Selasa, 13 Mei 2014

TEROMPET BUDAYA MALU- MALU

TEROMPET BUDAYA MALU- MALU :
Refleksi Terhadap Tapak Tilas 150 Tahun Gereja HKBP
Oleh : Melvin M. Simanjuntak, STh, MSi


Di tahun 2011 ini kita sama- sama mendengarkan pesta ketiga Yubelium. Pertama Yubelium HKBP 50 tahun, kedua Yubelium HKBP 100 tahun, dan ketiga Yubelium 150 tahun. Jika satu generasi sekarang 25 tahun maka tahun Yubelium HKBP saat ini dipestakan oleh generasi ke enam dari generasi pertama yang menerima kabar baik. Dari Alkitab tertulis sudah 13 pribadi yang memimpin HKBP, yaitu dari Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nomensen yang digelari “ Ompui” dan  “Apostel Batak” sampai kepemimpinan Ephorus HKBP saat ini, artinya sudah 6 generasi gereja HKBP ternyata sudah dipimpin oleh 13 orang Ephorus HKBP.
Di Yubelium 150 tahun HKBP sudah layak untuk menancapkan pengaruh dan daya kekuatan pada aras lokal, nasional dan global. Walau “malu-malu” HKBP menegaskan kemampuan dan kekuatannya ketika negara dikuasai tirani yang membungkam demokrasi dan kebebasan umat beragama, namun HKBP sudah membuktikannya, melintasi lagemoni komunisme dan alam reformasi.
Apakah terompet HKBP masih berkumandang nyaring hingga didengar penguasa atau hanya sayup-sayup saja terdengar seperti Yohannes Pembaptis yang sangat penat berteriak-teriak di padang gurun bahwa “ Dia Telah Datang“, “Setara dengan HKBP telah hadir”. Tulisan ini hanya kajian kesan, penuh pengharapan dan idealistik terbaik yang bisa diperbuat HKBP.
Terompet Gereja, Terompet Tuhan. Banyak eksistensi resort berada di wilayah pelayanan Kecamatan dan desa-desa yang berbasis agraristik. Namun kedua medan pelayanan Gereja dan Kecamatan masih tetap ibarat pedang bermata dua. Masih banyak warga HKBP berpandangan Gereja ya Gereja, politik ya politik tapi sekali terkesan “malu- malu” terlihat di dalam ranah pelayanan politik. Karena HKBP berada di alam nyata, bukan di awang- awang maka “mau tidak mau” “suka tidak suka” haruslah melibatkan diri di arena politik lokal, nasional bahkan global. Gereja harus menerapkan fakta, bukan fiktif dan sebisa mungkin bergandeng tangan dengan kekuatan-kekuatan politik yang nyata di tengah- tengah masyarakat seperti Kepala Desa, Camat bahkan Bupati jika perlu sinergika bisa dibangun untuk sama-sama memajukan masyarakat dimana kepentingan Kecamatan dan Kabupaten seiring dengan kepentingan gereja, jika perlu anggaran gereja ditopang anggaran kecamatan atau kabupaten, namun ini tidak pernah terjadi tapi bisa dilakukan asal jelas agreement kedua pihak. Mungkin faktor budaya malu-malu masih melekat di gereja dan masyarakat kita sehingga dialektika itu menjadi tipis, sebatas bunga-bunga tidur saja.
Pembangunan pelayanan demikian sudah dirintis di HKBP Resort Agepe Distrik VI Dairi untuk memposisikan gereja sebagai pilar pembangunan desa, sehingga gereja terlibat proaktif dalam proses pembangunan daerah melalui program-program pemerintahan daerah yang terkait dengan warga jemaat seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kewirausahaan Desa, Pembangunan Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan seterusnya. Budaya malu-malu membuat kita sulit bergerak, sulit berjalan maju dan hanya meninggikan prestise tanpa prestasi memakmurkan warga jemaatnya. Beberapa Pilkada gereja masih terkungkung dalam bui “politik itu kotor” tapi warganya tersenyum lebar menikmati “tudu-tudu sipanganon” yang berjalan dari desa ke desa, dari gereja satu ke gereja lain. Di satu sisi kita malu, tapi di sisi lain kita kenyang menikmati “duren runtuh”.
Nabi Jesaya sudah mengingatkan kita, sesungguhnya tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menyelamatkan dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar (Jesaya 59 : 1). “Roh Tuhan Allah ada padaku, oleh karena Tuhan telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembesasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung”. (Jes. 61 : 1 – 2 // Luk. 4 : 18 – 19).

Terompet Nabi Jesaya kembali diingatkan Tuhan Yesus Kristus bahwa ada korelasi dan relevansi kabar baik yang dikumandangkan gereja dengan denyut pembangunan daerah yang membebaskan rakyat dari belenggu kebodohan melalui pendidikan, belenggu kemiskinan melalui Credit Union dan juga penegakan-penegakan keadilan serta kemakmuran tanpa rasa malu dan malu-malu lagi. Namun kenyataannya budaya malu sulit tersumbat, sehingga sayup-sayup terompet nyaring semakin lama semakin lenyap tertelan malu. Ada baiknya sebagai HKBP yang besar setidaknya di negeri Indonesia ini tidak merasa malu untuk senantiasa mengembangkan konsep penatalayanan yang membumi, dan selaras dengan pola pembangunan yang digalakkan pemerintahan. HKBP berhasil melewati usianya yang 150 tahun, namun ironisnya tidak ada Sekolah unggulan bahkan Universitas yang dimiliki tampaknya masih berkutat pada proses internalisasi, belum beranjak untuk bertarung sebagai Universitas terbaik di Sumatera Utara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar