Selasa, 26 Agustus 2014

POLITIK KOTOR, DAN PIKIRAN KOTOR

POLITIK KOTOR, DAN PIKIRAN KOTOR

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi




Acapkali orang banyak berpendapat bahwa politik itu kotor. Mungkin karena dicermati banyak para politisi memakai segala cara sekali pun tidak halal bahkan melakukan tindak korupsi, yang merugikan rakyatnya sendiri. Bagaimana mungkin kebijakan untuk rakyat yang diputuskan oleh para politisi dengan sistem politiknya dapat dikatakan "kotor" ? Rasanya sungguh sulit untuk memahaminya jika mencermati pengertian politik secara meluas bahwa setiap keputusan apa pun yang diambil dan disikapi manusia boleh dikatakan sebagai ranah politik. Politik tidak cuma saat rakyat menjalani pemilihan umum legislatif dan atau pemilihan umum presiden tapi segala hal yang menyangkut kebutuhannya manusia itu sendiri, yang diputuskannya dapat disebut sebagai keputusan politik. Ketika Bejo memutuskan untuk bersahabat dengan Jojo maka itu keputusan politik Bejo. Begitu juga tatkala Bejo sedang dilanda rasa lapar hebat setelah berada di daerah pegunungan, melihat ada buah segar di hadapannya. Lalu Bejo memutuskan untuk segera mengambil buah segar tersebut agar rasa laparnya hilang. Keputusan yang diambilnya itu dapat disebut keputusan politik. Lantas di mana permasalahan yang menyebabkan politik disebut kotor?


Ketika orang mulai berpikir bahwa situasi yang dihadapinya justru mengancam nyawanya atau katakanlah membahayakan dirinya sehingga dia memutuskan untuk mengambil solusi untuk menghilangkan rintangan tersebut, maka di saat itu sudah timbul niat untuk menghilangkan atau menggunakan segala cara agar rintangan tersebut menjadi hilang. Dalam kasus Pilpres di NKRI tahun 2014 ini dapat dijadikan contoh untuk memaparkan hal tersebut secara gamblang. Banyak serangan kampanye hitam ditujukan kepada Ir.H.Joko Widodo, mulai dari orangtuanya Kristen, Presiden Boneka, PKI, orang sinting, dan seterusnya yang semuanya mengarahkan serangan untuk "menghancurkan" (politik destruktif) terhadap politik pencitraan Jokowi. Mantan Presiden Soeharto mengkarantina semua lawan politiknya dengan memakai bahasa-bahasa ampuh, misal dengan memakai tidak Pancasilais, tidak bersih diri dan tidak bersih lingkungan, sampai kepada bahasa yang bermaksud represif dengan menegaskan sudah mengganggu stabilitas nasional padahal tidak pernah ada pemaparan yang rasional serta realistis apa yang dimaksud dengan "stabilitas nasional": apakah itu kepentingan nasional atau semata-mata "security approach"?

Politik apa pun itu akan menjadi kotor tatkala pikiran pelaku politik memakai segala cara termasuk juga membatasi hak-hak asasi kemanusiaannya bahkan melenyapkannya dari muka bumi dengan cara kekerasan. FPI sering memakai cara kekerasan dengan berdalih karena panggilan agama untuk melakukan sweeping, bahkan penyerangan dengan kekerasan kepada pihak mana pun yang dianggapnya telah bertentangan dengan ajaran Islam "amar mah'ruf nahi mungkar" termasuk kejahatan maksiat serta minuman keras. Namun sampai saat ini FPI tidak juga berani masuk untuk menutup lokalisasi Saritem yang berlokasi di kota Bandung. Apakah karena lokalisasi tersebut berdekatan dengan pondok pesantren yang diasuh oleh seorang kiai kondang sehingga ada rasa sungkan atau segan untuk menindak pusat maksiat tersebut? Saya di sini hanya memaparkan ketika di alam pikiran manusia sudah timbul niat jahat untuk melakukan kekerasan atau berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma dan nilai sosial masyarakat maka cara-cara politiknya dapat disebut sebagai politik kotor. Politik kotor lahir dari adanya pikiran kotor di dalam manusia itu sendiri, sesuatu yang dianggapnya tidak baik, jahat, dan tidak pantas yang harus segera ditindak sendiri tanpa menghiraukan adanya norma hukum dan penindak-penindak hukum yang dapat bekerja untuk mengatasinya. Saat pikiran manusia sudah penuh kekotoran maka hasil tindakan apa pun akan bermuara pada politik kotor, yang tidak menguntungkan orang lain dan menimbulkan preseden buruk di dalam tatanan sosial. Paradigma ini pun memperkuat paradigma lain yang menyebutkan "homo homini lupus", kehadiran manusia lain mengancam dirinya, seolah-olah memberikan justifikasi tentang aksioma kebenaran politik kotor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar