“ PEMUDA &
ORGANISASI ”[1]
Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi[2]
PERGUMULAN PEMUDA
Tahun ini telah ditetapkan Pimpinan Pusat HKBP
sebagai tahun Remaja Naposobulung (Re-Na), bahkan di kota Pematangsiantar ini
akan direncanakan suatu kegiatan nasional bertajuk “Kemah Pemuda Kebangsaan”
yang rencananya akan diadakan pada tanggal 20-22 Maret 2014 di kompleks FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematang
Siantar. Lantas pada pembinaan naposobulung HKBP Resort Setia di Batu Enam ini
saya diminta untuk memberikan pemahaman tentang peranan remaja naposobulung di
dalam pelayanan gereja HKBP, dan pengorganisasinya[3].
Tentu ini bukan hal mudah mengingat pada terdapat pergumulan rangkap di
kalangan muda-mudi di mana muda-mudi akan mengalami pencarian identitas (jati
diri) untuk mengenal dan membentuk dirinya, sekaligus menunjukan pengembangan
kemampuan termasuk talenta dirinya. Karena itu masa muda-mudi adalah masa akil
balik, masa pubertas, masa penuh gejolak, masa penuh keinginan dan kebutuhan,
masa penuh impian dan harapan, dan masa puncak enerjik manusia. Di dalam masa
ini tentu sangat dibutuhkan pembinaan dan pengarahan orangtua untuk membawanya menuju
tingkat kedewasaan penuh (Ef.4:13), orang yang dewasa secara Kristiani (1 Kor.
13:11; Kol.4:12; Ibr.5:14).[4]
Selain pergumulan muda-mudi tersebut dapat juga
dikemukakan di sini tantangan atau peluang pelayanan muda-mudi di dalam konteks
gereja. Memang Seksi Remaja, dan Seksi Naposobulung berada di dalam naungan
Ketua Dewan Koinonia di tiap huria, padahal untuk tingkat resort sama sekali
tidak terdapat Ketua Dewan Koinonia Resort, sehingga untuk huria yang lebih
dari satu tentu saja akan menemui aral rintangan untuk melakukan koordinasi dan
konsolidasi agar bergerak bersama, kompak, solid, dan terkonsentrasi pada program
yang penting. Setidaknya terdapat 2 pemikiran yang kerap terus membayangi
kiprah muda-mudi untuk melayani di dalam gereja. Pertama adanya pandangan etnik yang menyatakan bahwa naposobulung
ibarat bulungbulung, bungabunga ni huria, yang masih belia (banjar) yang masih belum ada pengalaman
(dang godang dope mangalang sira),
yang kurang memiliki tanggung jawab terhadap apa yang telah dikatakannya dan
diperbuatnya. Bukti pandangan ini adalah tatkala naposobulung membuat kegiatan
maka kegiatannya bersifat hura-hura, menyenangkan diri sendiri dan kelompok
sebayanya. Runyamnya setelah kegiatan usai, tidak ada laporan kepada Majelis
Jemaat dan Pendeta. Akhirnya naposobulung gereja hanya menghiasi saat kebaktian
hari Minggu dengan koor-koor, retret dan kebaktian padang jika ada, namun tak
optimal mengaktualisasikan dirinya untuk melayani secara kreatif, enerjik, dan
reformatif sebagaimana telah dilakukan Martin Luther kala masih muda. Kedua
terdapat cultural gap, kesenjangan budaya di antara muda-mudi yang
gayanya yang trendi sama orangtua yang mengklaim sebagai pemangku adat dan
orang Kristen yang sangat dewasa (naung
toras). Akibatnya seringkali pemikiran muda-mudi tak sinkron dan tak
adaptif terhadap pemikiran orangtua sehingga tak jarang berujung pada konflik,
misalnya dalam hal pilihan hidup seperti pendamping hidup, dan cita-cita masa
depannya.
Berdasarkan
pergumulan rangkap yang sudah dijabarkan di atas maka memang sangat penting
rasanya untuk kaum muda mengenal, memahami, dan mempraktekkan pengorganisasian
diri agar bias mengorganisasikan dirinya dalam hubungannya dengan orangtuanya,
gerejanya, dan Tuhannya sehingga pelayanan mereka mampu bertumbuh bertahap
serta menopang pelayanan gereja yang sudah mapan. Berikutnya saya akan
memberikan pengenalan dan pemahaman dasar teoritis tentang pengorganisasian
untuk membantu pelayanan kaum muda yang lebih kreatif, fleksibel, dan kredibel.
GEREJA ADALAH ORGANISASI
Setelah Yesus Kristus pergi meninggalkan para
muridNya maka para muridNya itu yang lebih dikenal sebagai “Rasul” mulai pergi
memberitakan Kabar Baik ke penjuru dunia. Pada akhirnya mereka sadar akan
perlunya pertemuan-pertemuan untuk membahas segala sesuatu yang berhubungan
dengan pelayanan, termasuk memilih seorang rasul di tengah-tengah mereka. Dalam
suatu siding di Yerusalem mereka membahas persoalan teologis yang sangat
penting, yakni apakah orang Yahudi yang telah menjadi Kristen harus melalui
proses sunat di dalam pertobatan mereka di mana Rasul Paulus berbeda pendapat
soal ini dengan Rasul Petrus? Selain membahas pokok teologis tersebut, mereka
juga memilih dan mengutus Silas dan Yudas untuk berangkat ke Antiokia (Kis.15).
Peristiwa pertemuan-pertemuan para rasul itu menegaskan pentingnya mereka
saling berhubungan, yang pada akhirnya mengorganisasikan diri agar pemetaan
wilayah penginjilan terbagi rata sesama mereka dengan dasar teologisnya bahwa
“Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera” (1 Kor.14:33).
Dengan pertambahan orang-orang Kristen yang begitu pesat walau menghadapi
tantangan sangat berat maka mulaikan timbul kesadaran pentingnya penambahan
pelayan untuk membantu pelayanan mereka. Pada awalnya pelayan yang dibentuk
terdiri dari nabi, rasul, pemberita injil, gembala, dan pengajar (Ef.4:11),
kemudian berkembang menjadi penilik jemaat, dan diaken (1 Tim.3). Di sini mulai
terbangun struktur, pembedaan lingkup pelayanan, dan jenjang hirarki dalam
pengambilan keputusan pada pelayanan yang pada akhirnya menjelma menjadi suatu
bangunan organisasi gereja. Hal ini sesuai dengan pengertian gereja itu sendiri
tidak hanya sebatas tubuh Kristus melainkan sebagai persekutuan orang-orang
kudus. Pandangan ini juga selaras dengan salah satu cirri khas orang Batak
Kristen adalah “marpungupungu”.[5]
Di
dalam teori Sosiologi terdapat 2 istilah penting yang saling terkait mengenai
pengorganisasian, yakni pertama
pengorganisasian rakyat atau masyarakat (community
organization), dan kedua
pemberdayaan rakyat/masyarakat (community
empowerment). Keduanya merupakan bagian dari Perubahan Sosial (Social change) yang bercorak
revolusi/radikal, evolusi/perubahan secara gradual berkelanjutan, dan
reformasi. Pengorganisasian masyarakat cenderung bertujuan untuk menggapai arah
revolusi dan evolusi, bukan reformasi sebagaiman arah tujuan pemberdayaan
masyarakat. Sebab pengorganisasian masyarakat umumnya adalah mengubah sistem,
dan melawan para penguasa (pemegang otoritas), sedangkan pemberdayaan
masyarakat cenderung hanya mempertahankan kemampuan masyarakat tersebut dengan
memakai potensi yang tersedia, bukan untuk mengganti sistem dan penguasa. Jadi
topik kita saat ini sangat berat, karena harus memiliki konsep dan teori yang
jelas tentang masyarakat, sistem sosial budaya, dan bahkan politik secara
radikal tapi yang kita lakukan saat ini sebatas kajian ilmiah, dan perdebatan
saja. Jika kalian mau melangkah lebih lanjut untuk dapat menerapkan
pengorganisasian masyarakat, tentu berpulang kembali ke hati nurani anda.
Bercermin
dari kisah dalam Alkitab, sebenarnya pengorganisasian masyarakat memiliki 2
proses penting, yakni pertama proses
pembangunan kekuatan masyarakat secara stabil permanen sehingga semua pihak
termasuk penguasa dapat dikontrol bahkan perlu dipaksa untuk bertanggung jawab
penuh terhadap situasi sosial yang dialami rakyatnya, dan kedua proses transformasi individu dan kelompok-kelompok masyarakat
untuk saling menghormati dan partisipasi di dalam ruang kehidupan publik
(artinya masyarakat perlu diberi akses informasi kebijakan publik dan
pengambilan keputusan misalnya dengan “memasyarakatkan” asas legal standing “referendum”). Dengan
pemahaman proses pengorganisasian masyarakat demikian dapat ditarik pemahaman
bagi kita bahwa pengorganisasian masyarakat adalah proses membangun kekuatan
permanen untuk mengganti kekuatan yang ada dengan melibatkan semua elemen/unsur
masyarakat sebanyak mungkin sehingga ancaman dan tantangan yang menjadi
permasalahan mereka dapat diatasi secara bersama-sama sesuai kebutuhan
masyarakat itu sendiri.
Dengan batasan itu tentu sebelum
kita melakukan pengorganisasian masyarakat sangat perlu dan penting untuk
memegang filosofi prinsip pengorganisasian masyarakat agar tidak menjadi
bumerang, anarkis, dan barbar. Filosofi prinsip di dalam pengorganisasian
masyarakat mencakup beberapa hal, yakni: pertama
pemahaman budaya inklusif (tidak boleh pilih bulu atau pun tebang pilih, yang
terkesan diskriminasi), kedua budaya
partisipatif yang mengandalkan norma umum yang sangat dikenal di dunia
sosiologi,”Jangan pernah melakukan apa yang mereka bisa lakukan sendiri”, ketiga memiliki visi dan misi yang
jelas untuk membawa masyarakat sampai ke tujuan dengan berpedoman kerja secara
holistic serta mencermati setiap ancaman yang datang, keempat berpikiran kritis yang mampu mengritisi semua sistem aturan
kebijakan publik institusi yang dianggap sangat merugikan masyarakat (dalam
posisi demikian sudah tentu akan dicap sebagai oposan atau pembangkang alias
pemberontak), dan kelima memiliki
basis nilai dan budaya lokal sehingga tidak menjadi masalah di dalam dan sistem
budaya nilai masyarakat menjadi perhatian serta dihargai. Menurut Profesor Denis M. Murphy terdapat 10 langkah atau tahap untuk
mengorganisasi masyarakat, yakni 1. Integrasi, 2. Pemeriksaan Sosial (Social Investigation), 3. Program yang
bersifat pencobaan/pengujian (Tentative
Programme), 4. Uji kelayakan, 5. Pertemuan-pertemuan untuk berdiskusi, 6.
Bermain peran agar tidak mudah terpancing atau terjebak, 7. Aksi nyata, dengan
turun ke jalan alias demonstrasi, 8. Evaluasi untuk mengukur tingkat
keberhasilan, pengaruh, dan kelemahan, 9. Refleksi, mencurahkan perhatian
dengan rangkaian realitas, harapan, dan konsep ke masa depan, 10.Membentuk
Organisasi untuk pergerakan selanjutnya.
[1] Disampaikan
pada program Pembinaan Muda-Mudi HKBP Resort Setia Batu Enam, Simalungun,
Distrik V Sumatera Timur, tanggal 9 Pebruari 2014
[2] Pendeta HKBP
yang ditugaskan sebagai dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas HKBP Nommensen Pematang
Siantar.
[3] Banyak
referensi buku menarik, salah satunya adalah karya Pastor Jose P.M.Cunanan,” Jesus, the Organizer: Yesus Sang Organiser ”,
Jakarta: Yakoma PGI, 1998; Denis Murphy,”Membangun
Organisasi Rakyat”, Jakarta: PMK HKBP,
2005
[4]
Ephorus
Emeritus Pdt.Dr.S.A.E.Nababan,”Beberapa
Catatan Mengenai Masalah Yang Dihadapi Gereja Masa Kini”, Jakarta: PMK
HKBP, 1994, hal.15-21 di mana beliau membedakan antara “Kristen Susu” dan
“Kristen Makanan Keras”.
[5] Cukup banyak
orang Batak Kristen berhasil untuk meraih gelar master atau doctor dengan
mengkaji tentang punguan, salah satunya adalah Eva Solina Gultom,”Wacana Ulos
Batak Toba Dalam Studi Kasus Tiga Mailing List Batak Toba: Silaban Brotherhood,
Batak Cyber Community, dan Batak Gaul Community”, Tesis pada Program Magister
Ilmu Susastra Universitas Indonesia, Depok, Juli 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar