Senin, 28 April 2014

MENUJU KESATUAN ATAU PERSATUAN N.K.R.I ?

MENUJU KESATUAN ATAU PERSATUAN N.K.R.I ?[1]
Oleh : Melvin M. Simanjuntak, STh, MSi[2]
1.       Ephorus HKI Pdt.DR.Langsung Sitorus meminta saya untuk membawakan penyajian makalah mengenai pokok pemikiran  “Pandangan Gereja Tentang Pendirian Rumah Ibadah Ditinjau Dari PBM No.8/9 Tahun 2006” yang sampai dewasa ini kita pergumulkan terlebih bagi gereja-gereja yang berada di tengah masyarakat yang pluralis. Ada beberapa yang perlu kita mengerti tentang kecenderungan perkembangan perubahan di dalam masyarakat dan Negara kita. Pertama ada perubahan dinamis di dalam perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini di mana iklim demokratis setelah reformasi berjalan telah membuat NKRI sangat sulit dimengerti. Pasca-kejatuhan Orde Baru yang selalu mengangkat dan meninggikan Pancasila serta Bhineka Tunggal Ika ternyata membuat masyarakat menjadi “gamang” dan “merasa malu” untuk mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika akibat euphoria reformasi. Akhirnya MPR di masa kepemimpinan Prof.DR.H.Amien Rais cukup berhasil mengamandemen UUD 1945 melalui 4 tahapan. Ketua Umum PGI Pdt.DR.Nathan Setiabudi ketika itu di Jakarta pada tanggal 5 Pebruari 2002 meminta agar PAH I untuk berhati-hati dalam mengamandemen pasal 29 UUD 1945 mengingat mengubah UUD 1945 merupakan suatu pekerjaan yang sangat berat dan membawa implikasi terhadap hal-hal sosial. Akibatnya UUD 1945 Pasal 29 tetap dan tidak mengalami perubahan. Pasal tersebut terdiri atas dua ayat yang menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (ayat 1) dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (ayat 2). Kedua ada masalah sangat prinsipil dari kata “kesatuan” di dalam kalimat “Negara Kesatuan Republik Indonesia” dengan kalimat ketiga dari isi Pancasila yakni “Persatuan Indonesia”. Artinya pada istilah “kesatuan” pihak minoritas mesti mengikuti norma-norma dan ketentuan yang disuarakan pihak “mayoritas”, sedangkan kata “persatuan” mengindikasikan dan mempertegas bahwa setiap kelompok minoritas telah diakui dan diikat di dalam ideology tersebut setelah bersatu di dalam NKRI. Persoalan prinsipil inilah rupanya tidak sinkron dengan pengakuan kredo NKRI tentang kebhinekaan-tunggal-ika, yang mengakui perbedaan di dalam persatuan Negara Republik Indonesia ini. Ketiga kebebasan setelah kungkungan Orde Baru selama kurang lebih 32 tahun membuat beberapa kelompok masyarakat menjadi lebih berani menampilkan “perbedaan” menjadi suatu “permasalahan”, yang dapat mengatas-namakan agama tertentu untuk menekan agama tertentu yang tidak sinkron dengan kredonya, sesuai tafsir keagamaannya sendiri sekali pun terkesan menghalalkan kekerasan demi tujuannya. Karena itu banyak pihak menyebut bahwa reformasi yang berjalan di Negara Republik Indonesia sudah kebablasan, yang justru sedikit banyak berbeda dengan prinsip demokrasi yang sering digemakan pada saat ini.
2.       Dalam suasana soSial politis demikian maka rasanya tidak cukup Departemen Agama sebagai sarana mengakomodasi aspirasi Islam di Negara Republik Indonesia, sehingga timbul pikiran untuk mengambil format model kenegaraan Amerika Serikat (AS) di mana mayoritas Kristen tidak dapat diutak-atik, misalnya calon Presiden AS tidak boleh terlibat kasus kejahatan apa pun termasuk soal perselingkuhan. Kekuatan etika Kristen di AS telah memberi inspirasi bagi saudara-saudara kita untuk “mengimitasi” model Negara AS di Negara Republik Indonesia. Maraknya proses hukum berbau agama seperti “syariat Islam menjadi bukti penguatan akomodasi aspirasi Islam di Negara Republik Indonesia, termasuk apa yang menjadi pokok penting pembicaraan kita di sini yakni “Surat Peraturan Bersama” tentang Pendirian Rumah Ibadah (kita singkat: SPB). Negara hukum Republik Indonesia berdasar UUD 1945 pasal 29 memang jelas TIDAK MELARANG warganya untuk memeluk dan menganut kepercayaannya masing-masing, namun pemerintah berkelit dengan aspek “legalitas” pendirian rumah ibadah, yang secara implisit tidak tertulis di dalam pasal 29 UUD 1945 tersebut. SPB tersebut telah menambahi peranan pemerintah sebagai pihak pengendali atau pengontrol, bukan lagi menjadi fasilitator sebagai eksplisit dinyatakan di dalam Pasal 29 UUD 1945 tersebut. Pemerintah selama ini menilai, bahwa rakyat selalu berkonflik dalam masalah agama, (walaupun intinya adalah seringnya terjadi konflik dalam mendirikan rumah ibadah bagi umat non-Muslim), sehingga pemerintah “perlu” turun tangan untuk mengatur tatacara pendirian rumah ibadah (non-Muslim) tersebut. Juga dalam peraturan dua menteri ini tidak memungkinkan adanya multiinterpretasi, karena apabila timbul permasalahan, maka keputusan terakhir ada pada Gubernur untuk tingkat Provinsi, dan pada Bupati/Walikota di tingkat Kabupaten/kota.
Mungkin ini penjabaran slogan “Bersama Kita Bisa” dalam seluruh kehidupan masyarakat, sehingga menjadi “Bersama Kita Bisa Menyamakan Semua!”. Hal ini mengingatkan kita kajian George Orwel (nama aslinya Eric Arthur Blair) di dalam novel fiksinya berjudul “Nineteen Eighty-Four  pada tahun 1948. Orwell member suatu ekspresi prediktif suatu negara pada tahun 1984, di mana suatu rezim totaliter mengontrol semua perilaku baik perkataan maupun perbuatan setiap warga negaranya. Satu orang pun tidak boleh luput dari pengendalian pengamatan penguasa yang dnamakannya“Big Brother” (ingat satu tayangan di Televisi swasta kita itu). Tapi di dalam novel tersebut Orwell tidak mengatur tata cara berpakaian, tata cara berinternet, termasuk tata cara merokok sebagaimana telah dikendalikan melalui peraturan pemerintah di Negara Republik Indonesia ini.
3.       SPB ini sebenarnya merupakan hasil pengembangan dari SKB (Surat Keputusan Bersama) dari 2 Menteri tahun 1967 lalu direvisi lagi menjadi SKB dua menteri No 1/1969, yang menjadi Peraturan Bersama (Perber) dan dituangkan menjadi SPB pada saat ini. Awalnya hanya disebut butuh 60 umat beragama untuk mendirikan rumah ibadah namun di dalam SKB bertambah jadi 90 orang umat beragama yang satu ditambah lagi sedikitnya 60 dari umat beragama penduduk sekitar di mana rumah ibadah tersebut akan didirikan. Yang menjadi masalahnya buat kita bahwa pembahasan tentang SKB tersebut sudah disetujui dengan kehadiran institusi PGI, KWI, MUI, Walubi, dan PHDI bersama-sama dengan pemerintah yang diwakili oleh pihak Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri. Di dalam pembahasan tersebut dirumuskan 6 bab pokok penting telah bersifat final. Pertama Bab I dalam satu pasal tentang Ketentuan Umum. Kedua Bab II berisi 6 pasal tentang Tugas Kepala Daerah di dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Ketiga Bab III berisi 5 pasal tentang Forum Kerukunan Umat Beragama. Keempat Bab IV berisi 4 pasal tentang pendirian rumah ibadah yang mencakup prinsip pendirian rumah ibadah, syarat pendirian rumah ibadah, forum rekomendasi, dan jangka waktu penetapan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah. Kelima enam bab lainnya mengenai ijin sementara penggunaan bangunan, penyelesaian perselisihan, pengawasan, belanja, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup (berikut terlampir dalam tulisan ini). Dewasa ini SKB berkembang jadi wacana untuk ditingkatkan menjadi Undang-Undang setelah terjadi kesulitan bahkan adanya kekerasan untuk melarang umat beragama di dalam melaksanakan peribadahannya termasuk peristiwa di Ciketing, Bekasi. Diskusi kita saat ini tentu bermanfaat untuk mengembangkan wacana tersebut sehingga mengeliminir kesulitan-kesulitan yang dialami umat beragama di dalam beribadah. Tentu saja kita harus memerhatikan produk hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia ini terkait tentang SKB ini. Pertama UUD 1945 pasal 29 dikaitkan dengan pasal 28 mengenai batasan hak-hak asasi manusia. Kedua TAP MPR Nomor III tahun 2000 tentang tata urutan peraturan perundang-undangan sama sekali tidak menyebutkan adanya peraturan menteri apalagi peraturan bersama dua menteri. Ketiga Undang Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan mengimplementasikan TAP MPR Nomor III tahun 2000 tersebut. Di dalam Bab II Pasal 7 misalnya dinyatakan tentang jenis-jenis hirarki perundang-undangan namun tidak ada menyebutkan perihal SKB atau SPB itu sehingga kita dapat menafsirkan bahwa bIsa saja produk tersebut hanya berlaku bagi institusi pembuatnya, yakni Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama. Keempat Undang Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung. Di dalam undang-undang ini disebut tentang ijin mendirikan bangunan (IMB) beserta proses serta prosedurnya.  Menurut Prof.DR. H.Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi menegaskan,”"Isi atau materi dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri tersebut mendesak untuk ditinjau ulang dan direvisi tanpa menghilangkan esensi dari makna SKB tersebut karena saat ini kondisi di lapangan sudah tidak relevan lagi," katanya di rumah pribadinya, Sambilegi, Maguwoharjo, Depok, Sleman, pada Selasa tanggal 14 September 2010. Menurut Mahfud, SKB dua menteri yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tersebut awalnya memang diperuntukkan menghindari konflik horizontal di tengah masyarakat namun untuk kondisi saat ini SKB tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi di tengah masyarakat karena tingkat mobilitas penduduk yang sangat cepat.


[1] Judul ini mengekspresikan pokok diskusi kita tentang “Pandangan Gereja Tentang Pendirian Rumah Ibadah Ditinjau dari PBM No. 8/9 tahun 2006 di Pelpem GKPS Pusat Pematang Siantar pada Sabtu, 23 Juli 2011.

[2] Pendeta HKBP, yang menamatkan studi STh dari STT Jakarta dan S2 dari Pascasarjana Universitas Padjadjaran bidang studi Sosiologi dan Antropologi tahun 2005, kini melayani sebagai Dosen Tetap bidang studi PPKN di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas HKBP Nommensen di Pematang Siantar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar