Rabu, 27 Agustus 2014

MENYOAL REVOLUSI MENTAL DI INDONESIA ?

MENYOAL REVOLUSI MENTAL DI INDONESIA ?

Oleh : Melvin M.Simanjuntak, STh, MSi



PENGANTAR

Ada hal menarik pasca pilpres di tahun 2014 ini di mana Presiden Republik Indonesia (RI) terpilih yang nanti tanggal 20 Oktober 2014 akan dilantik sebagai Presiden RI ke 7, untuk menggantikan Presiden Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono, sangat gencar menggemakan suatu istilah yang disebutnya "REVOLUSI MENTAL". Apa maksud dari istilah tersebut? Lalu bagaimana kita mau memahami bahkan mempersiapkan diri kita menghadapi dan mewarnai "REVOLUSI MENTAL" yang dimaksudnya? Tulisan ini akan mengupas secara mendalam mulai dari pemahaman tentang REVOLUSI MENTAL baik dari aspek etimologis, maupun aspek sosio-antropologis, bahkan mungkin perlu sedikit refleksi teologis terhadap soal "REVOLUSI MENTAL" tersebut. Mungkin rakyat berada antara suka dan tidak suka begitu mendengar kata "REVOLUSI", sebagai pernah terjadi REVOLUSI FISIK pada masa Kemerdekaan yang selalu disuarakan Soekarno atau pernah mendengar tentang REVOLUSI PERANCIS yang sempat membuat chaos selama beberapa tahun negara tersebut. Agar kita dapat memahami secara baik tentu kita harus memulainya dari pemahaman istilah tersebut.


Di dalam makna leksikon kata "revolusi" berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki 3 arti, yakni :1 perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yg dilakukan dng kekerasan (spt dng perlawanan bersenjata); 2 perubahan yg cukup mendasar dl suatu bidang: dialah pelopor -- dl bidang arsitektur bangunan bertingkat; 3 peredaran bumi dan planet-planet lain dl mengelilingi matahari; (akses 27-08-2014, http://kbbi.web.id/revolusi ). Tampaknya pengertian "revolusi" yang afdol dan pas di dalam pembahasan tulisan ini adalah yang dijelaskan pada pengertian kedua, yakni "perubahan yg cukup mendasar dl suatu bidang: dialah pelopor". Singkatnya perubahan sangat cepat yang mendasar serta hakiki sekali. Sedangkan makna "mental" secara leksikon tersebut adalah [v] (1) terpelanting; terpental; (2) terlempar kembali; berbalik arah; [Sd a] ada gunanya, ada pengaruhnya (tt obat, nasihat, dsb); (1) a bersangkutan dng batin dan watak manusia, yg bukan bersifat badan atau tenaga: bukan hanya pembangunan fisik yg diperhatikan, melainkan juga pembangunan --; (2) n batin dan watak (akses 27-08-2014, http://kamusbahasaindonesia.org/mental/mirip). Yang dimaksud di sini dengan kata mental adalah "(1) a bersangkutan dng batin dan watak manusia, yg bukan bersifat badan atau tenaga: bukan hanya pembangunan fisik yg diperhatikan, melainkan juga pembangunan --; (2) n batin dan watak". Singkatnya mental adalah keadaan bukan fisik melainkan kebatinan atau kejiwaan dan perangai manusia.


Di dalam teori dasar sosiologi yang dikenal sebagai format "social change" adalah perubahan reformasi, perubahan transformasi, perubahan evolusi, dan terakhir revolusi. Perubahan reformasi hanya perbaikan dan penataan kembali agar lebih sempurna dan lebih lengkap namun wujudnya tetap. Perubahan transformasi juga tidak mengubah bentuk namun lebih memperkuat, memberdayakan, dan menyesuaikan dengan kecenderungan perubahan masyarakat dan budaya tersebut. Kalau perubahan evolusi dan revolusi keduanya mengubah bentuk sehingga tidak berwujud seperti semula. Charles Darwin dalam teorinya menyebutkan bahwa manusia pada awalnya merupakan bentuk evolusi yang berkelanjutan dari sebangsa kera, seperti pithecanthropus erectus, pithecanthropus robustus, pithecanthropus mojokertensis, dst. Perubahan evolusi selalu bertahap dan pelan-pelan tapi pasti mengubah wujud aslinya. Berbeda dengan evolusi, perubahan revolusi mengandalkan pada akselerasi atau kecepatan. Contoh pas tentang ini apabila kita menonton film-film horor aliens atau predator yang dibintangi aktor laga Arnold Schwarzenegger.Contoh konkret dapat kita perhatikan pada binatang trenggiling saat terancam akan mengubah dirinya menjadi seperti "bola" atau sebatang kayu yang dibakar akan mengubah wujud kayu tersebut menjadi arang. Mungkin teori fisikawan matematis Stephen Hawking yang menggemparkan dunia dengan teori ledakan dasyatnya (the Big Bang Theory) bahwa setiap ledakan eksplosif sangat dasyat dipastikan akan melahirkan bintang-bintang, sebab hanya faktor ledakan yang bisa meluluhlantakkan massa tunggal dengan suhu sangat tinggi di jagat raya, dapat mengekspresikan tentang revolusi yang dimaksud.


PERSOALAN LEKSIKON "MENTAL" ATAU "MENTALITAS"

Apakah yang dimaksud Presiden Joko Widodo itu benar "REVOLUSI MENTAL" atau "REVOLUSI MENTALITAS" ? Pengertian mentalitas adalah [n] keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan: faktor -- merupakan faktor penentu dl pembangunan (ibid, http://kamusbahasaindonesia.org/mental/mirip), yang rasanya jauh lebih tepat apabila menjadi fokus target pembangunan karakter (character building). Mengubah batin dan jiwa manusia sungguh lebih sulit daripada mengubah pola pemikirannya, mengubah pola sikapnya. Mungkin Indonesia di bawah pimpinan Presiden Jokowi banyak membutuhkan "purgatori" untuk membakar jiwa dan batin manusia agar dapat dimurnikan atau disucikan kembali sebagaimana banyak ajaran agama yang menjalankan praktek puritanisme atau ajaran sufisme. Pemahaman ini sangat penting agar tidak disalahartikan apa yang dimaksud dengan peristilahan "REVOLUSI MENTAL" tersebut, yang seolah-olah kedengaran biasa saja, namun saat kita mendalaminya ternyata sungguh tidak rasional dan tidak realistis menurut pemikiran manusia sehat. Tentang substansi ini perlu sekali urun rembug agar terjadi persamaan persepsi tentang istilah "REVOLUSI MENTAL" tersebut.


Namun boleh jadi secara filosofi merujuk pada pengertian yang dimaksud oleh filsuf tenar Friedrich Nietzsche, yang memberikan aksioma sangat penting bahwa di dalam kedirian manusia itu terdapat "mental budak", yang hampir sama konotasinya dengan "mental tempe" menurut khalayak orang Indonesia pada umumnya. Lawan daripada mental budak ini tidak lain adalah mental baja. Pengertian tersebut akan membingungkan makna yang dimaksud sehubungan dengan maksud yang lain, yang diungkap dengan kalimat "mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan" sesuai visi misi Presiden Jokowi. Menurut riset Prof. A.S. Munandar menunjukkan betapa sangat beragamnya mental manusia Indonesia, maka dapat kita simpulkan bahwa bagian dari sistem mental kita ini sangat beragam sesuai dengan keanekaragaman budaya yang dimiliki bengsa ini. Nilai budaya tidak lagi berbeda hanya karena faktor tempat asal, tapi juga profesi, religi, dan teknologi, misalnya. Karena keberagamannya maka pengindetifikasian sikap mental dari bangsa Indonesia yang tidak melalui penelitian empiris dan hanya untuk memenuhi satubagian dari tujuan (pembangunan). Setelah revolusi, mentalitas bangsa Indonesia bersumber pada kehidupan ketidakpastian, tanpa pedoman dan orientasi yang tegas shg terjadi kemerosotan ekonomi dan kemunduran dalam berbagai sektor kehidupan sosial budaya. Selanjutnya dapat dibaca tulisan lain saya yang mengupas tentang mentalitas terkait dengan pembangunan dan kebudayaan di situs: http://www.pisomel.blogspot.com/2014/05/kebudayaan-mentalitas-pembangunan.html


ADA APA MANUSIA INDONESIA ?

Budayawan Achdiat Karta Mihardja dengan rajin telah mengumpulkan perdebatan sengit dari generasi sastrawan masa Pujangga Baru, antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dengan Armyjn Pane menjadi sebuah buku berjudul "POLEMIK KEBUDAYAAN". Polemik Kebudayaan terjadi di antara tokoh sastrawan raksasa tersebut selama kurang lebih 3 tahun, antara Agustus 1935-Juni 1939. Perdebatan tersebut dilandasi oleh latar belakang dan mindset kedua tokoh raksasa tersebut yang bertolak belakang satu sama lain; STA bersandar pada pemikiran ala Barat, sedangkan Armyjn Pane kukuh mempertahankan pemikiran ala Timur. Polemik Kebudayaan tersebut dapat dikatakan sebagai peletakan dasar terhadap kebudayaan nasional Indonesia ini. Apabila Polemik Kebudayaan tersebut mendapat perhatian saksama, mungkin saja akan sangat membantu dan melengkapi pengertian yang dimaksud untuk mewujudkan ungkapan "masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan" (akses 27-8-2014, http://www.jokowi.id/berita/inilah-visi-misi-jokowi-kalla/ ). Ketidakkonsistenan dan ketidaktegasan konfrontatif dari hasil polemik kebudayaan tersebut tentu melahirkan serangkaian karakteristik manusia indonesia menurut Mochtar Lubis yang sulit terbantahkan, yakni bahwa manusia Indonesia itu munafik (hipokrisi), segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, artistik, tidak hemat boros serta senang berpakaian bagus dan berpesta. Karakteristik Lubis tersebut apabila dicermati lebih lanjut memang berangkat dari akar kebudayaan ketimuran, yang jarang berterus terang, dan terlalu banyak berbasa basi dengan bahasa bombastis. Jika bertolak dari pemikiran Barat yang mengandalkan rasionalitas dan sangat respek terhadap aspek kemanusiaannya, tentu akan bicara "to the point", bertanggung jawab, tidak mudah percaya takhayul karena mengandalkan rasio, dan berpikir realistis dalam artian jika dia cuma bergaji Rp 10 juta untuk apa memakai Toyota Alphard yang ongkos perawatannya saja sudah menghabisi keuangannya. Hanya satu ciri dari karakter manusia Indonesia yang juga dimiliki manusia Barat, yakni "artistik". Simak saja bagaimana perkembangan tattoo, tindik, bahkan sampai body painting cukup marak dilakukan oleh manusia Indonesia, baik di desa maupun di kota. Yang lucu nilai artistik tersebut melalu dihubung-hubungkan dengan hal-hal yang tidak logis, misalnya tindik pada daun telinga cowok dikatakan sebagai penanda "jantan", padahal arti "jantan" itu sendiri mengacu pada perilaku kebinatangan.


Maraknya kasus-kasus pidata mulai dari pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, penjualan narkoba, bahkan sampai kepada tindak terorisme dan korupsi amat jelas tidak lagi mengekspresikan sistem nilai kemanusiaan Indonesia sebagaimana dituangkan pada sila kedua Pancasila "kemanusiaan yang adil dan beradab". Tampaknya kemanusiaan Indonesia tersebut tercabut dari akar kebudayaannya, tercabut dari akar spiritualitasnya, bahkan tak memahami lagi arti kata "kemanusiaan" itu sendiri. Parahnya lagi sebagian besar para politisi dan para pejabat negara tidak mampu memberikan keteladanan terbaik tentang manusia Indonesia yang sesungguhnya, sehingga tidak ada lagi code of conduct tentang manusia Indonesia yang dulu dikenal sebagai ramah, baik, suka menolong, dan jujur. Hal ini diperparah tatkala terjadi era reformasi yang kebablasan di mana serangkaian penataran P4 yang di bawah naungan BP7 dihilangkan dari muka bumi Indonesia, sehingga sia-siakan saja memberi pemahaman tentang sila kedua tanpa pedoman dari hasil kajian-kajian akademis tentang sistem nilai dan sistem norma masyarakat Indonesia. Pendidikan pun agaknya tidak mengakomodir substansi ini sehingga patokan dan batasan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi absurd, suram dan buram. Itu pun apabila ada etika dan kontrol masyarakat mungkin dapat membantu untuk menghayati nilai-nilai kemanusiaan Indonesia, namun jika tidak maka tentu saja semakin marak terjadi deviasi sosial, distorsi, dan diferensiasi di dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar