuk ditiadakan mengingat rakyat pun merasakan bahwa di dalam pemilu membuka kesempatan bagi rakyat untuk mengambil keuntungan, karena selama ini hanya jadi pion dan terkesan sering dibodoh-bodohi dengan sejuta janji-janji politik yang tidak jelas. Nah, menarik buat refleksi kita setelah melaksanakan dan menyaksikan atraksi politik melalui pemilu tersebut, menjadi pokok pertanyaan buat kita sekarang adalah pertama mengapa peristiwa di tahun 2004, tahun 2009 dan tahun 2014 untuk pemilu legislatif masih saja tidak beranjak dari permasalahan yang sama, yakni permasalahan DPT dan permasalahan rekapitulasi? Apakah kita tidak pernah mau belajar dari pengalaman sejarah sebelumnya sehingga permasalahan tidak tetap sama? Pertanyaan yang sangat urgensi buat kita tentu saja mengapa setiap negara ini menyelenggarakan pemilu selalu saja terjadi manipulasi data dan fakta? Apakah ini bisa disebut sebagai resiko di dalam menjalankan demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar