Kamis, 08 Mei 2014

“ PEMUDA & ORGANISASI ”

“ PEMUDA & ORGANISASI ”[1]
Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi[2]


PERGUMULAN PEMUDA

Tahun ini telah ditetapkan Pimpinan Pusat HKBP sebagai tahun Remaja Naposobulung (Re-Na), bahkan di kota Pematangsiantar ini akan direncanakan suatu kegiatan nasional bertajuk “Kemah Pemuda Kebangsaan” yang rencananya akan diadakan pada tanggal 20-22 Maret 2014 di kompleks  FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematang Siantar. Lantas pada pembinaan naposobulung HKBP Resort Setia di Batu Enam ini saya diminta untuk memberikan pemahaman tentang peranan remaja naposobulung di dalam pelayanan gereja HKBP, dan pengorganisasinya[3]. Tentu ini bukan hal mudah mengingat pada terdapat pergumulan rangkap di kalangan muda-mudi di mana muda-mudi akan mengalami pencarian identitas (jati diri) untuk mengenal dan membentuk dirinya, sekaligus menunjukan pengembangan kemampuan termasuk talenta dirinya. Karena itu masa muda-mudi adalah masa akil balik, masa pubertas, masa penuh gejolak, masa penuh keinginan dan kebutuhan, masa penuh impian dan harapan, dan masa puncak enerjik manusia. Di dalam masa ini tentu sangat dibutuhkan pembinaan dan pengarahan orangtua untuk membawanya menuju tingkat kedewasaan penuh (Ef.4:13), orang yang dewasa secara Kristiani (1 Kor. 13:11; Kol.4:12; Ibr.5:14).[4]
Selain pergumulan muda-mudi tersebut dapat juga dikemukakan di sini tantangan atau peluang pelayanan muda-mudi di dalam konteks gereja. Memang Seksi Remaja, dan Seksi Naposobulung berada di dalam naungan Ketua Dewan Koinonia di tiap huria, padahal untuk tingkat resort sama sekali tidak terdapat Ketua Dewan Koinonia Resort, sehingga untuk huria yang lebih dari satu tentu saja akan menemui aral rintangan untuk melakukan koordinasi dan konsolidasi agar bergerak bersama, kompak, solid, dan terkonsentrasi pada program yang penting. Setidaknya terdapat 2 pemikiran yang kerap terus membayangi kiprah muda-mudi untuk melayani di dalam gereja. Pertama adanya pandangan etnik yang menyatakan bahwa naposobulung ibarat bulungbulung, bungabunga ni huria, yang masih belia (banjar) yang masih belum ada pengalaman (dang godang dope mangalang sira), yang kurang memiliki tanggung jawab terhadap apa yang telah dikatakannya dan diperbuatnya. Bukti pandangan ini adalah tatkala naposobulung membuat kegiatan maka kegiatannya bersifat hura-hura, menyenangkan diri sendiri dan kelompok sebayanya. Runyamnya setelah kegiatan usai, tidak ada laporan kepada Majelis Jemaat dan Pendeta. Akhirnya naposobulung gereja hanya menghiasi saat kebaktian hari Minggu dengan koor-koor, retret dan kebaktian padang jika ada, namun tak optimal mengaktualisasikan dirinya untuk melayani secara kreatif, enerjik, dan reformatif sebagaimana telah dilakukan Martin Luther kala masih muda. Kedua terdapat cultural gap, kesenjangan budaya di antara muda-mudi yang gayanya yang trendi sama orangtua yang mengklaim sebagai pemangku adat dan orang Kristen yang sangat dewasa (naung toras). Akibatnya seringkali pemikiran muda-mudi tak sinkron dan tak adaptif terhadap pemikiran orangtua sehingga tak jarang berujung pada konflik, misalnya dalam hal pilihan hidup seperti pendamping hidup, dan cita-cita masa depannya.
Berdasarkan pergumulan rangkap yang sudah dijabarkan di atas maka memang sangat penting rasanya untuk kaum muda mengenal, memahami, dan mempraktekkan pengorganisasian diri agar bias mengorganisasikan dirinya dalam hubungannya dengan orangtuanya, gerejanya, dan Tuhannya sehingga pelayanan mereka mampu bertumbuh bertahap serta menopang pelayanan gereja yang sudah mapan. Berikutnya saya akan memberikan pengenalan dan pemahaman dasar teoritis tentang pengorganisasian untuk membantu pelayanan kaum muda yang lebih kreatif, fleksibel, dan kredibel.


GEREJA ADALAH ORGANISASI

Setelah Yesus Kristus pergi meninggalkan para muridNya maka para muridNya itu yang lebih dikenal sebagai “Rasul” mulai pergi memberitakan Kabar Baik ke penjuru dunia. Pada akhirnya mereka sadar akan perlunya pertemuan-pertemuan untuk membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan pelayanan, termasuk memilih seorang rasul di tengah-tengah mereka. Dalam suatu siding di Yerusalem mereka membahas persoalan teologis yang sangat penting, yakni apakah orang Yahudi yang telah menjadi Kristen harus melalui proses sunat di dalam pertobatan mereka di mana Rasul Paulus berbeda pendapat soal ini dengan Rasul Petrus? Selain membahas pokok teologis tersebut, mereka juga memilih dan mengutus Silas dan Yudas untuk berangkat ke Antiokia (Kis.15). Peristiwa pertemuan-pertemuan para rasul itu menegaskan pentingnya mereka saling berhubungan, yang pada akhirnya mengorganisasikan diri agar pemetaan wilayah penginjilan terbagi rata sesama mereka dengan dasar teologisnya bahwa “Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera” (1 Kor.14:33). Dengan pertambahan orang-orang Kristen yang begitu pesat walau menghadapi tantangan sangat berat maka mulaikan timbul kesadaran pentingnya penambahan pelayan untuk membantu pelayanan mereka. Pada awalnya pelayan yang dibentuk terdiri dari nabi, rasul, pemberita injil, gembala, dan pengajar (Ef.4:11), kemudian berkembang menjadi penilik jemaat, dan diaken (1 Tim.3). Di sini mulai terbangun struktur, pembedaan lingkup pelayanan, dan jenjang hirarki dalam pengambilan keputusan pada pelayanan yang pada akhirnya menjelma menjadi suatu bangunan organisasi gereja. Hal ini sesuai dengan pengertian gereja itu sendiri tidak hanya sebatas tubuh Kristus melainkan sebagai persekutuan orang-orang kudus. Pandangan ini juga selaras dengan salah satu cirri khas orang Batak Kristen adalah “marpungupungu”.[5]
Di dalam teori Sosiologi terdapat 2 istilah penting yang saling terkait mengenai pengorganisasian, yakni pertama pengorganisasian rakyat atau masyarakat (community organization), dan kedua pemberdayaan rakyat/masyarakat (community empowerment). Keduanya merupakan bagian dari Perubahan Sosial (Social change) yang bercorak revolusi/radikal, evolusi/perubahan secara gradual berkelanjutan, dan reformasi. Pengorganisasian masyarakat cenderung bertujuan untuk menggapai arah revolusi dan evolusi, bukan reformasi sebagaiman arah tujuan pemberdayaan masyarakat. Sebab pengorganisasian masyarakat umumnya adalah mengubah sistem, dan melawan para penguasa (pemegang otoritas), sedangkan pemberdayaan masyarakat cenderung hanya mempertahankan kemampuan masyarakat tersebut dengan memakai potensi yang tersedia, bukan untuk mengganti sistem dan penguasa. Jadi topik kita saat ini sangat berat, karena harus memiliki konsep dan teori yang jelas tentang masyarakat, sistem sosial budaya, dan bahkan politik secara radikal tapi yang kita lakukan saat ini sebatas kajian ilmiah, dan perdebatan saja. Jika kalian mau melangkah lebih lanjut untuk dapat menerapkan pengorganisasian masyarakat, tentu berpulang kembali ke hati nurani anda.
Bercermin dari kisah dalam Alkitab, sebenarnya pengorganisasian masyarakat memiliki 2 proses penting, yakni pertama proses pembangunan kekuatan masyarakat secara stabil permanen sehingga semua pihak termasuk penguasa dapat dikontrol bahkan perlu dipaksa untuk bertanggung jawab penuh terhadap situasi sosial yang dialami rakyatnya, dan kedua proses transformasi individu dan kelompok-kelompok masyarakat untuk saling menghormati dan partisipasi di dalam ruang kehidupan publik (artinya masyarakat perlu diberi akses informasi kebijakan publik dan pengambilan keputusan misalnya dengan “memasyarakatkan” asas legal standing “referendum”). Dengan pemahaman proses pengorganisasian masyarakat demikian dapat ditarik pemahaman bagi kita bahwa pengorganisasian masyarakat adalah proses membangun kekuatan permanen untuk mengganti kekuatan yang ada dengan melibatkan semua elemen/unsur masyarakat sebanyak mungkin sehingga ancaman dan tantangan yang menjadi permasalahan mereka dapat diatasi secara bersama-sama sesuai kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Dengan batasan itu tentu sebelum kita melakukan pengorganisasian masyarakat sangat perlu dan penting untuk memegang filosofi prinsip pengorganisasian masyarakat agar tidak menjadi bumerang, anarkis, dan barbar. Filosofi prinsip di dalam pengorganisasian masyarakat mencakup beberapa hal, yakni: pertama pemahaman budaya inklusif (tidak boleh pilih bulu atau pun tebang pilih, yang terkesan diskriminasi), kedua budaya partisipatif yang mengandalkan norma umum yang sangat dikenal di dunia sosiologi,”Jangan pernah melakukan apa yang mereka bisa lakukan sendiri”, ketiga memiliki visi dan misi yang jelas untuk membawa masyarakat sampai ke tujuan dengan berpedoman kerja secara holistic serta mencermati setiap ancaman yang datang, keempat berpikiran kritis yang mampu mengritisi semua sistem aturan kebijakan publik institusi yang dianggap sangat merugikan masyarakat (dalam posisi demikian sudah tentu akan dicap sebagai oposan atau pembangkang alias pemberontak), dan kelima memiliki basis nilai dan budaya lokal sehingga tidak menjadi masalah di dalam dan sistem budaya nilai masyarakat menjadi perhatian serta dihargai. Menurut Profesor Denis M. Murphy terdapat 10 langkah atau tahap untuk mengorganisasi masyarakat, yakni 1. Integrasi, 2. Pemeriksaan Sosial (Social Investigation), 3. Program yang bersifat pencobaan/pengujian (Tentative Programme), 4. Uji kelayakan, 5. Pertemuan-pertemuan untuk berdiskusi, 6. Bermain peran agar tidak mudah terpancing atau terjebak, 7. Aksi nyata, dengan turun ke jalan alias demonstrasi, 8. Evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan, pengaruh, dan kelemahan, 9. Refleksi, mencurahkan perhatian dengan rangkaian realitas, harapan, dan konsep ke masa depan, 10.Membentuk Organisasi untuk pergerakan selanjutnya.


[1]  Disampaikan pada program Pembinaan Muda-Mudi HKBP Resort Setia Batu Enam, Simalungun, Distrik V Sumatera Timur, tanggal 9 Pebruari 2014
[2]  Pendeta HKBP yang ditugaskan sebagai dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas HKBP Nommensen Pematang Siantar.
[3]  Banyak referensi buku menarik, salah satunya adalah karya Pastor Jose P.M.Cunanan,” Jesus, the Organizer: Yesus Sang Organiser ”, Jakarta: Yakoma PGI, 1998; Denis Murphy,”Membangun Organisasi Rakyat”, Jakarta: PMK HKBP,  2005
[4]  Ephorus Emeritus Pdt.Dr.S.A.E.Nababan,”Beberapa Catatan Mengenai Masalah Yang Dihadapi Gereja Masa Kini”, Jakarta: PMK HKBP, 1994, hal.15-21 di mana beliau membedakan antara “Kristen Susu” dan “Kristen Makanan Keras”.
[5]  Cukup banyak orang Batak Kristen berhasil untuk meraih gelar master atau doctor dengan mengkaji tentang punguan, salah satunya adalah Eva Solina Gultom,”Wacana Ulos Batak Toba Dalam Studi Kasus Tiga Mailing List Batak Toba: Silaban Brotherhood, Batak Cyber Community, dan Batak Gaul Community”, Tesis pada Program Magister Ilmu Susastra Universitas Indonesia, Depok, Juli 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar