Selasa, 26 Agustus 2014

BABAK BARU DEMOKRASI ALA INDONESIA

BABAK BARU DEMOKRASI ALA INDONESIA

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi


Pesta demokrasi Indonesia dengan penyelenggaraan Pilpres tahun 2014 ini baru saja berakhir, setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Capres Prabowo Subianto untuk seluruhnya, sehingga keputusan hukum terhadap kisruh politis tersebut menguatkan keputusan KPU yang menyatakan bahwa Ir.H.Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia terpilih bersama pasangannya Drs.Muh.Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih, yang pada bulan Oktober 2014 ini akan dilantik Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR) RI. Namun tulisan ini tidak membahas proses panjang Pilpres tersebut, melainkan mencermati ada subtansi lain dari proses perdebatan di antara kedua pasangan Capres-Cawapres tersebut yang menarik terkait dengan apa yang saya sebut sebagai konsep babak baru demokrasi ala Indonesia.


Dalam beberapa kesempatan kampanye Jokowi sering mengatakan bahwa demokrasi itu lebih menceriakan dan menyenangkan, bahkan dalam elaborasinya ketika pada ajang debat capres dikemukakannya bahwa demokrasi itu mendengar suara rakyat dengan cara "blusukan" lalu merespon aspirasi tersebut. Pandangan paradigma tersebut benar-benar memberikan makna dan warna baru di dalam konteks perkembangan demokrasi di negeri Indonesia ini. Memang sosiolog terkemuka dunia Anthony Giddens sudah mensinyalir bahwa perkembangan demokrasi yang alternatif dilahirkan di dunia timur. Indonesia sudah melahirkan suatu pandangan paradigma demokrasi yang dimaksud, dengan cara dan bahasa yang sangat wajar di negeri Indonesia ini. Artinya Jokowi sudah memberikan pemaknaan baru terhadap konteks demokrasi di Indonesia, dengan bahasa yang sangat mudah dan gamblang dimengerti rakyat Indonesia; sama halnya tatkala Presiden Abraham Lincoln menegaskan bahwa demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tidak perlu penjelasan ilmiah akademistis terhadap pemahaman demokrasi baru ala Indonesia ini, namun sangat bisa dipahami bahwa intinya demokrasi adalah "mendengar" serta "melakukan" dari apa yang didengarnya tersebut. Misalnya rakat petani menyatakan "pupuk sulit dan mahal" maka tugas dan tanggung jawab pemerintahlah bagaimana caranya agar pupuk tidak menjadi sulit dengan harga yang murah atau terjangkau para petani.


Selama ini para politisi Indonesia selalu menyuguhi pemikiran demokrasi dari luar atau Barat, misalnya dengan mengatakan bahwa di dalam politik "tidak ada teman sejati, namun yang ada hanyalah kepentingan sejati" merupakan adopsi pemikiran dari luar Indonesia, bukan ala Indonesia; sama halnya paradigma "suara rakyat adalah suara Tuhan" (vox populi vox Dei). Pandangan paradigma yang dikemukan Jokowi sungguh memberi warna baru ke dalam tatanan demokratisasi di negara Indonesia, bukan dengan memakai pengadopsian istilah asing, namun menerangkan pemahaman demokrasi menurut kaca mata orang Indonesia. Hal ini sangat penting bagi perkembangan demokrasi Indonesia yang benar-benar berangkat dari pemahaman asli warga negara Indonesia sebagaimana Lincoln memahami makna demokrasi di Amerika Serikat. Memang sangat sedikit politisi Indonesia yang sungguh-sungguh mau dan rela "mendengar" langsung dari rakyat dengan cara mendatangi langsung lingkungan rakyatnya. Apabila mau mendengar apa kebutuhan petani, sangatlah aneh dan tidak logis bila politisi mendengarnya dari akademisi atau dari seorang pelaku ekonomi. Mungkin saja tidak salah namun tentu sudah terjadi reduksi dan distorsi paradigmanya, tidak lagi menurut versinya orang yang bertani. Dengan demikian secara artikulatif dapat ditarik paradigma pemikiran demokrasi ala Indonesia ini menjadi 3 tahapan, yakni pertama tahap mendatangi rakyat itu sendiri, kedua tahap mendengarkan permasalahan hidup dari rakyatnya, ketiga dirumuskan menjadi formulasi konsep implementatif yang tentu saja harus dieksekusi langsung, bukan hanya sebagai bahan kajian semata tanpa ada solusi apa pun yang bisa menyentuh dan menjawab aspirasi rakyat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar