Senin, 12 Mei 2014

CICAK DAN BUAYA

CICAK DAN BUAYA
Oleh : Melvin M. Simanjuntak, STh, MSi


PENGANTAR

Tentu masih segar dalam ingatan kita ketika terjadi permainan politik hukum antara pimpinan lembaga penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pimpinan Kepolisian Negara Indonesia. Lantas banyak penggiat hukum mengatakan telah terjadi upaya "kriminalisasi" terhadap 2 orang pimpinan KPK itu, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Menarik bahwa kedua lembaga penegak hukum justru terlibat untuk menunjukkan hegemoni dan dominasi hukum di negara ini, walau pada akhirnya "memaksa" Presiden Republik Indonesia Dr.Susilo Bambang Yudhoyono untuk melerai dan mencarikan solusi terbaik untuk kedua institusi penegak hukum tersebut. Derasnya dukungan rakyat terhadap KPK tidak bisa tidak membuat Presiden untuk mengambil tindakan, tidak bisa lagi membiarkannya berlarut-larut.

Memang pada akhirnya setelah dibentuk tim oleh Presiden untuk mendapatkan kebenaran dan fakta hukum maka solusi deponering, bukan SP3 untuk menghentikan perkara di antara kedua institusi penegak hukum tersebut. Kejaksaan Agung yang dipimpin Basrief Arief sebagai institusi penegak hukum, yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan deponeering terhadap perkara Bibit-Chandra agar tidak sampai perkara tersebut ke pengadilan, namun tetap memiliki landasan hukum.

SIMBOLISASI "CICAK DAN BUAYA"

Terlepas dari perkara hukum tersebut, yang cukup membuat rakyat Indonesia terperanjat adalah justru merebaknya istilah kisah pertarungan "cicak dan buaya". Kedua binatang ini entah kenapa ikut terseret dalam perkara mereka, namun amat jelas bahwa kedua binatang tersebut hendak mengekspresikan simbolisasi kekuatan di antara kedua institusi dimaksud. Memang keduanya merupakan binatang karnivora atau predator di kelasnya masing-masing. Cicak adalah predator untuk binatang serangga yang kecil seperti nyamuk, lalat, atau kupu-kupu yang mungil. Sedangkan buaya terkenal sebagai predator yang buas, yang dianggap sebagai hewan purbakala yang masih tertinggal. Apakah alegoris dan metafora tersebut dimaksud untuk mendeskripsikan kedua institusi penegak hukum di Republik Indonesia ini? Atau mungkin saja, simbol tersebut justru mengekspresikan perilaku aparat penegak hukum yang kadang kala atau acapkali bersikap buas seperti binatang predator saat memangsa korbannya.

Apakah kita masih ingat sebuah lagu tentang "cicak"? Cicak cicak di dinding, diam-diam merayap. Datang seekor nyamuk, haaap lalu ditangkap. Tatkala ada korban untuk dimangsa, maka predator tentu diam-diam datang untuk menerkamnya, baik cicak maupun buaya, kelakuan saat memangsa nyaris sulit dibedakan. Lalu masihkah ingat dalam pikiran kita sebuah dongeng yang mengisahkan pertarungan antara buaya dan kancil, di mana sang kancil berhasil memperdaya buaya hanya dengan kecerdikannya. Kemiripan atau kesamaan atas perilaku kedua binatang tersebut dengan pertarungan kedua institusi penegak hukum kita itu kurang lebih sama kualitasnya, yang tidak memberikan teladan terbaik kepada rakyatnya dalam penegakkan hukum dan memberikan cita rasa keadilan merek rakyat Indonesia, malah dengan prestise dan kebanggaan masing-masing menunjukkan "taring kekuasaan"-nya. Sungguh suatu drama tontonan yang tak bermutu telah diperagakan dengan terampil oleh mereka. Namun dibalik itu semua ternyata drama tersebut telah memberikan suatu pembelajaran terbaik kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar