Selasa, 26 Agustus 2014

POLITIK BLUSUKAN MODEL INDONESIA

POLITIK BLUSUKAN MODEL INDONESIA

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi



Ketika mencari etimologis kata "blusukan" ternyata sulit di dapat di dalam perbendaharaan kamus baik yang manual maupun yang online di internet. Namun pelacakan dan jelajah khasanah pemikiran masih berlanjut, dan belum berakhir. Akhirnya dapat juga pengertian, etimologis, dan asal kata "blusukan". Adalah Kamus Bahasa Jawa berjudul Bausastra Jawa yang ditulis oleh Widodo cs yang diterbitkan oleh Kanisius Yogyakarta pada tahun 2011 menyebutkan kata "blusuk".Kata "blusuk" dari dialek Jawa "mblusuk" berarti "memasuki" atau "mendatangi", hampir sama dengan kata lain seperti "blesek". Adanya sufiks "an" pada kata "blusuk" bisa berarti "memasuki ke" atau "mendatangi ke". Kata "blusak-blusuk" memiliki makna "memasuki ke mana-mana". Jadi tidaklah benar dan tidak tepat apabila ada orang yang menyebutkan atau mengaitkan kata "blusuk" dengan kata Indonesia asli "busuk", dengan mengatakan adanya infiks "l" di tengah huruf "b" dan huruf "u". Pendapat terakhir adalah pandangan orang yang sudah mentok, sudah buntu di dalam menjelajahi pengertian atau etimologis kata "blusukan". Kata teknis "blusukan" ini sengaja saya padankan dengan kata depan "politik" serta kata-kata "model Indonesia" untuk memperlihatkan bahwa sistem blusukan yang digunakan oleh politisi Jokowi merupakan refleksi revitalisasi produk dalam negeri, yang lahiriah, yang gamblang dimengerti oleh rakyat pedesaan dan perkotaan.


"Blusukan" yang gencar didengungkan politisi Jokowi sudah membumi, mendarat di hati rakyat Indonesia. Tidak hanya orang Jawa yang memahami kata tersebut, namun orang diluar Jawa pun mau tidak mau, suka dan tidak suka, menjadi asyik dan perlu memahami makna kata "blusukan". Politik blusukan khas Indonesia ini boleh jadi bisa mengekspresikan model politik demokrasi di negara Indonesia, yang tidak perlu repot-repot dan capek-capek harus mengadopsi perkosakataan asing.Namun paradigma pemikiran "blusukan" ini sangat menarik dan masih perlu pengkajian lebih mendalam, sehubungan dengan pengadministrasian negara atau mungkin dapat dihubungkan dengan sistem menejemen modern. Akan tetapi ditilik dari etimologis tersebut bahwa kata "blusukan" hanya memiliki makna tunggal, "memasuki" maka agak sulit untuk menariknya ke bidang kajian yang lebih luas. Yang pasti kata "blusukan" sudah memperkaya wawasan demokrasi Indonesia, menambah perkosakataan Indonesia, bahkan mewarnai kancah perpolitikan dalam negeri Indonesia selama Pilpres berlangsung pada tahun 2014. Meminjam istilah Fritjof Capra "turning point" ( titik balik ) terhadap resonansi sains, kemasyarakatan, dan perkembangan kebudayaan maka proses Pilpres Indonesia di tahun 2014 ini dapat diartikulasikan sebagai titik balik peradaban politik demokrasi Indonesia, yang dimaknai dengan kehadiran politik "blusukan". Mengapa disebut "titik balik" politik demokrasi Indonesia ?


Menjawab pertanyaan tersebut maka mari kita memasuki panorama sepanjang Pilpres Indonesia tahun 2014 berlangsung. Tatkala pemilu legislatif rakyat masih bicara tentang money politics dengan istilah "wani piro", sehingga membuat para politisi harus rela menggelontorkan "serangan fajar" untuk merebut hati para pemilih agar dapat memenangi kontestan Pileg tersebut, untuk duduk sebagai anggota DPRD atau DPD atau DPR RI. Namun hal berbeda terjadi pada ajang Pilpres di mana rakyat Indonesia tidak lagi bicara "money politics" melainkan merelakan dirinya untuk ikut serta secara proaktif menjadi relawan dalam rangka menggalang suara para pemilih agar dapat memenangkan pasangan Capres Jokowi dan Cawapres Jusuf Kalla. Animo spirit yang sedemikian dasyat diberikan rakyat Indonesia disebabkan oleh efek politik "blusukan", suatu politik pencitraan yang real politik disuguhkan oleh politisi Jokowi, yang membuat rakyat ingin tahu dan penasaran ada apa dengan politik "blusukan". Di dalam teori politik mutakhir, model demikian dapat disebut sebagai model politik persuasi personalitas, dalam artinya mendekatkan diri di tengah rakyat; mendengar dan berbicara langsung kepada rakyat untuk mendapatkan "reward politik". Reward politik tersebut menjadi visi misi bahkan diimplementasikan menjadi sederet program yang diunggulkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Kontribusi rakyat melalui partisipasinya yang luar biasa bahkan rela memberikan tabungannya untuk ditransfer ke rekening kontestan Jokowi-Jusuf Kalla telah membuktikan bahwa politik "blusukan" sungguh-sungguh merasuki dan memenuhi benak rakyat Indonesia sehingga mereka bersikap untuk memutuskan bahwa sosok Jokowi yang layak dan diharapkan mampu memimpin negara kesatuan republik Indonesia ini ke arah yang lebih baik. Selain politik "blusukan" yang benar-benar "booming" tersebut, artikulasi isu politik lain sungguh-sungguh mengisi dan melengkapi politik "blusukan" tersebut, seperti "revolusi mental", "poros maritim dunia", "kebudayaan yang berkepribadian" seolah-olah terintegrasi dengan langsung menjadi sebuah "pengharapan baru" rakyat Indonesia setelah 10 tahun negara Indonesia ini dipimpin oleh Susilo Bambang Yudoyono. Kerinduan rakyat terhadap citra yang natural, yang alami, yang polos, seakan-akan terjawab dengan adanya politik "blusukan" yang dibawakan oleh sosok dengan perawakan ndeso pula Joko Widodo. Rakyat pun tersihir dan terkesima dengan politik "blusukan" politisi Jokowi. Semoga rakyat sungguh-sungguh mendapat jawaban mengatasi kebutuhan yang membludak di abad globalisasi ini dengan kemenangan Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke 7, menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Akhirnya civil society dapat mengungguli cengkraman kuat dominan militeristik.

1 komentar:

  1. Wah lae satu ini sudah mulai nulis lagi nih... Semangat!! He.he...

    BalasHapus