Minggu, 31 Agustus 2014

REVOLUSI HARAPAN DAN REVOLUSI MENTAL

REVOLUSI HARAPAN DAN REVOLUSI MENTAL

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi




Pascapilpres Indonesia yang penuh pesona, penuh semangat, dan sangat semarak dengan rentetan trik politik dan rumor politik yang bagi masyarakat awam sangat sulit dibedakan kebenaran dan kebohongannya. Mungkin sebagian benar, sebagian bohong, sebagian lagi cuma pepesan kosong saja. Namun yang pasti Presiden Republik Indonesia terpilih adalah Ir.Haji Joko Widodo, kesatria sederhana dan polos namun tegas dari daerah Kota Solo. Ada beberapa catatan penting perlu kita beberkan di sini sehubungan dengan konsep pemikiran revolusi mental dan kemenangan Presiden Indonesia terpilih Jokowi :


Pertama terbangunnya koalisi rakyat dengan politisi

Di dalam sejarah perpolitikan Indonesia baru kali ini dapat dikatakan bahwa rakyat berperan sangat besar untuk menggalang dan mempengaruhi suara para pemilih dengan membawa nama "relawan". Biasanya rakyat baru mau bergerak dan terdorong hatinya apabila karena faktor kemanusiaan seperti bencana tsunami yang pernah melanda propinsi Aceh atau bencana gunung meletus, dan seterusnya. Tapi ini terjadi hanya karena urusan Pilpres? Ada beberapa sebab mengapa rakyat merelakan dirinya tanpa bayaran (no money politics) untuk turut berpartisipasi dan mengambil peran aktif selama musim kampanye sampai selesai. Pertama ada kekuatirkan rakyat terhadap kebangkitan rejim Orde Baru di mana kebetulan salah satu capres merupakan menantu dari mantan Presiden Soeharto yang berkuasa 32 tahun lebih secara otoriter dan menekan habis semua lawan politiknya, sekali pun berakhir dengan kekerasan sebagaimana terjadi pada tanggal 27 Juni 1996. Kedua terkait dengan itu juga terbayang bagi rakyat bagaimana akhirnya Indonesia yang dipimpin rejim Soeharto bangkrut dan meninggalkan banyak utang negara. Kebangkrutan tentu saja sama sekali bukan sesuatu yang diharapkan rakyat bahkan sedapatnya perlu dihindari. Kekuatiran atas kebangrutan negara memang turut membayangi kebangkitan rejim Orde Baru tersebut dan itu bukan sesuatu yang baik, bahkan jelas-jelas akan memutarbalikkan arah reformasi di negeri ini yang telah menelan korban jiwa. Anehnya sebagian rakyat malah senang dan menyambut gembira kembalinya dan hidupnya "momok" rejim Orde Baru yang berakhir dengan tragedi berdarah serta kehancuran perekonomian negara Indonesia. Ketiga rakyat sudah muak sekali dengan kepemimpinan "rejim militer" yang telah berkuasa di negeri ini pascareformasi selama 10 tahun, namun tidak banyak terobosan perubahan apa-apa di negara Indonesia ini. Belum lagi malah semakin marak "sinetron korupsi" yang justru banyak dilakukan oleh partai politik penguasa sehingga rakyat pun menjadi cerdas dan cerah, bahwa "rejim militer" memimpin negeri ini ternyata hanya mampu berada di arena status quo; bahkan kasus-kasus hak asasi manusia pun tidak pernah kunjung selesai ditambah maraknya penutupan rumah ibadah yang terkesan kuat "dibiarkan" bahkan mungkin boleh jadi justru "dipelihara" oleh negara. Dalam banyak kasus kemanusiaan negara terkesan membiarkan bahkan tidak berpihak lagi kepada rakyatnya sendiri seperti pengusiran kelompok agama syiah dan ahmadiyyah, padahal mereka belum menanggalkan identitas "kewarganegaraannya" yang mestinya "dijamin" penuh keamanan dan kenyamannya sesuai amanah konstitusi negara Republik Indonesia ini. Ketiga rakyat pada akhirnya menjadi "tidak percaya" terhadap para politisi, mengingat perilaku dan gaya hidupnya yang justru mampu "bergembira" di tengah kesusahan dan kesulitan hidup rakyatnya sendiri. Ketidakpercayaan rakyat terhadap sikap penguasa pada akhirnya bersikap bahwa siapa pun pemimpin militer atau mantan militer sudah pasti tidak akan banyak berbuat lebih, menyangkut keberpihakan, kepada rakyatnya sehingga kehadiran sosok Jokowi bisa sedikit banyak mengembalikan rasa percaya diri rakyat yang hampir raib tersebut. Keempat kehadiran sosok Jokowi yang sangat sederhana, lugu, polos, bicara apa adanya, wong ndeso namun terpelajar, dan telah membuktikan dirinya mampu memimpin Kota Solo dan Jakarta mampu menyegarkan kembali gairah hidup rakyat Indonesia ini seolah-olah bangsa ini diberi "figur malaikat" mendampingi dan memimpinnya ke arah kehidupan yang lebih baik lagi. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya pembentukan relawan yang tidak kenal status sosial lagi, relawan yang berragam, yang benar-benar mau berpartisipasi untuk kebaikan dan terobosan pembaharuan di negara tercinta ini, Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke seperti Barisan Relawan Jokowi for Presiden (BARA JP), Laskar Jokowi, Jokowi Mania (Jo-Man), Kawan, dan seterusnya.


Kedua membuka revolusi pengharapan dengan sosok terbaik putra bangsa

Eric Fromm dalam bukunya THE REVOLUTION OF HOPE :Toward A Humanized Technology menjabarkan dimensi harapan yang paradoksal namun lintas batas, tidak terkurung dalam waktu dan ruang tetapi dipacarkan dari psikologis manusia tatkala ketabahan dan iman yang rasional untuk memilih antara "kebaikan yang pasti datang" dan "mimpi kedatangan kebaikan". Di dalam kedirian dan kepribadian manusia terdapat keinginan terhadap "sesuatu" untuk memenuhi hakekat kehidupannya. Menurut Fromm harapan adalah unsur instrinsik struktur kehidupan, sebuah dinamika dalam spirit manusia. Harapan seiring bersifat psikis dalam kehidupan dan pertumbuhan, dicontohkan melalui pertanyaan berikut; apakah berbeda dengan anak yang lahir? Ia mungkin tidak memiliki kesadaran, namun kegiatannya mengungkapkan harapannya untuk dilahirkan dan untuk bernapas secara mandiri. Apakah tidak berharap untuk menyusu pada ibunya? Apakah bayi tidak berharap untuk berdiri tegak dan berjalan?
Apakah si sakit tidak berharap untuk sembuh, napi jadi bebas, yang lapar berharap makan? Apakah kita tidak berharap untuk bangun ketika kita tertidur? Apakah cinta membuat seseorang tidak menyiratkan harapan dalam potensi, dalam kapasitasnya untuk membangkitkan pasangannya? Fromm menyebutkan tentang "messianic hope" (harapan mesianis), dan "fraction hope (harapan fraksi). Harapan mesianis bisa lahir dari perubahan jaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, atau kehadiran sosok yang dianggap benar-benar berbeda dari yang biasanya seperti Jokowi. Harapan fraksi terjadi ketika manusia diperhadapkan dengan gejala-gejala kebuntuan lapangan kerja, kebuntuan perkembangan ekonomi, kebuntuan rasa keadilan dan kebenaran, dan seterusnya yang memberi distorsi bahkan destruktif terhadap kehidupannya. Jadi singkat kata tatkala manusia diperhadapkan dengan "harapan palsu" dan "harapan konkret" maka timbul harapan baru untuk memilih di antara kedua pilihan tersebut. Akhirnya terjadilah revolusi harapan untuk membuka peluang dan ruang mencapai hakekat kemanusiaannya yang sudah sempat terbengkalai. Uniknya revolusi harapan dari rakyat Indonesia ini disuguhi pula dengan kehadiran pemikiran "revolusi mental" sebagai "harapan mesianis" tersebut yang diberikan oleh sosok putra terbaik negeri ini yang diekspresikan dengan tampilan wajahnya yang kekampungan tapi pemikirannya jelas tidak kampungan.


Ketiga titik kulminasi kejenuhan rakyat yang kehilangan teladan dan kepercayaan terhadap ketidakhadiran negara

Ketika manusia sedang dahaga maka saat awal minum dari gelas pertama itulah yang sungguh nikmat dan mampu menghilangkan rasa dahaganya. Namun apabila manusia itu terus berulang minum tentu akan sampai kepada titik kejenuhan bahkan mual akibat kepenuhan air. Walau pun kebutuhan mausia sangat bervariasi, banyak prototipenya namun pada akhirnya akan tiba pada tingkat kejenuhan. Misalnya kebutuhan komunikasi, mulai dari berbicara langsung, dan korespondensi, namun kini sudah tambah dengan adanya elektronik mail dan sms sehingga telegram pun sudah dianggap sebagai budaya tertinggal. Bahkan ketika awalnya manusia cuma dapat berteman dari tetangganya, dari teman sekolahnya, dari rekan kerjanya; kini bisa bertambah sahabat dari dunia maya melalui fesbuk, twitter, dan seterusnya hanya lewat pendekatan teknologi semata. Dalam konteks kebangsaan kita saat ini sangat terang hilangnya keteladanan dari kepemimpinan nasional. Mulai dari program penghematan ternyata para pemimpinnya sendiri tidak mampu menunjukkan cara-cara hidup berhemat, bahkan terkesan glamor dan penuh kemewahan seperti batalnya rencana untuk membangun gedung DPR RI yang baru, yang dilengkapi dengan ruangan istirahat bahkan SPA. Hal ini diperparah dengan ketidakhadiran negara di saat rakyat menghadapi konflik di dalam kehidupan bermasyarakatnya seperti kasus di Mesuji, kasus di tanah Papua, bahkan di saat rakyat menghadapi bencana seperti erupsi Sinabung sangat terkesan negara terlambat kehadirannya sehingga makin mempersulit kehidupan rakyat saja. Tiadanya teladan, tiadanya kehadiran negara, maraknya korupsi, diskriminasi penegakkan hukum, semuanya menghilangkan rasa kepercayaan rakyat sehingga sampai kepada titik kulminasi kejenuhan yang akut. Kebuntuan ini menjadi terbuka lagi dengan kehadiran sosok Jokowi, yang mampu memberi "angin segar" kepada rakyat untuk meniti kembali masa depan dan hakekat kemanusiaannya. Semoga di masa kepemimpinan nasional Presiden Jokowi dapat memenuhi janjinya untuk membangun dan membawa rakyat menuju kehidupan yang lebih baik dengan penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, membuka lapangan kerja baru, serta meningkatkan pendapatan rakyat Indonesia.
Kamis, 28 Agustus 2014

LANGKAH TAK POPULER TAPI SUDAH POPULER


LANGKAH TAK POPULER TAPI SUDAH POPULER

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi



Akhirnya Presiden RI terpilih Jokowi bicara kepada media massa bahwa dalam pertemuannya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin tanggal 27 Agustus 2014 di Bali juga membicarakan persoalan bangsa dan negara yang sangat genting, yakni masalah harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Presiden terpilih Jokowi meminta kepada Presiden Yudhoyono agar menaikkan harga BBM sehingga tidak menjadi beban negara melalui subsidi BBM dan meringankan beban pertama nanti di pemerintahannya. Namun Presiden Yudhoyono menolaknya. Mungkin persoalan tersebut dianggap sudah merupakan keputusan strategis yang menjadi wilayah kerja pertama Presiden terpilih Jokowi atau mungkin saja merupakan salah satu test case terhadap kompetensi dan kapabilitas Presiden terpilih Jokowi untuk mengatasi persoalan tersebut. Tentu saja apabila persoalan ini nantinya menjadi agenda pertama dan terutama dari Presiden terpilih Jokowi maka sudah pasti akan menghadapi resistensi dari kalangan mahasiswa dan kaum buruh, yang paling merasakan efeknya. Jadi BBM dinaikkan akan menimbulkan demonstrasi dari berbagai kalangan yang merasakan akibat langsung kenaikan tersebut dan jika tidak dinaikkan tentu saja menguntungkan bagi para mafia minyak, yang ujung-ujungnya pemerintah harus mengimpor BBM kembali.


Akan tetapi yang menjadi sorotan kali ini adalah justru pernyataan Presiden terpilih Jokowi bahwa beliau siap mengambil langkah tidak populer di tengah popularitasnya yang sedang melejit dan melambung sangat tinggi sebagai Pemimpin yang mampu menggerakkan rakyat serta memberikan teladan kepada rakyatnya dengan kesederhanaannya seperti ucapan-ucapannya yang juga sederhana. Walau langkah tersebut dianggap banyak kalangan sebagai langkah dilematis atau tidak populer, namun reaksi dan respon rakyat Indonesia sebagian besar cenderung menyetujuinya. Mungkin pengambilan keputusan untuk menaikkan harga BBM sudah perlu dilakukan dengan polling atau paling tidak dengan referendum rakyat, sebab menyangkut hajat hidup orang banyak sesuai amanah UUD 1945. Sudah tepat apabila subsidi BBM yang selama ini dirasakan oleh kalangan menengah ke atas bisa dialihkan dengan pengadaan bibit dan pupuk kepada rakyat, perbaikan infrastruktur di daerah-daerah, dan pengadaan waduk yang dapat menyentuh rakyat pada umumnya namun perlu pengecualian di dalam implementasinya.Misalnya harga BBM untuk pengguna kendaraan roda dua lebih murah daripada untuk pengguna roda empat atau lebih, sebab logikanya penghasilan para pengguna kendaraan roda empat atau lebih jauh melampaui para pengguna roda dua. Apabila para pengguna roda empat beralih untuk menggunakan kendaraan roda dua, setidaknya sudah mengurangi kemacetan arus lalu lintas di jalan raya. Di Singapura, harga BBM RON 92 sebesar Rp 8.754 per liter. RON 92 ini diijinkan untuk digunakan pada kendaraan bermotor Euro 2. Di Malaysia, harga BBM RON 95 atau setara Pertamax Plus senilai RM 2,1 atau setara dengan Rp 7.000 per liter.  Solusi lain bisa saja diterapkan subsidi BBM dengan substitusi pendanaannya dari uang yang dirampok para koruptor.


Solusi bagi pemerintah baru Jokowi nantinya menurut David Sumual Kepala Ekonom Bank Central Asia adalah  hanya punya satu cara cepat untuk membuat ruang fiskal, yaitu memangkas subsidi bahan bakar minyak. Jika Jokowi tidak menaikkan harga BBM maka solusinya adalah dengan dua cara yakni:  “Efisiensi anggaran dan optimalisasi pendapatan". Artinya bisa saja Jokowi melakukan pemangkasan anggaran terhadap kebutuhan yang bersifat tidak wajib dan tidak memiliki landasan hukum seperti anggaran pendidikan dan kesehatan yang sudah ditentukan perundang-undangan. Akan tetapi sangat perlu ditelisik lebih lanjut mengapa bisa terjadi penurunan target pajak pada anggaran APBN tahun 2014. Bayangkan sumber pemasukan dari setoran pajak kian seret. APBNP 2014 menetapkan setoran perpajakan sekitar Rp 1.246,1 triliun, malah turun dari target APBN 2014 yang mematok Rp 1.280,3 triliun. Program pemerintah mengenai penghematan energi juga sudah layak untuk dilanjutkan namun perlu konsistensi. Jangan cuma rakyat disuruh berhemat energi namun pemerintah sendiri dalam prakteknya tidak menjalankan program penghematan tersebut. Apa pun langkah yang diambil oleh Presiden terpilih Jokowi nantinya pada awal tahun 2015 walau pun disebut sebagai langkah tidak populer namun justru bisa semakin mempopulerkan citranya asalkan tetap dibangun konsistensi kinerja pemerintahan yang baik berwibawa dan komunikasi yang efektif kepada rakyat agar dapat dimengerti dengan saksama.Tampaknya ini lebih menyangkut masalah memberlakukan trust rakyat untuk kepentingan rakyat itu sendiri, bukan dengan cara karikatif melalui BLT atau BLSM.

Rabu, 27 Agustus 2014

MENYOAL REVOLUSI MENTAL DI INDONESIA ?

MENYOAL REVOLUSI MENTAL DI INDONESIA ?

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi



PENGANTAR

Ada hal menarik pasca pilpres di tahun 2014 ini di mana Presiden Republik Indonesia (RI) terpilih yang nanti tanggal 20 Oktober 2014 akan dilantik sebagai Presiden RI ke 7, untuk menggantikan Presiden Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono, sangat gencar menggemakan suatu istilah yang disebutnya "REVOLUSI MENTAL". Apa maksud dari istilah tersebut? Lalu bagaimana kita mau memahami bahkan mempersiapkan diri kita menghadapi dan mewarnai "REVOLUSI MENTAL" yang dimaksudnya? Tulisan ini akan mengupas secara mendalam mulai dari pemahaman tentang REVOLUSI MENTAL baik dari aspek etimologis, maupun aspek sosio-antropologis, bahkan mungkin perlu sedikit refleksi teologis terhadap soal "REVOLUSI MENTAL" tersebut. Mungkin rakyat berada antara suka dan tidak suka begitu mendengar kata "REVOLUSI", sebagai pernah terjadi REVOLUSI FISIK pada masa Kemerdekaan yang selalu disuarakan Soekarno atau pernah mendengar tentang REVOLUSI PERANCIS yang sempat membuat chaos selama beberapa tahun negara tersebut. Agar kita dapat memahami secara baik tentu kita harus memulainya dari pemahaman istilah tersebut.


Di dalam makna leksikon kata "revolusi" berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki 3 arti, yakni :1 perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yg dilakukan dng kekerasan (spt dng perlawanan bersenjata); 2 perubahan yg cukup mendasar dl suatu bidang: dialah pelopor -- dl bidang arsitektur bangunan bertingkat; 3 peredaran bumi dan planet-planet lain dl mengelilingi matahari; (akses 27-08-2014, http://kbbi.web.id/revolusi ). Tampaknya pengertian "revolusi" yang afdol dan pas di dalam pembahasan tulisan ini adalah yang dijelaskan pada pengertian kedua, yakni "perubahan yg cukup mendasar dl suatu bidang: dialah pelopor". Singkatnya perubahan sangat cepat yang mendasar serta hakiki sekali. Sedangkan makna "mental" secara leksikon tersebut adalah [v] (1) terpelanting; terpental; (2) terlempar kembali; berbalik arah; [Sd a] ada gunanya, ada pengaruhnya (tt obat, nasihat, dsb); (1) a bersangkutan dng batin dan watak manusia, yg bukan bersifat badan atau tenaga: bukan hanya pembangunan fisik yg diperhatikan, melainkan juga pembangunan --; (2) n batin dan watak (akses 27-08-2014, http://kamusbahasaindonesia.org/mental/mirip). Yang dimaksud di sini dengan kata mental adalah "(1) a bersangkutan dng batin dan watak manusia, yg bukan bersifat badan atau tenaga: bukan hanya pembangunan fisik yg diperhatikan, melainkan juga pembangunan --; (2) n batin dan watak". Singkatnya mental adalah keadaan bukan fisik melainkan kebatinan atau kejiwaan dan perangai manusia.


Di dalam teori dasar sosiologi yang dikenal sebagai format "social change" adalah perubahan reformasi, perubahan transformasi, perubahan evolusi, dan terakhir revolusi. Perubahan reformasi hanya perbaikan dan penataan kembali agar lebih sempurna dan lebih lengkap namun wujudnya tetap. Perubahan transformasi juga tidak mengubah bentuk namun lebih memperkuat, memberdayakan, dan menyesuaikan dengan kecenderungan perubahan masyarakat dan budaya tersebut. Kalau perubahan evolusi dan revolusi keduanya mengubah bentuk sehingga tidak berwujud seperti semula. Charles Darwin dalam teorinya menyebutkan bahwa manusia pada awalnya merupakan bentuk evolusi yang berkelanjutan dari sebangsa kera, seperti pithecanthropus erectus, pithecanthropus robustus, pithecanthropus mojokertensis, dst. Perubahan evolusi selalu bertahap dan pelan-pelan tapi pasti mengubah wujud aslinya. Berbeda dengan evolusi, perubahan revolusi mengandalkan pada akselerasi atau kecepatan. Contoh pas tentang ini apabila kita menonton film-film horor aliens atau predator yang dibintangi aktor laga Arnold Schwarzenegger.Contoh konkret dapat kita perhatikan pada binatang trenggiling saat terancam akan mengubah dirinya menjadi seperti "bola" atau sebatang kayu yang dibakar akan mengubah wujud kayu tersebut menjadi arang. Mungkin teori fisikawan matematis Stephen Hawking yang menggemparkan dunia dengan teori ledakan dasyatnya (the Big Bang Theory) bahwa setiap ledakan eksplosif sangat dasyat dipastikan akan melahirkan bintang-bintang, sebab hanya faktor ledakan yang bisa meluluhlantakkan massa tunggal dengan suhu sangat tinggi di jagat raya, dapat mengekspresikan tentang revolusi yang dimaksud.


PERSOALAN LEKSIKON "MENTAL" ATAU "MENTALITAS"

Apakah yang dimaksud Presiden Joko Widodo itu benar "REVOLUSI MENTAL" atau "REVOLUSI MENTALITAS" ? Pengertian mentalitas adalah [n] keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan: faktor -- merupakan faktor penentu dl pembangunan (ibid, http://kamusbahasaindonesia.org/mental/mirip), yang rasanya jauh lebih tepat apabila menjadi fokus target pembangunan karakter (character building). Mengubah batin dan jiwa manusia sungguh lebih sulit daripada mengubah pola pemikirannya, mengubah pola sikapnya. Mungkin Indonesia di bawah pimpinan Presiden Jokowi banyak membutuhkan "purgatori" untuk membakar jiwa dan batin manusia agar dapat dimurnikan atau disucikan kembali sebagaimana banyak ajaran agama yang menjalankan praktek puritanisme atau ajaran sufisme. Pemahaman ini sangat penting agar tidak disalahartikan apa yang dimaksud dengan peristilahan "REVOLUSI MENTAL" tersebut, yang seolah-olah kedengaran biasa saja, namun saat kita mendalaminya ternyata sungguh tidak rasional dan tidak realistis menurut pemikiran manusia sehat. Tentang substansi ini perlu sekali urun rembug agar terjadi persamaan persepsi tentang istilah "REVOLUSI MENTAL" tersebut.


Namun boleh jadi secara filosofi merujuk pada pengertian yang dimaksud oleh filsuf tenar Friedrich Nietzsche, yang memberikan aksioma sangat penting bahwa di dalam kedirian manusia itu terdapat "mental budak", yang hampir sama konotasinya dengan "mental tempe" menurut khalayak orang Indonesia pada umumnya. Lawan daripada mental budak ini tidak lain adalah mental baja. Pengertian tersebut akan membingungkan makna yang dimaksud sehubungan dengan maksud yang lain, yang diungkap dengan kalimat "mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan" sesuai visi misi Presiden Jokowi. Menurut riset Prof. A.S. Munandar menunjukkan betapa sangat beragamnya mental manusia Indonesia, maka dapat kita simpulkan bahwa bagian dari sistem mental kita ini sangat beragam sesuai dengan keanekaragaman budaya yang dimiliki bengsa ini. Nilai budaya tidak lagi berbeda hanya karena faktor tempat asal, tapi juga profesi, religi, dan teknologi, misalnya. Karena keberagamannya maka pengindetifikasian sikap mental dari bangsa Indonesia yang tidak melalui penelitian empiris dan hanya untuk memenuhi satubagian dari tujuan (pembangunan). Setelah revolusi, mentalitas bangsa Indonesia bersumber pada kehidupan ketidakpastian, tanpa pedoman dan orientasi yang tegas shg terjadi kemerosotan ekonomi dan kemunduran dalam berbagai sektor kehidupan sosial budaya. Selanjutnya dapat dibaca tulisan lain saya yang mengupas tentang mentalitas terkait dengan pembangunan dan kebudayaan di situs: http://www.pisomel.blogspot.com/2014/05/kebudayaan-mentalitas-pembangunan.html


ADA APA MANUSIA INDONESIA ?

Budayawan Achdiat Karta Mihardja dengan rajin telah mengumpulkan perdebatan sengit dari generasi sastrawan masa Pujangga Baru, antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dengan Armyjn Pane menjadi sebuah buku berjudul "POLEMIK KEBUDAYAAN". Polemik Kebudayaan terjadi di antara tokoh sastrawan raksasa tersebut selama kurang lebih 3 tahun, antara Agustus 1935-Juni 1939. Perdebatan tersebut dilandasi oleh latar belakang dan mindset kedua tokoh raksasa tersebut yang bertolak belakang satu sama lain; STA bersandar pada pemikiran ala Barat, sedangkan Armyjn Pane kukuh mempertahankan pemikiran ala Timur. Polemik Kebudayaan tersebut dapat dikatakan sebagai peletakan dasar terhadap kebudayaan nasional Indonesia ini. Apabila Polemik Kebudayaan tersebut mendapat perhatian saksama, mungkin saja akan sangat membantu dan melengkapi pengertian yang dimaksud untuk mewujudkan ungkapan "masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan" (akses 27-8-2014, http://www.jokowi.id/berita/inilah-visi-misi-jokowi-kalla/ ). Ketidakkonsistenan dan ketidaktegasan konfrontatif dari hasil polemik kebudayaan tersebut tentu melahirkan serangkaian karakteristik manusia indonesia menurut Mochtar Lubis yang sulit terbantahkan, yakni bahwa manusia Indonesia itu munafik (hipokrisi), segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, artistik, tidak hemat boros serta senang berpakaian bagus dan berpesta. Karakteristik Lubis tersebut apabila dicermati lebih lanjut memang berangkat dari akar kebudayaan ketimuran, yang jarang berterus terang, dan terlalu banyak berbasa basi dengan bahasa bombastis. Jika bertolak dari pemikiran Barat yang mengandalkan rasionalitas dan sangat respek terhadap aspek kemanusiaannya, tentu akan bicara "to the point", bertanggung jawab, tidak mudah percaya takhayul karena mengandalkan rasio, dan berpikir realistis dalam artian jika dia cuma bergaji Rp 10 juta untuk apa memakai Toyota Alphard yang ongkos perawatannya saja sudah menghabisi keuangannya. Hanya satu ciri dari karakter manusia Indonesia yang juga dimiliki manusia Barat, yakni "artistik". Simak saja bagaimana perkembangan tattoo, tindik, bahkan sampai body painting cukup marak dilakukan oleh manusia Indonesia, baik di desa maupun di kota. Yang lucu nilai artistik tersebut melalu dihubung-hubungkan dengan hal-hal yang tidak logis, misalnya tindik pada daun telinga cowok dikatakan sebagai penanda "jantan", padahal arti "jantan" itu sendiri mengacu pada perilaku kebinatangan.


Maraknya kasus-kasus pidata mulai dari pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, penjualan narkoba, bahkan sampai kepada tindak terorisme dan korupsi amat jelas tidak lagi mengekspresikan sistem nilai kemanusiaan Indonesia sebagaimana dituangkan pada sila kedua Pancasila "kemanusiaan yang adil dan beradab". Tampaknya kemanusiaan Indonesia tersebut tercabut dari akar kebudayaannya, tercabut dari akar spiritualitasnya, bahkan tak memahami lagi arti kata "kemanusiaan" itu sendiri. Parahnya lagi sebagian besar para politisi dan para pejabat negara tidak mampu memberikan keteladanan terbaik tentang manusia Indonesia yang sesungguhnya, sehingga tidak ada lagi code of conduct tentang manusia Indonesia yang dulu dikenal sebagai ramah, baik, suka menolong, dan jujur. Hal ini diperparah tatkala terjadi era reformasi yang kebablasan di mana serangkaian penataran P4 yang di bawah naungan BP7 dihilangkan dari muka bumi Indonesia, sehingga sia-siakan saja memberi pemahaman tentang sila kedua tanpa pedoman dari hasil kajian-kajian akademis tentang sistem nilai dan sistem norma masyarakat Indonesia. Pendidikan pun agaknya tidak mengakomodir substansi ini sehingga patokan dan batasan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi absurd, suram dan buram. Itu pun apabila ada etika dan kontrol masyarakat mungkin dapat membantu untuk menghayati nilai-nilai kemanusiaan Indonesia, namun jika tidak maka tentu saja semakin marak terjadi deviasi sosial, distorsi, dan diferensiasi di dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia.
Selasa, 26 Agustus 2014

POLITIK BLUSUKAN MODEL INDONESIA

POLITIK BLUSUKAN MODEL INDONESIA

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi



Ketika mencari etimologis kata "blusukan" ternyata sulit di dapat di dalam perbendaharaan kamus baik yang manual maupun yang online di internet. Namun pelacakan dan jelajah khasanah pemikiran masih berlanjut, dan belum berakhir. Akhirnya dapat juga pengertian, etimologis, dan asal kata "blusukan". Adalah Kamus Bahasa Jawa berjudul Bausastra Jawa yang ditulis oleh Widodo cs yang diterbitkan oleh Kanisius Yogyakarta pada tahun 2011 menyebutkan kata "blusuk".Kata "blusuk" dari dialek Jawa "mblusuk" berarti "memasuki" atau "mendatangi", hampir sama dengan kata lain seperti "blesek". Adanya sufiks "an" pada kata "blusuk" bisa berarti "memasuki ke" atau "mendatangi ke". Kata "blusak-blusuk" memiliki makna "memasuki ke mana-mana". Jadi tidaklah benar dan tidak tepat apabila ada orang yang menyebutkan atau mengaitkan kata "blusuk" dengan kata Indonesia asli "busuk", dengan mengatakan adanya infiks "l" di tengah huruf "b" dan huruf "u". Pendapat terakhir adalah pandangan orang yang sudah mentok, sudah buntu di dalam menjelajahi pengertian atau etimologis kata "blusukan". Kata teknis "blusukan" ini sengaja saya padankan dengan kata depan "politik" serta kata-kata "model Indonesia" untuk memperlihatkan bahwa sistem blusukan yang digunakan oleh politisi Jokowi merupakan refleksi revitalisasi produk dalam negeri, yang lahiriah, yang gamblang dimengerti oleh rakyat pedesaan dan perkotaan.


"Blusukan" yang gencar didengungkan politisi Jokowi sudah membumi, mendarat di hati rakyat Indonesia. Tidak hanya orang Jawa yang memahami kata tersebut, namun orang diluar Jawa pun mau tidak mau, suka dan tidak suka, menjadi asyik dan perlu memahami makna kata "blusukan". Politik blusukan khas Indonesia ini boleh jadi bisa mengekspresikan model politik demokrasi di negara Indonesia, yang tidak perlu repot-repot dan capek-capek harus mengadopsi perkosakataan asing.Namun paradigma pemikiran "blusukan" ini sangat menarik dan masih perlu pengkajian lebih mendalam, sehubungan dengan pengadministrasian negara atau mungkin dapat dihubungkan dengan sistem menejemen modern. Akan tetapi ditilik dari etimologis tersebut bahwa kata "blusukan" hanya memiliki makna tunggal, "memasuki" maka agak sulit untuk menariknya ke bidang kajian yang lebih luas. Yang pasti kata "blusukan" sudah memperkaya wawasan demokrasi Indonesia, menambah perkosakataan Indonesia, bahkan mewarnai kancah perpolitikan dalam negeri Indonesia selama Pilpres berlangsung pada tahun 2014. Meminjam istilah Fritjof Capra "turning point" ( titik balik ) terhadap resonansi sains, kemasyarakatan, dan perkembangan kebudayaan maka proses Pilpres Indonesia di tahun 2014 ini dapat diartikulasikan sebagai titik balik peradaban politik demokrasi Indonesia, yang dimaknai dengan kehadiran politik "blusukan". Mengapa disebut "titik balik" politik demokrasi Indonesia ?


Menjawab pertanyaan tersebut maka mari kita memasuki panorama sepanjang Pilpres Indonesia tahun 2014 berlangsung. Tatkala pemilu legislatif rakyat masih bicara tentang money politics dengan istilah "wani piro", sehingga membuat para politisi harus rela menggelontorkan "serangan fajar" untuk merebut hati para pemilih agar dapat memenangi kontestan Pileg tersebut, untuk duduk sebagai anggota DPRD atau DPD atau DPR RI. Namun hal berbeda terjadi pada ajang Pilpres di mana rakyat Indonesia tidak lagi bicara "money politics" melainkan merelakan dirinya untuk ikut serta secara proaktif menjadi relawan dalam rangka menggalang suara para pemilih agar dapat memenangkan pasangan Capres Jokowi dan Cawapres Jusuf Kalla. Animo spirit yang sedemikian dasyat diberikan rakyat Indonesia disebabkan oleh efek politik "blusukan", suatu politik pencitraan yang real politik disuguhkan oleh politisi Jokowi, yang membuat rakyat ingin tahu dan penasaran ada apa dengan politik "blusukan". Di dalam teori politik mutakhir, model demikian dapat disebut sebagai model politik persuasi personalitas, dalam artinya mendekatkan diri di tengah rakyat; mendengar dan berbicara langsung kepada rakyat untuk mendapatkan "reward politik". Reward politik tersebut menjadi visi misi bahkan diimplementasikan menjadi sederet program yang diunggulkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Kontribusi rakyat melalui partisipasinya yang luar biasa bahkan rela memberikan tabungannya untuk ditransfer ke rekening kontestan Jokowi-Jusuf Kalla telah membuktikan bahwa politik "blusukan" sungguh-sungguh merasuki dan memenuhi benak rakyat Indonesia sehingga mereka bersikap untuk memutuskan bahwa sosok Jokowi yang layak dan diharapkan mampu memimpin negara kesatuan republik Indonesia ini ke arah yang lebih baik. Selain politik "blusukan" yang benar-benar "booming" tersebut, artikulasi isu politik lain sungguh-sungguh mengisi dan melengkapi politik "blusukan" tersebut, seperti "revolusi mental", "poros maritim dunia", "kebudayaan yang berkepribadian" seolah-olah terintegrasi dengan langsung menjadi sebuah "pengharapan baru" rakyat Indonesia setelah 10 tahun negara Indonesia ini dipimpin oleh Susilo Bambang Yudoyono. Kerinduan rakyat terhadap citra yang natural, yang alami, yang polos, seakan-akan terjawab dengan adanya politik "blusukan" yang dibawakan oleh sosok dengan perawakan ndeso pula Joko Widodo. Rakyat pun tersihir dan terkesima dengan politik "blusukan" politisi Jokowi. Semoga rakyat sungguh-sungguh mendapat jawaban mengatasi kebutuhan yang membludak di abad globalisasi ini dengan kemenangan Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke 7, menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Akhirnya civil society dapat mengungguli cengkraman kuat dominan militeristik.

BABAK BARU DEMOKRASI ALA INDONESIA

BABAK BARU DEMOKRASI ALA INDONESIA

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi


Pesta demokrasi Indonesia dengan penyelenggaraan Pilpres tahun 2014 ini baru saja berakhir, setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Capres Prabowo Subianto untuk seluruhnya, sehingga keputusan hukum terhadap kisruh politis tersebut menguatkan keputusan KPU yang menyatakan bahwa Ir.H.Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia terpilih bersama pasangannya Drs.Muh.Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih, yang pada bulan Oktober 2014 ini akan dilantik Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR) RI. Namun tulisan ini tidak membahas proses panjang Pilpres tersebut, melainkan mencermati ada subtansi lain dari proses perdebatan di antara kedua pasangan Capres-Cawapres tersebut yang menarik terkait dengan apa yang saya sebut sebagai konsep babak baru demokrasi ala Indonesia.


Dalam beberapa kesempatan kampanye Jokowi sering mengatakan bahwa demokrasi itu lebih menceriakan dan menyenangkan, bahkan dalam elaborasinya ketika pada ajang debat capres dikemukakannya bahwa demokrasi itu mendengar suara rakyat dengan cara "blusukan" lalu merespon aspirasi tersebut. Pandangan paradigma tersebut benar-benar memberikan makna dan warna baru di dalam konteks perkembangan demokrasi di negeri Indonesia ini. Memang sosiolog terkemuka dunia Anthony Giddens sudah mensinyalir bahwa perkembangan demokrasi yang alternatif dilahirkan di dunia timur. Indonesia sudah melahirkan suatu pandangan paradigma demokrasi yang dimaksud, dengan cara dan bahasa yang sangat wajar di negeri Indonesia ini. Artinya Jokowi sudah memberikan pemaknaan baru terhadap konteks demokrasi di Indonesia, dengan bahasa yang sangat mudah dan gamblang dimengerti rakyat Indonesia; sama halnya tatkala Presiden Abraham Lincoln menegaskan bahwa demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tidak perlu penjelasan ilmiah akademistis terhadap pemahaman demokrasi baru ala Indonesia ini, namun sangat bisa dipahami bahwa intinya demokrasi adalah "mendengar" serta "melakukan" dari apa yang didengarnya tersebut. Misalnya rakat petani menyatakan "pupuk sulit dan mahal" maka tugas dan tanggung jawab pemerintahlah bagaimana caranya agar pupuk tidak menjadi sulit dengan harga yang murah atau terjangkau para petani.


Selama ini para politisi Indonesia selalu menyuguhi pemikiran demokrasi dari luar atau Barat, misalnya dengan mengatakan bahwa di dalam politik "tidak ada teman sejati, namun yang ada hanyalah kepentingan sejati" merupakan adopsi pemikiran dari luar Indonesia, bukan ala Indonesia; sama halnya paradigma "suara rakyat adalah suara Tuhan" (vox populi vox Dei). Pandangan paradigma yang dikemukan Jokowi sungguh memberi warna baru ke dalam tatanan demokratisasi di negara Indonesia, bukan dengan memakai pengadopsian istilah asing, namun menerangkan pemahaman demokrasi menurut kaca mata orang Indonesia. Hal ini sangat penting bagi perkembangan demokrasi Indonesia yang benar-benar berangkat dari pemahaman asli warga negara Indonesia sebagaimana Lincoln memahami makna demokrasi di Amerika Serikat. Memang sangat sedikit politisi Indonesia yang sungguh-sungguh mau dan rela "mendengar" langsung dari rakyat dengan cara mendatangi langsung lingkungan rakyatnya. Apabila mau mendengar apa kebutuhan petani, sangatlah aneh dan tidak logis bila politisi mendengarnya dari akademisi atau dari seorang pelaku ekonomi. Mungkin saja tidak salah namun tentu sudah terjadi reduksi dan distorsi paradigmanya, tidak lagi menurut versinya orang yang bertani. Dengan demikian secara artikulatif dapat ditarik paradigma pemikiran demokrasi ala Indonesia ini menjadi 3 tahapan, yakni pertama tahap mendatangi rakyat itu sendiri, kedua tahap mendengarkan permasalahan hidup dari rakyatnya, ketiga dirumuskan menjadi formulasi konsep implementatif yang tentu saja harus dieksekusi langsung, bukan hanya sebagai bahan kajian semata tanpa ada solusi apa pun yang bisa menyentuh dan menjawab aspirasi rakyat tersebut.

POLITIK KOTOR, DAN PIKIRAN KOTOR

POLITIK KOTOR, DAN PIKIRAN KOTOR

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi




Acapkali orang banyak berpendapat bahwa politik itu kotor. Mungkin karena dicermati banyak para politisi memakai segala cara sekali pun tidak halal bahkan melakukan tindak korupsi, yang merugikan rakyatnya sendiri. Bagaimana mungkin kebijakan untuk rakyat yang diputuskan oleh para politisi dengan sistem politiknya dapat dikatakan "kotor" ? Rasanya sungguh sulit untuk memahaminya jika mencermati pengertian politik secara meluas bahwa setiap keputusan apa pun yang diambil dan disikapi manusia boleh dikatakan sebagai ranah politik. Politik tidak cuma saat rakyat menjalani pemilihan umum legislatif dan atau pemilihan umum presiden tapi segala hal yang menyangkut kebutuhannya manusia itu sendiri, yang diputuskannya dapat disebut sebagai keputusan politik. Ketika Bejo memutuskan untuk bersahabat dengan Jojo maka itu keputusan politik Bejo. Begitu juga tatkala Bejo sedang dilanda rasa lapar hebat setelah berada di daerah pegunungan, melihat ada buah segar di hadapannya. Lalu Bejo memutuskan untuk segera mengambil buah segar tersebut agar rasa laparnya hilang. Keputusan yang diambilnya itu dapat disebut keputusan politik. Lantas di mana permasalahan yang menyebabkan politik disebut kotor?


Ketika orang mulai berpikir bahwa situasi yang dihadapinya justru mengancam nyawanya atau katakanlah membahayakan dirinya sehingga dia memutuskan untuk mengambil solusi untuk menghilangkan rintangan tersebut, maka di saat itu sudah timbul niat untuk menghilangkan atau menggunakan segala cara agar rintangan tersebut menjadi hilang. Dalam kasus Pilpres di NKRI tahun 2014 ini dapat dijadikan contoh untuk memaparkan hal tersebut secara gamblang. Banyak serangan kampanye hitam ditujukan kepada Ir.H.Joko Widodo, mulai dari orangtuanya Kristen, Presiden Boneka, PKI, orang sinting, dan seterusnya yang semuanya mengarahkan serangan untuk "menghancurkan" (politik destruktif) terhadap politik pencitraan Jokowi. Mantan Presiden Soeharto mengkarantina semua lawan politiknya dengan memakai bahasa-bahasa ampuh, misal dengan memakai tidak Pancasilais, tidak bersih diri dan tidak bersih lingkungan, sampai kepada bahasa yang bermaksud represif dengan menegaskan sudah mengganggu stabilitas nasional padahal tidak pernah ada pemaparan yang rasional serta realistis apa yang dimaksud dengan "stabilitas nasional": apakah itu kepentingan nasional atau semata-mata "security approach"?

Politik apa pun itu akan menjadi kotor tatkala pikiran pelaku politik memakai segala cara termasuk juga membatasi hak-hak asasi kemanusiaannya bahkan melenyapkannya dari muka bumi dengan cara kekerasan. FPI sering memakai cara kekerasan dengan berdalih karena panggilan agama untuk melakukan sweeping, bahkan penyerangan dengan kekerasan kepada pihak mana pun yang dianggapnya telah bertentangan dengan ajaran Islam "amar mah'ruf nahi mungkar" termasuk kejahatan maksiat serta minuman keras. Namun sampai saat ini FPI tidak juga berani masuk untuk menutup lokalisasi Saritem yang berlokasi di kota Bandung. Apakah karena lokalisasi tersebut berdekatan dengan pondok pesantren yang diasuh oleh seorang kiai kondang sehingga ada rasa sungkan atau segan untuk menindak pusat maksiat tersebut? Saya di sini hanya memaparkan ketika di alam pikiran manusia sudah timbul niat jahat untuk melakukan kekerasan atau berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma dan nilai sosial masyarakat maka cara-cara politiknya dapat disebut sebagai politik kotor. Politik kotor lahir dari adanya pikiran kotor di dalam manusia itu sendiri, sesuatu yang dianggapnya tidak baik, jahat, dan tidak pantas yang harus segera ditindak sendiri tanpa menghiraukan adanya norma hukum dan penindak-penindak hukum yang dapat bekerja untuk mengatasinya. Saat pikiran manusia sudah penuh kekotoran maka hasil tindakan apa pun akan bermuara pada politik kotor, yang tidak menguntungkan orang lain dan menimbulkan preseden buruk di dalam tatanan sosial. Paradigma ini pun memperkuat paradigma lain yang menyebutkan "homo homini lupus", kehadiran manusia lain mengancam dirinya, seolah-olah memberikan justifikasi tentang aksioma kebenaran politik kotor.