Senin, 28 April 2014

MENUJU KESATUAN ATAU PERSATUAN N.K.R.I ?

MENUJU KESATUAN ATAU PERSATUAN N.K.R.I ?[1]
Oleh : Melvin M. Simanjuntak, STh, MSi[2]
1.       Ephorus HKI Pdt.DR.Langsung Sitorus meminta saya untuk membawakan penyajian makalah mengenai pokok pemikiran  “Pandangan Gereja Tentang Pendirian Rumah Ibadah Ditinjau Dari PBM No.8/9 Tahun 2006” yang sampai dewasa ini kita pergumulkan terlebih bagi gereja-gereja yang berada di tengah masyarakat yang pluralis. Ada beberapa yang perlu kita mengerti tentang kecenderungan perkembangan perubahan di dalam masyarakat dan Negara kita. Pertama ada perubahan dinamis di dalam perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini di mana iklim demokratis setelah reformasi berjalan telah membuat NKRI sangat sulit dimengerti. Pasca-kejatuhan Orde Baru yang selalu mengangkat dan meninggikan Pancasila serta Bhineka Tunggal Ika ternyata membuat masyarakat menjadi “gamang” dan “merasa malu” untuk mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika akibat euphoria reformasi. Akhirnya MPR di masa kepemimpinan Prof.DR.H.Amien Rais cukup berhasil mengamandemen UUD 1945 melalui 4 tahapan. Ketua Umum PGI Pdt.DR.Nathan Setiabudi ketika itu di Jakarta pada tanggal 5 Pebruari 2002 meminta agar PAH I untuk berhati-hati dalam mengamandemen pasal 29 UUD 1945 mengingat mengubah UUD 1945 merupakan suatu pekerjaan yang sangat berat dan membawa implikasi terhadap hal-hal sosial. Akibatnya UUD 1945 Pasal 29 tetap dan tidak mengalami perubahan. Pasal tersebut terdiri atas dua ayat yang menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (ayat 1) dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (ayat 2). Kedua ada masalah sangat prinsipil dari kata “kesatuan” di dalam kalimat “Negara Kesatuan Republik Indonesia” dengan kalimat ketiga dari isi Pancasila yakni “Persatuan Indonesia”. Artinya pada istilah “kesatuan” pihak minoritas mesti mengikuti norma-norma dan ketentuan yang disuarakan pihak “mayoritas”, sedangkan kata “persatuan” mengindikasikan dan mempertegas bahwa setiap kelompok minoritas telah diakui dan diikat di dalam ideology tersebut setelah bersatu di dalam NKRI. Persoalan prinsipil inilah rupanya tidak sinkron dengan pengakuan kredo NKRI tentang kebhinekaan-tunggal-ika, yang mengakui perbedaan di dalam persatuan Negara Republik Indonesia ini. Ketiga kebebasan setelah kungkungan Orde Baru selama kurang lebih 32 tahun membuat beberapa kelompok masyarakat menjadi lebih berani menampilkan “perbedaan” menjadi suatu “permasalahan”, yang dapat mengatas-namakan agama tertentu untuk menekan agama tertentu yang tidak sinkron dengan kredonya, sesuai tafsir keagamaannya sendiri sekali pun terkesan menghalalkan kekerasan demi tujuannya. Karena itu banyak pihak menyebut bahwa reformasi yang berjalan di Negara Republik Indonesia sudah kebablasan, yang justru sedikit banyak berbeda dengan prinsip demokrasi yang sering digemakan pada saat ini.
2.       Dalam suasana soSial politis demikian maka rasanya tidak cukup Departemen Agama sebagai sarana mengakomodasi aspirasi Islam di Negara Republik Indonesia, sehingga timbul pikiran untuk mengambil format model kenegaraan Amerika Serikat (AS) di mana mayoritas Kristen tidak dapat diutak-atik, misalnya calon Presiden AS tidak boleh terlibat kasus kejahatan apa pun termasuk soal perselingkuhan. Kekuatan etika Kristen di AS telah memberi inspirasi bagi saudara-saudara kita untuk “mengimitasi” model Negara AS di Negara Republik Indonesia. Maraknya proses hukum berbau agama seperti “syariat Islam menjadi bukti penguatan akomodasi aspirasi Islam di Negara Republik Indonesia, termasuk apa yang menjadi pokok penting pembicaraan kita di sini yakni “Surat Peraturan Bersama” tentang Pendirian Rumah Ibadah (kita singkat: SPB). Negara hukum Republik Indonesia berdasar UUD 1945 pasal 29 memang jelas TIDAK MELARANG warganya untuk memeluk dan menganut kepercayaannya masing-masing, namun pemerintah berkelit dengan aspek “legalitas” pendirian rumah ibadah, yang secara implisit tidak tertulis di dalam pasal 29 UUD 1945 tersebut. SPB tersebut telah menambahi peranan pemerintah sebagai pihak pengendali atau pengontrol, bukan lagi menjadi fasilitator sebagai eksplisit dinyatakan di dalam Pasal 29 UUD 1945 tersebut. Pemerintah selama ini menilai, bahwa rakyat selalu berkonflik dalam masalah agama, (walaupun intinya adalah seringnya terjadi konflik dalam mendirikan rumah ibadah bagi umat non-Muslim), sehingga pemerintah “perlu” turun tangan untuk mengatur tatacara pendirian rumah ibadah (non-Muslim) tersebut. Juga dalam peraturan dua menteri ini tidak memungkinkan adanya multiinterpretasi, karena apabila timbul permasalahan, maka keputusan terakhir ada pada Gubernur untuk tingkat Provinsi, dan pada Bupati/Walikota di tingkat Kabupaten/kota.
Mungkin ini penjabaran slogan “Bersama Kita Bisa” dalam seluruh kehidupan masyarakat, sehingga menjadi “Bersama Kita Bisa Menyamakan Semua!”. Hal ini mengingatkan kita kajian George Orwel (nama aslinya Eric Arthur Blair) di dalam novel fiksinya berjudul “Nineteen Eighty-Four  pada tahun 1948. Orwell member suatu ekspresi prediktif suatu negara pada tahun 1984, di mana suatu rezim totaliter mengontrol semua perilaku baik perkataan maupun perbuatan setiap warga negaranya. Satu orang pun tidak boleh luput dari pengendalian pengamatan penguasa yang dnamakannya“Big Brother” (ingat satu tayangan di Televisi swasta kita itu). Tapi di dalam novel tersebut Orwell tidak mengatur tata cara berpakaian, tata cara berinternet, termasuk tata cara merokok sebagaimana telah dikendalikan melalui peraturan pemerintah di Negara Republik Indonesia ini.
3.       SPB ini sebenarnya merupakan hasil pengembangan dari SKB (Surat Keputusan Bersama) dari 2 Menteri tahun 1967 lalu direvisi lagi menjadi SKB dua menteri No 1/1969, yang menjadi Peraturan Bersama (Perber) dan dituangkan menjadi SPB pada saat ini. Awalnya hanya disebut butuh 60 umat beragama untuk mendirikan rumah ibadah namun di dalam SKB bertambah jadi 90 orang umat beragama yang satu ditambah lagi sedikitnya 60 dari umat beragama penduduk sekitar di mana rumah ibadah tersebut akan didirikan. Yang menjadi masalahnya buat kita bahwa pembahasan tentang SKB tersebut sudah disetujui dengan kehadiran institusi PGI, KWI, MUI, Walubi, dan PHDI bersama-sama dengan pemerintah yang diwakili oleh pihak Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri. Di dalam pembahasan tersebut dirumuskan 6 bab pokok penting telah bersifat final. Pertama Bab I dalam satu pasal tentang Ketentuan Umum. Kedua Bab II berisi 6 pasal tentang Tugas Kepala Daerah di dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Ketiga Bab III berisi 5 pasal tentang Forum Kerukunan Umat Beragama. Keempat Bab IV berisi 4 pasal tentang pendirian rumah ibadah yang mencakup prinsip pendirian rumah ibadah, syarat pendirian rumah ibadah, forum rekomendasi, dan jangka waktu penetapan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah. Kelima enam bab lainnya mengenai ijin sementara penggunaan bangunan, penyelesaian perselisihan, pengawasan, belanja, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup (berikut terlampir dalam tulisan ini). Dewasa ini SKB berkembang jadi wacana untuk ditingkatkan menjadi Undang-Undang setelah terjadi kesulitan bahkan adanya kekerasan untuk melarang umat beragama di dalam melaksanakan peribadahannya termasuk peristiwa di Ciketing, Bekasi. Diskusi kita saat ini tentu bermanfaat untuk mengembangkan wacana tersebut sehingga mengeliminir kesulitan-kesulitan yang dialami umat beragama di dalam beribadah. Tentu saja kita harus memerhatikan produk hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia ini terkait tentang SKB ini. Pertama UUD 1945 pasal 29 dikaitkan dengan pasal 28 mengenai batasan hak-hak asasi manusia. Kedua TAP MPR Nomor III tahun 2000 tentang tata urutan peraturan perundang-undangan sama sekali tidak menyebutkan adanya peraturan menteri apalagi peraturan bersama dua menteri. Ketiga Undang Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan mengimplementasikan TAP MPR Nomor III tahun 2000 tersebut. Di dalam Bab II Pasal 7 misalnya dinyatakan tentang jenis-jenis hirarki perundang-undangan namun tidak ada menyebutkan perihal SKB atau SPB itu sehingga kita dapat menafsirkan bahwa bIsa saja produk tersebut hanya berlaku bagi institusi pembuatnya, yakni Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama. Keempat Undang Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung. Di dalam undang-undang ini disebut tentang ijin mendirikan bangunan (IMB) beserta proses serta prosedurnya.  Menurut Prof.DR. H.Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi menegaskan,”"Isi atau materi dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri tersebut mendesak untuk ditinjau ulang dan direvisi tanpa menghilangkan esensi dari makna SKB tersebut karena saat ini kondisi di lapangan sudah tidak relevan lagi," katanya di rumah pribadinya, Sambilegi, Maguwoharjo, Depok, Sleman, pada Selasa tanggal 14 September 2010. Menurut Mahfud, SKB dua menteri yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tersebut awalnya memang diperuntukkan menghindari konflik horizontal di tengah masyarakat namun untuk kondisi saat ini SKB tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi di tengah masyarakat karena tingkat mobilitas penduduk yang sangat cepat.


[1] Judul ini mengekspresikan pokok diskusi kita tentang “Pandangan Gereja Tentang Pendirian Rumah Ibadah Ditinjau dari PBM No. 8/9 tahun 2006 di Pelpem GKPS Pusat Pematang Siantar pada Sabtu, 23 Juli 2011.

[2] Pendeta HKBP, yang menamatkan studi STh dari STT Jakarta dan S2 dari Pascasarjana Universitas Padjadjaran bidang studi Sosiologi dan Antropologi tahun 2005, kini melayani sebagai Dosen Tetap bidang studi PPKN di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas HKBP Nommensen di Pematang Siantar.

PENGORGANISASIAN MASYARAKAT

PENGORGANISASIAN MASYARAKAT[1]
Oleh : Melvin M. Simanjuntak, STh, MSi[2]
PROLOG
            Di dalam Alkitab terdapat 2 kisah yang sangat menarik untuk dikaji saksama dan cermat yang relevan dengan topik bahasan kita saat ini. Di Perjanjian Lama dikisahkan bahwa setelah bangsa Israel menang berperang melawan bangsa Amalek di Kasidim, barulah Musa menyadari kekurangangan/kelemahan kepemimpinannya, yang tidak bias ditangani sendiri untuk mengatur dan mengelola semua kebutuhan bangsanya dengan elegan, teratur, terukur, dan terencana. Artinya sudah perlu pengorganisasian dan tim untuk mengatasi tiap pergumulan yang muncul ke permukaan. Permasalahan Musa pada dasarnya adalah mengenai pengorganisasian bangsa Israel. Masalahnya inilah yang dibawa ke mertuanya bernama Yitro agar didapat solusi. Solusi yang diberikan Yitro kepada si Musa dikenal di dalam organisasi sebagai pendelegasian tugas, atau simplisitas solusi (penyederhanaan tingkat pemecahan masalah) agar tidak semua masalah yang berat, sedang, dan sepele diberikan kepada Musa. Yang sangat menarik buat kita bahwa ternyata Yitro jjuga memberikan batasan integritas dan moralitas terhadap pemimpin, yang dapat kita pandang sebagai landasan ideal dan universal, yakni pertama memiliki abilitas/kualitas mumpuni (kecakapan) yang baik dan tinggi termasuk loyalitas, religiositas (meminjam istilah Romo Mangun) yang sangat baik dan setia, kredibilitas yang baik dan terukur, dan juga anti-korupsi (kebal suap). Selanjutnya silahkan dibaca cermat nas Keluaran 18:13-23.
            Di dalam Perjanjian Baru juga dikisahkan bahwa pada petang hari di hadapan orang sekitar 5.000 jiwa Yesus memberikan pengajaran dan pelayanan-Nya sampai malam hari. Sesuai kebiasaan budaya Timur jika sudah larut malam tentu tamu diberi makan dan minum. Pada saat yang kritis emergensi tersebut Yesus menugaskan murid-muridNya untuk segera memeriksa stok logistic konsumsi yang tersedia agar memudahkan pendistribusian kepada masyarakatNya. Pemeriksaan murid Yesus tidak hanya sebatas konsumsi, melainkan juga mengatur orang sebanyak itu ke dalam 2 kelompok, yakni kelompok yang beranggotakan 100 orang, dan satu lagi kelompok yang beranggotakan 50 orang. Coba kita bayangkan bagaimana 12 orang murid mampu melayani orang sebanyak itu dengan aman, tertib, dan damai? Luar biasa bukan? Artinya kita butuh pemahaman yang serius tentang pengorganisasian masyarakat, yang mungkin tidak didapat di bangku kuliah, tapi kita didapat di dalam persekutuan dan pergaulan di tengah-tengah masyarakat kita. Saat ini kita akan coba mengetengahkan apa pengertian tentang pengorganisasian masyarakat, dan bagaimana kita dapat mengorganisasi masyarakat kita. Tentu kita harus camkan bahwa jemaat yang kita layani adalah satu unit masyarakat. Dari paparan kisah tersebut sudah amat jelas bahwa baik Musa maupun Yesus memiliki tingkat kebutuhan yang sangat tinggi tentang pengorganisasian. Di kemudian hari hal serupa juga dialami tokoh-tokoh masyarakat seperti  Rasul Paulus, Martin Luther, Ingwer Ludwig Nommensen, bahkan sampai kepada tokoh-tokoh Mahatma Gandhi, Martin Luther King, Jean Paul Sartre, Lech Walesa dan Saul David Alinsky.

PENGORGANISASIAN MASYARAKAT

Di dalam teori Sosiologi terdapat 2 istilah penting yang saling terkait, yakni pertama pengorganisasian rakyat atau masyarakat (community organization), dan kedua pemberdayaan rakyat/masyarakat (community empowerment). Keduanya merupakan bagian dari Perubahan Sosial (Social change) yang bercorak revolusi/radikal, evolusi/perubahan secara gradual berkelanjutan, dan reformasi. Pengorganisasian masyarakat cenderung bertujuan untuk menggapai arah revolusi dan evolusi, bukan reformasi sebagaiman arah tujuan pemberdayaan masyarakat. Sebab pengorganisasian masyarakat umumnya adalah mengubah sistem, dan melawan para penguasa (pemegang otoritas), sedangkan pemberdayaan masyarakat cenderung hanya mempertahankan kemampuan masyarakat tersebut dengan memakai potensi yang tersedia, bukan untuk mengganti sistem dan penguasa. Jadi topik kita saat ini sangat berat, karena harus memiliki konsep dan teori yang jelas tentang masyarakat, sistem sosial budaya, dan bahkan politik secara radikal tapi yang kita lakukan saat ini sebatas kajian ilmiah, dan perdebatan saja. Jika kalian mau melangkah lebih lanjut untuk dapat menerapkan pengorganisasian masyarakat, tentu berpulang kembali ke hati nurani anda.
Bercermin dari kisah dalam Alkitab, sebenarnya pengorganisasian masyarakat memiliki 2 proses penting, yakni pertama proses pembangunan kekuatan masyarakat secara stabil permanen sehingga semua pihak termasuk penguasa dapat dikontrol bahkan perlu dipaksa untuk bertanggung jawab penuh terhadap situasi sosial yang dialami rakyatnya, dan kedua proses transformasi individu dan kelompok-kelompok masyarakat untuk saling menghormati dan partisipasi di dalam ruang kehidupan publik (artinya masyarakat perlu diberi akses informasi kebijakan publik dan pengambilan keputusan misalnya dengan “memasyarakatkan” asas legal standing “referendum”). Dengan pemahaman proses pengorganisasian masyarakat demikian dapat ditarik pemahaman bagi kita bahwa pengorganisasian masyarakat adalah proses membangun kekuatan permanen untuk mengganti kekuatan yang ada dengan melibatkan semua elemen/unsur masyarakat sebanyak mungkin sehingga ancaman dan tantangan yang menjadi permasalahan mereka dapat diatasi secara bersama-sama sesuai kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Dengan batasan itu tentu sebelum kita melakukan pengorganisasian masyarakat sangat perlu dan penting untuk memegang filosofi prinsip pengorganisasian masyarakat agar tidak menjadi bumerang, anarkis, dan barbar. Filosofi prinsip di dalam pengorganisasian masyarakat mencakup beberapa hal, yakni: pertama pemahaman budaya inklusif (tidak boleh pilih bulu atau pun tebang pilih, yang terkesan diskriminasi), kedua budaya partisipatif yang mengandalkan norma umum yang sangat dikenal di dunia sosiologi,”Jangan pernah melakukan apa yang mereka bisa lakukan sendiri”, ketiga memiliki visi dan misi yang jelas untuk membawa masyarakat sampai ke tujuan dengan berpedoman kerja secara holistic serta mencermati setiap ancaman yang datang, keempat berpikiran kritis yang mampu mengritisi semua sistem aturan kebijakan publik institusi yang dianggap sangat merugikan masyarakat (dalam posisi demikian sudah tentu akan dicap sebagai oposan atau pembangkang alias pemberontak), dan kelima memiliki basis nilai dan budaya lokal sehingga tidak menjadi masalah di dalam dan sistem budaya nilai masyarakat menjadi perhatian serta dihargai. Sebelum kita masuk untuk memformat sistematika pengorganisasian masyarakat, ada baiknya saya mengajak anda untuk memahami strategi yang diterapkan Saul David Alinsky, seorang doctor khusus bidang pengorganisasian masyarakat berasal dari Rusia dan berdarah Yahudi yang bermigrasi ke Negara Amerika Serikat. Menurut Alinsky strategi bukan dari apa yang dilakukan melainkan kekuatannya terletak pada apa yang bias digunakan dari potensi yang dimiliki. Tactics mean doing what you can with what you have.  Beliau memberikan 13 patokan strategi yang penting di dalam pengorganisasian masyarakat, sebagai aturan main yang baku. Pertama kekuasaan/Power tidak hanya apa yang anda miliki tetapi apa musuh berpikir kau punya, power is not only what you have but what the enemy thinks you have. (Alinsky 1972: 127). Dalam buku itu ia mengatakan bahwa jika seseorang memiliki dukungan massa, orang harus memamerkannya, jika seseorang tidak seseorang harus membuat banyak suara, jika tidak bisa membuat suara gaduh yang besar, membuat besar berbau busuk. Kedua jangan pernah pergi ke luar pengalaman orang-orang anda (Alinsky 1972: 127). Ketiga sedapat mungkin pergi ke luar pengalaman musuh (Alinsky 1972: 127). Keempat membuat musuh hidup sampai buku mereka sendiri aturan (Alinsky 1972: 128). Kelima Ridicule adalah senjata manusia paling ampuh (Alinsky 1972: 128).
Keenam sebuah taktik yang baik adalah salah satu bahwa rakyat Anda menikmati (Alinsky 1972: 128). Ketika beberapa pensiunan telah mengatur untuk memiliki, apa yang dengan mudah bisa menjadi membosankan pertemuan dengan menteri kesehatan, ia mendapat mereka untuk mengajukan pertanyaan dalam bentuk rutinitas tarian. Dia juga mendapatkan sekelompok orang untuk protes terhadap tanaman GM dengan memakai alat perlindungan radioaktif dan berjalan sekitar dengan penghitung Geiger. Ketujuh sebuah taktik yang membosankan terlalu lama menjadi tarik (Alinsky 1972: 128). Mark Thomas mengaku menggunakan serangkaian 'akrobatik', untuk membuat poin-nya. Ia cenderung untuk menggunakan banyak tindakan kecil, seperti digambarkan tentang, daripada tindakan berkepanjangan. Pendekatan ini mengarah ke aturan kedelapan. Kedelapan jaga tekanan pada (Alinsky 1972: 128). Saul Alinsky mengatakan untuk tidak berpuas diri yang jika seseorang memiliki kemenangan parsial. Dia mengatakan kita harus ingat Franklin D. Roosevelt 'respon terhadap sebuah delegasi reformasi,' Oke, Anda telah meyakinkan saya. Sekarang lanjutkan keluar dan membawa tekanan pada saya! " Untuk Alinsky, tindakan berasal dari menjaga panas di. Ketika memprotes tentang penggunaan protein manusia dalam susu bayi oleh Nestle Mark Thomas mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam pertemuan publik dengan presentasi CEO tentang tanggung jawab perusahaan, ia memiliki protes pada konferensi internasional, ia menulis surat kepada dewan, ia wawancara spesialis dan ilmuwan dari perusahaan, ia telah protes dengan peniru hewan, kunjungan pertanian di mana kawanan sapi yang digunakan disimpan dan bulat drive untuk pelayanan pertanian di kapal tanker susu dan mulai membersihkan jendela dengan susu. Kesembilan ancaman tersebut biasanya lebih menakutkan daripada hal itu sendiri (Alinsky 1972: 129). Ketika Saul Alinsky bocor kabar bahwa sejumlah besar orang miskin yang akan mengikat kamar kecil dari O'Hare Airport, pemerintah kota Chicago cepat setuju untuk bertindak pada komitmen lama untuk sebuah organisasi ghetto. Mereka membayangkan kekacauan sebagai ribuan penumpang dituangkan off pesawat untuk menemukan toilet setiap diduduki. Lalu mereka membayangkan rasa malu internasional dan merusak reputasi kota. Sekali lagi, ketika menantang menghindari pajak warisan, Mark mengancam akan memiliki lebih banyak orang dan lebih meminta untuk melihat lukisan jika perubahan tidak terjadi.
Kesepuluh premis utama untuk taktik merupakan pengembangan dari operasi yang akan mempertahankan tekanan konstan pada oposisi (Alinsky 1972: 129). tekanan semacam itu sangat dibutuhkan, Saul Alinsky berpendapat, dalam rangka untuk mendapatkan reaksi dari oposisi. Dia berargumen bahwa 'aksi dalam reaksi'. Kesebelah  jika Anda mendorong negatif cukup keras dan mendalam akan menerobos ke counterside nya (Alinsky 1972: 129). Pada dasarnya, ini adalah untuk tidak menyerah dan takut untuk berkonsentrasi pada aspek-aspek negatif. Dalam banyak kasus Markus mendorong aspek negatif menyebabkan perubahan, seperti perubahan dalam hukum untuk lukisan, Nestle mempertimbangkan kembali produksi susu dan Channel Four memproduksi sebuah website untuk posting Facebook kepentingan MEP's (yang wajib di negara lain). Dia juga berhasil mendapatkan beberapa pertanyaan serius bertanya menewaskan sekitar perusahaan di parlemen. Keduabelas harga sebuah serangan yang berhasil adalah alternatif yang konstruktif (Alinsky 1972: 130). Ini adalah sisi lain dari aturan sebelumnya. Jika seseorang mendorong pihak lain melalui untuk mengubah satu yang ditawarkan beberapa jenis larutan. Hal ini akan menjadi salah satu kritik saya Mark Thomas, ia jarang menawarkan solusi terhadap permasalahan yang ia mengangkat. Mungkin menyoroti perbedaan antara penghibur dan organizer masyarakat. Ini juga akan menjadi salah satu kritik utama Saul Alinsky dan kembali ke perbedaan ia dibuat antara nyata dan radikal retoris. Dia memiliki sedikit waktu untuk beberapa di kiri ultra yang tahu apa yang mereka memprotes, tetapi sedikit gagasan apa yang mereka perjuangkan. Hal ini terlihat bahwa Mark Thomas tidak mencapai hal-hal konkret, ketika ia telah menuntut beton. Ketigabelas pilih target, beku itu, personalisasi, dan polarisasi itu (Alinsky 1972: 130). Ini mungkin aturan Saul Alinsky paling kontroversial dan adalah bertentangan dengan gagasan umum bahwa kita tidak boleh membuat hal-hal pribadi. Ketika mengejar perubahan dalam hukum waris untuk lukisan dia menargetkan satu individu. Dia sering akan mencari tahu siapa CEO berada dalam perusahaan dan anjing orang. Dalam debat organofosfat ini adalah salah satu ilmuwan bahwa ia sasaran dan keabsahan temuannya.
Nah, setelah kita menjelajahi pemikiran Alinsky tentang pengorganisasian masyarakat maka kini kita mengupas tentang tahapan atau sistematika untuk mengorganisasi masyarakat. Beberapa sumber menyampaikan sistematika pengorganisasian secara rinci, misalnya Saul Alinsky, Dennis Murphy, L. Staples, Dave Bethwith, dan masih banyak lagi namun kita mau mengutarakan beberapa saja. Profesor Denis M. Murphy menyebutkan 10 langkap atau tahap untuk mengorganisasi masyarakat, yakni 1. Integrasi, 2. Pemeriksaan Sosial (Social Investigation), 3. Program yang bersifat pencobaan/pengujian (Tentative Programme), 4. Uji kelayakan, 5. Pertemuan-pertemuan untuk berdiskusi, 6. Bermain peran agar tidak mudah terpancing atau terjebak, 7. Aksi nyata, dengan turun ke jalan alias demonstrasi, 8. Evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan, pengaruh, dan kelemahan, 9. Refleksi, mencurahkan perhatian dengan rangkaian realitas, harapan, dan konsep ke masa depan, 10.Membentuk Organisasi untuk pergerakan selanjutnya. Demikian juga pendapat L.Staples yang memaparkan 10 langkah keberhasilan pengorganisasian masyarakat, yang terdiri dari: 1. Melakukan semua kegiatan sendiri tanpa bantuan pihak mana pun, 2. Mengembangkan Argumen persuasif, 3. Meningkatkan Kesadaran dan Kesadaran, 4. Hukum Menggunakan ada, Kebijakan, dan Proses, 5. Membuat atau Mengubah Hukum, Kebijakan, dan Proses, 6. Menghasilkan Publisitas, 7. Berlatih olah kekuasaan, 8. Mempengaruhi Janji, 9. Mengukur  Daya Jangkau Warga, 10. Mengacaukan "Bisnis seperti Biasa".
Sedangkan Saul Alinsky secara rinci memaparkan 11 langkah untuk mengorganisasi masyarakat. Pertama Kekuasaan/kekuatan tidak hanya apa yang Anda miliki, tapi apa lawan berpikir kau punya. Jika organisasi Anda kecil, menyembunyikan nomor Anda dalam gelap dan membesarkan din yang akan membuat semua orang berpikir Anda memiliki lebih banyak orang banyak dari yang Anda lakukan. Kedua Jangan pernah pergi ke luar pengalaman orang-orang Anda. Hasilnya adalah kebingungan, ketakutan, dan mundur.Ketiga bila memungkinkan, pergi ke luar pengalaman lawan. Di sini Anda ingin menimbulkan kebingungan, ketakutan, dan mundur. Keempat membuat lawan hidup sampai buku mereka sendiri aturan. "Anda dapat membunuh mereka dengan ini, karena mereka tidak bisa lebih mematuhi peraturan mereka sendiri dari gereja Kristen dapat hidup sampai Kristen." Kelima Ridicule adalah senjata manusia paling ampuh. Sulit untuk balik ejekan, dan itu membuat marah pihak oposisi, yang kemudian bereaksi untuk keuntungan Anda. Keenam sebuah taktik yang baik adalah satu orang Anda nikmati. "Jika orang Anda tidak memiliki bola melakukannya, ada sesuatu yang sangat salah dengan taktik itu." Ketujuh sebuah taktik yang membosankan terlalu lama menjadi penahan. Komitmen mungkin menjadi ritual sebagai orang beralih ke masalah lain. Kedelapan jagalah tekanan pada. Gunakan taktik yang berbeda dan tindakan dan menggunakan semua peristiwa masa untuk tujuan Anda. "Sasaran utama untuk taktik merupakan pengembangan dari operasi yang akan mempertahankan tekanan konstan pada oposisi. Inilah yang akan menyebabkan oposisi untuk bereaksi untuk keuntungan Anda. " Kesembilan ancaman ini lebih menakutkan daripada hal itu sendiri. Ketika Alinsky bocor kabar bahwa sejumlah besar orang miskin yang akan mengikat kamar kecil dari O'Hare Airport, pemerintah kota Chicago cepat setuju untuk bertindak pada komitmen lama untuk sebuah organisasi ghetto. Mereka membayangkan kekacauan sebagai ribuan penumpang dituangkan pesawat take off untuk menemukan toilet setiap diduduki. Lalu mereka membayangkan rasa malu internasional dan merusak reputasi kota. Kesepuluh harga sebuah serangan yang berhasil adalah alternatif yang konstruktif. Hindari terjebak oleh lawan atau pewawancara yang mengatakan, "Oke, apa yang akan Anda lakukan?" Kesebelas pilih target, beku itu, personalisasi, polarisasi itu. Jangan mencoba untuk menyerang perusahaan abstrak atau birokrasi. Identifikasi individu yang bertanggung jawab. Abaikan upaya untuk shift atau menyebarkan disalahkan.
Nah, semoga anda semakin dicerahkan dan dapat membantu anda untuk mengembangkan Kerajaan Allah di muka bumi kita. Silahkan mencoba saudaraku.

Referensi Lebih Lanjut :
1.          Albert Camus, The rebel : an essay on man in revolt,  New York : Vintage International, 1991; telah dibahasa-indonesiakan menjadi Pemberontak : esai tentang manusia dalam revolusi; -; Camus, Albert; Jakarta : Bentang
2.          Dave Beckwith dan Christina Lopez., 1997. People Power from the Grassroots. Center for community change.
3.          Denis Murphy, People Power Organization., Hongkong: Kowloon, 1989; diterjemahkan menjadi, Mengorganisir Kekuatan Rakyat, Jakarta : PMK HKBP dan URM-Indonesia, 2000.
5.          Jose P.M.Cunaman,  JESUS, the organizer,  Christian Conference of Asia, Urban Rural Mission, 1994, terjemahan PMK HKBP dan URM –Indonesia, Jesus Sang Organiser, 1998
6.          Saul Alinsky, Reveille for Radicals (New York: Vintage Books), 1989, (Original publication was in 1946.)
7.          Saul Alinsky, Rules for Radicals: A Pragmatic Primer for Realistic Radicals (New York: Vintage Books), March 1972 edition, Original publication was in 1971, lihat juga akses www.crossroad.to/Quotes/communism/alinsky.htm


[1] Makalah disajikan pada Kursus Pembinaan Mahasiswa Pascasarjana Magister Diviniti (MDiv) Sekolah Tinggi Teologi HKBP Pematang Siantar, tanggal 17-18 Nopember 2010 di Tuktuk-Samosir
[2] Pendeta HKBP Resort Agape Distrik VI Dairi lulusan STT Jakarta 1996 dan MSi dari Universitas Padjadjaran tahun 2005

PERGUMULAN GLOBALISASI, DAN AKSI RAKYAT

PERGUMULAN GLOBALISASI, DAN AKSI RAKYAT
Oleh : MELVIN M.SIMANJUNTAK, STh, MSi


PENGANTAR

            Globalisasi adalah buah simalakama di mana ada pilihan buat rakyat untuk menerima atau menolaknya. Jika kita menerima globalisasi maka kita harus dapat menerima apa pun hasil kerja dari kekuatan, dan pengaruh dunia di mana proses yang berjalan dapat dikatakan sebagai “amerikasasi” atau “eropasasi”. Negara-negara yang disebut “dunia berkembang” seperti Indonesia cukup enak masih dalam perkembangan saja, tidak dalam kerangka kekuatan pengaruh dari kedua pihak di atas. Itu berarti “dunia berkembang” hanya duduk manis, dan cukup jadi penonton setia, tidak dapat ikut mengambil suatu keputusan atau kebijakan tapi hanya menerima saja. Misal penentuan tarif atau harga suatu produk harus ditentukan oleh WTO1, kebijakan keuangan negarapun harus ditentukan oleh IMF2. Kedua lembaga tersebut ditambah World Bank dikuasai oleh negara adidaya Amerika Serikat. Jika ada negara “main api” maka mungkin akan mengalami nasip serupa dengan Afganistan dan Irak. Penguasaan terhadap Afganistan dan Irak adalah hasil globalisasi, di mana demokrasi disuntikan di sana. Jika kita menolak globalisasi maka harus ada konsep penolakan sebagai jalan keluar (exit strategy), namun tiap penolakan bisa dianggap sebagai bentuk perlawanan atau pembangkangan. Mereka disebut “anti-globalisasi3 atau memunculkan pandangan “de-globalisasi4.
            Bagaimana partisipasi dan pengaruh gereja terhadap globalisasi? Apakah gereja cukup membiarkan, mempengaruhi, atau menolak mentah-mentah? Gereja HKBP banyak memiliki jemaat di pedesaan, mungkin mencapai 60-70%, sehingga sudah waktunya bagi HKBP untuk mencari solusi terbaik agar tidak terjadi “kekacauan” atau “kegalauan” dalam kehidupan jemaat-jemaat di pedesaan sebab efek globalisasi suatu saat sampai juga ke desa-desa bonapasogit yang menjadi basis kuat, grass-rooted HKBP. Agro-globalisasi atau globalisasi pertanian perlu mendapat perhatian serius dan cermat dari gereja, jika tidak maka akan terjadi perubahan hidup yang luar biasa bahkan mungkin terjadi perubahan iman secara drastis. Pemikiran bersama terhadap “hantu globalisasi” harus berakhir dengan konsep dan “action plan” atau “rencana strategis”, tidak sebatas wacana. Namun demikian nilai dan hakekat “kebersamaan” harus menjadi kata kunci. Hal ini ada di dalam konsep persekutuan Kristen, dan juga persekutuan adat seperti bius. Betapapun juga gereja HKBP tetap beridentitas “batak” dan “kristen” sehingga sepantasnya kedua sisi tersebut menjadi pijakan dan pilar utama untuk mengantisipasi gelombang dari globalisasi jika HKBP benar-benar punya hasrat peduli terhadap mutu kehidupan jemaat sebagaimana tertuang dalam misi HKBP di dalam Aturan dan Peraturan HKBP 2002.

EFEK GLOBALISASI

            Dahulu kalau kita kirim pesan harus melalui orang yang pergi ke tujuan di mana pesan bisa sampai atau melalui kantor pos, seolah-olah pesan tidak dapat dikirim tanpa ada orang yang pergi mengantar pesan. Sampai pertengahan abad ke 19 setelah Samuel Morse menemukan kode pesan yang disebut Morse ternyata bisa dikirim melalui satelit. Sekarang orang tidak perlu repot kirim surat lamaran atau surat ucapan selamat melalui orang pengantar surat tapi sudah dapat dikirim lewat e-mail (electronic mail atau surat elektronik). Di tahun 1999 kode tidak lagi digunakan bahkan negara Perancis sejak tahun 1997 sudah membuang pemakaian kode Morse. Pergeseran atau perubahan sistem komunikasi yang manual (antar surat) telah menjadi sistem komunikasi global, tinggal klik saja maka sekian detik surat sudah sampai. Lebih dari 200 satelit mengorbit di atas bumi sebagai distributor komunikasi. Perubahan sistem komunikasi didorong dengan adanya kemajuan di dunia ilmu pengetahuan, dengan serangkaian penemuan. Dulu orang tidak bisa berbicara langsung namun dengan ditemukan telepon maka orang bisa bicara langsung tanpa ada batasan ruang, kecuali batasan dana. Perubahan sistem komunikasi berpengaruh pada perubahan perilaku, ada prestise dan gaya hidup (life style).
Dulu awal 1990 orang Indonesia ramai-ramai pakai kartu telepon yang bisa menghubungi handphone dan pakai pager, karena handphone masih barang luks, barang mewah. Yang punya handphone saat itu pasti orang kaya. Namun sekarang tidak lagi demikian, tukang sayur bahkan pedagang dan buruh hampir seluruhnya memakai handphone. Dulu orang-orang sempat pakai pager, sebelum pakai handphone sekarang, dan pakai kartu telepon namun sekarang pager dan kartu telepon sudah menghilang. Masih ingat dulu era 1980-an orang-orang ramai belajar Dos, Lotus, WS 4, lalu muncul WS 5 dan WS 7. Sekarang orang sudah bicara laptop, notebook, PDA (Personal Data Assistance) dengan model pentium 4 atau Caleron serta paket program pengetikan model Microsoft Word (pengganti WS?), Excell (pengganti Lotus?) dan Powerpoint. Microsoft sekarang tidak bisa sembarang dipakai karena harus pakai ijin (lisensi) terkait dengan hak cipta, yang di negeri kita sudah diratifikasi, disahkan. Tapi kita tidak perlu khawatir, sebab masih ada alternatifnya seperti Linux, DAS, yang dapat dipakai dan diakses secara gratis. Paling cuma bayar biaya listrik. Begitu cepat dan pesat kemajuan teknologi. Percepatan teknologi tidak mungkin diputar ulang dan kembali ke jaman sebelumnya. Percepatan teknologi sangat mendorong kemajuan suatu bangsa sehingga disebut “bangsa maju” bagi yang cepat mengambil-alih teknologi sedang bagi bangsa yang lambat disebut “bangsa terbelakang” untuk tidak menyebut “bangsa bodoh”. Manusia harus mampu menghadapi perkembangan teknologi, dan jika tidak maka dia akan ketinggalan jaman, kekurangan informasi dan menjadi dekat dengan kebodohan. Coba kita simak berapa banyak sekarang orang pergi ke Wartel (Warung Telepon)? Berapa banyak fasilitas telepon umum terpaksa ditarik kembali karena sudah sangat jarang orang memakainya? Bandingkan dengan berapa banyak orang pergi ke Warnet (Warung Internet)? Sampai ada mie instan internet (indomie, telor, dan kornet). Sepele memang tapi itu juga sebenarnya efek globalisasi. Tak terasa tapi mampu mengubah gaya hidup, bahkan mengubah pencaharian (nafkah) hidup, bahkan tiap orang dituntut serta didorong untuk mampu memakai komputer.
Perubahan lain sangat penting mendapat perhatian kita secara serius adalah persaingan dalam dunia tenaga kerja, dan “perang sembako”. Coba kita kita lihat mereka yang duduk di teras pucuk pimpinan, mulai dari level manager hingga direksi dan CEO (Chief Executive Office) rata-rata berasal dari negara-negara luar, jika tidak dari Eropa tentu dari Amerika Serikat. Demikian juga kita perhatikan para pemain bola di negeri kita ada dari Afrika, dan Amerika Latin (Amerika Selatan). Mereka tidak hanya menyerbu “dunia usaha dan bisnis” namun juga telah merasuki juga “dunia olah raga” dan “dunia pendidikan” seperti para pemain sepak bola dan guru-guru di Sekolah Global, Land Scope dan Sekolah-sekolah yang menyebut diri “taraf internasional”. Seolah-olah ada kesan tenaga kerja luar negeri jauh lebih unggul, lebih bermutu daripada tenaga kerja lokal. Lucunya semua tenaga kerja luar negeri “tidak perlu” dan “bukan keharusan” (sebagai syarat utama) untuk dapat bermain di bumi pertiwi. Nasionalisme seakan-akan kandas ditelan bumi orang lain. Jika tenaga pekerja dari negara Asia lain seperti Kamboja, Laos, dan Vietnam lebih murah dan terampil maka mereka sudah pasti akan menyerbu ke negeri Indonesia. Mungkin itu sebabnya mengapa peusahaan besar Sony “hengkang” dari bumi pertiwi, selain tentu ketegasan hukum kian larut dan bikin bingung. Jadi seharusnya mereka yang bekerja di Indonesia harus mengerti dan memiliki kemampuan berbahasa Indonesia sebagai identitas nasional yang patut dipertahankan, bahkan harus mampu memahami kebudayaan Indonesia sehingga mampu berpikir dari sudut pandang “orang Timur”. Padahal pandangan Timur saat ini sangat gencar bergema menjadi “dagangan politik”, salah satunya dipakai Anthony Giddens dengan tulisan hebohnya “The Third Way”, yang amat berpengaruh pada pengambilan kebijakan politik negara Inggris. Amerika Serikat juga sedang berusaha untuk memadu pemikiran Anthony Giddens dengan Samuel Huntingthon. Luar biasa bukan “penjajahan” terhadap dunia sekitar kita; dijajah ekonomi juga dijajah tenaga kerja?

AKSI RAKYAT
            Setiap negara menyatakan diri bahwa rakyat berdaulat penuh, artinya rakyat dapat menumbangkan Pemimpin atau Penguasa. Karena itu ada istilah “fox populi fox Dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan. Tuhan menyatakan kehendakNya kepada umatNya.Tiap pemimpin harus mendengar suara rakyat jika ingin berkuasa terus, jika tidak maka dia harus berbesar hati menerima kehilangan kuasanya. Persoalannya apakah rakyat turut terlibat aktif dalam pengambilan keputusan yang menentukan masa depannya? Contoh apakah rakyat terlibat dalam amandemen konstitusi negara, padahal bisa dilakukan dengan referendum. Kesan saya, rakyat saat menjadi marjinal, kaum pinggiran, kerjanya cuma demonstrasi seolah-olah menjadi oposisi padahal punya kedaulatan.Lantas dimana peran aktif rakyat?
            Selain itu rakyat pun harus dapat bersatu padu, satu kepentingan, tidak pecahbelah sehingga ada politisi malah bertanya,”rakyat mana?”. Nilai kebersamaan dan kepaduan sangat perlu untuk melengkapi kedaulatan yang dimilikinya agar dapat proaktif dalam penentuan masa depan, tidak bisa diam melompong saja seperti ompong. Dalam rangka itu rakyat perlu dicerahkan, dicerdaskan agar tidak bisa dijajah dan mampu menghadapi individualitas yang sangat digembar-gemborkan globalisasi.


1  WTO, World Trade Organization, adalah lembaga perdagangan dunia yang menentukan tarif dan nilai dagang suatu negara
2  IMF, International Monetary Fund adalah lembaga keuangan dan penentuan kebijakan fiskal dunia.
3  Sekarang gerakan anti-globalisasi telah berkembang dan mengambil bentuk Global People’s Forum di mana warga Indonesia turut ambil bagian. Selanjutnya lihat Christ Harman,” Anti-Kapitalisme ”, Jakarta: Teplok Press, 2003; juga lihat Ivan Illich,” Menggugat Kaum Kapitalis ”, Jakarta: Melibas, 2001. Kedua buku tsb cukup keras menyerang perilaku dan moralitas kapitalis dan globalisasi.
4  Cukup menarik usulan Walden Bello dalam bukunya “De-Globalisasi”, Bantul:Pondok Edukasi,2004 memberikan solusi alternatif untuk pembaharuan terhadap lembaga-lembaga IMF, WTO, dan Bank Dunia (World Bank).

Kamis, 24 April 2014

SETAN GLOBALISASI ATAU GOMBALISASI

SETAN GLOBALISASI ATAU GOMBALISASI
Melvin M. Simanjuntak


Pengantar

            Banyak media elektronik menayangkan ritual, mitos, dan ekspresi “keseraman” tentang profil “dunia lain”, suatu dunia pasca-kematian atau “dunia para arwah”. “Dunia lain” itu seolah-olah memberi kesan kuat “ada dunia lain” selain “surga” atau “nirvana” sebagaimana diajarkan  para pemuka agama. Tayangan-tayangan seperti “dunia lain”, “gentayangan”, “percaya nggak percaya”, “pesugihan”, “pemburu hantu”, dan ekspedisi ke alam gaib” merupakan fenomena sosial sekarang, sebagai lingkup kekuatan imajinasi. Imajinasi antara “real” (nyata) dan “unreal” (maya) komersial tersebut ternyata dapat dilihat dari sisi berbeda. Pandangan sisi berbeda dan secara analogis inilah maksud tulisan berikut.
            Pandangan berbeda mencuat ketika hakekat kejahatan atau keburukan manusia telah melampaui ambang batas real, meninggalkan realitas kehidupan serta meninggalkan  logika dan norma umum maka ada  “ruang emosional tak terkendali”, yang sementara kita anggap saja sebagai “bayang-bayang”, mirip seperti sketsa nasionalisme yang dilukiskan  Benedict Anderson dalam karyanya Imagined Communities. Menurut Ben Anderson, nation atau nationality dipahami sebagai sebuah bangunan budaya jenis khusus (cultural artifacts of a particular kind). Bangunan budaya demikian dimaksud sebagai komunitas politis dan dibayangkan sebagai suatu sifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Bangsa sebagai komunitas tidak akan peduli terhadap ketidakadilan yang ada dan eksploitasi yang melekat dalam setiap bangsa, karena bangsa selalu dipahami sebagai kesetiakawanan secara mendatar, horisontal (horizontal comradship).
            Di sini nation terkait dengan kekuasaan (sovereignty), kolektivitas politik nyata dengan wilayah (beserta batas-batasnya) yang nyata, sedangkan nasionalisme dipahami sebagai “sebuah impian” (imagined) untuk menuju kolektivitas politik. Namun menurut Anderson kolektivitas politik belum terwujud atau belum real dan wilayah politiknya juga demikian. Anderson memaparkan adanya 3 dimensi dari “impian” (imagined) yakni “impian seperti berkuasa” (imagined as sovereign), “impian terbatas” (imagined as limited),dan “impian sebagai suatu komunitas, kebersamaan” (imagined as a community).
            Itulah maksud simbolisasi “bayang-bayang” atau saya sebut “ruang emosional tak terkendali”, sebagai pemaknaan citra dari  ungkapan “di sini ada setan”. Pencitraan adalah hakiki penting sebagai ekspresi personifikasi realitas kehidupan, untuk meraih penokohan atau target utama dalam kenyataan hidup. Bila hal ini dimaknai dengan konstelasi efek globalisasi maka gambaran sama atau setidaknya “menyerupai” menjadi lebih jelas dan mudah dipahami. Karena itu dianggap saja formulasi “di sini ada setan” sebagai medium spiritulisasi terhadap adanya irisan “nyata” dus “maya” antara kejahatan dan kebaikan, realitas dan imajinasi. Jean Paul Sartre dalam karyanya Psikologi Imajinasi mengekspresikan imajinasi sebagai wajah refleksi dari “dunia mimpi” dimana “dunia mimpi” mempengaruhi alam sadar  hakekat manusia ke dalam bertindak sebagaimana disitir Sigmund Freud. Bila mediasi dari medium spiritualitas tersebut ditarik ke dalam hakekat manusia sesungguhnya maka nomasi hakekat manusia mencapai taraf “beyond human  being”, menjadi citra manusia sesungguhnya, sebagai problema utama dari kancah neomodernisasi.
            Dengan demikian tulisan ini akan menyajikan ekspresi “sementara” tentang  hakekat manusia karena gambaran  “sesungguhnya” sudah tidak memungkinkan karena terdapat juga “ruang emosional  tak terkendali” antara “dosa”, dan “ketidakberdosaan”. Berangkat dari situ baru terlihat ekspresi kenyataan efek dari globalisasi dan  mencoba merekam solusi yang diberikan beberapa pihak.

Beyond Human Being” Adalah Pergumulan Modern
Pertanyaan mendasar dan sangat klise namun sulit terjawab adalah “apakah hakekat  manusia sekarang sesungguhnya suci atau berdosa?”. Pandangan Kristen menyatakan adanya dosa warisan dari genetika Adam dan Hawa, namun tidak mengaitkan bahwa mungkin saja penebusan Kristus telah melenyapkan dimensi keberdosaan itu. Ini mudah dipahami apalagi dalam doktrin Lutheran dikenal adanya justificatio Dei, sebagai medium hak prerogatif untuk menghilangkan noda hitam dalam hakekat manusia setelah pengakuan  percaya (credo). Dalam banyak duna silat ilmu pengetahuan termasuk teologi didalamnya, disebutkan tentang definisi hakekat manusia.
Ada yang bilang bahwa hakekat manusia itu adalah  supreme player atau homo ludens (teori Johan Huizinga), ada juga homo laborans (teori Karl Marx), ada juga homo economicus (teori Adam Smith), ada juga homo societus (teori August Comte), walau ada sebutan-sebutan lain seperti homo faber, homo theologicus,dan homo esperans. Yang penting di sini memahami makna homo ludens dan homo laborans agar paham sebenarnya efek dari homo economicus. Defini-definisi hakekat manusia demikian juga merupakan upaya pencitraan.
            Dalam pemikiran Timur seperti Cina dan Batak misalnya dipahami bahwa tarian (tortor) dan musik (gondang) sebagai wajah permainan yang sebenarnya punya tujuan untuk “memelihara keseimbangan alam (ekosistem)” atau “menaklukkan alam (eksploitasi)”, sebagaimana terlihat pada gerakan-gerakan dan suara-suara yang bergema yang sangat bernuansa horisontal dan vertikal. Dengan sketsa tersebut setidaknya dapat suatu ekspresi penting bahwa permainan terjadi spontanitas, “seolah-olah berada di dunia lain” antara nyata dan maya, memasuki batas waktu dan ruang, dan membuat suatu social order (keteraturan umum). Misal saat kita menonton film di bioskop/teater atau teve, saat menonton kompetisi olahraga sepak bola, atau saat bermain pinball lewat komputer.
Homeros, filsuf Yunani menyatakan bahwa perlombaan kuno dalam masyarakat Olympus (asal kompetisi olahraga dunia, Olimpiade) sangat menentukan kehidupan sebagai supremasi “keunggulan” atau setidaknya dapat dikatakan “menjadi hakekat manusia sesungguhnya”. Dalam antropologi ditemukan adanya potlatch, suatu adat istiadat suku Kwakiutl di Kolombia. Potlatch adalah pesta  akbar masyarakat itu dengan titik tolok utama memberi hadiah-hadiah, dan hadiah-hadiah itu menyatakan keunggulannya. Dalam epos Mahabharata yang terbawa juga ke Indonesia juga terdapat suatu cerrita tentang keberadaan potlatch raksasa.
Singkatnya dapat dipahami bahwa dinamika kebudayaan berangkat dari struktur pencitraan suatu permainan dan permainan sangat menentukan orientasi tindakan ke depan berdasarkan yang dimainkan sekarang. Bila permainan menjadi hakekat manusia lalu digabung dengan konsep manusia bekerja, maka hampir sama maknanya. Hasilnya menurut Marx adalah  free conscious activity, sebagai kebebasan hakekat manusia terletak dalam tindakan. Menurut Karl Marx dalam karyanya Capital: A Critique of Political Economy (New York, hal. 20-21) hakekat citra tersebut adalah totalitas hakekat hubungan hasil kerja (totality of these relations of production) mempengaruhi struktur ekonomik masyarakat sebagai dasar nyata yang dibangun melalui suprastruktur masyarakat secara legal dan politis sehingga membentuk kesadaran massal. Kenyataan hasil kerja (mode of production) secara umum membangun proses-proses sosial, politik, dan intelektualitas, yang keberadaannya ditentukan oleh kesadaran tersebut.
Bagi Marx, lingkup kerja adalah proses partisipasi keterhubungan antara citra manusia dan citra alam dimana terletak pada permainan yang mencakup aturan-aturan main (the rules of the games) dan pengelolaan keterhubungan itu. Hal itu menentukan kelas-kelas masyarakat. Konsep totalitas demikian terdapat juga dalam masyarakat Batak Toba, sebagaimana dikaji Phillip Tobing dalam The Structure of The Toba-Batak Belief In The High God yang menyebut totalitas keterbungan alam (banua ginjang, banua tonga,  dan banua toru) direfleksikan ke dalam komunitas mikrokosmik antara hulahula, dongantubu, dan boru. Tobing menyatakan itu dengan bahasa, “The Toba-Batak conceive the  whole cosmic space as the totality of under-, middle-, and upperworld. In this totality each of these three worlds has a function, through which the harmony and the  existence of the universe is possible” (hal.28-29).
Doktrin totalitas mirip atau senada dengan doktrin keistimewaan manusia. Karena itu bekerja harus dipandang sebagai profesi kodrat manusia untuk termotivasi “menjadi sungguh-sungguh manusia” seperti saat Adam dan Hawa diciptakan dan juga saat Allah berinisiasi dan memberi janji kepada Abram. Kerusakan citra oleh setan mengurangi keistimewaan namun sekaligus membuka ruang ketergantungan. Citra manusia demikian relevan dengan citra homo esperans, manusia yang berharap. Ketergantungan citra demikian dijawab  Lutheran bahwa keputusan yang diambil manusia hanya berserah sepenuhnya kepada Allah untuk menghindari resiko dari keputusan berdasar pengetahuan dan tanggung jawab.
Hubungan korelasi antara permainan dan  manusia juga terdapat dalam pemikiran pemikir fisika jenius, Albert Einstein. Einstein menyatakan dice thrown out of the cup, hakekat manusia tidak hanya pada taraf mengetahui kebutuhan hidup namun juga memahami hal-hal terkait dengan kehidupannya sendiri, termasuk dimensi panggilan hidup. Permainan hakekat manusia terletak pada tahu kebutuhan dan strategi pemenuhan hal itu, sebagai wujud panggilan personal yang menuntut pengetahuan dan keahlian. Dalam situasi arena permainan itu hakekat manusia dihadapkan pada pilihan dilematis, yakni menangani sendiri secara mandiri atau kerja sama dengan orang lain yang memiliki kepentingan atau tujuan yang sama. Misal mengangkat teve 14 inci tentu bisa dilakukan oleh satu orang, tetapi mendorong mobil mogok dibutuhkan orang lain.
Perkembangan hakekat manusia dewasa ini berhadapan antara 2 kutub utama, yakni individualisme dan kolektivisme (komunalisme). Kedua hal tersebut dilematis dimana pada masyarakat kota terkesan kuat untuk lebih individualistik sedangkan masyarakat desa lebih komunalistik. Bronislaw Malinowski menyatakan bahwa masyarakat desa atau tradisional terdapat mekanisme prinsip timbal balik (priciple of reciprocity), Emile Durkheim menyebutnya solidaritas, dan Erich Fromm menyebutnya kolektivisme. Kepedulian sesama dan kerja sama kelompok masyarakat banyak dikenal masyarakat Timur. Masyarakat Barat setelah pencerahan dan hegemoni rasionalitas serta pengaruh humanisme telah menempati kepentingan pribadi sebagai hak asasi sehingga tradisi-tradisi kolektif mulai diabaikan. Misal pola kerja marsiadapari di berbagai desa di daerah Batak Toba merupakan perwujudan budaya resiprositas dan solidaritas. Budaya ini di masyarakat kota seperti Porsea, Dolok Sanggul, bahkan Onan Ganjang telah dipengaruhi kekuatan kapitalisme sehingga nilai-nilai kekerabatan mulai dinomorduakan sehingga benar hipotesis Anthony Giddens dalam The Third Way bahwa individualisme baru diasosiasikan dengan mundurnya tradisi dan adat kebiasaan dari kehidupan kita, sebuah fenomena yang bertautan dengan dampak globalisasi.
Kritik Marx terhadap individualisme menyatakan bahwa “kebebasan individu untuk berkembang adalah situasi bebas bagi semua warga untuk berkembang” telah menimbulkan rasa solidaritas yang membentuk komunalisme. Kemunculan sosialisme di Barat sebagai refleksi dari Timur justru muncul dari ketidakpercayaan kekuatan individualisme. Pada akhirnya konstelasi demikian  membawa warga dan negara kepada pilihan welfare society atau welfare state, tujuan rakyat yang sejahtera atau negara makmur. Pilihan-pilihan demikian tidak mudah dan sangat dipengaruhi dunia hakekat manusia itu sendiri. Bila di desa maka dunia tradisi menjadi penting, sedang di kota lebih dikuasai rasionalitas sebagai pilar modernisasi.

Setan Dunia: Globalisasi dan Tradisionalisasi

            Tidak mungkin bicara globalisasi tanpa identifikasi terhadap situasi dunia sekarang karena penting dicatat identifikasi dunia sekarang sebagaimana dikemukakan oleh Vaclav Havel. Havel menyatakan bahwa, ”dunia – juga kehidupan – adalah suatu sistem keseluruhan yang dapat diketahui, diperintah oleh beberapa aturan universal yang ditangkap oleh manusia dan secara rasional terarah untuk mendapat keuntungannya sendiri. Dia menimbulkan kepercayaan yang membanggakan bahwa manusia adalah mampu secara obyektif menggambarkan, menjelaskan, dan mengontrol segala sesuatu yang ada dan mampu memiliki satu-satunya kebenaran mengenai dunia ini. Ini adalah era ideologi, doktrin, interpretasi kenyataan, suatu era bertujuan untuk mendapat sebuah teori universal mengenai dunia. Kegagalan komunisme dapat dianggap sebagai tanda pemikiran modern – yang berdasarkan premis bahwa dunia secara obyektif bisa diketahui dan pengetahuan yang didapat dipukul rata secara mutlak hingga krisis yang akut. Era ini menciptakan peradaban teknologi global yang pertama, dan telah melebihi kedalaman jurang paling dalam“.
            Rasionalitas hakekat manusia telah menimbulkan kepercayaan diri yang tinggi sehingga rasionalitas  menjadi kebenaran dalam dunia berperadaban teknologi global sehingga superioritas menjadi suatu krisis saat alam berada dalam ancaman. Kehabisan sumber daya alam akibat semangat eksplorasi dan eksploitasi pencarian keuntungan pribadi telah memunculkan semangat neo-kolonialisme baru yang kolaborasi dengan industrialisasi dan kapitalisme. Sistem economic capital merambah ke semua aspek kehidupan dengan menciptakan slogan-slogan time is money tentu dengan rasionalitas menyingkirkan nilai-nilai tradisional.
Konsep demikian dikerjakan Robert McNamara melalui proyek pembangunan World Bank, yang menganggap nilai-nilai tradisional sebagai penghambat pembangunan. McNamara menyatakan bahwa “...persoalannya bukan lagi apakah pertumbuhan ekonomi harus berlanjut atau tidak. Sebab pertumbuhan ekonomi sudah tidak bisa dielakkan di dunia ini. Atau persoalannya juga bukan apakah dampak program pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan harus ditangani atau tidak. Karena persoalan ini juga sudah menjadi keharusan maka sebenarnya menjadi persoalan apakah kedua pertimbangan tersebut bisa mempunyai titik temu”. Selama 13 tahun kepemimpinan McNamara (1968-19811), World Bank menaikkan nilai pinjaman sampai 6 kali lipat, menambah staf dari 1.574 menjadi 5.201, membentuk “divisi lingkungan”, dan membawa misi moral ke dalam lembaga tersebut.
Dalam teori memang luar biasa McNamara namun dalam prakteknya World Bank justru terseret ke dalam perilaku buruk, yakni cenderung memperbesar kekuatan lembaga dengan mengabaikankompleksitas alam dan sistem sosial budaya negara-negara berkembang yang meminjan. Kelipatan pinjaman sedemikian besar akan menciptakan sudut ketergantungan negara peminjam. World Bank malah mengajarkan pada  generasi bahwa kontrol dan dominasi adalah bagian dari setiap  perencanaan pembangunan yang mengubah umat manusia dan alam dalam skala global, yang dikenal sebagai sudut pandang Faustian Paradox.
            Berbeda dengan World Bank, rekannya International Monetary Fund (IMF) secara progresif mendorong negara-negara berkembang untuk bertindak sesuai tindakan dalam paket Structural Adjustment Programs, yang di Indonesia menimpa dunia perbankan untuk melakukan restrukturalisasi atau rekapitulasi tanpa menghilangkan pinjamannya. Tindakan dalam paket tersebut mengharuskan negara-negara yang dibinanya untuk menghilangkan subsidi  terhadap bahan-bahan kebutuhan pokok dan privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Kebijakan itulah menimpa negara Indonesia pada masa reformasi.
Kecenderungan produk kebijakan World Bank dan IMF lebih “mengamankan” kebijakan negara-negara tampak di atas. Negara superpower Amerika Serikat (AS) sendiri malah melakukan tindakan sebaliknya dari IMF dan World Bank dengan melakukan proteksi terhadap semua produk pertanian. AS bahkan melakukan subsidi sektor pertanian sebesar US$ 180 milliar dalam 10 tahun. Itu berarti pertahun subsidi mengalir sebesar US$ 18 milliar atau setara Rp. 176 triliun, nilai setara dengan jumlah APBN negara Indonesia. Program proteksi tersebut di AS dikeenal sebagai Agriculture Risk Protection Act. Pengertian lain bahwa petani AS atau AS sendiri belum siap menghadapi globalisasi atau mungkin mengantisipasi efek-efek globalisasi. Bila AS dapat mengambil tindakan demikian, mengapa Indonesia tidak bisa? Jangan lupa bukan hanya AS yang bersikap demikian, namun juga negara-negara Uni Eropa, dan Jepang. Itulah mengapa banyak pihak, terutama Kwik Kian Gie lebih  menginginkan Indonesia keluar dari paket program IMF agar tindakan penyelamatan terhadap sistem sosial budaya dan kekayaan alam tidak menjadi makin parah. Karena itu butuh exit strategy untuk menutupi defisit anggaran dari pinjaman dengan strategi pertumbuhan berbasis kerakyatan.
Dalam pandangan yang berkembang, globalisasi dianggap sebagai pola permainan yang sudah didesain sedemikian rupa oleh para pemain negara-negara maju sehingga hasilnya tetap saja mereka makin maju dan jurang kesenjangan  makin dalam bahkan mulai tidak terkendali karena pelbagai  penolakkan. WTO telah merencanakan liberalisasi perdagangan yang adil (fair) dari hasil pertemuan September 2003 di Cancun. Pertemuan Cancun membuka fron atau blok perdagangan baru dimana negara-negara maju (direpresentasikan lewat G-8) tetap bertahan melakukan kebijakan subsidi sedang negara-negara berkembang ingin negara-negara maju mencabut subsidi supaya kompetisi perdagangan berjalan sportif dan fair. Itu berarti semua produk pertanian dari  kelompok G 90 akan lebih mahal daripada produk pertanian lokal sehingga tidak mungkin banting harga atau bertarung secara sehat. Negosiasi antara WTO, AS, dan G-90 terus berlangsung walau kedua blok tetap bertahan pada pendirian masing-masing sehingga akan lebih menyulitkan pertemuan WTO pada tanggal 31 Juli 2004 di markas WTO di Geneva, Swiss.
            Model pembangunan rancangan World Bank dan IMF telah menimbulkan skeptisme dan jurang makin dalam, karena terdapat pihak-pihak yang dirugikan bahkan sengaja disingkirkan dalam proses tersebut, sebagaimana terbaca di atas. Walau globalisasi dirasakan tidak terelakkan lagi namun ada beberapa sikap bijak untuk mengantipasi dampaknya. Anthony Giddens dalam Runaway World menyatakan bahwa globalisasi menimbulkan aneka resiko dan ketidakpastian dalam perekonomian elektronik global (global electronic economy). Resiko yang dimaksud adalah resiko eksternal yang datang dari  luar, secara alami atau berdasar tradisi, dan resiko “buatan” (manufactured risk) dari efek perkembangan  ilmu pengetahuan manusia terhadap dunia. Resiko eksternal bisa dipahami karena tidak ada obat mujarab mengatasi bencana alam atau kecelakaan, namun resiko buatan perlu disikapi. Besarnya resiko buatan telah menempatkan dunia saat ini berada tidak terkendali (runaway world).
Karya Giddens lain, Living In A Post-Traditional Society, justru menganjurkan pemberdayaan nilai-nilai tradisional sejalan dengan nilai keluarga, nilai ekologis dan nilai demokrasi yang diambilnya dari pandangan timur. Tradisionalisasi yang disebutnya sebagai masyarakat postradisional, bisa dipandang sebagai tesis utamanya dalam solusi Jalan Ketiga, dalam karya Giddens lainnya The Third Way yang memaparkan 7 nilai Jalan Ketiga, yakni persamaan, perlindungan terhadap kaum lemah, kebebasan sebagai otonomi, tak ada hak tanpa tanggung jawab, tak ada otoritas tanpa demokrasi, pluralisme kosmopolitan, dan terakhir  konservatisme filosofis. Kehancuran komunitas lokal seperti terjadi pada bius, tidak serta merta merupakan kehancuran praktek kehidupan lokal. Praktek kehidupan lokal itu menumbuhkan kembali tradisi dengan pemaknaan baru eksistensi  adat istiadat lokal (local customs), yang bisa berujung pada kemunculan relik atau habit (kebiasaan). Kebiasaan lokal itu kemudian berkembang menjadi museum kehidupan (the living museum) sebagai refleksi keadaban manusia. Dengan demikian The Third Way Giddens mengkolaborasi modernitas dan tradisional, sebagai jalan menekan kekuatan resiko efek globalisasi.
            Berbeda solusi namun senada, Walden Bello dalam karya De-globalisasi justru mengajukan restrukturalisasi lembaga-lembaga World Bank dan IMF yang sangat didominasi negara-negara maju dengan jalan deglobalisasi. Deglobalisasi adalah dekonstruksi terhadap konstelasi saat ini dengan prinsip keseimbangan dan keadilan bagi negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Bello lebih melihat perubahan  terbaik dilakukan dari dalam, bukan dengan membentuk tandingan atau melawannya, sebagaimana dilakukan kelompok Anti-Globalisasi dan Anti-Kapitalisme seperti Sustainable and Self Reliant Communities Movement dan Reclaim thee Sreets.
Konstelasi dunia demikian membuat globalisasi saat ini tidak terelakkan, namun masih bisa dicarikan solusi terhadap efek-efeknya seperti solusi-solusi dari Giddens dan Bello di atas, yakni antara pilihan sikap pemberdayaan tradisionalisasi atau deglobalisasi. Kedua pilihan itu logis dan perlu kajian mendalam untuk aplikasi ke dalam sistem sosial budaya masyarakat Batak Toba agar rekonstruksi berjalan baik dan lancar. Masyarakat Batak Toba dapat menggunakan 3 pilar utama untuk pembangunan, yakni penguatan kembali sistem bius, pengembangan konsep marsiadapari,  dan penafsiran teks-teks sidapot solup do na ro dengan basis kuat onan (pasar tradisional) sebagai wujud permainan manusia. Kekuatan itu perlu mendapat perhatian semua pihak, karena itu merupakan pengetahuan lokal (local knowledge) sebagaimana dikatakan Clifford Geertz, berupa kajian-kajian strategis lanjutan tentang model pembangunan yang berpihak pada semua rakyat. Lantas dimana peranan dan pengaruh gereja? Gereja-gereja dapat mengambil partisipasi dalam pengayaan kekuatan bius agar kontrol dan keseimbangan pembangunan dapat dimediasikan.



Jakarta, 19 Juli 2004
Ditulis oleh,

Melvin M.Simanjuntak