CATATAN DEMOKRASI DI
NEGARA INDONESIA
Oleh : Melvin
M.Simanjuntak, STh, MSi
Dari
historisnya demokrasi berangkat dari kata Yunani “demos” yang berarti “rakyat”,
dan kata “kratein” berarti “kekuasaan” atau “kedaulatan”. Secara harafiah
demokrasi berarti kedaulatan rakyat, atau kekuasaan rakyat. Menurut Joseph A. Schmeter demokrasi adalah suatu
perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana tiap individu memperoleh kekuasaan untuk
memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat, sedangkan Phillippe C. Schmitter memberikan
batasan demokrasi adalah suatu
sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara,
yg bertindak secara tdk langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para
wakil mereka yg telah terpilih. Tokoh demokrasi
Indonesia yang pernah menjadi Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid memahami demokrasi sebagai proses
dalam kehidupan bermasyarakat, yang harus diwujudkan terus-menerus,
untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Namun batasan demokrasi yang cukup
singkat dan padat diberikan oleh Abraham Lincoln yang menegaskan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and
for the people). Berdasarkan keterangan
batasan tersebut terdapat beberapa hal pokok di dalam pengertian demokrasi. Pertama
demokrasi mengakui adanya kekuasaan dan kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat memiliki
kekuasaan yang otonom. Kedua kekuasaan pemerintahan berasal dari kekuasaan
rakyat yang telah memberikan suara melalui suatu kompetisi yang disebut
pemilihan umum. Ketiga rakyat dapat meminta suatu pertanggungjawaban kepada
pemerintahan yang dipilihnya apabila dirasakan tidak dapat memenuhi tugas-tugas
menyejahterakan rakyatnya. Di sini rakyat dapat meminta agar segera
dilaksanakan pemilihan umum ulang untuk mengganti pemerintahan yang dianggap
tidak bertanggung jawab. Keempat pemerintahan yang dipilih dan ditentukan oleh
rakyat haruslah menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, jujur, adil, bebas,
dan sejahtera. Kelima semua pemerintahan yang demokratis harus banyak mendengar
aspirasi dan kebutuhan rakyatnya, tidak dapat memilah-milah rakyat dengan
berbagai tipologi berdasar stratifikasi sosial; bahwa yang demonstrasi ini
adalah dari kelompok itu dan itu yang tidak perlu didengarkan. Sepanjang aksi
demontrasi tersebut menyangkut kebutuhannya, dan tidak bersifat rasialisme atau
merusak hubungan dengan masyarakat yang lebih besar, tentu hukum harus menjadi
panglima sebagai solusinya.
Dengan
demikian di alam demokrasi seharusnya terdapat norma-norma, syarat-syarat, dan
prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Menurut Nurcholish Madjid, dibutuhkan setidaknya 6 unsur atau norma pokok untuk tatanan masyarakat yang
demokratis, yakni :1. Kesadaran akan pluralisme, 2. Musyawarah, 3. Cara harus sejalan dengan tujuan, 4. Kejujuran dalam pemufakatan, 5. Kebebasan murni, persamaan hak &
kewajiban, 6. Trial and error
dalam berdemokrasi. Menurut
Robert A. Dahl, memandang penting beberapa
prinsip di dalam sistem demokrasi, yakni : 1. Kontrol atas kebijakan pemerintah,
2. Pemilu yang jujur (+ adil ),
3. Hak memilih dan dipilih, 4. Kebebasan berpendapat tanpa ada ancaman,
5. Kebebasan mengakses informasi,
6. Kebebasan berserikat. Selain penyelenggaraan
negara, harus ada syarat-syarat yang saling berkaitan
dan saling menguatkan agar demokrasi dapat dikonsolidasikan. Ke 5 syarat tersebut
adalah : 1.Harus diciptakan kondisi bagi berkembangnya masyarakat sipil (civil society), 2. Harus ada masyarakat politik yang relatif otonom, 3. Semua tokoh politik/politisi harus tunduk pada
aturan hukum yang melindungi
kebebasan individu, 4. Harus
ada birokrasi negara yang
dimanfaatkan oleh pemerintahan demokratis yang baru, 5. Harus ada masyarakat ekonomi yang dilembagakan. Selain
itu demokrasi juga menurut Juan
J.Linz memerlukan 2 kriteria penting, yakni :
1.
Demokrasi modern
harus bersifat inklusif. Artinya siapa memberikan suara, jenis-jenis parpol apa yang dapat bersaing, masyarakat harus bebas memberikan aspirasinya
2.
Penguasa harus
memerintah dengan demokratis. Artinya pemilu yang bebas, adanya partisipasi rakyat, tidak melanggar konstitusi, tidak melanggar hak rakyat, menjaga kaum
minoritas.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah 3 kali melaksanakan pemilu legislatif dan
pemilu presidensial, mulai di tahun 2004, kemudian tahun 2009, dan sekarang
tahun 2014 yang baru melaksanakan pemilu legislatif. Namun demikian sepanjang
tahun 2004 dan 2009 pemilu disinyalir penuh spekulatif dan manipulatif yang
menguntungkan pihak tertentu. Pemilu tahun 2004, 2009, dan 2014 sangat berbeda
dengan pemilu sebelumnya karena di dalam pemilu itu terdapat beberapa hal yang
reformis, yakni pertama memilih
perwakilan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dulu pada masa Orde Baru
direpresentasikan sebagai utusan daerah dan golongan, kedua pemilu presidensial secara langsung yang tidak lagi
ditentukan oleh Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR) yang pada jaman Orde Baru
diklaim sebagai mandataris kedaulatan rakyat, ketiga pemilu legislatif sebagai
tolok ukur untuk menentukan pencalonan presiden dan wakil presiden dalam satu
paket, padahal di dalam sistem presidensial di mana presiden tidak dapat
dijatuhkan (impeachment) oleh
parlemen (DPR RI) seharusnya tidak dapat menjadi tolok ukur, ketiga lembaga Komisi
Pemilihan Umum (KPU) tidak lagi ditentukan oleh lembaga eksekutif (presiden)
namun sudah melalui fit and proper test
di parlemen (DPR RI). Pemilihan komisioner
di parlemen sudah tentu banyak dipengaruh unsur lobi politik, dan juga unsur dominasi
partai politik yang dominan sehingga dapat dikatakan sarat dengan kepentingan
politik bangsa dan negara. Mungkin kita dapat memberikan beberapa solusi
mengatasi kebuntuan tersebut. Pertama
calon presiden dan wakil presiden dapat dijaring oleh MPR, yang kemudian
disampaikan kepada lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk dijadikan dasar hokum
agar dapat menjalankan pemilu presiden dan wakil presiden. Kedua pencalonan dapat juga dijaring oleh KPU dengan melaksanakan
suatu konvensi rakyat sehingga hasilnya dapat diteruskan untuk pemilu presiden
dan wakil presiden. Ketiga penjaringan
bakal calon dapat juga berdasarkan konsensus atau referendum rakyat di mana rakyat
dapat menentukan pilihannya.
Berdasarkan
pemilu di tahun 2004, pemilu tahun 2009, dan pemilu legislatif 2009 penyakit kekacauan
masih saja tetap sama bila dicermati dengan baik. Pertama kekacuan dimulai dengan penyusunan daftar pemilih tetap
(DPT) yang bermasalah. Kedua kekacauan
terjadi pada saat rekapitulasi penghitungan suara yang sering berbeda mulai
dari tingkat desa/kelurahan, lalu ke tingkat kecamatan, kemudian tingkat
kota/kabupaten, sampai ke tingkat propinsi bahkan pusat. Namun pada pemilu
tahun 2004 machine error di mana memakai IT untuk tabulasi data menjadi kambing
hitam yang empuk untuk disalahkan, karena tidak ada satu pihak pun yang
bersedia untuk menyatakan bertanggung jawab. Ketiga terjadinya money politics
(politik uang) dan juga politik dagang sapi (politik transaksional) menjadi
peluang terbaik bagi para politisi melancarkan lobi-lobi politik untuk
mempengaruhi rakyat sebagai pemegang suara kedaulatan. Fakta ini sangat sulit
untuk ditiadakan mengingat rakyat pun merasakan bahwa di dalam pemilu membuka
kesempatan bagi rakyat untuk mengambil keuntungan, karena selama ini hanya jadi
pion dan terkesan sering dibodoh-bodohi dengan sejuta janji-janji politik yang
tidak jelas. Nah, menarik buat refleksi kita setelah melaksanakan dan
menyaksikan atraksi politik melalui pemilu tersebut, menjadi pokok pertanyaan
buat kita sekarang adalah pertama mengapa peristiwa di tahun 2004, tahun 2009
dan tahun 2014 untuk pemilu legislatif masih saja tidak beranjak dari
permasalahan yang sama, yakni permasalahan DPT dan permasalahan rekapitulasi? Apakah
kita tidak pernah mau belajar dari pengalaman sejarah sebelumnya sehingga
permasalahan tidak tetap sama? Pertanyaan yang sangat urgensi buat kita tentu
saja mengapa setiap negara ini menyelenggarakan pemilu selalu saja terjadi
manipulasi data dan fakta? Apakah ini bisa disebut sebagai resiko di dalam
menjalankan demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar