PELAYAN TUHAN ATAU PEMIMPIN GEREJA ?
Melvin M. Simanjuntak, STh, MSi1
1.
PENGANTAR
Banyak sekali buku menyajikan soal kepemimpinan dan
biasanya terkait dengan piranti organisasi baik dalam skala besar, menengah
maupun skala kecil. Di tingkat kecil dan dasar setiap pelajar telah banyak
belajar dari organisasi yang disebut OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah),
atau di tempat-tempat tinggal kita ada yang disebut organisasi Rukun Tetangga
(RT) atau Rukun Warga (RW), atau himpunan yang akrab di telinga kita, yakni
parsahutaon. Di tingkat atas dapat disebutkan seperti departemen pemerintahan,
negara, perusahaan-perusahaan, organisasi masyarakat, lembaga-lembaga swadaya
masyarakat, dan seterusnya. Organisasi berkembang seturut dengan peningkatan
kebutuhan aktualisasi manusia; bisa berdasarkan selera, bakat dan talenta,
profesi dan lingkup pekerjaan, hobi atau minat hati, perjanjian atau
kesepakatan seperti pasar-pasar tradisional, dan keamanan serta kenyamanan
seperti sekuritas. Intinya tidak mungkin timbul kepemimpinan tanpa adanya
organisasi. Tuhan Yesus saja menjadi pemimpin karena ada banyak muridNya; pertama murid-murid yang 12 orang, kedua murid-murid dari kalangan
perempuan, dan ketiga murid-murid
yang diutusNya berjumlah 70 orang. Terakhir
sekarang Yesus berdiri menjadi Kepala Gereja atau Pemimpin Seluruh Gereja di
dunia dan akherat.
Nah, tentu pembahasan di sini tidak mencakup hal-hal
demikian yang bisa menelan kertas sampai berjilid-jilid melainkan terkait
dengan perspektif pengayaan iman kita. Di dalam Alkitab cukup banyak istilah
yang bermakna kepemimpinan seperti nabi, raja, rasul, hamba, pelayan, gembala,
penilik, penatua, diaken, guru atau pengajar, dan seterusnya. Namun ada baiknya
membatasi diri dengan hanya menerawang pemahaman holistik tentang kepemimpinan
secara umum, dan secara khusus tentang pemimpin yang alkitabiah atau yang
melayani. Tentu kepemimpinan bermuara pada kalkulasi di dalam 2 aspek penting. Pertama bagaimana sebenarnya
kepemimpinan mendapat dominasi sehingga dapat lebih legitimated dan integritas yang benar-benar terukur, serta jelas track recordnya. Kedua bagaimana sebenarnya kepemimpinan dapat memiliki influensi
secara meluas bahkan bisa mendunia? Dari sini kita menarik napas sejenak, bahwa
ternyata perbincangan kita jadi luar biasa dan cukup mengejutkan karena topik
kita merupakan hal yang serius dan menarik.
2.
KEPEMIMPINAN
: DOMINASI DAN INFLUENSI
Menarik bila memperhatikan gerombolan bebek berjalan.
Sang pemimpin selalu berrjalan di depan. Jika ada bahaya atau mendapat rejeki
maka pemimpin lebih dahulu mengetahuinya dan memberitahukan kepada para
anggotanya. Resiko dan tanggung jawab akan menjadi tanggung jawab dari sang
pemimpin. Demikian juga barisan kuda liar, sang pemimpin selalu berada di
urutan terdepan, berada di garda depan, yang menuntun arah perjalanan dan
tujuan yang akan dicapai. Berbeda dengan bebek dan kuda, gerombolan semut tidak
demikian. Justru sang pemimpin berada di suasana nyaman dan enak, berlena-lena,
dan menikmati hari-hari dengan pengamanan yang ketat, yang dijaga pasukan semut
penyengat. Sang pemimpin asyik saja berada di dalam, sembunyi dan tidak berada
di garda depan sehingga bisa nyenyak dan gemuk. Gaya
kepemimpinan fabelitas tersebut tidak jauh berbeda dengan gaya kepemimpinan manusia. Karena itulah muncul
ekspresi kepemimpinan yang disebut Gembala yang menuntun dan memilihara kawanan
kambing, kerbau, sapi, atau domba. Namun sang pemimpin tidak lagi dari binatang
melainkan manusia itu sendiri, dalam arti memiliki ternak. Ekspresi
kepemimpinan Alkitabiah tersebut sebenarnya sangat bercorak ekologis, suatu
korelasi nuansa antara kepemimpinan dunia fabel dan dunia insani. Dengan
demikian kepemimpinan terkait dengan kepemilikan. Paradigma ini sebenarnya
digunakan Tuhan Yesus untuk menggambarkan ladang penatalayanan di dalam
Kerajaan Allah. Contoh kasat mata terdapat di Yohanes pasal 10.
Di dalam 1 Korintus 3:9 jelas dipertegas di sana ,”Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu
adalah ladang Allah, bangunan Allah”, lalu ditutup dengan kalimat,”Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus
adalah milik Allah” (1 Kor.3:23). Kerangka kepemilikan menandaskan kepada
kita bahwa setiap orang Kristen sudah dimeterai dan dinyatakan kepunyaan Tuhan
sehingga tidak boleh dan tongka menolak yang menjadi kehendak atau Firman
Tuhan. Orang Kristen harus mengikuti apa yang difirmankan Tuhan kepadanya.
Dalam pengertian ini sebenarnya posisi orang Kristen terhadap Tuhannya adalah
seperti “bebek”, yang seharusnya dan pantang menolak ajakan pemimpinnya.
Pemahaman ini dipertegas lagi dengan adanya pemakaian istilah “uluan” yang bisa berarti “pemimpin” atau
“kepala”. Jika seorang pemimpin salah mengambil kebijaksanaan maka dia
bertanggung jawab langsung kepada Tuhan Yesus yang mengepalai persekutuan
gereja. Istilah “kawan sekerja Allah” sangat menarik perhatian kita untuk
direnungkan. “Sun-ergos” menurunkan
kata “sinergis”, yang sering dipahami sebagai dasar konsep kemitraan di dalam
kepemimpinan. Dalam dunia modern diartikan “team work” (kerja kelompok) atau bahasa yang rada mirip yakni
“korporasi”. “Kopos” berarti jerih
payah, perjuangan, usaha maksimal, dikaitkan dengan “sun-ergos” dan dihubungkan dengan “oikos” (bangunan). Artinya kemitraan bersama Tuhan harus
berdasarkan pada pola pembedaan dan delegasi kerja di dalam oikos-nomos (penyelenggaraan perekonomian
Tuhan), bangunan rohani Tuhan. Konsep uluan
sebenarnya meniadakan kolektivitas sehingga pangula
ni huria na gok tingki sebagai mandataris tunggal untuk melakukan
penatalayanan di dalam gereja. Asal kata ini diperuntukkan kepada Tuhan Yesus
karena memang Dia adalah Putra Tunggal, Semata Wayang sebagaimana kredo kita.
Dengan kata uluan terjadi kemutlakan
di dalam pengambilan kebijakan, meniadakan kemitraan dan kerja tim sehingga
HKBP sekarang telah kembali ke jaman batu, jaman di mana para Raja Huta dan
Raja Bius sangat berdaulat untuk memerintah. Penguatan kultur Batak seolah-olah
memberi justifikasi terhadap model kepemimpinan aristokrat tersebut.
Pejuang kemerdekaan dan mantan Presiden Amerika
Serikat Thomas Jefferson di dalam suratnya kepada George Washington
mengevaluasi terhadap model aristokrasi. Jefferson
menyatakan, ”Salah satu keistimewaan
khusus dari pergantian berdasarkan pemilihan daripada berdasarkan keturunan
ialah supaya bakat-bakat yang disediakan alam cukup dipilih oleh masyarakat
untuk mengurus persoalan mereka, bukan diteruskan melalui perut para bangsat
dan orang dungu melalui pesta-pesta makan hingga pesta-pesta tempat tidur”2. Model kepemimpinan ini sangat
mengandalkan bakat genetis sebagaimana terjadi pada pemilihan pemimpin gereja
HKBP dalam Sinode Godang Istimewa tanggal 10-11 Juli 1940 di mana terpilih
putra Batak Pdt.Kasianus Sirait mengalahkan Pdt.Hans de Kleine dari Belanda.3 Namun pada tahun 1942 Pdt.K.Sirait
dikalahkan oleh Pdt.Justin Sihombing yang memimpin HKBP dari tahun 1942 hingga
1962 sebagai Ephorus terlama dalam memangku jabatan. Ketika tahun 1940 semangat
yang timbul adalah nasionalisme, mengalahkan imperialisme dan kolonialisme,
sedang pada tahun 1942 sudah bergeser pada dominasi permargaan. Persoalan
inilah tampaknya yang mendorong kekecewaan Silindung hingga menimbulkan skisma
pada tahun 1964. Baru pada tahun 1998 dalam Sinode Godang Rekonsiliasi putra
Silindung Pdt.DR.J.R.Hutauruk bisa memangku jabatan sebagai Ephorus HKBP, yang
sebelumnya cenderung didominasi klan dari Humbang dan Toba. Kini jika anda
ingin menjadi seorang pemimpin dengan tujuan mengubah dunia maka langkah
pertama harus dilakukan adalah mengubah perilaku dan untuk mengubah perilaku
maka anda harus terlebih dahulu mengubah paradigma pemikirannya,”All this is important to know because if you
want to change the world, you eventually have to change how people behave. And
if you want to change how they behave, you have to first change how they think”4. Dalam kerangka ini dapat dipahami
makna metanoia (perubahan pemikiran)
dimaksud di dalam Surat Paulus kepada jemaat Roma,”Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah leh
pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa
yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rom.12:2).
Anekdot kepemimpinan dalam perencanaan invasi Inggris
ke Birma dicatat G.W.E.Russel sungguh mengundang kontemplasi kita. Pemerintah Inggris konon berencana untuk
mengirim suatu tim ekspedisi untuk dapat menaklukkan banga Birma dan merebut kota Rangoon .
Lalu pemerintah memanggil Duke of Wellington yang terkenal bijak. Wellington ditanya
pemerintah,siapa orang yang tepat memimpin tugas berat ekspedisi ini? Dengan
enteng saja Wellington
menjawab,”Kirim saja Lord Combermere”. Semua pejabat pemerintah tersentak kaget
karena Combermere rupanya terkenal sebagai pemimpin yang dungu alias tolol,
sampai-sampai raja pun melotot seolah tidak rasional. Tapi Wellington dengan
tenang langsung berkomentar,”Memang dia dungu bahkan luar biasa dungunya, tapi
dia sanggup merebut Rangoon ”.5 Memang kekurangan daya nalar tidak
berarti mengurangi daya tahan fisik yang bisa melampaui takaran normal. Kisah
hakim Samson dan Hercules misalnya menguak kekuatan fisik manusia yang bisa
mengatasi atau menutupi kelemahan penalaran.
3.
PELAYAN
TUHAN ATAU PEMIMPIN GEREJA ?
Di dalam Injil Matius pasal 23 ayat 10-11 disabdakan
Tuhan Yesus,”Janganlah pula kamu disebut
pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa terbesar di
antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu”. Nas ini adalah bukti bahwa
istilah uluan atau pemimpin di dalam
penatalayanan gereja HKBP sangat tidak akurat dan sungguh sulit dipahami. Sebab
pencitraan pendeta umumnya bertolak dari makna suara panggilan Tuhan Yesus,
datang untuk melayani bukan untuk dilayani. Pencitraan ini kental dengan
karakteristik pendeta yang hingga kini masih dianut oleh jemaat, yakni
sederhana dan rendah hati (low profile),
kesabaran, penuh cinta kasih dan pembawa damai, dan sangat peduli terhadap sesamanya.
Suri teladan tersebut yang diwarisi Kristus kepada para rasulNya dan kepada
pelayanNya. Gaylord Noyce6
setidaknya menampilkan 3 model kepemimpinan gereja yang terbaik. Pertama kepemimpinan kolaboratif yang
mengandalkan kerja sama kelompok sehingga tidak terkesan otoriter atau diktator
yang semaunya saja memutuskan. Kedua
gaya
kepemimpinan nirtunggal atau non-loner
artinya tiadanya batasan usia dan periodik terhadap pelayan sehingga sampai tua
pun masih tetap melayani. Biasanya model ini berawal dari penginjilan pribadi
yang berhasil membangun jemaat dan dia menjadi pendetanya. Karena jasa-jasanya
besar membuat jemaat sungkan untuk memintanya mundur walau usianya sudah menua.
Ketiga model kepemimpinan non
partisan atau kreatif di mana pendeta berada di atas semua kelompok di dalam
jemaat, tidak memihak pada salah satu kekuatan kelompok. Dia berusaha untuk
bisa mengayomi semua, namun belum tentu dapat menjangkau seluruhnya.
Kesulitannya model ini bisa membuat pelayan dilematis ketika ia harus menyuarakan
kebenaran dan keadilan di antara warga jemaat. Jika ada warga jemaat yang
miskin, apakah dia akan bersikap pasrah dan masa bodoh? Manakah model
kepemimpinan yang pas dan sreg di
hati warga jemaat HKBP?
1 Melayani di HKBP Kuta Jaya saat menulis
artikel ini (Kini melayani sebagai dosen PPKn pada FKIP
Universitas HKBP Nommensen, Pematangsiantar.
2 Thomas
Jefferson sebagaimana dikutip Henry A.Washington (ed),”The Writings of Thomas Jefferson”, Washington , hal. 466.
3 Lihat Jan
Sihar Aritonang dalam Gomar Gultom (ed),”Menggapai
Gereja Inklusif: Bunga Rampai Penghargaan Atas Pengabdian Pdt.DR.J.R.Hutauruk”,
Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2004, hal.212
4 Bertolak
dari teori belajar psikolog tenar Albert Bandura tentang peruasan pengaruh
kekuasaan seorang pemimpin, di dalam uku
best seller karya Kerry Patterson, et.al, “Influencer”,
New York :
McGraw-Hill, 2008, hal.20.
5 Sebagamana dikisahkan ulang di dalam John
W.Gardner,“Yang Terbaik: Menuju
Masyarakat Berprestasi“, Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia ,
1994, hal. 88-89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar