Senin, 01 September 2014

RAKYAT BERKEPRIBADIAN DALAM KEBUDAYAAN

RAKYAT BERKEPRIBADIAN DALAM KEBUDAYAAN

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi



Salah satu visi misi Presiden Jokowi menyebutkan mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan (http://www.jokowi.id/berita/inilah-visi-misi-jokowi-kalla/). Di sini saya lebih menyukai memakai kata "rakyat" untuk menggantikan kata "masyarakat" sebab masyarakat nanti akan cenderung dipertanyakan lebih lanjut masyarakat mana? Karena dalam masyarakat itu juga terdapat stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang bisa digolong-golongkan lagi, sedang kata rakyat cenderung memiliki makna tunggal saja. Lagi pula Presiden Jokowi terpilih berdasar pilihan rakyat, tidak dikatakan sebagai pilihan masyarakat walau pun konotasinya sinonim. Namun satu hal yang sangat sulit dicerna justru pada kata "berkepribadian", yang biasanya melekat pada makna perseorangan. Orang bisa mengatakan bahwa saya ini berkepribadian. Saya pribadi menulis tulisan ini. Saya pun mempunyai kendaraan pribadi walau belum memiliki rumah pribadi tapi saya bangga sebagai dosen ada rekening pribadi di mana gaji saya ditransfer langsung ke rekening tersebut setiap bulannya. Kepribadian yang di dalam bahasa Psikologi dikenal sebagai "personalitas", bukan privasitas sangat jelas dan terang benderang bicara tentang perseorangan. Ada pribadi skizoprenia, ada paranoid, ada normalitas, dan seterusnya. Ada orang mengatakan pribadinya menarik, pribadinya sangat ramah, pribadinya petualangan, pribadinya sangat menantang adrenalin, dan seterusnya. Tapi rakyat berkepribadian? Apa dan bagaimana maksud dari ungkapan itu bahwa rakyat berkepribadian, bahkan disebut pula "berkepribadian dalam kebudayaan"? Esensi ini sangat menarik untuk direnungkan ulang pemaknaannya sehingga bisa dipahami kata demi kata, kalimat ungkapan yang dimaksud tersebut. Cukup mencengangkan tapi tidak mengherankan apabila dilakukan eksplorasi dan elaborasi lebih lanjut terhadap makna ungkapan tersebut.


Mengacu pada nilai-nilai adiluhung yang hidup ditengah rakyat Indonesia seantero nusantara ini maka setidaknya kita pernah mendengar ucapan orang-orang luar terhadap rakyat Indonesia yang dikenal dan terkenal "ramah". Terkenal pula rakyat Indonesia menilik dari historisitasnya masih hidup karakteristik "gotong royong". Ada juga tatkala kita diperhadapkan pada suatu perkenalan pertama dengan manusia Indonesia lainnya, tentu saja kita harus bersikap "santun" dalam tutur sapa kita. Namun satu kata yang jarang hidup di dalam tatanan pergaulan politik, ekonomi, dan sosial budaya kita, namun sering mengemuka adalah kata "jujur". Demikian juga bila seseorang sudah bekerja jauh dari lingkungan keluarganya maka setidaknya orang tersebut sudah terbiasa untuk hidup "mandiri". Begitulah seterusnya dapat dilanjutkan lebih jauh, namun itulah sederetan dan serangkaian kata per kata yang memakai tanda kutip, sebagai kepribadian. Kepribadian ramah, gotong royong, santun, jujur, mandiri merupakan prinsip yang terpenting dan melekat erat pada seorang manusia Indonesia. Apakah kata-kata tersebut yang mengurai tentang kepribadian mungkin terdapat di dalam kolektivitas yang dinamakan sebagai rakyat Indonesia? Jawabannya adalah sangat mungkin. Serangkaian kata tersebut yang dimaksud sebagai rakyat Indonesia berkepribadian, ditambah dengan nilai-nilai yang termaktub di dalam serangkaian sila di dalam ideologi negara Pancasila. Bila dikatakan manusia Indonesia yang adil dan beradab berarti adalah manusia Indonesia yang sangat peduli dengan sesamanya, manusia Indonesia yang siap sedia bergotong royong meringankan beban sesamanya, manusia Indonesia yang santun dan jujur di dalam keseharian hidupnya. Bukan manusia Indonesia jika dia penindas, bukan manusia Indonesia jika dia tidak bisa jujur, bukan manusia Indonesia jika dia menghalalkan kekerasan demi "nafsu hidupnya" menguasai orang lain, bukan pula manusia Indonesia yang serakah dan loba tanpa memikirkan kepentingan dan kebutuhan hidup sesamanya manusia. Rakyat Indonesia sudah perlu kembali kepada kodrat kepribadian yang berasal dari nilai-nilai luhur yang dikembangkan oleh para leluhur kita sebagai warisan yang agung, yang memberinya suatu entitas dan identitas manusia Indonesia tersebut.


Seiring dengan perkembangan setelah ditutupnya BP7 dan lenyapnya penataran-penataran tentang Pancasila maka manusia Indonesia yang merasa sudah modern tak pernah lagi memperbincangkan tentang nilai-nilai luhur tersebut apalagi membicarakan Pancasila, seolah-olah kepribadian rakyat Indonesia ini sudah berubah dari ramah menjadi "rajin menjamah", dari santun berubah menjadi pendendam dan pemarah yang penuh angkara murka, dari jujur menjadi penipu ulung, dari mandiri berubah menjadi terbelenggu, dari gotong royong berubah menjadi potong oyong, dan seterusnya. Sungguh meringgis dan mencemaskan bila diperhatikan kecenderungan yang dominan buruk tersebut di dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara kita. Dengan keadaan yang buruk tersebut otomatis meruntuhkan semboyan kebudayaan kita, yang semestinya berangkat dari pemahaman budi menjadi manusia Indonesia yang berbudi pekerti. Rasanya reformasi yang telah berjalan di bangsa dan negara kita tersebut sudah merenggut kepribadian yang asasi dan kebudayaan Indonesia sendiri menjadi tidak mengakar pada nilai-nilai dan norma-norma luhur. Konsep revolusi mental dan visi misi Presiden Jokowi sudah saatnya mencermati kecenderungan perubahan yang kurang ajar tersebut agar kembali pada pola-pola ajar dengan penguatan pada sistem nilai, sistem norma, serta re-eksplorasi dan re-elaborasi terhadap Pancasila agar kembali pada tatanan kehidupan rakyat Indonesia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar