Rabu, 11 Juni 2014

HINGAR BINGAR POLITIK TANAH AIR


HINGAR BINGAR POLITIK TANAH AIR

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi



Mungkin kita pernah mendengar alunan musik jenis Heavy Metal seperti Iron Maiden dengan lagu anyarnya “Powerslave” atau jenis Trash Metal yang full bising seperti Testament, Napalm Death, Megadeath, dan Metalica. Alunan musik demikian itulah yang disebut irama hingar bingar, seperti mendengar dentuman suara mesin jet pesawat tempur yang bisa memekakkan telinga kita. Dengan konsep hingar bingar model musik “pembangkangan kaum muda” demikian hendak melukiskan realitas politik tanah air di awal sampai kepada tanggal 9 Juli 2014 di mana masyarakat pemilih di nusantara Indonesia akan menentukan pilihan pemimpin negeri ini melalui demokrasi pilpres. Tapi yang menjadi perhatian kita bersama saat ini justru hingar bingar tersebut disebabnya maraknya kampanye hitam terhadap pasangan kontestan capres dan cawapres. Soal kampanye hitam dan seputar kampanye dapat diakses di : http://www.pisomel.blogspot.com/2014/05/kampanye-hitam-dan-kambing-hitam.html ). Apakah mungkin hingar bingar politik di tanah air disebabkan cuma ada 2 pasangan capres cawapres? Ataukah karena di negeri ini tidak terdapat lembaga khusus menangani masalah kampanye yang bisa tampil proporsional dan profesional seperti di negeri Paman Sam? Satu hal yang pasti bisa kita banggakan bahwa maraknya kampanye sekalipun berwujud kampanye hitam telah menyeret rakyat untuk turut berpartisipasi secara proaktif untuk menentukan masa depan bangsa dan negara Indonesia ini.


DISINTEGRASI BANGSA ?

Banyak pihak semakin khawatir dengan maraknya kampanye hitam akan termanipulasi menjadi suatu kebenaran yang salah apabila negara – dalam hal ini aparat berwenang seperti Bawaslu dan Kepolisian Republik Indonesia tidak secara profesional dan proporsional menangani permasalahan yang ada seperti distribusi tabloid bernama Obor Rakyat. Bagaimana mungkin bahan cetakan picisan yang tidak memakai bahasa jurnalistik yang profesional dan argumentatif dapat menyebar di tengah lingkungan santri dan masyarakat luas. Rakyat tentu bertanya, mungkinkah hal seperti itu menjadi suatu teladan yang diperbolehkan di negara hukum Indonesia ini? Mestinya di negara hukum kita ini, hal seperti itu dapat ditangani dengan perangkat hukum yang ada, sehingga tidak terkesan peserta kontestan yang lain merasa sangat dirugikan dengan manipulasi data yang tertulis di tabloid itu. Di dalam realitas politik tanah air yang sudah hingar bingar, hal-hal yang bertentangan dengan produk hukum tentu harus dilawan dan diproses secara hukum sehingga demokrasi tidak mencelakakan bagi rakyat Indonesia. Lantas mengapa kita khawatir akan disintegrasi bangsa? Menurut saya bahan jurnalistik picisan pada tabloid Obor Rakyat tersebut teramat jelas mendengungkan isu-isu yang berkaitan dengan ras, dan agama, atau dikenal dengan isu “SARA” (Suku, Agama, Ras) sehingga tidak lagi menjungjung nilai persatuan Indonesia sebagaimana termaktub pada sila ke 3 Pancasila, dan secara universal sudah merupakan format propaganda anti-humanitas ( baca juga tulisan saya ini http://www.pisomel.blogspot.com/2014/05/kampanye-dan-propaganda-politik.html ).
Sebelum kita sampai kepada pokok bahasan “disintegrasi”, ada baiknya kita bahas dahulu tentang konsep dasar bangsa. Bangsa dalam bahasa Inggrisnya disebut “nation” yang berasal dari bahasa Latin “nasci” yang berarti “be born”, “yang lahir”, yang kemudian berkembang menjadi “natio” yang memiliki arti yang sangat dekat dengan bangsa, yakni “ras, spesis” (dalam arti etnik). Dengan arti demikian Kohn beranggapan bahwa bangsa adalah buah hasil tenaga hidup manusia dalam sejarah, suatu bangsa merupakan keragaman ras yang berbeda-beda namun satu sehingga amat mustahil dirumuskan matematis. Pengertian Kohn ini membawa teorinya tiba pada satu pemikiran bahwa adanya bangsa ditentukan dan dibangun oleh adanya persamaan-persamaan baik itu karena adanya persamaan bahasa, persamaan ras, persamaan agama, persamaan budaya, persamaan teritorial, maupun persamaan nasib dan tujuan hidup. Lebih lanjut menurutnya akibat persamaan tersebut yang terus tumbuh dan berkembang di dalam satu teritorial menentukan sejarah mereka sehingga memiliki persamaan nasib, dan tujuan bersama, yang pada akhirnya mengarah pada pembentukan suatu bangsa tersendiri, yang khas. Misalnya bangsa di Eropa continental bangkit karena revolusi bahwa bahasa milik pribadi-pribadi kelompok khas (Anderson, 2001: 126). Contoh lainnya seperti bangsa Indonesia yang dibentuk atas dasar persamaan nasib, sebagai anak negeri yang terjajah.

Teori lain dikemukakan oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis akhir abad ke-19. Teorinya mendapat penerimaan luas dan didasarkan atas evolusi masyarakat Eropa dalam sejarahnya hingga pertengahan abad ke-19, masa berkembang luasnya faham nasionalisme di Eropa. Evolusi yang dimaksud ialah timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di benua itu sejak zaman pra-Sejarah hingga zaman modern. Unsur-unsur yang membentuk suatu bangsa atau negara bangsa ialah: (1) Jiwa atau asas kerohanian yang sama, berupa pandangan hidup dan system nilai; (2)  Memiliki solidaritas besar, misalnya disebabkan persamaan nasib dalam sejarah; (3) Munculnya suatu bangsa merupakan hasil Dario sejarah; (4) Karena merupakan hasil suatu sejarag apa yang disebut bangsa itu sebenarnya tidaklah abadi atau kekal; (5) Wilayah dan ras bukanlah suatu peyebab timbulnya bangsa. Wilayah hanya memberi ruang untuk menjalankan kehidupan, sedangkan jiwa bangsa dibentuk oleh pemikiran, system kepercayaan, kebudayaan dan agama. Karena itu ia menyebut bangsa sebagai ‘suatu asas kerohanian yang sama’. Renan juga mengemukakan beberapa faktor penting terbentuknya jiwa atau semangat suatu bangsa: (1) Kejayaan dan kemuliaan di masa lampau; (2) Suatu keinginan hidup bersama baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang; (3) Penderitaan bersama atau rasa senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan solidaritas besar untuk bangkit; (4) Penderitaan besar yang dialami bersama dalam sejarah melahirkan pula apa yang disebut ‘Le capital social’ (modal sosial) . Ini berguna bagi pembentukan dan pembinaan faham kebangsaan.  Tetapi apa yang terjadi di masa lalu tidaklah sepenting apa yang diharapkan di masa depan; (5) Karena yang penting ialah apa yang dihasratkan di masa depan maka terbentuknya suatu bangsa yang kuat memerlukan “persetujuan bersama pada waktu sekarang”, beru[a musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama; (6) Adanya keinginan untuk hidup bersama; (7) Jika demikian halnya, maka harus bersedia pula untuk memberikan pengorbanan. Kesediaan berkorban ini penting dikembangkan agar semangat kebangsaan tetap kuat; (8) Pemilihan umum merupakan syarat mutlak yang menentukan kehidupan suatu bangsa. Apa yang dikemukakan Renan ini terkait dengan tuntutan akan demokrasi dan keadilain.

Kembali kepada hingar bingar realitas politik tanah air. Apabila permasalahan di dalam kampanye hitam mengarah pada konflik yang bersifat SARA maka ada kemungkinan besar rentan terjadinya proses disintegrasi. Karena disintegrasi adalah suatu keadaan di mana orang-orang di dalam masyarakat tidak dapat lagi menjalin kerukunan dan kebersamaan, melainkan saling bertikai dan saling menghancurkan sehingga terjadi perpecahan dalam kehidupan sosial. Ada pun ciri-ciri terjadinya disintegrasi di suatu masyarakat antara lain:1. Ketidaksamaan tujuan antara anggota suatu kelompok sehingga tidak ada keterpaduan, 2. Sebagian besar anggota kelompok tidak mematuhi norma-norma yang berlaku, 3. Menurunnya wibawa tokoh-tokoh pemimpin kelompok, 3. Kurang berfungsinya sanksi hukum sebagaimana mestinya. Dengan demikian rasa khawatir banyak pihak sangat beralasan apabila tidak adanya solusi preventif dan proaktif terhadap hal-hal yang sudah jelas merupakan format pelanggaran hukum, dan merugikan pihak lain, sehingga keadilan sebagai ujung tombak tidak bisa dirasakan oleh rakyat Indonesia. Namun bila segera tanggap dan hukum pun ditegakkan maka rasa percaya rakyat terhadap hukum akan semakin tinggi, dan rasa khawatir akan ancaman disintegrasi pun dapat hilang dengan sendirinya. Selain itu rakyat pun pada proses demokratisasi melalui Pilpres ini haruslah sadar bahwa inti demokrasi adalah boleh berbeda pendapat atau pun berbeda pilihan, namun tetap tidak berbeda dalam bertanah air Indonesia. Kita harus mampu dewasa dalam berpolitik dengan tetap menjaga kerukunan, bukan dengan menebar “teror politik” yang seolah-olah menakut-nakuti rakyat dengan terus menerus secara sistematis membeda-bedakan rakyat Indonesia secara SARA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar