Minggu, 31 Agustus 2014

REVOLUSI HARAPAN DAN REVOLUSI MENTAL

REVOLUSI HARAPAN DAN REVOLUSI MENTAL

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi




Pascapilpres Indonesia yang penuh pesona, penuh semangat, dan sangat semarak dengan rentetan trik politik dan rumor politik yang bagi masyarakat awam sangat sulit dibedakan kebenaran dan kebohongannya. Mungkin sebagian benar, sebagian bohong, sebagian lagi cuma pepesan kosong saja. Namun yang pasti Presiden Republik Indonesia terpilih adalah Ir.Haji Joko Widodo, kesatria sederhana dan polos namun tegas dari daerah Kota Solo. Ada beberapa catatan penting perlu kita beberkan di sini sehubungan dengan konsep pemikiran revolusi mental dan kemenangan Presiden Indonesia terpilih Jokowi :


Pertama terbangunnya koalisi rakyat dengan politisi

Di dalam sejarah perpolitikan Indonesia baru kali ini dapat dikatakan bahwa rakyat berperan sangat besar untuk menggalang dan mempengaruhi suara para pemilih dengan membawa nama "relawan". Biasanya rakyat baru mau bergerak dan terdorong hatinya apabila karena faktor kemanusiaan seperti bencana tsunami yang pernah melanda propinsi Aceh atau bencana gunung meletus, dan seterusnya. Tapi ini terjadi hanya karena urusan Pilpres? Ada beberapa sebab mengapa rakyat merelakan dirinya tanpa bayaran (no money politics) untuk turut berpartisipasi dan mengambil peran aktif selama musim kampanye sampai selesai. Pertama ada kekuatirkan rakyat terhadap kebangkitan rejim Orde Baru di mana kebetulan salah satu capres merupakan menantu dari mantan Presiden Soeharto yang berkuasa 32 tahun lebih secara otoriter dan menekan habis semua lawan politiknya, sekali pun berakhir dengan kekerasan sebagaimana terjadi pada tanggal 27 Juni 1996. Kedua terkait dengan itu juga terbayang bagi rakyat bagaimana akhirnya Indonesia yang dipimpin rejim Soeharto bangkrut dan meninggalkan banyak utang negara. Kebangkrutan tentu saja sama sekali bukan sesuatu yang diharapkan rakyat bahkan sedapatnya perlu dihindari. Kekuatiran atas kebangrutan negara memang turut membayangi kebangkitan rejim Orde Baru tersebut dan itu bukan sesuatu yang baik, bahkan jelas-jelas akan memutarbalikkan arah reformasi di negeri ini yang telah menelan korban jiwa. Anehnya sebagian rakyat malah senang dan menyambut gembira kembalinya dan hidupnya "momok" rejim Orde Baru yang berakhir dengan tragedi berdarah serta kehancuran perekonomian negara Indonesia. Ketiga rakyat sudah muak sekali dengan kepemimpinan "rejim militer" yang telah berkuasa di negeri ini pascareformasi selama 10 tahun, namun tidak banyak terobosan perubahan apa-apa di negara Indonesia ini. Belum lagi malah semakin marak "sinetron korupsi" yang justru banyak dilakukan oleh partai politik penguasa sehingga rakyat pun menjadi cerdas dan cerah, bahwa "rejim militer" memimpin negeri ini ternyata hanya mampu berada di arena status quo; bahkan kasus-kasus hak asasi manusia pun tidak pernah kunjung selesai ditambah maraknya penutupan rumah ibadah yang terkesan kuat "dibiarkan" bahkan mungkin boleh jadi justru "dipelihara" oleh negara. Dalam banyak kasus kemanusiaan negara terkesan membiarkan bahkan tidak berpihak lagi kepada rakyatnya sendiri seperti pengusiran kelompok agama syiah dan ahmadiyyah, padahal mereka belum menanggalkan identitas "kewarganegaraannya" yang mestinya "dijamin" penuh keamanan dan kenyamannya sesuai amanah konstitusi negara Republik Indonesia ini. Ketiga rakyat pada akhirnya menjadi "tidak percaya" terhadap para politisi, mengingat perilaku dan gaya hidupnya yang justru mampu "bergembira" di tengah kesusahan dan kesulitan hidup rakyatnya sendiri. Ketidakpercayaan rakyat terhadap sikap penguasa pada akhirnya bersikap bahwa siapa pun pemimpin militer atau mantan militer sudah pasti tidak akan banyak berbuat lebih, menyangkut keberpihakan, kepada rakyatnya sehingga kehadiran sosok Jokowi bisa sedikit banyak mengembalikan rasa percaya diri rakyat yang hampir raib tersebut. Keempat kehadiran sosok Jokowi yang sangat sederhana, lugu, polos, bicara apa adanya, wong ndeso namun terpelajar, dan telah membuktikan dirinya mampu memimpin Kota Solo dan Jakarta mampu menyegarkan kembali gairah hidup rakyat Indonesia ini seolah-olah bangsa ini diberi "figur malaikat" mendampingi dan memimpinnya ke arah kehidupan yang lebih baik lagi. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya pembentukan relawan yang tidak kenal status sosial lagi, relawan yang berragam, yang benar-benar mau berpartisipasi untuk kebaikan dan terobosan pembaharuan di negara tercinta ini, Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke seperti Barisan Relawan Jokowi for Presiden (BARA JP), Laskar Jokowi, Jokowi Mania (Jo-Man), Kawan, dan seterusnya.


Kedua membuka revolusi pengharapan dengan sosok terbaik putra bangsa

Eric Fromm dalam bukunya THE REVOLUTION OF HOPE :Toward A Humanized Technology menjabarkan dimensi harapan yang paradoksal namun lintas batas, tidak terkurung dalam waktu dan ruang tetapi dipacarkan dari psikologis manusia tatkala ketabahan dan iman yang rasional untuk memilih antara "kebaikan yang pasti datang" dan "mimpi kedatangan kebaikan". Di dalam kedirian dan kepribadian manusia terdapat keinginan terhadap "sesuatu" untuk memenuhi hakekat kehidupannya. Menurut Fromm harapan adalah unsur instrinsik struktur kehidupan, sebuah dinamika dalam spirit manusia. Harapan seiring bersifat psikis dalam kehidupan dan pertumbuhan, dicontohkan melalui pertanyaan berikut; apakah berbeda dengan anak yang lahir? Ia mungkin tidak memiliki kesadaran, namun kegiatannya mengungkapkan harapannya untuk dilahirkan dan untuk bernapas secara mandiri. Apakah tidak berharap untuk menyusu pada ibunya? Apakah bayi tidak berharap untuk berdiri tegak dan berjalan?
Apakah si sakit tidak berharap untuk sembuh, napi jadi bebas, yang lapar berharap makan? Apakah kita tidak berharap untuk bangun ketika kita tertidur? Apakah cinta membuat seseorang tidak menyiratkan harapan dalam potensi, dalam kapasitasnya untuk membangkitkan pasangannya? Fromm menyebutkan tentang "messianic hope" (harapan mesianis), dan "fraction hope (harapan fraksi). Harapan mesianis bisa lahir dari perubahan jaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, atau kehadiran sosok yang dianggap benar-benar berbeda dari yang biasanya seperti Jokowi. Harapan fraksi terjadi ketika manusia diperhadapkan dengan gejala-gejala kebuntuan lapangan kerja, kebuntuan perkembangan ekonomi, kebuntuan rasa keadilan dan kebenaran, dan seterusnya yang memberi distorsi bahkan destruktif terhadap kehidupannya. Jadi singkat kata tatkala manusia diperhadapkan dengan "harapan palsu" dan "harapan konkret" maka timbul harapan baru untuk memilih di antara kedua pilihan tersebut. Akhirnya terjadilah revolusi harapan untuk membuka peluang dan ruang mencapai hakekat kemanusiaannya yang sudah sempat terbengkalai. Uniknya revolusi harapan dari rakyat Indonesia ini disuguhi pula dengan kehadiran pemikiran "revolusi mental" sebagai "harapan mesianis" tersebut yang diberikan oleh sosok putra terbaik negeri ini yang diekspresikan dengan tampilan wajahnya yang kekampungan tapi pemikirannya jelas tidak kampungan.


Ketiga titik kulminasi kejenuhan rakyat yang kehilangan teladan dan kepercayaan terhadap ketidakhadiran negara

Ketika manusia sedang dahaga maka saat awal minum dari gelas pertama itulah yang sungguh nikmat dan mampu menghilangkan rasa dahaganya. Namun apabila manusia itu terus berulang minum tentu akan sampai kepada titik kejenuhan bahkan mual akibat kepenuhan air. Walau pun kebutuhan mausia sangat bervariasi, banyak prototipenya namun pada akhirnya akan tiba pada tingkat kejenuhan. Misalnya kebutuhan komunikasi, mulai dari berbicara langsung, dan korespondensi, namun kini sudah tambah dengan adanya elektronik mail dan sms sehingga telegram pun sudah dianggap sebagai budaya tertinggal. Bahkan ketika awalnya manusia cuma dapat berteman dari tetangganya, dari teman sekolahnya, dari rekan kerjanya; kini bisa bertambah sahabat dari dunia maya melalui fesbuk, twitter, dan seterusnya hanya lewat pendekatan teknologi semata. Dalam konteks kebangsaan kita saat ini sangat terang hilangnya keteladanan dari kepemimpinan nasional. Mulai dari program penghematan ternyata para pemimpinnya sendiri tidak mampu menunjukkan cara-cara hidup berhemat, bahkan terkesan glamor dan penuh kemewahan seperti batalnya rencana untuk membangun gedung DPR RI yang baru, yang dilengkapi dengan ruangan istirahat bahkan SPA. Hal ini diperparah dengan ketidakhadiran negara di saat rakyat menghadapi konflik di dalam kehidupan bermasyarakatnya seperti kasus di Mesuji, kasus di tanah Papua, bahkan di saat rakyat menghadapi bencana seperti erupsi Sinabung sangat terkesan negara terlambat kehadirannya sehingga makin mempersulit kehidupan rakyat saja. Tiadanya teladan, tiadanya kehadiran negara, maraknya korupsi, diskriminasi penegakkan hukum, semuanya menghilangkan rasa kepercayaan rakyat sehingga sampai kepada titik kulminasi kejenuhan yang akut. Kebuntuan ini menjadi terbuka lagi dengan kehadiran sosok Jokowi, yang mampu memberi "angin segar" kepada rakyat untuk meniti kembali masa depan dan hakekat kemanusiaannya. Semoga di masa kepemimpinan nasional Presiden Jokowi dapat memenuhi janjinya untuk membangun dan membawa rakyat menuju kehidupan yang lebih baik dengan penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, membuka lapangan kerja baru, serta meningkatkan pendapatan rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar