“
PENYEDERHANAAN INTERPRETASI TEKS ALKITAB “
Oleh : Melvin
M.Simanjuntak, STh, MSi
“ Hendaklah kamu sehati sepikir dalam
hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah
dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai “ ( Roma 12:16 dari
Alkitab terjemahan baru LAI, 2010 )
PENDAHALUAN
Banyak orang acapkali mengatakan “kalau
bisa dipermudah, kenapa dipersulit”? Ungkapan ini menarik bila dikaitkan dengan
bagaimana cara cepat umat memahami teks-teks Alkitab? Tidak semua umat memahami
apa yang tersembunyi di balik maksud rentetan Firman Tuhan walaupun ada juga
sebagian dari Firman Tuhan di dalam teks-teks Alkitab tidak memerlukan
“interpretasi” ssebagaimana dipelajari oleh para mahasiswa studi teologi. Karena itu tulisan ini menyajikan agar
menolong kita untuk memahami secara sederhana makna di dalam teks-teks Alkitab,
yang kita sebutkan sebagai “penyederhanaan interpretasi teks Alkitab”. Rasanya
sulit untuk dapat memahami tulisan ini jika tidak dijelajahi terlebih dahulu
tentang sekelumit sejarah penafsiran ( interpretasi atau hermeneutika), sejarah
teks Alkitab dan beberapa teori penafsiran yang bisa untuk memahami apa yang
kita maksud sebagai “penyederhanaan interpretasi teks Alkitab”. Penyederhanaan[1]
tafsiran
atau interpretasi[2]
adalah upaya untuk memahami teks Alkitab secara sederhana namun dapat memadai
sehingga umat dapat memahami makna teks Alkitab secara cepat dan cermat, dengan
memakai beberapa kiat peting. Cara
yang sederhana adalah dengan melakukan apa yang disebut
sebagai “SUDUT PANDANG” (Point of View) terhadap teks-teks
perikop yang hendak dipahami atau dilakukan studi.
Berbicara tentang penafsiran
terhadap teks-teks Alkitab, tentu sudah banyak buku acuan yang mengupas soal
tersebut. Di dalam disiplin ilmu teologi bagian penafsiran ini dikenal sebagai
ilmu hermeneutika, namun di sini dipakai istilah teknis yang lebih umum, yakni
interpretasi. Cukup banyak teori-teori dan konsep-konsep seputar penafsiran
terhadap teks-teks Alkitab tapi tulisan ini mencoba melakukan upaya yang lebih
ringkas, pas, dan cepat, serta sederhana untuk membantu kita memahami makna dan
maksud daripada teks-teks Alkitab tersebut dituliskan. Sering kali orang
melakukan kegiatan “eisegese”[3]
daripada kegiatan “eksegese”[4]
sehingga Alkitab tidak bisa bicara apa adanya sesuai maksud dan kehendak Tuhan.
Memang kegiatan penafsiran cukup rumit dan dapat memakai sejumlah teori dan
konsep hermeneutika yang ada, namun tulisan ini mau menyajikan beberapa hal
penting agar kita dapat lebih gamblang, mudah, sederhana, dan pas memahami
teks-teks di dalam Alkitab dengan memerhatikan elemen eksegese serta
menggunakan pendekatan-pendekatan sosiologis dan psikologis.
I.
METODOLOGI RISET INTERPRETASI
Banyak metode yang digunakan untuk
meneliti dan mengkaji interpretasi, yang bisa dipakai juga di dalam riset ini.
Namun tidak semua metode interpretasi dapat digunakan untuk menunjang suatu
paradigma interpretasi yang baru, yang
lebih sederhana, yang membantu warga jemaat memahami secara praktis pola
interpretasi ini. Metode pertama digunakan adalah riset dan studi perpustakaan,
yang mencari solusi yang pas dan sederhana sesuai riset interpretasi ini.
Sejumlah buku telah dikaji secara saksama agar ditemukan benang merah, entry
point di dalam penelitian terhadap interpretasi teks Alkitab secara sederhana
ini. Studi perpustakaan diperlukan untuk
meneliti beberapa teori yang dapat menunjang kajian ini.
Buku tulisan Pdt.Prof.Emanuel Gerrit Singgih,
PdD berjudul “Dua Konteks” sangat
sederhana untuk membantu warga jemaat dalam memahami teks-teks Alkitab.
Menurutnya teks dalam konteks masa silam sebagaimana tertulis di dalam teks
Alkitab harus dipahami dahulu melalui sarana “eksegese” sehingga diperoleh
konteks masa silam, lalu diterapkan pada konteks masa kini agar relevan.
Sebenarnya metode yang ditawarkannya agak mirip dengan metode kritik bentuk (form critism) di mana memakai 2 konteks,
yakni konteks khusus untuk mengeksegese teks-teks Alkitab dalam satu perikop
pada konteks masa silam sedang konteks umum mengaitkan konteks pada satu
perikop yang dieksegese itu kepada relevansi dengan perikop sebelumnya dan
perikop sesudahnya sehingga diperolehlah konteks umum. Di dalam buku tulisan
Pdt.Prof.Dr.A.A.Sitompul dan Pdt.Dr.Ulrich Beyer dengan judul “Metode
Penafsiran Modern” banyak merinci sejumlah metode yang berkembang di dalam
disiplin ilmu yang dikenal sebagai “hermeneutika”, namun tidak merinci beberapa
metode interpretasi yang sudah digunakan oleh para teolog bahkan para bapa
gereja seperti metode interpretasi alegori, dan metode atomistis. Buku lain yang digunakan sebagai bahan dasar
kajian adalah tulisan John H.Hayes dan Carl R.Holladay berjudul “Pedoman
Penafsiran Alkitab”, mengurai dan menjelaskan sejumlah metode interpretasi teks
Alkitab secara ringkas, namun juga tidak memuat metode interpretasi teks
Alkitab yang dipakai pada jaman bapa-bapa gereja. Terus buku Douglas A. Knight
berjudul “Methods of Biblical Interpretation”, secara langsung menguraikan
tentang sejumlah metode interpretasi teks-teks Alkitab secara modern seperti
buku-buku Sitompul dan Hayes.
Terjemahan-terjemahan Alkitab dilakukan
menurut cara-cara yang berbeda-beda. Walaupun para penerjemah pada umumnya
berpendapat bahwa suatu terjemahan harus mengungkapkan isi atau arti teks
bahasa sumber dengan tepat, tidak ada persetujuan mengenai bagaimana hal itu
harus dicapai. Ada yang merasa bahwa susunan sintaksis dan bentuk leksikal
bahasa sumber tidak boleh diubah. Teks harus diterjemahkan secara harafiah
dengan memperhatikan bentuk-bentuk bahasa sumber. Orang-orang yang berpendirian
begitu pada umumnya berpendapat bahwa bahasa Ibrani dan Yunani yang dipakai
dalam Alkitab adalah "bahasa sorgawi", sehingga bentuknya tidak dapat
diubah sedikit pun.
Tetapi di lain pihak kemajuan-kemajuan dalam ilmu linguistik telah memupuk kesadaran bahwa bentuk sumber justru harus diubah dan disesuaikan dengan bentuk bahasa sasaran/penerima agar isi teks dapat menjadi jelas bagi pembaca masa kini. Terjemahannya harus dilakukan secara dinamis-fungsional, dengan mengutamakan arti, bukan bentuk, teks bahasa sumber. Bentuk tata bahasa yang sama dapat mempunyai arti yang berbeda-beda. Lagipula telah ditemukan bahwa bahasa yang dipakai dalam Alkitab bukanlah bahasa khusus, melainkan bahasa manusia biasa. Perjanjian Baru ternyata ditulis dalam bahasa Yunani koine, bahasa sehari-hari yang dipakai pada zaman kitab-kitab Perjanjian Baru ditulis, bukan dalam bahasa Yunani sastra atau klasik. Hal ini terungkap antara lain dengan ditemukannya naskah-naskah sekuler yang ditulis pada papiri, dalam bahasa Yunani sehari-hari. Naskah-naskah ini meliputi surat-surat pribadi, kontrak jual-beli, dokumen-dokumen lainnya, yang ternyata bahasanya sama dengan bahasa yang dipakai dalam Perjanjian Baru.
Tetapi di lain pihak kemajuan-kemajuan dalam ilmu linguistik telah memupuk kesadaran bahwa bentuk sumber justru harus diubah dan disesuaikan dengan bentuk bahasa sasaran/penerima agar isi teks dapat menjadi jelas bagi pembaca masa kini. Terjemahannya harus dilakukan secara dinamis-fungsional, dengan mengutamakan arti, bukan bentuk, teks bahasa sumber. Bentuk tata bahasa yang sama dapat mempunyai arti yang berbeda-beda. Lagipula telah ditemukan bahwa bahasa yang dipakai dalam Alkitab bukanlah bahasa khusus, melainkan bahasa manusia biasa. Perjanjian Baru ternyata ditulis dalam bahasa Yunani koine, bahasa sehari-hari yang dipakai pada zaman kitab-kitab Perjanjian Baru ditulis, bukan dalam bahasa Yunani sastra atau klasik. Hal ini terungkap antara lain dengan ditemukannya naskah-naskah sekuler yang ditulis pada papiri, dalam bahasa Yunani sehari-hari. Naskah-naskah ini meliputi surat-surat pribadi, kontrak jual-beli, dokumen-dokumen lainnya, yang ternyata bahasanya sama dengan bahasa yang dipakai dalam Perjanjian Baru.
Cara terjemahan harfiah adalah cara
tradisional yang pada umumnya dipakai dalam penerjemahan Alkitab di masa
lampau. Namun dalam tiga puluh tahun terakhir ini telah diterbitkan
terjemahan-terjemahan Alkitab dalam berbagai bahasa di seluruh dunia yang
dikerjakan menurut cara dinamis-fungsional. Di Indonesia sendiri sudah terbit
Alkitab dengan judul Alkitab Kabar Baik dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari
(BIS) yang diterjamahkan menurut cara dinamis-fungsional ini. Metode
penerjemahan dinamis fungsional, bertitik tolak pada kebutuhan pembaca. Teks
dilihat sebagai peristiwa komunikasi antara Sumber dan Penerima. Sumber
mengirim Berita yang ditujukan kepada Penerima. Tugas penerjemah ialah untuk
mengusahakan agar pembaca menyadari pola-pola pemikiran dan maksud-maksud Sumber,
supaya ia benar-benar dapat memahami isi berita, sama seperti Penerima yang
mula-mula memahaminya.
Agar pesan yang terkandung dalam teks
dapat jelas ditangkap oleh pembaca, maka penerjemahan teks tersebut harus
mengungkapkan pesan itu dalam bentuk-bentuk yang lazim dalam bahasa sasaran.
Ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa sumber sering harus ditinggalkan, karena
bentuk-bentuk tersebut bukan hanya terasa kaku bila diterjemahkan secara
harafiah tetapi sering juga tidak dimengerti atau malahan disalahartikan oleh
pembaca yang hidup dalam zaman dan kebudayaan yang berbeda jauh dari zaman dan
kebudayaan Alkitab. Jadi bahasa yang dipakai dalam terjemahan
dinamis-fungsional ialah bahasa umum atau bahasa sehari-hari, sedangkan bahasa
khusus gereja/teologia dihindari demi untuk menjaga unsur komunikatif
terjemahan tersebut.
Terjemahan yang harfiah memberikan
bentuk dari bahasa sumber dan orang-orang yang ingin mengetahui bentuk bahasa
sumber dapat mengikutinya dari terjemahan tersebut. Namun bagi orang yang tidak
mempunyai pengetahuan tentang bahasa sumber, yakni bahasa Ibrani dan Yunani,
akan mengalami kesulitan untuk menangkap arti terjemahan harfiah tersebut.
II.
SEJARAH TEKS ATAU NASKAH ALKITAB
Istilah "Bibel" pertama kali digunakan oleh Filo (20 SM – 50 M) dan Yosefus, yang menyebut Perjanjian Lama
sebagai bibloi hiërai. Hieronimus, seorang Bapak Gereja yang
disuruh oleh Paus Damasus untuk merevisi Alkitab Latin,
berkali-kali menyebut Alkitab dengan nama "Biblia" yang merupakan kata
dari bahasa Latin yang berarti "buku"
atau "kitab". Alkitab dalam bahasa Inggris disebut the Bible (atau Holy
Bible - "Kitab Suci").
Istilah "Injil" berasal dari bahasa Arab إنجيل ʾInǧīl, yang diturunkan dari bahasa
Yunani ευαγγέλιον (euangelion) yang berarti "Kabar Baik" atau "Berita
Kesukaan", yang merujuk pada 1 Peter 1:25 (BIS, TL, & Yunani). Injil dalam bahasa Inggris disebut Gospel,
dari bahasa Inggris Kuno gōd-spell yang berarti "kabar baik",
yang merupakan terjemahan kata-per-kata dari bahasa Yunani (eu-
"baik", -angelion "kabar")
Berdasarkan
fakta catatan sejarah terungkap bahwa awalnya teks-teks Alkitab selain masih
kuat merupakan tradisi lisan, ternyata juga telah berkembang menjadi tradisi
tulisan. Tercatat bahwa ada 5,686 manuskrip berbahasa Yunani yang disalin
dengan tangan, 10,000
dalam bahasa Latin Vulgate, 9300 dalam bahasa Old Latin, Slavic, Arabic, Anglo Saxon, et+/- bahasa
lain-lain – sehingga jumlahnya mencapai 24,970
salinan manuskrip Perjanjian Baru yang masih ada hingga sekarang.[5]
Dari data tersebut telah disalin kembali ke dalam format fragmen, papirus, dan
codex. Ada beberapa tradisi tulisan awal yang sangat terkenal, yakni: 1.Fragmen John Ryland (117-138 M) – 1 generasi , 2. Bodmer Papyrus
(150-200 M ) – seluruh buku, 3.Chester Beatty Papyri (250 M) - sebagian besar isi PB,
4.Codex Sinaiticus (340 M), 5.Codex
Vaticanus (325-350 M) – hampir seluruh Alkitab lengkap. Hanya Codex Sinaiticus memuat hampir seluruh
teks Alkitab, baik PL maupun PB. Yang tidak ada di dalam Codex Sinaiticus
adalah Markus 16:9-20 and Yohanes
7:53-8:11, sedangkan di dalam Codex Vaticanus yang tidak
tercantum adalah kitab I Timotius
hingga Filemon, Ibrani 9:14 sampai akhir PB dan Surat Rasul Umum.
Sebenarnya
penerjemahan Alkitab direstui bahkan didorong oleh Tuhan, Nabi, Imam, Yesus dan
para Rasul, karena merupakan tradisi firman Tuhan sendiri. Perlu diketahui
bahwa bahasa lbrani berkembang, baik kata-kata, gramatika, maupun kegunaannya,
ada kalanya menjadi bahasa `mati' (tidak digunakan dalam percakapan) dan
kemudian digunakan sebagai bahasa `hidup' (percakapan). Ketika Perjanjian Lama
dalam bahasa lbrani sudah tidak dimengerti umat, Ezra menerjemahkannya ke dalam
bahasa Aram (Targum, Neh.8:2-9), kemudian Imam Besar Eliezer merestui dan
mengirimkan penerjemah untuk menerjemahkan naskah lbrani PL ke dalam bahasa
Yunani (LXX). Ketika hari Pentakosta, Roh Kudus sendiri menerjemahkan firman
Tuhan ke banyak bahasa (Kis.2:4), dan PB ditulis dalam bahasa Yunani dan bukan
lbrani. Firman Tuhan adalah hidup dan tidak dibatasi bahasa manusia. Bila kita
ingin menghindari penerjemahan dan kembali ke bahasa Alkitab, resikonya sama
yaitu orang yang mempelajari bahasa asli Alkitab belum tentu mengertinya sama,
karena itu lebih baik, sekalipun tidak sempurna, penerjemahan dilakukan oleh
kumpulan spesialis yang ahli teologi dan bahasa agar ada keseragaman, dan
mempelajari bahasa asli dapat merupakan penambahan pengertian yang saling
melengkapi. Terjemahan Alkitab selalu terbuka akan perbaikan untuk lebih
memperjelas artinya dan disesuaikan dengan perkembangan bahasa terjemahannya.
Kita jangan menjadikan firman Tuhan sebagai mati dalam keterbatasanAlkitab,
namun dalam keterbatasannya itu kita menganggapnya cukup untuk membawa kita
kepada iman akan Yesus yang adalah Messias dan agar kita hidup dalam Nama-Nya
(Yoh. 20:30-31).
Hasil
temuan-temuan riset yang dilakukan McDowell membuktikan bahwa perkembangan
teks-reks Alkitab dari tradisi lisan ke dalam tradisi tulisan mencatat rekor
yang paling banyak tulisan dibanding buku-buku tulisan dari filsuf Herodotus,
Homer, bahkan filsuf Plato sekali pun. Jumlah kopi tulisan pun mencatat terbesar persebarannya dibanding
tulisan-tulisan para filsuf tersebut. Dowell pun memberi catatan perbandingan
antara isi teks Alkitab PB dengan sejumlah tulisan para Bapa Gereja yang
mengutip nats-nats Alkitab di dalam tulisannya. Arkeologis
Alkitab William Albright menyimpulkan bahwa keseluruhan Perjanjian Baru ditulis
"sangat mungkin antara tahun 50 M dan 75
M" (William F. Albright, Towards
a More Conservative View, Christianity Today, January 18, 1993, 3)
, sementara skeptis John A. T. Robinson bahkan memberikan tanggal yang lebih
awal daripada kaum konservatif, yaitu sekitar tahun 40 dan 65 (John A. T. Robinson, Redating the New Testament,
dikutip dalam tulisan Norman L. Geisler dan Frank Turek, I Don't Have Enough
Faith To Be An Atheist; Wheaton, IL; Crossway, 2004, 243).
III. SUDUT PANDANG (POINT OF VIEW)
Sudut pandang bisa juga
dikatakan sebagai paradigma atau perspektif kita dalam membaca, dan memahami
teks Alkitab. Sudut pandang adalah titik tolak kita memahami makna dan maksud
dari teks Alkitab. Alan Culpepper membagi 5 bagian sudut pandang terhadap narasi teks Alkitab, yakni :1.
Dimensi psikologi, 2. Evaluasi atau ideologi, 3. Perspektif ruang narator
Alkitab, 4. Perspektif waktu, dan 5. Sudut pandang penyusunan kata
(fraseologi).[1] Dimensi
psikologis harus dipahami tatkala pembaca menjumpai teks Alkitab yang
memberinya informasi tentang kepribadian atau perasaan dari tokoh yang disebut.
Misalnya di dalam Lukas 1:39-45 disebutkan beberapa informasi tentang
kepribadian dan perasaan yang sungguh manusiawi. Beberapa ungkapan/frase di
dalam perikop itu yang diklasifikasikan memuat dimensi psikologis adalah
“melonjaklah anak yang di dalam rahimnya” (ayat 41), “diberkatilah engkau di
antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu” (ayat 42), “ketika
salammu sampai kepada telingaku, anak
yang di dalam rahimku melonjak kegirangan” (ayat 44), “berbahagialah ia, yang telah percaya”
(ayat 45). Di dalam perikop ini amat jelas mengekspresikan perasaan-perasaan
dan juga kepribadian kedua perempuan: Maria dan Elisabet di mana keduanya
sering gembira, sedang bahagia karena sedang mengandung. Hamil mengubah
perasaan perempuan, dan mengubah status menjadi sungguh-sungguh nyata telah
jadi seorang ibu.
Sudut pandang evaluasi atau
ideologi menampakkan pemikiran yang benar dan salah, yang diperlihatkan oleh
tokoh-tokoh pemeran di dalam teks Alkitab. Sebagaimana dalam sosiodrama atau
adegan sinetron melulu terdapat sikap kesalahan pemeran yang satu dan sikap
benar dimainkan oleh pemeran lain. Dengan ideologi ini teks Alkitab mengarahkan
pembacanya kepada 2 pilihan sikap saja, yakni pilih sikap yang benar atau sikap
yang salah. Perikop Yohanes 1:19-28 memperagakan kepada kita suatu percakapan
ideologis tatkala Yohanes diperhadapkan dengan pertanyaan “siapakah engkau?”
(ayat 19). Yohanes pun menjawab dengan terus terang dan mengaku bahwa dirinya “bukan Mesias” (ayat
20). Namun beberapa imam, orang Lewi, dan orang Farisi terus mendesak dengan
mempertegaskan pertanyaan repetitif tentang
“siapakah engkau” Elia?” (ayat
21) yang dijawab Yohanes dengan
tegas “bukan”. Kemudian mereka pun terus
mengulang kembali suatu pertanyaan yang kurang lebih serupa, “Engkaukah nabi
yang akan datang?”. Di bagian berikutnya pada ayat 25 tampak jelas ideologi
mereka sebenarnya dengan pertanyaan mereka yang repetitif tersebut dengan
pertanyaan yang menggugat atau mengritisi “mengapakah engkau membaptis, jikalau
engkau bukan Mesias, bukan Elia, dan bukan nabi yang akan datang?” (ayat 25).
Kehadiran para pihak dari stratifikasi sosial bangsa Israel tersebut menegaskan
ideologi mereka, menegaskan keinginan peranan mereka, dan menegaskan maksud
mereka sendiri sebagai pihak yang selalu menuntut dan mengklaim dirinya sebagai
pihak yang benar dan Yohanes sebagai pihak yang salah. Namun jawaban akhir
Yohanes menunjukkan ketidaktahuan mereka , “Aku membaptis dengan air; tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang
tidak kamu kenal” (ayat 26), yaitu Dia, yang datang kemudian daripadaku.
Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak” (ayat 27). Lakon sikap kerendahan
hati Yohanes yang mengungkap dirinya “tidak layak membuka tali kasut-Nya” mau
menyatakan bahwa pandangannya benar, sedangkan pandangan imam, orang Lewi, dan
orang Farisi yang menuding sikap Yohanes salah justru tidak benar tapi “merasa
seolah-olah pihak yang benar” .
Max Weber jatuh
dalam tradisi historis dan hermeneutik juga.
Ia mendefinisikan sosiologi sebagai penjelasan dari aksi sosial:
interpretasi dari tindakan yang berarti dari individu sebagai berorientasi pada
tindakan orang lain. Metode verstehen (sering diterjemahkan sebagai pemahaman) dimaksudkan untuk memungkinkan peneliti untuk tiba di hipotesis
tentang makna tindakan bagi aktor.
(Fritz Ringer memberikan penjelasan yang baik dari isu yang terlibat
dalam tradisi ini dalam perawatan pemikiran metodologis Weber; (Ringer 1997). Pandangan ruang narator Alkitab menempatkan
narator teks Alkitab berada di mana saja, dan serba tahu (omniscient)
sebagaimana dikisahkan di dalam kisah penciptaan (Kejadian 1) di mana
diekspresikan seolah-olah narator menyaksikan langsung, atau hadir saat Tuhan
Allah menciptakan. Di dalam kisah mujijat ketika Yesus berjalan di atas air
tampak jelas bahwa narator ikut serta di dalam perahu murid-murid Yesus, dan
ikut serta ketika Yesus pun berjalan di atas air. Inilah sudut pandang ruang
narator Alkitab mengisi semua ruang atau tempat, bertindak sebagai maha tahu.
Pangangan yang dekat dengan sudut pandang ini adalah pandangan waktu. Pandangan
waktu menempatkan ruang dalam bingkai “kesilaman” atau “kekinian” atau
“keakanan”. Tatkala Yesus saat masa
kenaikan, Dia berbicara bahwa Dia akan menyertai murid-muridNya sampai akhir.
Juga ketika Yesus menegor Petrus dengan mengatakan bahwa Petrus pun akan
menyangkal DiriNya, menunjukkan adanya pandangan waktu pada masa keakanan,
bukan ke masa silam. Di dalam proses panggilan nabi Yeremia sangat kentara suara Tuhan menyatakan DIRINYA berada di masa
silam, dan di masa mendatang (Yeremia 1:5-10). Pandangan fraseologi menunjukkan
bahwa narator memiliki kemampuan tidak hanya sebagai pembicara namun juga
sebagai pendengar yang andal. Kalimat-kalimat dialog pribadi antara Yesus
dengan Nikodemus, percakapan pribadi Haman dan istrinya (Ester 5:12-14), bahkan
dialog pribadi Festus dan Agripa (Kis. 26:31-32) memperlihatkan teks-teks
tersebut diubah fungsinya dari konsumsi pribadi menjadi konsumsi publik.
Artinya seharusnya percakapan pribadi bersifat rahasia, telah berubah menjadi
“rahasia umum”.
Sudut pandang adalah cara kita memandang teks atau
perikop secara langsung agar dapat dipahami secara baik. Sudut pandang ini
menolong kita memahami teks Firman Tuhan dengan baik, dan gamblang. Misalnya
kita ambil nats renungan harian hari ini dari Almanak, yang tertulis begini,
“Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke
dalam berbagai-bagai pencobaan” (Yakobus 1:2). Dari teks tersebut kita tentukan
“pointer”, yakni suatu sudut yang bisa mengarahkan kita kepada pemahaman
komprehensif terhadap teks tersebut. Pertama kata “anggaplah”, dan kedua kata
“pencobaan” lalu bagaimana kita menganggap pencobaan itu? Apakah ada
manfaatnya, ada kebaikannya, ada hikmatnya, dan ke mana bermuara: apakah
penderitaan atau dapat diselami sebagai “kesenangan” atau “kebahagiaan”. Karena
pencobaan adalah suatu ujian, sesuatu yang menjurus pada kesusahan, apakah kita
mau dan harus berpikir susah juga? Secara sederhana teks tersebut berarti
“menantang dan mengarahkan kita untuk menjadikan berbagai macam pencobaan
sebagai kebaikan agar kita menemukan atau meraih apa yang disebut di reks ini
sebagai “kebahagiaan”. Jika kita buka Alkitab terhadap perikop Yakobus 1:2-11
maka langsung kita membaca adanya tema yang tertulis di situ “Iman dan Hikmat”,
yang memperjelas apa yang sudah diuraikan sebelumnya.
Selanjutnya mari
kita ambil nats renungan hari untuk hari berikutnya dari Kitab Yohanes 15:16,
berbunyi “bukan kamu yang memilih Aku,
tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan
buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaKu,
diberikan-Nya kepadamu”. Pointer pertama perlu kita buat di sini adalah
mengumpulkan kata-kata “memilih”, “menetapkan”, “menghasilkan”, lalu kedua
adalah buah yang tetap, dan ketiga adalah “meminta” dan “memberi”. Pertanyaan
unuk menolong kita tentu adalah bagaimana menghubungkan kata-kata di bagian
pointer pertama? Apa berkaitan langsung kata “memilih” dengan kata-kata
“menetapkan” dan “menghasilkan”? Misal “memilih memakan lapet lalu kita
putuskan untuk membelinya, hasilnya selain nikmat juga perut menjadi terisi.
Kembali ke nats tersebut bahwa kata “Aku” huruf awal kapital jelas dimaksud
tentu saja adalah Tuhan Yesus Kristus. Jadi Tuhan Yesus memilih seseorang untuk
menjadi “sesuatu” (berbuat sesuai kehendak-Nya agar menghasilkan sesuatu juga.
Misalnya berbuat agar orang lain mengerti kabar baik maka hasilnya tentu saja
“kebaikan”, “pertobatan”,”perubahan hidup”. Hasil inilah yang dimaksud dengan
ungkapan “buahmu itu tetap”). Dengan hasil-hasil yang tetap maka Yesus
menjanjikan “apa yang kita minta di dalam nama-Nya maka Bapa di surga akan
memberikan. Dengan kata lain “memilih”, “menetapkan” dan “menghasilkan”
merupakan panggilan Tuhan Yesus kepada umat-Nya untuk memberitakan kabar baik,
kabar tentang Yesus kepada orang lain.
[1] Menurut makna leksikon kamus, “penyederhanaan” adalah proses, cara,
perbuatan menyederhanakan. http://www.artikata.com/arti-377008-penyederhanaan.html
[2] Interpretasi menjadi sangat penting dalam studi-studi Biblika. Banyak
metode interpretasi yang dikenal oleh kalangan peminat biblika, di antaranya
metode allegori, exemplum, parabel, similitude. Lihat Dr.Liem Kiem Yang, “Mendengarkan Perumpamaan
Yesus”, 2002, Jakarta:BPK Gunung Mulia. Bahkan Rudolf Bultmann pun menawarkan
metode “demitologisasi” sebagai teknik penghilangan unsur-unsur mitos di dalam
teks-teks Alkitab (silahkan dibaca J.L.Ch. Abineno, Rudolf Bultmann dan Teologianya,
(Jakarta: BPK-GM, 1989, hal. 11; Tony Lane, Runtu Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani,
Jakarta: BPK-GM, 2001, hal. 237; Harun Hadiwijoyo, Teologi Reformatoris Abad
ke-20, Jakarta: BPK-GM, 1999, hal. 70; R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika,
(Jakarta: BPK-GM, 2002), hal. 52;atau karya-karya Bultmann seperti Jesus Christ
and Mytheology, Kerygma and Mythe dan The Theology of the New Testament.
[3] Suatu kegiatan penafsiran yang memasukkan buah-buah pikiran sang
pembaca terhadap teks-teks Alkitab agar sesuai keinginan dan seleranya.
[4] Suatu kegiatan yang memahami makna dan maksud teks-teks Alkitab itu
untuk diambil hikmatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar