Minggu, 04 Mei 2014

TENTANG PEMILU DI INDONESIA

TENTANG PEMILU DI INDONESIA
Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi
                Pemilihan umum yang terkenal dengan nama pemilu dapat dikatakan sebagai alat demokrasi, yang menentukan peralihan kepemimpinan daerah dan nasional, dengan penyelenggaraan pemilu. Menurut sejumlah ahli dengan pemilu dapat mengukur tingkat elektabilitas dan legitimasi pemerintah yang demokratis sehingga pemilu dapat dipandang sebagai ukuran sangat penting bagi penguatan sistem demokrasi suatu Negara[1]. Pemilu yang diselenggarakan sejak orde lama hingga orde baru tidak diikuti dengan adanya pergantian undang-undang pada setiap periode Pemilu, melainkan hanya perubahan. Perubahan justru banyak terjadi pada level Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan atas undang-undang. Namun, semenjak dimulainya era reformasi, undang-undang yang mengatur tentang Pemilu selalu mengalami pergantian pada setiap periode Pemilu.  Pemilu yang dianggap demokratis pada masa pemerintahan orde lama di tahun 1955 diselenggarakan berdasarkan asas legalitas UU Nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR, UU nomor 18 tahun 1955 serta PP nomor 9 tahun 1954 tentang Penyelenggaraan UU Pemilu nomor 7 tahun 1953. Setelah penyelenggaraan pemilu tahun 1955 itu, pemerintah Soekarno tidak pernah lagi mengadakan pemilu, bahkan terjadi “kejutan” tatkala lembaga legislatif masa itu secara aklamasi menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia Ir.Soekarno sebagai Presiden seumur hidup[2].
            Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto, pemilu tetap diselenggarakan dengan hanya memakai satu produk perundang-undangan, dan sepakat tetap memilih Jenderal Soeharto sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai calon tunggal pada tiap pemilu kepresidenan. Pada pemilu tahun 1971 pemerintahan hanya memakai produk hukum UU nomor 15 tahun 1969 untuk menyelenggarakan hajatan demokrasi bernama pemilu. Tahun 1977 juga memakai satu produk perundang-undangan, yakni UU nomor 4 tahun 1975. Pemilu tahun 1982 juga memakai satu produk hokum ketatanegaraan, yakni UU nomor 2 tahun 1980. Sedangkan pada pemilu tahun 1987, pemilu tahun 1992, dan pemilu tahun 1997 sama-sama memakai landasan hukum UU nomor 1 tahun 1985. Baru pada pemilu tahun 2004 setelah reformasi NKRI membuat beberapa produk hukum perundang-undangan yang memperkuat penyelenggaraan pemilu, yakni UU nomor 4 tahun 2000, UU nomor 12 tahun 2003, dan UU nomor 23 tahun 2003. Undang-undang pertama adalah tentang pelaksanaan pemilu, yang kedua adalah pemilu dewan perwakilan rakyat (DPR), dewan perwakilan daerah (DPD), dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), yang ketiga adalah pemilu kepresidenan yang memilih calon presiden dan calon wakil presiden secara langsung. Untuk pemilu yang akan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia tentu saja memakai UU Nomor 2 tahun 2011 tentang partai politik, UU Nomor 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk propinsi, kabupaten.dan kota, dan UU Nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilihan umum.
Sebenarnya jika ditilik pada masa reformasi di mana sudah ditetapkan di dalam Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen bahwa Presiden hanya dapat dipilih sebanyak 2 kali masa jabatannya, sehingga pemilu di era reformasi di NKRI tidak hanya semata-mata sebagai alat demokrasi, akan tetapi sangat menentukan di dalam perjalanan bangsa dan Negara Indonesia ini. Sebab ternyata dengan adanya pemilu diharapkan tingkat partisipasi warga Negara sangat tinggi untuk melakukan pergantian kepemimpinan baik padalembaga  legislasi  maupun pada lembaga eksekutif. Pemilu di Indonesia bias dikatakan merupakan proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai  produk hukum yang berlaku yang diamanatkan konstitusi.  Jadi pemilu memiliki landasan dasar yang kuat dan beberapa fungsi bagi pertumbuhan demokrasi suatu Negara, sebagaimana telah dianut oleh NKRI. Beberapa fungsi pemilu ini sangat berhubungan satu sama lain. Pertama, sebagai sarana legitimasi politik. Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dalam system politik yang mewadahi format pemilu yang berlaku. Adanya pemilu, pemerintahan yang berkuasa menjadi absah dapat ditegakkan, begitu juga dengan program dan kebijakan yang dihasilkannya.Dengan demikian, pemerintah, berdasarkan hukum yang disepakati bersama, tidak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya. Kedua pemilu mengekspresikan kebebasan rakyat  untuk menyalurkan aspirasinya, dan menghasilkan pergantian kekuasaan dengan sistem politik yang dibangun bersama. Dalam kerangka ini acapkali pemilu justru menurunkan pemerintahan yang berkuasa, dan menaikkan kelompok politik yang dikehendaki oleh rakyat, sebagai suatu kenyataan[3]. Ketiga pemilu dapat meningkatkan peluang kompetitif bagi para kontestan peserta pemilu dari partai politik-partai politik yang dinyatakan berhak mengikutinya, sehingga dengan pemilu di era reformasi keterlibatan peranan birokrasi pemerintah sangat terbatas, dan membuka ruang untuk lembaga-lembaga non pemerintah baik dari dalam masyarakat Indonesia sendiri maupun lembaga-lembaga internasional untuk memantau pelaksanaan pemilu di NKRI ini[4].
Dalam sebuah negara demokrasi, Pemilihan Umum (pemilu) merupakan salah satu pilar utama dari sebuah akumulasi kehendak rakyat. Pemilu sekaligus merupakan prosedur demokrasi untuk memilih pemimpin. Diyakini pada sebagian besar masyarakat beradab di muka bumi ini, pemilu adalah mekanisme pergantian kekuasaan (suksesi) yang paling aman, bila dibanding dengan cara-cara lain. Sudah barang pasti bila dikatakan, Pemilu merupakan pilar utama dari sebuah demokrasi. Melalui pemilu rakyat memilih wakilnya, selanjutnya para wakil rakyat ini diserahi mandat kedaulatan rakyat untuk mengurusi negara ini. Melalui pemilu rakyat menunjukkan kedaulatannya dalam memilih pemimpin seperti Presiden dan Wakil Presiden. Melalui pemilu lokal yang disebut Pemilukada, rakyat juga menunjukkan kedaulatannya untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota.
Hubungan antara sistem pemilu, sistem Kepartaian, dan sistem pemerintahan. Pertama hubungan antara Sistem Pemilu dengan Sistem Kepartaian adalah bahwa sistem pemilu kita selalu mengakomodir sistem kepartaian yang berlaku. Sehingga tidak ada partai yang lebih berhak di negara ini daripada partai yang lain. Dalam arti setiap partai memiliki hak yang sama untuk terdaftar sebagai peserta pemilu.Kedua hubungan antara sistem pemilu dan sistem pemerintahan adalah agar hasil pilihan rakyat melalui pemilu dapat turut mengawasi jalannya roda pemerintahan  dengan baik. Pemerintah tidak bisa menjalankan tugasnya semena-mena tanpa ada pengawasan para wakil rakyat yang telah dipilih melalui pemilu. Ketiga, hubungan antara sistem politik dan sistem pemerintahan adalah bahwa seluruh partai dan wakil-wakil rakyatnya turut serta dalam mengatur pemerintahan. Artinya buka hanya satu atau dua partai saja yang diakui negara untuk mengatur pemeritahan, tetapi semua partai yang mendapatkan kursi di legislatif berhak dan turut serta dalam mengawasi jalannya pemerintah.Keempat adalah hubungan antara sistem pemilu, sistem politik dan sistem pemerintahan dengan memperhatikan penjelasan di atas maka akan sangat jelas bahwa pemilu memberikan kebebasan untuk semua partai dalam memperebutkan kursi suara, dan akhirnya para calon legislatif, Kepala Negara, dan Kepala Daerah yang terpilih merekalah yang akan memimpin dan mengawasi pemerintahan. Jika tidak ada ketiganya, Indonesia bukanlah negara demokrasi.
Siklus atau Tahapan Penyelenggaraan Pemilu. Siklus atau tahapan penyelenggaraan pemilu dengan Tugas KPU secara Administratif maupun keputusannya sesuai dengan UU RI Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, sebagai berikut: (1) Pendaftaran pemilih. KPU bekerja sama dengan BPS. Menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT); (2) Perdaftaran Partai Politik. Sesuai dengan UU RI Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu; (3) Pemetaan daerah pemilihan; (4)Penetapan jumlah kursi DPRD setiap daerah otonom; (5) Penyalonan DPR/DPRD/DPD. Tahapan pencalonan bagi mereka yang mau maju di ajang pemilihan legislatif; (6) Pengadaan dan distribusi logistik pemilu; (7) Penataan penyelenggaraan kampanye atau Masa Kampanye; (8) Penetapan tempat pemungutan suara (TPS); (9) Tahap pemungutan dan perhitungan suara; (10) Penetapan calon terpilih; (11) Penentuan sistematika dan publikasi hasil pemilu; dan (12) Evaluasi penyelenggaraan Pemilu setelah berlangsung Pemilihan Umum. Dengan demikian sebenarnya Pemilu yang diselenggarakan di Indonesia selain berlangsung berdasarkan prinsip langsung, prinsip umum, prinsip bebas, prinsip rahasia, ditambah prinsip jujur dan prinsip adil, namun harus dilakukan dalam 2 kali pemilu. Pertama pemilu untuk memilih wakil representative untuk tingkat DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Tingkat Propinsi, DPR RI, dan DPD. Kedua pemilu untuk memilih pemimpin nasional, yakni memilih calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang baru, yang juga berlangsung berdasar prinsip-prinsip tadi. Di dalam UUD 1945 amandemen disebutkan bahwa pemilu diselenggarakan hanya sekali dalam tempo 5 tahun. Hasilnya setelah Mahkamah Konstitusi bersidang diputuskan bahwa untuk tahun 2019 pemilu berlangsung secara serentak dan satu kali saja, baik pemilu legislative maupun pemilu eksekutif.


[1] Lihat Eep Saefulloh Fatah,”Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia”, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal.5-13.
[2] Inu Kencana Syafiie,”Teori dan Analisis Politik”, Bandung: Pustaka Reka Cipta, hal.48
[3] Samuel P.Huntington sebagaimana dikutip oleh Eep Saifulloh Fatah,”Zaman Kesempatan: Agenda-agenda Besar Demokratisasi Pasca-Orde Baru”, Bandung: Mizan, 2000, hal.117
[4] Syamsuddin Harris,”Pemilu 1999 dan Format Baru Politik Indonesia” dalam buku Seri Penerbitan Studi Politik kerja sama Laboratorium Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Penerbit Mizan,”Memastikan Arah Baru Demokrasi”, 2000, hal. 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar