MARTUMPOL : ADAT ATAU KRISTEN ?
Melvin M. Simanjuntak *
I.
PENGANTAR
Dalam tahun yang baru ini, tahun 2009, makin banyak
pihak menebar dan membagikan kata-kata penuh janji kepada masyarakat. Kadang
janji tersebut hanya lips service,
seolah-olah namun tidak pernah menjadi kenyataan. Begitulah kenyataan di dalam
kehidupan kita bermasyarakat. Ketika masih pacaran kadang banyak janji
diberikan agar lebih meyakinkan, dan pesona pun makin ditebar ke mana-mana
sehingga dapat menarik simpatik. Penebaran janji tersebut tidak tertulis, tidak
ada kontrak politik, sehingga sungguh sulit untuk dipermasalahkan. Yang ada
kita cukup katakan, “Biarin deh ngomong doang!”. Namun tidak demikian di dalam
kenyataan dan praktek hidup sukubangsa Batak Toba.
Janji bagi orang Batak Toba harus tetap menjadi
komitmen, yang dipegang sampai seterusnya, dari generasi ke generasi
berikutnya. Janji itu disebut PADAN (parpadanan). Misal padan di antara
marga-marga Batak, sebagai contoh padan antara marga Sihombing dan marga
Naibaho, padan marga Sitompul dan marga Tampubolon, padan marga Sihotang dan
marga Lumbangaol, dst. Janji tersebut tidak tertulis namun sangat kuat dan
teguh diyakini serta dipedomani. Tidak boleh ada melawan atau melanggar, sebab
dikuatirkan pasti menimbulkan efek kurang sedap. Tulisan ini tidak akan
membahas tentang parpadanan marga, namun parpadanan/perjanjian pranikah yang
dinamai “martumpol”.
II.
SEPUTAR
MARTUMPOL
Martumpol berasal dari akar kata “tumpol”, yang
berarti berhadap-hadapan, tatap muka, dan dialog. Dalam kegiatan martumpol
dilibatkan sejumlah pihak keluarga berdasarkan Dalihan Na Tolu, yakni dari
pihak PARANAK dan PARBORU. Patumpolon merupakan pengikatan janji iman antara
kedua mempelai, dan kedua pihak dari Paranak dan Parboru, dengan didampingi
oleh para pelayan sebagai janji. Kegiatan itu biasa diadakan di dalam gedung
gereja, bukan diluar gedung gereja. Sungguh aneh tapi nyata. Di dalam AGENDA
HKBP, tidak ada tata kebaktian yang mengatur tentang perjanjian tersebut. Yang
ada surat
parpadanan yang sekarang dibacakan kedua mempelai. AGENDA HKBP hanya memuat
tata acara dan konseling pastoral untuk pernikahan, pamasumasuon. Rasanya
sangat perlu jemaat mempertanyakan apakah kegiatan martumpol merupakan kegiatan
Kristen atau hanya sebatas adat Batak saja? Haruslah konsisten jika memang kita
sangat menghargai kegiatan tersebut, sebab janji yang terucap bukanlah
main-main melainkan perjanjian dengan TUHAN. Di dunia kita banyak sekali
dibicarakan tentang perjanjian misal traktat, memorandum of understanding (MOU), kesepakatan damai, konvensi,
janji orangtua kepada anak-anak melalui serangkaian kegiatan imani seperti saat
menerima baptisan kudus, dan saat menerima pemberkatan nikah.
Jika memang kegiatan martumpol menjadi seremonial
gereja maka sudah semestinya dibuatkan tata cara kebaktiannya sehingga tidak
terjadi overlapping peranan. Kalau memang kegiatan itu cukup diberikan kepada
sintua atau pendeta diperbantukan harus menjadi komitmen, tidak lagi jika
boru/anak ni na mora pendeta resort turun tangan menanganinya. Jika kegiatan
martumpol hanya sebatas adat habatahon maka kegiatan tersebut tidak bisa
diselenggarakan di dalam gedung gereja, cukup di gedung atau aula pertemuan. Di
dalam pelaksanaan martumpol kedua mempelai dan kedua pihak dimaksud juga
dipertanyakan kemungkinan permasalahan yang dapat menghambat proses pernikahan
agar proses membuka rumah tangga Kristen benar-benar beralaskan pada Tuhan
Yesus, dan merupakan rumah tangga yang baru. Setelah beres urusan ini barulah
gereja mewartakan sebanyak 2 kali dalam 2 minggu berturut-turut kecuali jika
ada dispensasi sehingga cukup sekali diwartakan.
Setelah kegiatan martumpol biasanya kedua pihak, baik
Paranak maupun Parboru akan berkumpul masing-masing dengan keluarganya untuk membahas keperluan yang penting
sehubungan dengan undangan, dan hal-hal terkait bersifat teknis dengan
keberlangsungan proses pernikahan, termasuk prosesi keberangkatan dari kegiatan
marsibuhabuhai hingga pada proses paulak une serta maningkir tangga. Di
kota-kota bahkan mungkin di desa kegiatan tersebut dikenal sebagai “ulaon
sadari”, “adat pernikahan yang diefektifkan menjadi cukup sehari dengan
memangkas hal-hal yang tidak perlu, atau hal-hal yang bersifat prestisius. Konon
marga Simanjuntak sepakat jika dari pihak Hutabulu berhajatan maka raja
parhata-nya dari pihak Mardaup dan atau Sitombuk, serta proses pemberian ulos
pun cukup sampai dengan 17 helai, tidak perlu semua keluarga hulahula memberi
ulos sebanyaknya hingga berlarut-larut. Bahkan Palito sudah menerapkan pesta
adat pernikahan pada malam hari mengingat kesibukan pekerjaan orang-orang Batak
yang di perkotaan. Kegiatan demikian sering disebut maria raja atau martonggo
raja. Alangkah baiknya jika di dalam kegiatan martumpol juga diberikan sebagai
tanda pengenal identitas berupa ulos holong yang akan digunakan ketika proses
pemberkatan nikah sehingga peranan ulos dapat tergarami, tidak hanya asesoris
pernikahan. Kesulitan dan masalah yang timbul akan menjadi permasalahan
keluarga Dalihan Na Tolu, tidak lagi menjadi permasalahan kedua mempelai.
Kegiatan martumpol sebagai rentetan tak terpisahkan dengan kegiatan adat
sebelumnya, yang dikenal sebagai “marhusip”
(marhorihori dingding) dan marhata sinamot (manungkun utang).
III.
PARADIGMA
CINTA DALAM MARTUMPOL
Di dalam pemaknaan inti martumpol sebenarnya terjadi
serangkaian peralihan atau transisi karakteristik yang perlu kita simak dan
pahami. Pertama peralihan dari Trial Love menuju Critical Love. Cobaan-cobaan telah berhasil dilalui. Keduanya sudah
tiba pada keputusan untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Karena itu pada masa
martumpol bisa dikatakan sebagai masa percintaan yang kritis di mana kedua
pihak harus mengritisi tiap langkah perkembangan yang terjadi dan siap
menghadapi kemungkinan kegagalan di dalam proses menuju pernikahan. Seringkali
kawula muda menegaskan “wah jatuh cinta” ibarat dendang “jatuh cinta berjuta
rasanya”, namun ketika muncul “sang pangeran” lain maka serasa seperti gempa
bumi. Rasionalitas sering hilang kendali, muda-mudi menjadi lost control, kehilangan orientasi
hidup. Terjadi tramatik yang luar biasa
sehingga sampai pada pemikiran, ”semua cewek sama saja, ember bocor” atau
“semua cowok tidak becus, kaleng bocor”. Di masa ini seharusnya para orangtua
memberi perhatian lebih dan saksama. Masalah putus cinta apalagi bagi muda-mudi
yang berada dalam First Love, Cinta
Perdana, seringkali kehilangan identitas dan rasio yang sehat serta jernih.
Dalam konteks ini sangat dibutuhkan pengetahuan
pedagogis orangtua tentang dimensi cinta. Kawula muda pun harus bisa proaktif
dengan rajin bertanya, misal ketika orangtua lagi senang dengan wajah ceria,
atau saat menonton sinetron perlu ditanyakan kisah perjalanan cinta mereka
hingga tiba pada keputusan untuk berumah tangga. Penanganan terhadap kawula
muda yang brokenheart, patah hati,
mesti serius dan terus menerus mendapat perhatian dalam pelukan kasih sayang.
Sebab mereka bisa terjerumus ke dalam efek keingintahuan dan keinginan hasrat
seksual. Sex education, pendidikan
seks sudah perlu mendapat perhatian orangtua, terlebih bagi peranan gereja.
Gereja tidak bisa buta, masa bodoh terhadap realitas demikian, namun harus
memberi pemahaman yang jitu tentang dimensi relasi cinta dan seks. Jatuh cinta
dan putus cinta sesungguhnya bukanlah pemahaman Kristen yang benar dan tepat.
Sebab hal itu menandakan bahwa mereka sama sekali tidak mengenal cinta dari
orangtuanya, atau saudaranya, atau sahabatnya. Itulah kedangkalan makna cinta,
yang kena erosi akibat kebutuhan belai kasih sayang.
Kedua
peralihan dari Imaginatical Love
menuju Realistic Love. Ketika proses
pacaran penuh dengan babak dramatisasi peranan, penuh angan-angan, penuh mimpi,
disertai dengan iming-iming mau begini dan begitu. Semua itu hanyalah proses
imaginasi seperti halnya bocah yang hendak tidur disajikan cerita-cerita nina
bobo. Kesalahan dalam melangkah bisa berakibat fatal. Tidak ada lagi
pendogengan tentang Romeo dan Juliet, atau paradigma pemikiran William
Shakespear yang menandaskan,”The Love is
Blind”. Bukan cinta buta ataupun membabi-buta yang bergema melainkan
memasuki apa yang disebut Erich Fromm sebagai “The Love is An Art”. Keindahan artistik dan estetis segera hadir
dan sudah diambang pintu hati. Setelah masuk ke dalam proses martumpol maka
keduanya sudah memasuki medan
kenyataan hidup di mana keduanya harus siap menghadapi situasi sosial yang
manis maupun yang pahit. Kematangan pemikiran, kedewasaan iman, dan keteguhan
mental terlihat dalam masa transisi ini, yang berujung pada 2 pintu gerbang
sangat penting, yakni “maju terus” atau “mundur teratur”. Sang pangeran Romeo
berani minum racun demi pengorbanan rasa cintanya. Ekspresi itu seolah-olah
membawa pemikiran bagi kita bahwa tidak ada cewek atau cowok lain yang pantas,
yang cocok, yang sungguh memberikan rasa cintanya. Rasanya Tuhan tidak sebodoh
pemikiran tersebut. Selalu ada solusi jika memang dapat mengendalikan perasaan
dan pikiran. Kisah Rama dan Sinta mirip dengan kisah Romeo dan Juliet.
Imaginasi keindahan cinta, dan efek dari rasa cinta untuk menikmatinya harus
proporsional, pada tataran nyata. Misal ketika saya melihat Monas maka timbul
di benak dan perasaan kagum luar biasa sehingga timbul respek dan kebanggaan,
sangat prestisius. Namun tidak berarti saya harus memiliki Monas tersebut.
Taraf ini adalah realistik, yang harus dihadapi. Kembali ke alam nyata
merupakan reaktualiasi pemahaman cinta yang benar dan tepat.
Ketiga
peralihan dari Personalistic Love
menuju ke Community Love. Sewaktu
berada dalam taraf pacaran masing-masing tetap memikirkan kebutuhan pribadinya
walaupun sudah mulai benih-benih kepedulian dan keperluan kekasih dipikirkan
secara matang dan baik. Misal ketika kekasih ulang tahun, tentu imaginasi dan
usaha trial terus dioptimalkan. Namun usaha itu lebih tertuju kepada
penyenangan pribadi dan sering terjatuh pada dimensi hedonisme. Yang penting
kekasih senang dan suka, sehingga menciptakan ketergantungan pada
materialistik. Di sini muncul istilah “cewek matre” dan “cowok matre”, bukan
pada makna hidup yang sesungguhnya. Bukan pada prospektus, penatapan ke masa
depan bahwa dia akan sanggup penuhi tanggung jawabnya. Rasa sayang dan cinta
pribadi menjadi berubah setelah pasca-martumpol di mana perhatian, beban hidup,
dan tanggung jawab tidak lagi pribadi atau person per person namun sudah
berorientasi pada tanggung jawab sosial. Mereka selalu berhadapan pada
kenyataan hidup, menghadapi problem rumah tangga dengan hati dan pikiran
jernih, memasuki persekutuan dengan semarga dalam serangkaian kegiatan arisan
atau punguan-punguan marga, dan famili dalam koridor Dalihan Na Tolu. Nah,
sambutan mereka biasanya dengan mengucapkan mantra, “SELAMAT DATANG, SELAMAT
BERBAHAGIA, dan HORAS JALA GABE.
* Penulis
adalah dosen PPKn pada FKIP Universitas HKBP Nommensen di Pematangsiantar,
Sumatera Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar