Selasa, 30 Desember 2014

REFLEKSI KE TAHUN 2015

REFLEKSI KE TAHUN 2015

Oleh : Melvin M.Simanjuntak



Bercermin dari berbagai peristiwa penting yang terjadi sepanjang tahun 2014 bisa menjadi dasar referensi refleksi kita untuk melangkah dalam memasuki tahun 2015 nanti. Beberapa juga masih menjadi sorotan penting dalam bingkai pelangi Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsip hakiki untuk membangun demokratisasi yang berbudaya di negeri Indonesia ini.


Pertama iklim politik yang dewasa dan kondusif

Sewaktu NKRI melalui KPU RI menggelar pemilihan legislatif tanggal 9 April 2014, yang mungkin diyakini penguasa akan membawa keberuntungan namun justru melorotkan suara para pemilihnya, akan tetapi Presiden SBY waktu itu secara gentlement mengucapkan selamat kepada partai politik pemenang, yang disandang kembali oleh PDI Perjuangan. Pelaksanaan pemilihan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang dilaksanakan lagi-lagi pada tanggal 9 Juli 2014 berjalan kurang lancar hingga terjadi penolakan terhadap hasil pilpres namun akhirnya dapat dieksekusi setelah digugat melalui Mahkamah Konstitusi. Namun pilpres tersebut ternyata berbuntut cukup pelik dan mendalam sehingga melahirkan UU Pilkada Tak Langsung, yang kemudian "dianulir kembali" setelah suara rakyat Indonesia membahana hingga ke seluruh penjuru dunia, yang akhirnya melahirkan Perpu Nomor 1 dan Nomor 2 tahun 2014 untuk mengembalikan supremasi politik pencitraan setelah tercoreng akibat ulahnya sendiri dengan aksi walk out di rapat paripurna DPR RI. Persoalan dasar hukum untuk penyelenggaraan pilkada hingga kini masih cukup membingungkan rakyat.Mungkin karena rakyat bisa dibingungkan sehingga target politik sesaat tercapai. Kini berkembang di tengah masyarakat menjadi 2 opsi: apakah pilkada serentak dilaksanakan tetap pada bulan Juli sehingga bulan Oktober sudah terdapat para bupati dan para walikota yang baru, atau mau disetting di bulan Oktober hingga habis periode para bupati dan walikota sehingga perlu diterbitkan Perpu untuk penunjukan "pelaksana tugas" bupati walikota; untuk memperlemah pengaruh para incumbent memenangi Pilkada di daerahnya masing-masing? Bahkan usul yang lebih gres menyeruak agar Pilkada serentak diadakan pada tahun 2016 dengan alasan mungkin lebih menyehatkan pemerintahan Presiden Jokowi menggunakan politik anggaran yang ruang fiskalnya telah disetting ngepas dus mematangkan KPU RI serta pihak terkait lebih leluasa memakai ruang waktu sehingga calon-calon yang muncul sungguh-sungguh memerhatikan aspirasi rakyat serta terjamin akuntabilitas dan integritasnya, tidak asal-asalan dan serampangan, terutama yang menyangkut legal formal ijasah para calon yang sangat perlu ditelisik lebih akurat fakta kebenarannya demi kemajuan daerah, yang berdampak pada kemajuan bangsa serta negara tercinta Indonesia raya ini.


Kedua realisasi dari Good Governance

Mengingat tahun 2014 pasca pilpres barulah terbentuk pemerintahan yang sah di bawah Presiden Ir.H.Joko Widodo dan Wakil Presiden Drs.H.M.Jusuf Kalla sehingga rakyat pun dapat memaklumi kebijakan yang diambil waktu sangat menyakitkan seperti pembentukan kabinet kerja dan pencabutan subsidi BBM di tengah harga BBM dunia yang turun. Namun pada tahun 2015 nanti tentu cerita tersebut tidak cukup hanya dimaklumi tanpa tindakan yang konkret dan realisasi setidaknya program-program pembangunan jangka pendek tercapai, sesuai dengan janji-janji pada masa kampanye Pilpres. Misalnya sangat penting ketegasan pemerintah di dalam menjaga kerukunan dengan menuntaskan pergolakan keagamaan yang masih kunjung tuntas seperti masalah GKI Yasmin, HKBP Piladelpia, Ahmadiyyah, Syiah; termasuk tindakan tegas yang konkret terhadap ormas yang selalu anarkis pergerakannya yang hingga kini ternyata cuma "dicooling down" tanpa tindakan apa pun, yang sudah jauh merangsek pergolakan pada paradigma kerukunan umat beragama. Ketidaktegasan tindakan dan sikap pemerintah dalam hal itu sama saja dengan mementalkan ide revolusi mental dan menganggapnya hanya implementasi dari "tong kosong nyaring bunyinya". Di sisi lain perlu mendapat perhatian pemerintah untuk mempending niatan menaikkan tarif dasar listriik, mengingat sirkulasi listrik ke masyarakat pun sering kali macet dan terbatuk-batuk, bahkan pelayanannya pun sudah perlu direvolusi total agar tidak mengecewakan rakyat, misalnya pos pengaduan yang jelas, tanggap laporan yang presisi tinggi, efektivitas dan efisiensi kinerja; sebab listrik saat ini sudah menjadi kebutuhan hajat hidup orang banyak sebagaimana pesan kontitusi negara kita pada UUD 1945 pasal 33. Sehubungan dengan ini proses pembangunan waduk harus memerhatikan daerah-daerah yang sangat rentan pemadaman listriik terpadu sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam proses pembangunan. Demikian juga masalah akibat percepatan Kurikulum 2013 sudah perlu dievaluasi secara komprehensif dengan mengundang para pakar pendidikan untuk menyempurnakan lagi sehingga tidak sia-sia anggaran negara yang telah digelontorkan dalam membuat Kurikulum 2013. Pendiddikan sangat menentukan kualitas karakter manusia Indonesia untuk generasi mendatang sehingga sudah perlu kebajikan dan berkesinambungan dengan kurikulum sebelumnya sebab pada dasarnya pendidikan tersebut merupakan proses berkelanjutan dari tingkat dasar hingga pada taraf sarjana; serta sangat menentukan kepribadian bangsa bahkan martabat negara pada masa mendatang. Salah penanganan kurikulum memungkinkan untuk menghancurkan generasi mendatang, yang nantinya akan membentuk generasi keblingeran, ambiguitas akibat kurikulum tak jelas. Di tahun 2015 pertengahan atau akhir sudah perlu evaluasi secara komprehensif terhadap kinerja setiap menteri sebagai wujud pertanggungjawaban moral kepada rakyat untuk memperlihatkan komitmen baik yang sungguh-sungguh pro rakyat. Proses evaluasi yang dilakukan oleh Presiden sebelumnya merupakan ikhtikad yang baik sehingga secara berkala dipublikasikan kepada publik tentang capaian dan harapan, sebagai bukti niat ketulusan dan tekad bulat untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Masih banyak hal-hal pokok lain perlu mendapat perhatian pemerintahan seperti persoalan tapal batas di Pulau Kalimantan, Pulau-pulau terluar di nusantara, perbatasan di papua, dan perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif; juga kehidupan masyarakat di daerah-daerah tersebut terutama penanganan terhadap etnisitas daerah pedalaman.


Ketiga komitmen penegakkan hukum

Gerakan mental yang mulai menggeliat dilakukan Kejaksaan Agung sebaiknya tidak cuma seperti pemanasan sebelum berolah raga, di mana pada tempo berikutnya akan mengendur, melainkan tetap stabil untuk bersama-sama aparat penegak hukum lainnya mengedepankan supremasi hukum sebagai panglima pembangunan di bawah pemerintahan Presiden Republik Indonesia Jokowi. Misalnya bagaimana mereka mampu mengawal seleksi CPNS di daerah-daerah agar benar-benar bersih, tidak terbukti gosip yang berkembang di tengah masyarakat bahwa untuk menjadi PNS harus jelas "wani piro". Di beberapa daerah proses selektif sudah memasuki tahap ujian namun keresahan orang-orang yang mengikuti proses seleksi tersebut sudah terkuak. Nah, di situ kejaksaan negeri di daerah-daerah perlu memperketat pengawasan, pantauan serta pengintaian bahwa proses tersebut tidak dicemari oleh oknum-oknum yang haus untuk memperkaya dirinya sendiri. Pengawasan melekat pada gubernur, bupati dan walikota juga perlu dilakukan agar proses pembangunan daerah dapat berlangsung dengan baik untuk mensejahterakan rakyatnya, bukan pribadinya atau kelompoknya. Hanya kejaksaan dan kepolisian yang memiliki aparat yang mampu menjangkau hingga ke tingkat desa, karena itu optimalisasi kinerja mereka perlu diperhatikan baik sebagai bentuk kesungguhan dalam mewujudkan komitmen penegakkan hukum baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Mungkin ada baiknya KPK memiliki keterwakilan pada tiap propinsi agar kinerja kejaksaan dan kepolisian dapat meningkat tajam, saling menunjukkan kewibawaan dan kerja sama dalam tindak korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar