Kamis, 08 Mei 2014

“ PENYEDERHANAAN INTERPRETASI TEKS ALKITAB “

“ PENYEDERHANAAN INTERPRETASI TEKS ALKITAB “
Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi
“ Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah  menganggap dirimu pandai “ ( Roma 12:16 dari Alkitab terjemahan baru LAI, 2010 )
PENDAHALUAN
       Banyak orang acapkali mengatakan “kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit”? Ungkapan ini menarik bila dikaitkan dengan bagaimana cara cepat umat memahami teks-teks Alkitab? Tidak semua umat memahami apa yang tersembunyi di balik maksud rentetan Firman Tuhan walaupun ada juga sebagian dari Firman Tuhan di dalam teks-teks Alkitab tidak memerlukan “interpretasi” ssebagaimana dipelajari oleh para mahasiswa studi teologi.  Karena itu tulisan ini menyajikan agar menolong kita untuk memahami secara sederhana makna di dalam teks-teks Alkitab, yang kita sebutkan sebagai “penyederhanaan interpretasi teks Alkitab”. Rasanya sulit untuk dapat memahami tulisan ini jika tidak dijelajahi terlebih dahulu tentang sekelumit sejarah penafsiran ( interpretasi atau hermeneutika), sejarah teks Alkitab dan beberapa teori penafsiran yang bisa untuk memahami apa yang kita maksud sebagai “penyederhanaan interpretasi teks Alkitab”. Penyederhanaan[1]  tafsiran  atau interpretasi[2] adalah upaya untuk memahami teks Alkitab secara sederhana namun dapat memadai sehingga umat dapat memahami makna teks Alkitab secara cepat dan cermat, dengan memakai beberapa kiat peting. Cara yang sederhana adalah dengan melakukan apa yang disebut sebagai “SUDUT PANDANG” (Point of View) terhadap teks-teks perikop yang hendak dipahami atau dilakukan studi.
       Berbicara tentang penafsiran terhadap teks-teks Alkitab, tentu sudah banyak buku acuan yang mengupas soal tersebut. Di dalam disiplin ilmu teologi bagian penafsiran ini dikenal sebagai ilmu hermeneutika, namun di sini dipakai istilah teknis yang lebih umum, yakni interpretasi. Cukup banyak teori-teori dan konsep-konsep seputar penafsiran terhadap teks-teks Alkitab tapi tulisan ini mencoba melakukan upaya yang lebih ringkas, pas, dan cepat, serta sederhana untuk membantu kita memahami makna dan maksud daripada teks-teks Alkitab tersebut dituliskan. Sering kali orang melakukan kegiatan “eisegese”[3] daripada kegiatan “eksegese”[4] sehingga Alkitab tidak bisa bicara apa adanya sesuai maksud dan kehendak Tuhan. Memang kegiatan penafsiran cukup rumit dan dapat memakai sejumlah teori dan konsep hermeneutika yang ada, namun tulisan ini mau menyajikan beberapa hal penting agar kita dapat lebih gamblang, mudah, sederhana, dan pas memahami teks-teks di dalam Alkitab dengan memerhatikan elemen eksegese serta menggunakan pendekatan-pendekatan sosiologis dan psikologis.

I.               METODOLOGI  RISET INTERPRETASI
Banyak metode yang digunakan untuk meneliti dan mengkaji interpretasi, yang bisa dipakai juga di dalam riset ini. Namun tidak semua metode interpretasi dapat digunakan untuk menunjang suatu paradigma  interpretasi yang baru, yang lebih sederhana, yang membantu warga jemaat memahami secara praktis pola interpretasi ini. Metode pertama digunakan adalah riset dan studi perpustakaan, yang mencari solusi yang pas dan sederhana sesuai riset interpretasi ini. Sejumlah buku telah dikaji secara saksama agar ditemukan benang merah, entry point di dalam penelitian terhadap interpretasi teks Alkitab secara sederhana ini.  Studi perpustakaan diperlukan untuk meneliti beberapa teori yang dapat menunjang kajian ini.
Buku tulisan Pdt.Prof.Emanuel Gerrit Singgih, PdD berjudul “Dua Konteks” sangat  sederhana untuk membantu warga jemaat dalam memahami teks-teks Alkitab. Menurutnya teks dalam konteks masa silam sebagaimana tertulis di dalam teks Alkitab harus dipahami dahulu melalui sarana “eksegese” sehingga diperoleh konteks masa silam, lalu diterapkan pada konteks masa kini agar relevan. Sebenarnya metode yang ditawarkannya agak mirip dengan metode kritik bentuk (form critism) di mana memakai 2 konteks, yakni konteks khusus untuk mengeksegese teks-teks Alkitab dalam satu perikop pada konteks masa silam sedang konteks umum mengaitkan konteks pada satu perikop yang dieksegese itu kepada relevansi dengan perikop sebelumnya dan perikop sesudahnya sehingga diperolehlah konteks umum. Di dalam buku tulisan Pdt.Prof.Dr.A.A.Sitompul dan Pdt.Dr.Ulrich Beyer dengan judul “Metode Penafsiran Modern” banyak merinci sejumlah metode yang berkembang di dalam disiplin ilmu yang dikenal sebagai “hermeneutika”, namun tidak merinci beberapa metode interpretasi yang sudah digunakan oleh para teolog bahkan para bapa gereja seperti metode interpretasi alegori, dan metode atomistis.  Buku lain yang digunakan sebagai bahan dasar kajian adalah tulisan John H.Hayes dan Carl R.Holladay berjudul “Pedoman Penafsiran Alkitab”, mengurai dan menjelaskan sejumlah metode interpretasi teks Alkitab secara ringkas, namun juga tidak memuat metode interpretasi teks Alkitab yang dipakai pada jaman bapa-bapa gereja. Terus buku Douglas A. Knight berjudul “Methods of Biblical Interpretation”, secara langsung menguraikan tentang sejumlah metode interpretasi teks-teks Alkitab secara modern seperti buku-buku Sitompul dan Hayes.
Terjemahan-terjemahan Alkitab dilakukan menurut cara-cara yang berbeda-beda. Walaupun para penerjemah pada umumnya berpendapat bahwa suatu terjemahan harus mengungkapkan isi atau arti teks bahasa sumber dengan tepat, tidak ada persetujuan mengenai bagaimana hal itu harus dicapai. Ada yang merasa bahwa susunan sintaksis dan bentuk leksikal bahasa sumber tidak boleh diubah. Teks harus diterjemahkan secara harafiah dengan memperhatikan bentuk-bentuk bahasa sumber. Orang-orang yang berpendirian begitu pada umumnya berpendapat bahwa bahasa Ibrani dan Yunani yang dipakai dalam Alkitab adalah "bahasa sorgawi", sehingga bentuknya tidak dapat diubah sedikit pun.
Tetapi di lain pihak kemajuan-kemajuan dalam ilmu linguistik telah memupuk kesadaran bahwa bentuk sumber justru harus diubah dan disesuaikan dengan bentuk bahasa sasaran/penerima agar isi teks dapat menjadi jelas bagi pembaca masa kini. Terjemahannya harus dilakukan secara dinamis-fungsional, dengan mengutamakan arti, bukan bentuk, teks bahasa sumber. Bentuk tata bahasa yang sama dapat mempunyai arti yang berbeda-beda. Lagipula telah ditemukan bahwa bahasa yang dipakai dalam Alkitab bukanlah bahasa khusus, melainkan bahasa manusia biasa. Perjanjian Baru ternyata ditulis dalam bahasa Yunani koine, bahasa sehari-hari yang dipakai pada zaman kitab-kitab Perjanjian Baru ditulis, bukan dalam bahasa Yunani sastra atau klasik. Hal ini terungkap antara lain dengan ditemukannya naskah-naskah sekuler yang ditulis pada papiri, dalam bahasa Yunani sehari-hari. Naskah-naskah ini meliputi surat-surat pribadi, kontrak jual-beli, dokumen-dokumen lainnya, yang ternyata bahasanya sama dengan bahasa yang dipakai dalam Perjanjian Baru.
Cara terjemahan harfiah adalah cara tradisional yang pada umumnya dipakai dalam penerjemahan Alkitab di masa lampau. Namun dalam tiga puluh tahun terakhir ini telah diterbitkan terjemahan-terjemahan Alkitab dalam berbagai bahasa di seluruh dunia yang dikerjakan menurut cara dinamis-fungsional. Di Indonesia sendiri sudah terbit Alkitab dengan judul Alkitab Kabar Baik dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) yang diterjamahkan menurut cara dinamis-fungsional ini. Metode penerjemahan dinamis fungsional, bertitik tolak pada kebutuhan pembaca. Teks dilihat sebagai peristiwa komunikasi antara Sumber dan Penerima. Sumber mengirim Berita yang ditujukan kepada Penerima. Tugas penerjemah ialah untuk mengusahakan agar pembaca menyadari pola-pola pemikiran dan maksud-maksud Sumber, supaya ia benar-benar dapat memahami isi berita, sama seperti Penerima yang mula-mula memahaminya.
Agar pesan yang terkandung dalam teks dapat jelas ditangkap oleh pembaca, maka penerjemahan teks tersebut harus mengungkapkan pesan itu dalam bentuk-bentuk yang lazim dalam bahasa sasaran. Ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa sumber sering harus ditinggalkan, karena bentuk-bentuk tersebut bukan hanya terasa kaku bila diterjemahkan secara harafiah tetapi sering juga tidak dimengerti atau malahan disalahartikan oleh pembaca yang hidup dalam zaman dan kebudayaan yang berbeda jauh dari zaman dan kebudayaan Alkitab. Jadi bahasa yang dipakai dalam terjemahan dinamis-fungsional ialah bahasa umum atau bahasa sehari-hari, sedangkan bahasa khusus gereja/teologia dihindari demi untuk menjaga unsur komunikatif terjemahan tersebut.
Terjemahan yang harfiah memberikan bentuk dari bahasa sumber dan orang-orang yang ingin mengetahui bentuk bahasa sumber dapat mengikutinya dari terjemahan tersebut. Namun bagi orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang bahasa sumber, yakni bahasa Ibrani dan Yunani, akan mengalami kesulitan untuk menangkap arti terjemahan harfiah tersebut.

II.             SEJARAH TEKS ATAU NASKAH ALKITAB
Istilah "Bibel" pertama kali digunakan oleh Filo (20 SM – 50 M) dan Yosefus, yang menyebut Perjanjian Lama sebagai bibloi hiërai. Hieronimus, seorang Bapak Gereja yang disuruh oleh Paus Damasus untuk merevisi Alkitab Latin, berkali-kali menyebut Alkitab dengan nama "Biblia" yang merupakan kata dari bahasa Latin yang berarti "buku" atau "kitab". Alkitab dalam bahasa Inggris disebut the Bible (atau Holy Bible - "Kitab Suci").
Istilah "Injil" berasal dari bahasa Arab إنجيل‎ ʾInǧīl, yang diturunkan dari bahasa Yunani ευαγγέλιον (euangelion) yang berarti "Kabar Baik" atau "Berita Kesukaan", yang merujuk pada 1 Peter 1:25 (BIS, TL, & Yunani). Injil dalam bahasa Inggris disebut Gospel, dari bahasa Inggris Kuno gōd-spell yang berarti "kabar baik", yang merupakan terjemahan kata-per-kata dari bahasa Yunani (eu- "baik", -angelion "kabar")
Berdasarkan fakta catatan sejarah terungkap bahwa awalnya teks-teks Alkitab selain masih kuat merupakan tradisi lisan, ternyata juga telah berkembang menjadi tradisi tulisan. Tercatat bahwa ada  5,686 manuskrip berbahasa Yunani yang disalin dengan tangan, 10,000 dalam bahasa Latin Vulgate, 9300 dalam bahasa Old Latin, Slavic, Arabic, Anglo Saxon, et+/- bahasa lain-lain – sehingga jumlahnya mencapai  24,970 salinan manuskrip Perjanjian Baru yang masih ada hingga sekarang.[5] Dari data tersebut telah disalin kembali ke dalam format fragmen, papirus, dan codex. Ada beberapa tradisi tulisan awal yang sangat terkenal, yakni: 1.Fragmen John Ryland (117-138 M) – 1 generasi , 2. Bodmer Papyrus (150-200 M ) – seluruh buku, 3.Chester Beatty Papyri (250 M) -  sebagian besar isi PB, 4.Codex Sinaiticus (340 M), 5.Codex Vaticanus (325-350 M) – hampir seluruh Alkitab lengkap.  Hanya Codex Sinaiticus memuat hampir seluruh teks Alkitab, baik PL maupun PB. Yang tidak ada di dalam Codex Sinaiticus adalah Markus 16:9-20 and Yohanes 7:53-8:11, sedangkan di dalam Codex Vaticanus yang tidak tercantum adalah kitab I Timotius hingga Filemon, Ibrani 9:14 sampai akhir PB dan Surat Rasul Umum.
Sebenarnya penerjemahan Alkitab direstui bahkan didorong oleh Tuhan, Nabi, Imam, Yesus dan para Rasul, karena merupakan tradisi firman Tuhan sendiri. Perlu diketahui bahwa bahasa lbrani berkembang, baik kata-kata, gramatika, maupun kegunaannya, ada kalanya menjadi bahasa `mati' (tidak digunakan dalam percakapan) dan kemudian digunakan sebagai bahasa `hidup' (percakapan). Ketika Perjanjian Lama dalam bahasa lbrani sudah tidak dimengerti umat, Ezra menerjemahkannya ke dalam bahasa Aram (Targum, Neh.8:2-9), kemudian Imam Besar Eliezer merestui dan mengirimkan penerjemah untuk menerjemahkan naskah lbrani PL ke dalam bahasa Yunani (LXX). Ketika hari Pentakosta, Roh Kudus sendiri menerjemahkan firman Tuhan ke banyak bahasa (Kis.2:4), dan PB ditulis dalam bahasa Yunani dan bukan lbrani. Firman Tuhan adalah hidup dan tidak dibatasi bahasa manusia. Bila kita ingin menghindari penerjemahan dan kembali ke bahasa Alkitab, resikonya sama yaitu orang yang mempelajari bahasa asli Alkitab belum tentu mengertinya sama, karena itu lebih baik, sekalipun tidak sempurna, penerjemahan dilakukan oleh kumpulan spesialis yang ahli teologi dan bahasa agar ada keseragaman, dan mempelajari bahasa asli dapat merupakan penambahan pengertian yang saling melengkapi. Terjemahan Alkitab selalu terbuka akan perbaikan untuk lebih memperjelas artinya dan disesuaikan dengan perkembangan bahasa terjemahannya. Kita jangan menjadikan firman Tuhan sebagai mati dalam keterbatasanAlkitab, namun dalam keterbatasannya itu kita menganggapnya cukup untuk membawa kita kepada iman akan Yesus yang adalah Messias dan agar kita hidup dalam Nama-Nya (Yoh. 20:30-31).
Hasil temuan-temuan riset yang dilakukan McDowell membuktikan bahwa perkembangan teks-reks Alkitab dari tradisi lisan ke dalam tradisi tulisan mencatat rekor yang paling banyak tulisan dibanding buku-buku tulisan dari filsuf Herodotus, Homer, bahkan filsuf Plato sekali pun.  Jumlah kopi tulisan pun mencatat terbesar persebarannya dibanding tulisan-tulisan para filsuf tersebut. Dowell pun memberi catatan perbandingan antara isi teks Alkitab PB dengan sejumlah tulisan para Bapa Gereja yang mengutip nats-nats Alkitab di dalam tulisannya. Arkeologis Alkitab William Albright menyimpulkan bahwa keseluruhan Perjanjian Baru ditulis "sangat mungkin antara tahun 50 M dan 75 M" (William F. Albright, Towards a More Conservative View, Christianity Today, January 18, 1993, 3) , sementara skeptis John A. T. Robinson bahkan memberikan tanggal yang lebih awal daripada kaum konservatif, yaitu sekitar tahun 40 dan 65 (John A. T. Robinson, Redating the New Testament, dikutip dalam tulisan Norman L. Geisler dan Frank Turek, I Don't Have Enough Faith To Be An Atheist; Wheaton, IL; Crossway, 2004, 243).

III.      SUDUT  PANDANG (POINT OF VIEW)
                Sudut pandang bisa juga dikatakan sebagai paradigma atau perspektif kita dalam membaca, dan memahami teks Alkitab. Sudut pandang adalah titik tolak kita memahami makna dan maksud dari teks Alkitab. Alan Culpepper membagi 5 bagian sudut pandang  terhadap narasi teks Alkitab, yakni :1. Dimensi psikologi, 2. Evaluasi atau ideologi, 3. Perspektif ruang narator Alkitab, 4. Perspektif waktu, dan 5. Sudut pandang penyusunan kata (fraseologi).[1] Dimensi psikologis harus dipahami tatkala pembaca menjumpai teks Alkitab yang memberinya informasi tentang kepribadian atau perasaan dari tokoh yang disebut. Misalnya di dalam Lukas 1:39-45 disebutkan beberapa informasi tentang kepribadian dan perasaan yang sungguh manusiawi. Beberapa ungkapan/frase di dalam perikop itu yang diklasifikasikan memuat dimensi psikologis adalah “melonjaklah anak yang di dalam rahimnya” (ayat 41), “diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu” (ayat 42), “ketika salammu sampai kepada  telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan” (ayat  44), “berbahagialah ia, yang telah percaya” (ayat 45). Di dalam perikop ini amat jelas mengekspresikan perasaan-perasaan dan juga kepribadian kedua perempuan: Maria dan Elisabet di mana keduanya sering gembira, sedang bahagia karena sedang mengandung. Hamil mengubah perasaan perempuan, dan mengubah status menjadi sungguh-sungguh nyata telah jadi seorang ibu.
                Sudut pandang evaluasi atau ideologi menampakkan pemikiran yang benar dan salah, yang diperlihatkan oleh tokoh-tokoh pemeran di dalam teks Alkitab. Sebagaimana dalam sosiodrama atau adegan sinetron melulu terdapat sikap kesalahan pemeran yang satu dan sikap benar dimainkan oleh pemeran lain. Dengan ideologi ini teks Alkitab mengarahkan pembacanya kepada 2 pilihan sikap saja, yakni pilih sikap yang benar atau sikap yang salah. Perikop Yohanes 1:19-28 memperagakan kepada kita suatu percakapan ideologis tatkala Yohanes diperhadapkan dengan pertanyaan “siapakah engkau?” (ayat 19). Yohanes pun menjawab dengan terus terang  dan mengaku bahwa dirinya “bukan Mesias” (ayat 20). Namun beberapa imam, orang Lewi, dan orang Farisi terus mendesak dengan mempertegaskan pertanyaan repetitif tentang  “siapakah engkau” Elia?” (ayat  21) yang  dijawab Yohanes dengan tegas “bukan”.  Kemudian mereka pun terus mengulang kembali suatu pertanyaan yang kurang lebih serupa, “Engkaukah nabi yang akan datang?”. Di bagian berikutnya pada ayat 25 tampak jelas ideologi mereka sebenarnya dengan pertanyaan mereka yang repetitif tersebut dengan pertanyaan yang menggugat atau mengritisi “mengapakah engkau membaptis, jikalau engkau bukan Mesias, bukan Elia, dan bukan nabi yang akan datang?” (ayat 25). Kehadiran para pihak dari stratifikasi sosial bangsa Israel tersebut menegaskan ideologi mereka, menegaskan keinginan peranan mereka, dan menegaskan maksud mereka sendiri sebagai pihak yang selalu menuntut dan mengklaim dirinya sebagai pihak yang benar dan Yohanes sebagai pihak yang salah. Namun jawaban akhir Yohanes menunjukkan ketidaktahuan mereka , “Aku membaptis dengan air; tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal” (ayat 26), yaitu Dia, yang datang kemudian daripadaku. Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak” (ayat 27). Lakon sikap kerendahan hati Yohanes yang mengungkap dirinya “tidak layak membuka tali kasut-Nya” mau menyatakan bahwa pandangannya benar, sedangkan pandangan imam, orang Lewi, dan orang Farisi yang menuding sikap Yohanes salah justru tidak benar tapi “merasa seolah-olah pihak yang benar” .
                Max Weber jatuh dalam tradisi historis dan hermeneutik juga.   Ia mendefinisikan sosiologi sebagai penjelasan dari aksi sosial: interpretasi dari tindakan yang berarti dari individu sebagai berorientasi pada tindakan orang lain.   Metode verstehen (sering diterjemahkan sebagai pemahaman) dimaksudkan untuk memungkinkan peneliti untuk tiba di hipotesis tentang makna tindakan bagi aktor.   (Fritz Ringer memberikan penjelasan yang baik dari isu yang terlibat dalam tradisi ini dalam perawatan pemikiran metodologis Weber;  (Ringer 1997). Pandangan ruang narator Alkitab menempatkan narator teks Alkitab berada di mana saja, dan serba tahu (omniscient) sebagaimana dikisahkan di dalam kisah penciptaan (Kejadian 1) di mana diekspresikan seolah-olah narator menyaksikan langsung, atau hadir saat Tuhan Allah menciptakan. Di dalam kisah mujijat ketika Yesus berjalan di atas air tampak jelas bahwa narator ikut serta di dalam perahu murid-murid Yesus, dan ikut serta ketika Yesus pun berjalan di atas air. Inilah sudut pandang ruang narator Alkitab mengisi semua ruang atau tempat, bertindak sebagai maha tahu. Pangangan yang dekat dengan sudut pandang ini adalah pandangan waktu. Pandangan waktu menempatkan ruang dalam bingkai “kesilaman” atau “kekinian” atau “keakanan”.  Tatkala Yesus saat masa kenaikan, Dia berbicara bahwa Dia akan menyertai murid-muridNya sampai akhir. Juga ketika Yesus menegor Petrus dengan mengatakan bahwa Petrus pun akan menyangkal DiriNya, menunjukkan adanya pandangan waktu pada masa keakanan, bukan ke masa silam. Di dalam proses panggilan nabi Yeremia sangat kentara  suara Tuhan menyatakan DIRINYA berada di masa silam, dan di masa mendatang (Yeremia 1:5-10). Pandangan fraseologi menunjukkan bahwa narator memiliki kemampuan tidak hanya sebagai pembicara namun juga sebagai pendengar yang andal. Kalimat-kalimat dialog pribadi antara Yesus dengan Nikodemus, percakapan pribadi Haman dan istrinya (Ester 5:12-14), bahkan dialog pribadi Festus dan Agripa (Kis. 26:31-32) memperlihatkan teks-teks tersebut diubah fungsinya dari konsumsi pribadi menjadi konsumsi publik. Artinya seharusnya percakapan pribadi bersifat rahasia, telah berubah menjadi “rahasia umum”.
Sudut pandang adalah cara kita memandang teks atau perikop secara langsung agar dapat dipahami secara baik. Sudut pandang ini menolong kita memahami teks Firman Tuhan dengan baik, dan gamblang. Misalnya kita ambil nats renungan harian hari ini dari Almanak, yang tertulis begini, “Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan” (Yakobus 1:2). Dari teks tersebut kita tentukan “pointer”, yakni suatu sudut yang bisa mengarahkan kita kepada pemahaman komprehensif terhadap teks tersebut. Pertama kata “anggaplah”, dan kedua kata “pencobaan” lalu bagaimana kita menganggap pencobaan itu? Apakah ada manfaatnya, ada kebaikannya, ada hikmatnya, dan ke mana bermuara: apakah penderitaan atau dapat diselami sebagai “kesenangan” atau “kebahagiaan”. Karena pencobaan adalah suatu ujian, sesuatu yang menjurus pada kesusahan, apakah kita mau dan harus berpikir susah juga? Secara sederhana teks tersebut berarti “menantang dan mengarahkan kita untuk menjadikan berbagai macam pencobaan sebagai kebaikan agar kita menemukan atau meraih apa yang disebut di reks ini sebagai “kebahagiaan”. Jika kita buka Alkitab terhadap perikop Yakobus 1:2-11 maka langsung kita membaca adanya tema yang tertulis di situ “Iman dan Hikmat”, yang memperjelas apa yang sudah diuraikan sebelumnya.
                Selanjutnya mari kita ambil nats renungan hari untuk hari berikutnya dari Kitab Yohanes 15:16, berbunyi “bukan kamu yang memilih Aku,  tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu,  supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikan-Nya kepadamu”. Pointer pertama perlu kita buat di sini adalah mengumpulkan kata-kata “memilih”, “menetapkan”, “menghasilkan”, lalu kedua adalah buah yang tetap, dan ketiga adalah “meminta” dan “memberi”. Pertanyaan unuk menolong kita tentu adalah bagaimana menghubungkan kata-kata di bagian pointer pertama? Apa berkaitan langsung kata “memilih” dengan kata-kata “menetapkan” dan “menghasilkan”? Misal “memilih memakan lapet lalu kita putuskan untuk membelinya, hasilnya selain nikmat juga perut menjadi terisi. Kembali ke nats tersebut bahwa kata “Aku” huruf awal kapital jelas dimaksud tentu saja adalah Tuhan Yesus Kristus. Jadi Tuhan Yesus memilih seseorang untuk menjadi “sesuatu” (berbuat sesuai kehendak-Nya agar menghasilkan sesuatu juga. Misalnya berbuat agar orang lain mengerti kabar baik maka hasilnya tentu saja “kebaikan”, “pertobatan”,”perubahan hidup”. Hasil inilah yang dimaksud dengan ungkapan “buahmu itu tetap”). Dengan hasil-hasil yang tetap maka Yesus menjanjikan “apa yang kita minta di dalam nama-Nya maka Bapa di surga akan memberikan. Dengan kata lain “memilih”, “menetapkan” dan “menghasilkan” merupakan panggilan Tuhan Yesus kepada umat-Nya untuk memberitakan kabar baik, kabar tentang Yesus kepada orang lain.



[1] Menurut makna leksikon kamus, “penyederhanaan” adalah proses, cara, perbuatan menyederhanakan. http://www.artikata.com/arti-377008-penyederhanaan.html
[2] Interpretasi menjadi sangat penting dalam studi-studi Biblika. Banyak metode interpretasi yang dikenal oleh kalangan peminat biblika, di antaranya metode allegori, exemplum, parabel, similitude. Lihat  Dr.Liem Kiem Yang, “Mendengarkan Perumpamaan Yesus”, 2002, Jakarta:BPK Gunung Mulia. Bahkan Rudolf Bultmann pun menawarkan metode “demitologisasi” sebagai teknik penghilangan unsur-unsur mitos di dalam teks-teks Alkitab (silahkan dibaca J.L.Ch. Abineno, Rudolf Bultmann dan Teologianya, (Jakarta: BPK-GM, 1989, hal. 11; Tony Lane, Runtu Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK-GM, 2001, hal. 237; Harun Hadiwijoyo, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta: BPK-GM, 1999, hal. 70; R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: BPK-GM, 2002), hal. 52;atau karya-karya Bultmann seperti Jesus Christ and Mytheology, Kerygma and Mythe dan The Theology of the New Testament.
[3] Suatu kegiatan penafsiran yang memasukkan buah-buah pikiran sang pembaca terhadap teks-teks Alkitab agar sesuai keinginan dan seleranya.
[4] Suatu kegiatan yang memahami makna dan maksud teks-teks Alkitab itu untuk diambil hikmatnya.
[5] Josh McDowell, The New Evidence That Demands A Verdict, hal. 34
[6] Lih. Dr.A.A.Sitompul dan Dr.Ulrich Beyer,”Metode Penafsiran Alkitab”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006, hal.305.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar