Senin, 01 September 2014

POLITIK MINYAK VERSUS POLITIK LINGKUNGAN

POLITIK MINYAK VERSUS POLITIK LINGKUNGAN

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi



Belakangan ini marak sekali diskursus mengenai minyak, dengan isu sentral pada dorongan untuk menaikkan harga BBM agar teratasi defisit anggaran akibat subsidi yang membengkak. Ada anggapan atau asumsi bahwa kenaikan harga minyak merupakan satu-satunya solusi yang terbaik untuk menutupi defisit tersebut tanpa memikirkan solusi-solusi lainnya misal mengapa konsumsi minyak begitu besar di negara Indonesia? Apakah negara Indonesia tidak memiliki sumber energi lain untuk menggantikan sumber energi minyak? Apakah alam negara Indonesia tidak berlimpah ruah sehingga sama sekali tidak memiliki manfaat apa-apa untuk bisa dimanfaatkan di dalam menopang sendi-sendi kehidupan ini? Katakanlah oke minyak naik, lalu apakah disamaratakan harga minyak yang digunakan perseorangan dengan pihak perusahaan seperti PLN atau perusahaan lainnya yang juga memakai sumber energi minyak? Problematik ini sungguh mencengangkan dus mencemaskan bahkan mengherankan padahal begitu banyak sumber energi alam yang bisa digunakan untuk menggantikan pemanfaatan minyak bumi. Tampaknya inovatif dan inventif menjadi mandeg sehingga anggapan pilihan untuk menaikkan harga minyak menjadi satu-satunya opsi yang terbaik.


Tulisan ini tidak mau terjebak di dalam wacana keharusan untuk menaikkan harga minyak atau pun tidak harus naik, namun lebih mencermatinya sebagai paradigma politik minyak melawan politik lingkungan (Politics of the Environment). Pemikir dari Cambridge Neil Carter, dalam tulisannya Politics of the Environment : Ideas, Activism, Policy tahun 2007 membuat tesis paradigma berganda bahwa politik lingkungan berbeda dalam setidaknya dua cara: pertama, "ia memiliki perhatian utama dengan hubungan antara masyarakat manusia dan alam" dan kedua, "seperti kebanyakan isu tunggal lainnya, ia datang penuh dengan ideologinya sendiri dan gerakan politik". Berdasarkan tesis tersebut setiap kebijakan yang dimaksud di dalam politik lingkungan haruslah memerhatikan dan mencermati hubungan faktor manusia dengan alam sekitarnya, demikian juga paradigma terkait yang menyebabkan politik lingkungan hadir dengan keunikan ideologisasinya. Lain halnya dengan Frank Fisher di dalam tulisan "Citizens, Experts, and the Environment: The Politics of Local Knowledge" tahun 2000 menjelaskan bahwa politik lingkungan khususnya adalah sarang bagi warga negara yang aktif menantang pengenaan teori ahli yang mengabaikan bentuk pengetahuan lokal yang dapat membantu untuk berhubungan fakta teknis untuk nilai-nilai sosial. Ada kelalaian hubungan manusia dengan alam sekitarnya sehingga ikut juga tergerus pengetahuan lokal yang sebenarnya memperlengkapi paradigma politik lingkungan. Minyak bumi, gas bumi, batu bara, plutonium, uranium merupakan sumber kekayaan alam, yang jelas berhubungan erat dengan kebijakan politik lingkungan; tidak hanya untung besar dalam bidang ekonomi namun "mewariskan" kesusahan dan kepahitan bagi generasi berikutnya.


Penguasa politik di negara mana pun itu akan selalu cenderung dan condong berpijak pada tesis profesor kondang Amerika Serikat Samuel Huntington. Huntington dalam bukunya yang cukup menggemparkan dunia akademisi dan perpolitikan dunia “the clash of civilization” memang membuat suatu paradigma yang menyatakan bahwa minyak merupakan sumber kekayaan alam dunia yang sangat dibutuhkan bagi negara-negara di belahan dunia ini, sehingga barangsiapa yang mampu menguasai stok minyak dunia maka mereka dapat dipastikan sebagai penguasa dunia. Penguasa dunia harus mampu mengontrol dunia termasuk mengontrol harga minyak dunia. Dengan paradigma ini politik minyak dipandang semata-mata sebagai alat kekuatan hegemoni perekonomian, karena diperoleh keuntungan sangat besar namun sering mengabaikan pentingnya politik lingkungan yang mensinergikan hubungan ekosistem antara manusia dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Karena itu kebijakan politik minyak sebaiknya juga mempertimbangkan urgensi kepentingan politik lingkungan, tidak semata-mata dorongan untuk mendongrak perekonomian nasional negaranya demi menyelamatkan politik anggaran dan politik pencitraan. Khusus di negara Indonesia ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan penting bagi penguasa politik negeri Indonesia raya ini. Pertama selalu ada opsi lain, tidak pernah cuma opsi tunggal. Bila dikatakan cuma itu opsi tunggal maka hal itu dapat dikategorikan sebagai pendidikan politik pembodohan kepada rakyat Indonesia sebab kekayaan alam negeri ini sangat berragam dan sumber energi pun banyak pilihan; tinggal political will pemerintahan. Kedua sekali pun akhirnya harga minyak harus naik maka sangat perlu perhitungan kenaikannya, tidak asal naik saja dan main pukul rata saja antara wong cilik sama wong gedongan yang sama sekali tidak menurut pada kaidah rasionalitas dan realistis. Misalnya kenaikan minyak premium untuk sepeda motor harganya cukup dengan Rp. 7.000 per liter, sedangkan untuk kendaraan roda empat dan roda empat lebih bisa dikenakan harga Rp. 10.000 per liter. Kenapa harus begitu? Sebab pendapatan para pemakai prototipe kendaraan tersebut jelas sangat berbeda. Begitu juga untuk perusahaan misalnya dikenakan harga Rp. 15.000 per liter agar mendorong perusahaan tersebut untuk mengalihkan sumber energinya untuk tidak merugi. Lalu dana subsidi minyak tersebut dapat digunakan untuk pengembangan sumber energi alternatif, juga bisa dimanfaatkan untuk pengadaan waduk yang dapat bermain bagi kalangan petani sekaligus mengamankan pasokan listrk kepada rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar