TEROMPET BUDAYA MALU- MALU :
Refleksi
Terhadap Tapak Tilas 150 Tahun Gereja HKBP
Oleh : Melvin M. Simanjuntak, STh,
MSi
Di tahun 2011 ini kita sama- sama mendengarkan
pesta ketiga Yubelium. Pertama Yubelium HKBP 50 tahun, kedua Yubelium HKBP 100
tahun, dan ketiga Yubelium 150 tahun. Jika satu generasi sekarang 25 tahun maka
tahun Yubelium HKBP saat ini dipestakan oleh generasi ke enam dari generasi
pertama yang menerima kabar baik. Dari Alkitab tertulis sudah 13 pribadi yang
memimpin HKBP, yaitu dari Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nomensen yang digelari “
Ompui” dan “Apostel Batak” sampai
kepemimpinan Ephorus HKBP saat ini, artinya sudah 6 generasi gereja HKBP
ternyata sudah dipimpin oleh 13 orang Ephorus HKBP.
Di Yubelium 150 tahun HKBP sudah layak
untuk menancapkan pengaruh dan daya kekuatan pada aras lokal, nasional dan global. Walau “malu-malu”
HKBP menegaskan kemampuan dan kekuatannya ketika negara dikuasai tirani yang
membungkam demokrasi dan kebebasan umat beragama, namun HKBP sudah
membuktikannya, melintasi lagemoni komunisme dan alam reformasi.
Apakah terompet HKBP masih berkumandang nyaring hingga
didengar penguasa atau hanya sayup-sayup saja terdengar seperti Yohannes
Pembaptis yang sangat penat berteriak-teriak di padang gurun bahwa “ Dia Telah
Datang“, “Setara dengan HKBP telah hadir”. Tulisan ini hanya kajian kesan,
penuh pengharapan dan idealistik terbaik yang bisa diperbuat HKBP.
Terompet Gereja, Terompet Tuhan.
Banyak eksistensi resort berada di wilayah pelayanan Kecamatan dan desa-desa
yang berbasis agraristik. Namun kedua medan pelayanan Gereja dan Kecamatan
masih tetap ibarat pedang bermata dua. Masih banyak warga HKBP berpandangan
Gereja ya Gereja, politik ya politik tapi sekali terkesan “malu- malu” terlihat
di dalam ranah pelayanan politik. Karena HKBP berada di alam nyata, bukan di
awang- awang maka “mau tidak mau” “suka tidak suka” haruslah melibatkan diri di
arena politik lokal, nasional bahkan global. Gereja harus menerapkan fakta,
bukan fiktif dan sebisa mungkin bergandeng tangan dengan kekuatan-kekuatan
politik yang nyata di tengah- tengah masyarakat seperti Kepala Desa, Camat
bahkan Bupati jika perlu sinergika bisa dibangun untuk sama-sama memajukan
masyarakat dimana kepentingan Kecamatan dan Kabupaten seiring dengan
kepentingan gereja, jika perlu anggaran gereja ditopang anggaran kecamatan atau
kabupaten, namun ini tidak pernah terjadi tapi bisa dilakukan asal jelas
agreement kedua pihak. Mungkin faktor budaya malu-malu masih melekat di gereja
dan masyarakat kita sehingga dialektika itu menjadi tipis, sebatas bunga-bunga
tidur saja.
Pembangunan pelayanan demikian sudah
dirintis di HKBP Resort Agepe Distrik VI Dairi untuk memposisikan gereja
sebagai pilar pembangunan desa, sehingga gereja terlibat proaktif dalam proses
pembangunan daerah melalui program-program pemerintahan daerah yang terkait
dengan warga jemaat seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Kredit Usaha
Rakyat (KUR), Kewirausahaan Desa, Pembangunan Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM), dan seterusnya. Budaya malu-malu membuat kita sulit bergerak, sulit
berjalan maju dan hanya meninggikan prestise tanpa prestasi memakmurkan warga
jemaatnya. Beberapa Pilkada gereja masih terkungkung dalam bui “politik itu
kotor” tapi warganya tersenyum lebar menikmati “tudu-tudu sipanganon” yang
berjalan dari desa ke desa, dari gereja satu ke gereja lain. Di satu sisi kita
malu, tapi di sisi lain kita kenyang menikmati “duren runtuh”.
Nabi Jesaya sudah mengingatkan kita,
sesungguhnya tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menyelamatkan dan
pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar (Jesaya 59 : 1). “Roh Tuhan
Allah ada padaku, oleh karena Tuhan telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku
untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat
orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembesasan kepada orang-orang
tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk
memberitakan tahun rahmat Tuhan dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur
semua orang berkabung”. (Jes. 61 : 1 – 2 // Luk. 4 : 18 – 19).
Terompet Nabi Jesaya kembali
diingatkan Tuhan Yesus Kristus bahwa ada korelasi dan relevansi kabar baik yang
dikumandangkan gereja dengan denyut pembangunan daerah yang membebaskan rakyat
dari belenggu kebodohan melalui pendidikan, belenggu kemiskinan melalui Credit
Union dan juga penegakan-penegakan keadilan serta kemakmuran tanpa rasa malu
dan malu-malu lagi. Namun kenyataannya budaya malu sulit tersumbat, sehingga
sayup-sayup terompet nyaring semakin lama semakin lenyap tertelan malu. Ada
baiknya sebagai HKBP yang besar setidaknya di negeri Indonesia ini tidak merasa
malu untuk senantiasa mengembangkan konsep penatalayanan yang membumi, dan
selaras dengan pola pembangunan yang digalakkan pemerintahan. HKBP berhasil
melewati usianya yang 150 tahun, namun ironisnya tidak ada Sekolah unggulan
bahkan Universitas yang dimiliki tampaknya masih berkutat pada proses internalisasi,
belum beranjak untuk bertarung sebagai Universitas terbaik di Sumatera Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar