Minggu, 04 Mei 2014

PELAYAN TUHAN ATAU PEMIMPIN GEREJA ?

PELAYAN TUHAN ATAU PEMIMPIN GEREJA ?
Melvin M. Simanjuntak, STh, MSi1

1.            PENGANTAR
Banyak sekali buku menyajikan soal kepemimpinan dan biasanya terkait dengan piranti organisasi baik dalam skala besar, menengah maupun skala kecil. Di tingkat kecil dan dasar setiap pelajar telah banyak belajar dari organisasi yang disebut OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), atau di tempat-tempat tinggal kita ada yang disebut organisasi Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW), atau himpunan yang akrab di telinga kita, yakni parsahutaon. Di tingkat atas dapat disebutkan seperti departemen pemerintahan, negara, perusahaan-perusahaan, organisasi masyarakat, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dan seterusnya. Organisasi berkembang seturut dengan peningkatan kebutuhan aktualisasi manusia; bisa berdasarkan selera, bakat dan talenta, profesi dan lingkup pekerjaan, hobi atau minat hati, perjanjian atau kesepakatan seperti pasar-pasar tradisional, dan keamanan serta kenyamanan seperti sekuritas. Intinya tidak mungkin timbul kepemimpinan tanpa adanya organisasi. Tuhan Yesus saja menjadi pemimpin karena ada banyak muridNya; pertama murid-murid yang 12 orang, kedua murid-murid dari kalangan perempuan, dan ketiga murid-murid yang diutusNya berjumlah 70 orang. Terakhir sekarang Yesus berdiri menjadi Kepala Gereja atau Pemimpin Seluruh Gereja di dunia dan akherat.
Nah, tentu pembahasan di sini tidak mencakup hal-hal demikian yang bisa menelan kertas sampai berjilid-jilid melainkan terkait dengan perspektif pengayaan iman kita. Di dalam Alkitab cukup banyak istilah yang bermakna kepemimpinan seperti nabi, raja, rasul, hamba, pelayan, gembala, penilik, penatua, diaken, guru atau pengajar, dan seterusnya. Namun ada baiknya membatasi diri dengan hanya menerawang pemahaman holistik tentang kepemimpinan secara umum, dan secara khusus tentang pemimpin yang alkitabiah atau yang melayani. Tentu kepemimpinan bermuara pada kalkulasi di dalam 2 aspek penting. Pertama bagaimana sebenarnya kepemimpinan mendapat dominasi sehingga dapat lebih legitimated dan integritas yang benar-benar terukur, serta jelas track recordnya. Kedua bagaimana sebenarnya kepemimpinan dapat memiliki influensi secara meluas bahkan bisa mendunia? Dari sini kita menarik napas sejenak, bahwa ternyata perbincangan kita jadi luar biasa dan cukup mengejutkan karena topik kita merupakan hal yang serius dan menarik.


2.            KEPEMIMPINAN : DOMINASI DAN INFLUENSI
Menarik bila memperhatikan gerombolan bebek berjalan. Sang pemimpin selalu berrjalan di depan. Jika ada bahaya atau mendapat rejeki maka pemimpin lebih dahulu mengetahuinya dan memberitahukan kepada para anggotanya. Resiko dan tanggung jawab akan menjadi tanggung jawab dari sang pemimpin. Demikian juga barisan kuda liar, sang pemimpin selalu berada di urutan terdepan, berada di garda depan, yang menuntun arah perjalanan dan tujuan yang akan dicapai. Berbeda dengan bebek dan kuda, gerombolan semut tidak demikian. Justru sang pemimpin berada di suasana nyaman dan enak, berlena-lena, dan menikmati hari-hari dengan pengamanan yang ketat, yang dijaga pasukan semut penyengat. Sang pemimpin asyik saja berada di dalam, sembunyi dan tidak berada di garda depan sehingga bisa nyenyak dan gemuk. Gaya kepemimpinan fabelitas tersebut tidak jauh berbeda dengan gaya kepemimpinan manusia. Karena itulah muncul ekspresi kepemimpinan yang disebut Gembala yang menuntun dan memilihara kawanan kambing, kerbau, sapi, atau domba. Namun sang pemimpin tidak lagi dari binatang melainkan manusia itu sendiri, dalam arti memiliki ternak. Ekspresi kepemimpinan Alkitabiah tersebut sebenarnya sangat bercorak ekologis, suatu korelasi nuansa antara kepemimpinan dunia fabel dan dunia insani. Dengan demikian kepemimpinan terkait dengan kepemilikan. Paradigma ini sebenarnya digunakan Tuhan Yesus untuk menggambarkan ladang penatalayanan di dalam Kerajaan Allah. Contoh kasat mata terdapat di Yohanes pasal 10.
Di dalam 1 Korintus 3:9 jelas dipertegas di sana,”Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah”, lalu ditutup dengan kalimat,”Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah” (1 Kor.3:23). Kerangka kepemilikan menandaskan kepada kita bahwa setiap orang Kristen sudah dimeterai dan dinyatakan kepunyaan Tuhan sehingga tidak boleh dan tongka menolak yang menjadi kehendak atau Firman Tuhan. Orang Kristen harus mengikuti apa yang difirmankan Tuhan kepadanya. Dalam pengertian ini sebenarnya posisi orang Kristen terhadap Tuhannya adalah seperti “bebek”, yang seharusnya dan pantang menolak ajakan pemimpinnya. Pemahaman ini dipertegas lagi dengan adanya pemakaian istilah “uluan” yang bisa berarti “pemimpin” atau “kepala”. Jika seorang pemimpin salah mengambil kebijaksanaan maka dia bertanggung jawab langsung kepada Tuhan Yesus yang mengepalai persekutuan gereja. Istilah “kawan sekerja Allah” sangat menarik perhatian kita untuk direnungkan. “Sun-ergos” menurunkan kata “sinergis”, yang sering dipahami sebagai dasar konsep kemitraan di dalam kepemimpinan. Dalam dunia modern diartikan “team work” (kerja kelompok) atau bahasa yang rada mirip yakni “korporasi”. “Kopos” berarti jerih payah, perjuangan, usaha maksimal, dikaitkan dengan “sun-ergos” dan dihubungkan dengan “oikos” (bangunan). Artinya kemitraan bersama Tuhan harus berdasarkan pada pola pembedaan dan delegasi kerja di dalam oikos-nomos (penyelenggaraan perekonomian Tuhan), bangunan rohani Tuhan. Konsep uluan sebenarnya meniadakan kolektivitas sehingga pangula ni huria na gok tingki sebagai mandataris tunggal untuk melakukan penatalayanan di dalam gereja. Asal kata ini diperuntukkan kepada Tuhan Yesus karena memang Dia adalah Putra Tunggal, Semata Wayang sebagaimana kredo kita. Dengan kata uluan terjadi kemutlakan di dalam pengambilan kebijakan, meniadakan kemitraan dan kerja tim sehingga HKBP sekarang telah kembali ke jaman batu, jaman di mana para Raja Huta dan Raja Bius sangat berdaulat untuk memerintah. Penguatan kultur Batak seolah-olah memberi justifikasi terhadap model kepemimpinan aristokrat tersebut.
Pejuang kemerdekaan dan mantan Presiden Amerika Serikat Thomas Jefferson di dalam suratnya kepada George Washington mengevaluasi terhadap model aristokrasi. Jefferson menyatakan, ”Salah satu keistimewaan khusus dari pergantian berdasarkan pemilihan daripada berdasarkan keturunan ialah supaya bakat-bakat yang disediakan alam cukup dipilih oleh masyarakat untuk mengurus persoalan mereka, bukan diteruskan melalui perut para bangsat dan orang dungu melalui pesta-pesta makan hingga pesta-pesta tempat tidur2. Model kepemimpinan ini sangat mengandalkan bakat genetis sebagaimana terjadi pada pemilihan pemimpin gereja HKBP dalam Sinode Godang Istimewa tanggal 10-11 Juli 1940 di mana terpilih putra Batak Pdt.Kasianus Sirait mengalahkan Pdt.Hans de Kleine dari Belanda.3 Namun pada tahun 1942 Pdt.K.Sirait dikalahkan oleh Pdt.Justin Sihombing yang memimpin HKBP dari tahun 1942 hingga 1962 sebagai Ephorus terlama dalam memangku jabatan. Ketika tahun 1940 semangat yang timbul adalah nasionalisme, mengalahkan imperialisme dan kolonialisme, sedang pada tahun 1942 sudah bergeser pada dominasi permargaan. Persoalan inilah tampaknya yang mendorong kekecewaan Silindung hingga menimbulkan skisma pada tahun 1964. Baru pada tahun 1998 dalam Sinode Godang Rekonsiliasi putra Silindung Pdt.DR.J.R.Hutauruk bisa memangku jabatan sebagai Ephorus HKBP, yang sebelumnya cenderung didominasi klan dari Humbang dan Toba. Kini jika anda ingin menjadi seorang pemimpin dengan tujuan mengubah dunia maka langkah pertama harus dilakukan adalah mengubah perilaku dan untuk mengubah perilaku maka anda harus terlebih dahulu mengubah paradigma pemikirannya,”All this is important to know because if you want to change the world, you eventually have to change how people behave. And if you want to change how they behave, you have to first change how they think4. Dalam kerangka ini dapat dipahami makna metanoia (perubahan pemikiran) dimaksud di dalam Surat Paulus kepada jemaat Roma,”Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah leh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rom.12:2).
Anekdot kepemimpinan dalam perencanaan invasi Inggris ke Birma dicatat G.W.E.Russel sungguh mengundang kontemplasi kita.  Pemerintah Inggris konon berencana untuk mengirim suatu tim ekspedisi untuk dapat menaklukkan banga Birma dan merebut kota Rangoon. Lalu pemerintah memanggil Duke of Wellington yang terkenal bijak. Wellington ditanya pemerintah,siapa orang yang tepat memimpin tugas berat ekspedisi ini? Dengan enteng saja Wellington menjawab,”Kirim saja Lord Combermere”. Semua pejabat pemerintah tersentak kaget karena Combermere rupanya terkenal sebagai pemimpin yang dungu alias tolol, sampai-sampai raja pun melotot seolah tidak rasional. Tapi Wellington dengan tenang langsung berkomentar,”Memang dia dungu bahkan luar biasa dungunya, tapi dia sanggup merebut Rangoon”.5 Memang kekurangan daya nalar tidak berarti mengurangi daya tahan fisik yang bisa melampaui takaran normal. Kisah hakim Samson dan Hercules misalnya menguak kekuatan fisik manusia yang bisa mengatasi atau menutupi kelemahan penalaran.

3.            PELAYAN TUHAN ATAU PEMIMPIN GEREJA ?
Ada perbedaan paradigma pemikiran Martin Luther dan Johannes Calvin. Luther sangat menentang dan tidak menyetujui anya hirarkis gereja sebab kredo imamat am orang percaya memitrakan semua pelayan gereja. Sedangkan Calvin amat memikirkan format struktur gereja dengan disusunnya tata gereja untuk jemaatnya di kota Jenewa. Menurut Calvin di dalam gereja terdapat 4 jabatan gerejawi yang tetap di sepanjang masa, yakni pendeta (sering disebut pastor), pengajar (didaskalos), penatua (prebyteros), dan diaken. Tapi kenyataannya gereja Lutheran justru sangat hirarkis terhadap struktur gereja saat ini. Soal ketiga bagian jabatan terakhir telah saya paparkan di dalam tulisan terdahulu di buletin Narhasem. Warisan Rasul Batak Nommensen telah berhasil di dalam menanamkan format pemikiran struktural kepada penatalayanan di seluruh gereja HKBP. Sebutan pendeta sekalipun sangat muda belia dengan istilah “amang” menandakan pola kematangan, kedewasaan, dan penghargaan tertinggi kepada pelayan Tuhan. Otoritas respek “penuaan” spiritualitas demikian membuat pelayan Tuhan sangat berhati-hati dan belajar menempa dirinya dari jemaat agar bisa berperan sebagai Semar, orang tua yang bijaksana. Di jaman Nommensen disebut Tuan Pandita, sangat serupa dengan sebutan nama-nama nenek moyang orang-orang Batak, misal Tuan Sibagotni Pohan sebagai ayahanda dari Tuan Somanimbil. Saat ini HKBP memiliki 6 pelayan yang tertuang di dalam Aturan dan Peraturan HKBP, yakni pendeta, guru huria, diakones, bibelvrow, sintua, evangelis.
Di dalam Injil Matius pasal 23 ayat 10-11 disabdakan Tuhan Yesus,”Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu”. Nas ini adalah bukti bahwa istilah uluan atau pemimpin di dalam penatalayanan gereja HKBP sangat tidak akurat dan sungguh sulit dipahami. Sebab pencitraan pendeta umumnya bertolak dari makna suara panggilan Tuhan Yesus, datang untuk melayani bukan untuk dilayani. Pencitraan ini kental dengan karakteristik pendeta yang hingga kini masih dianut oleh jemaat, yakni sederhana dan rendah hati (low profile), kesabaran, penuh cinta kasih dan pembawa damai, dan sangat peduli terhadap sesamanya. Suri teladan tersebut yang diwarisi Kristus kepada para rasulNya dan kepada pelayanNya. Gaylord Noyce6 setidaknya menampilkan 3 model kepemimpinan gereja yang terbaik. Pertama kepemimpinan kolaboratif yang mengandalkan kerja sama kelompok sehingga tidak terkesan otoriter atau diktator yang semaunya saja memutuskan. Kedua gaya kepemimpinan nirtunggal atau non-loner artinya tiadanya batasan usia dan periodik terhadap pelayan sehingga sampai tua pun masih tetap melayani. Biasanya model ini berawal dari penginjilan pribadi yang berhasil membangun jemaat dan dia menjadi pendetanya. Karena jasa-jasanya besar membuat jemaat sungkan untuk memintanya mundur walau usianya sudah menua. Ketiga model kepemimpinan non partisan atau kreatif di mana pendeta berada di atas semua kelompok di dalam jemaat, tidak memihak pada salah satu kekuatan kelompok. Dia berusaha untuk bisa mengayomi semua, namun belum tentu dapat menjangkau seluruhnya. Kesulitannya model ini bisa membuat pelayan dilematis ketika ia harus menyuarakan kebenaran dan keadilan di antara warga jemaat. Jika ada warga jemaat yang miskin, apakah dia akan bersikap pasrah dan masa bodoh? Manakah model kepemimpinan yang pas dan sreg di hati warga jemaat HKBP?


1  Melayani di HKBP Kuta Jaya saat menulis artikel ini (Kini melayani sebagai dosen PPKn pada FKIP
    Universitas HKBP Nommensen, Pematangsiantar.
2 Thomas Jefferson sebagaimana dikutip Henry A.Washington (ed),”The Writings of Thomas Jefferson”, Washington, hal. 466.
3 Lihat Jan Sihar Aritonang dalam Gomar Gultom (ed),”Menggapai Gereja Inklusif: Bunga Rampai Penghargaan Atas Pengabdian Pdt.DR.J.R.Hutauruk”, Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2004, hal.212
4 Bertolak dari teori belajar psikolog tenar Albert Bandura tentang peruasan pengaruh kekuasaan seorang pemimpin, di dalam  uku best seller karya Kerry Patterson, et.al, “Influencer”, New York: McGraw-Hill, 2008, hal.20.
5  Sebagamana dikisahkan ulang di dalam John W.Gardner,“Yang Terbaik: Menuju Masyarakat Berprestasi“, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994, hal. 88-89.
6  Lihat Gaylord Noyce,”Tanggung Jawab Etis Pelayan Jemaat”, Jakarta : BPK GM, 1997, hal.22-27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar