Jumat, 09 Mei 2014

SINTUA, SANTO, DAN SANCTORUM

SINTUA, SANTO, DAN SANCTORUM
Melvin M. Simanjuntak 1


PENGANTAR

            Tohonan Sintua (tahbisan penatua) senantiasa menarik untuk dilakukan kajian agar pemahaman bisa proporsional, satu kesatuan, dan menyeluruh. Dewasa ini tohonan sintua merebak dan berkembang dengan dipengaruhi oleh pemahaman bahwa ada baiknya jabatan tidak bersifat indefinitif. Artinya perlu suatu periode implementasi jabatan karena kekuatan fisik juga bersifat terbatas. Usul berkembang sebaiknya periode berlaku cukup 3 tahun atau 5 tahun, atau 12 tahun, dengan bersandar pada pemahaman secara teologis. Namun sisi lain merasa tidak perlu menanggapi perkembangan tentang jabatan sintua demikian. Akhirnya semua kembali kepada kita, kepada warga jemaat HKBP dan pimpinan HKBP untuk menyikapi perkembangan demikian.
            Tulisan ini tidak hendak menyajikan perdebatan cukup panjang mengenai jabatan penatua, namun mencoba menyodorkan 2 titik pandang yang perlu direnungkan. Pertama jabatan sintua sebenarnya memiliki keterlekatan (embededness) dengan makna pemahaman santo, orang suci (the holy person), dan persekutuan orang-orang Kristen yang telah disucikan darah Tuhan Yesus di dalam gereja yang dikepalaiNya (communio sanctorum). Cara penulisan sintua dengan disingkat “St” sama dengan cara penulisan untuk orang-orang Kristen yang telah disucikan tersebut setidaknya menunjukkan adanya keterkaitan erat. Kedua jabatan sintua sebenarnya memiliki dasar teologis juga dengan pengertian successio apostolica, yang terkait dengan semangat pekabaran para rasul. Namun perlu juga disajikan tentang sejarah pemahaman tohonan sintua agar pemahaman bersifat holistik, menyeluruh dan satu kesatuan (integralistik) sehingga menghindari kesalahpahaman.


MAKNA SINTUA DAN SANTO

Justin Sihombing, mantan Ephorus HKBP mengeksplorasi tentang sejarah dari istilah “tohonan”. Justin Sihombing mengambil dasar teologis dari Yehezkiel 3:17-19 dan Yehezkiel 33:7-9, disebutnya “Sijaga Tondi” atau “Pemelihara Rohani”.2 Dia juga merujuk pada 2 Korintus 5:18, 20; Kisah Para Rasul 20:28, dan Ephesus 4:11. Jadi penting bagi pelayan yang menerima tohonan agar dipahami bahwa tohonan mereka berasal dari Tuhan, na sian Tuhanta do tohonan i, dan semua kalimat yang keluar dari mulut partohonan seharusnya adalah Firman Tuhan yang menjadi titik perhatian utama atau peringatan utama, “ingkon sipasingothononmu do i tu nasida sian Ahu” (Yeh.33:7). Jika tidak demikian maka Tuhan akan menagih “utang darah” dari kita kemudian hari di hari penghakiman tentunya, “anggo mudarna sian tanganmu do tungguonku” (Yeh.33:8). Ini menjadi “hutang darah” jika kita tidak memberikan peringatan kepada mereka yang selalu berjalan di dalam kegelapan, mereka yang masih mengerjakan kejahatan. Karena tohonan berasal dari Tuhan, bukan dari manusia maka tohonan yang diterima mengandung daya kudus, dengan dasar bahwa Tuhan pada hakekatnya adalah mahakudus. Dengan demikian setiap pelayan yang telah ditahbiskan tidak bisa lagi sembarang bicara, sembarang bersikap, dan separuh-separuh dalam pelayanannya. Ukuran hidupnya tidak lagi ditentukan oleh dirinya, namun terkait dengan pencitraan nama Tuhan. Sebab dirinya telah menjadi persembahan yang hidup dihadapan Tuhan dan telah menyerahkan diri untuk melayani kemuliaan Tuhan. Di situlah kekudusan akan dapat diukur dengan evaluasi dari jemaat. Namun gereja HKBP tidak memakai istilah santo, melainkan istilah “jolma na badia”, “pangula na badia”, “pandita na badia”, “sintua na badia”, dengan makna yang serupa akan tetapi juga dianggap sebagai orang yang dituakan. Panggilan akrab “panditanami” dan “sintuanami” sebenarnya secara verbal telah menegaskan hal demikian. Secara khusus karya tulisan mantan Sekretaris Jenderal HKBP masa Ephorus Pdt.G.H.M.Siahaan, Pdt.Prof.DR. F.H.Sianipar mengutarakan seluk beluk tentang tohonan sintua.3 Berdasar pandangan demikian tohonan sintua bersifat permanen tetap melekat hingga lonceng panggilan menghadap Tuhan di surga, tidak periodik, namun dapat saja “pensiun” mengingat keterbatasan fisik manusia. Jika memang ada keinginan sejumlah warga jemaat HKBP untuk menggunakan sistem periodik sebagaimana gereja tetangga maka sebaiknya tidak lagi menggunakan predikat “tohonan” dan perlu peninjauan dasar teologis secara menyeluruh sehingga tidak hanya pemenuhan kebutuhan sesaat melainkan untuk langkah antisipasi pelayanan ke masa depan.
Secara etimologis terdapat 3 istilah untuk pengertian penatua di dalam bahasa Yunani (Koine) sebagai bahasa awal Alkitab Perjanjian Baru pada masa gereja mula-mula. Pertama istilah presbyteros, yang sering sekali mendapat pengertian atau diterjemahkan menjadi “penatua” misal disebut dalam Titus 1:5, Kisah Para Rasul 14:23. Dalam perkembangan dewasa ini di dalam perjalanan gereja istilah tersebut sering dimaknai sebagai tohonan imam atau pendeta tapi dasar penguatan lain untuk tohonan pendeta adalah istilah “pastor”, yang diterjemahkan menjadi “gembala” seperti diungkapkan oleh panutan agung Tuhan Yesus dalam Injil Yohanes pasal 10, sebagai Gembala Yang Baik. Pendelegasian tugas penggembalaan telah diberikan Tuhan Yesus kepada muridNya bernama Simon Petrus (Yoh.21:15-19), demikian juga tugas yang diberikanNya kepada Rasul Paulus saat bertobat (Kis.9:15). Kedua istilah episkopos, yang diterjemahkan “penilik jemaat” misal dalam Titus 1:7, Filipi 1:1, dan 1 Timotius 3:1-7. Istilah inilah yang menjadi rujukan dan dasar teologis terhadap pemahaman tohonan sintua. Dari istilah ini muncul istilah “episkopal” untuk tata gereja yang dianut Gereja Ortodoks Timur, Gereja Katolik, dan beberapa gereja-gereja protestan seperti Gereja Anglikan di Inggris dan Metodis. Ketiga istilah “diakonos”, yang sering tidak diterjemahkan karena pengertian yang sangat luas, mungkin pengertiannya adalah “pelayan”, misal dalam Filipi 1:1, dan 1 Timotius 3:8-13. Di bahasa Batak Toba diterjemahkan menjadi “pangurupi” (= penolong, pembantu, asisten) di Filipi 1:1 dan Roma 16:1; parhobas (= pengerja, petugas) di 1 Timotius 3:8-13; dan parhalado (= majelis) di 1 Timotius 4:6. Masa para rasul kedudukan diakonos memiliki kedudukan tertinggi daripada episkopos dan presbiteros. Presbiter hanya mengurusi orang-orang miskin sedangkan diakonos memiliki tahbisan untuk menumpangkan tangan (memberkati), membaptis, menjatuhkan sanksi gereja, dan memiliki kekuasaan penuh di dalam gereja dan di seluruh kehidupan jemaat. Sebaliknya dalam sejarah gereja mula-mula disebut sebagai pemimpin jemaat adalah episkopos, yang kini dikenal dengan sebutan “Ephorus, Bishop, Paus, Moderamen, dan Ketua Sinode”. Episkopos dibantu para presbiter yang berperan sebagai semacam “senat” seperti model kepemimpinan Senat di Kerajaan Romawi dahulu atau Senat Guru Besar di Perguruan Tinggi.
Perkembangan terjadi dan bergeser maknanya setelah jemaat melihat serta memahami bahwa pemimpin jemaat dan pejabat-pejabatnya lebih banyak melayani di sekitar mesbah atau altar maka posisi pemahaman presbiter menjadi bergeser dibawah kepemimpinan episkopos. Lalu perkembangan terjadi bahwa struktur pelayan di dalam gereja menjadi sangat hirarkis dan terjadi jarak batas antara pelayan dengan yang dilayani. Pelayan memiliki kuasa klerus, kleros (lih.Bil.18:20) dengan jemaat yang disebut kaum awam berasal dari laikoi, laypersons, dari laos yang berarti bangsa. Ada nuansa bening masa reformasi gereja antara Martin Luther, Johanes Calvin, Zwingli sehingga terjadi pergeseran makna penatua tersebut, terkait dengan penegakkan disiplin gereja. Calvin menerjemahkan penatua menjadi 2 kategori berdasarkan 1 Timotius 5:17, yakni penatua yang memberikan pimpinan kepada jemaat, dan penatua yang memberikan pengajaran, peneguhan, dan pemberitaan Firman. Di sini harus dipahami bahwa jaman di mana belum terdapat tata gereja (konstitusi, aturan-aturan gereja lain) dan dipengaruhi Yohannes maka seluruh pelayanan ditangani dan dikelola oleh penatua (presbiteros), sedang pada jemaat-jemaat yang sangat dipengaruhi Rasul Paulus sudah terdapat tentang pembagian tugas penatalayanan walau sering tumpang tindih menyangkut kedudukan secara struktur. Martin Luther menolak adanya hirarki kepemimpinan bahkan dia menghapus batas antara kaum awam dan klerus (pimpinan majelis tinggi) dengan menyatakan bahwa “semua orang percaya adalah imamat” (1 Petrus 2:9), yang disebut doktrin imamat am orang percaya. Artinya tiap orang Kristen sebagai jemaat yang mengaku Kristus Tuhan adalah seorang “imam tak berjubah”, yang termasuk golongan orang kudus. Pengertian orang kudus (santo) dalam pandangan Luther menjadi meluas, tidak hanya sebatas dan berlaku untuk para pelayan. Lebih lanjut Luther menegaskan bahwa jika pejabat-pejabat gereja tidak becus melayani jemaat seperti dilakukan Paus dengan menebar surat pengampunan dosa (bulla) maka jemaat dapat mengambil-alih penatalayanan gereja. Dewasa ini  di gereja HKBP terdapat diakones sebagai tahbisan tersendiri, berbeda dengan penatua, juga terdapat penginjil (evangelis) yang berbeda dengan tohonan pendeta; sedang di gereja GKPS masih terdapat tahbisan yang disebut syamas, semakna dengan diaken yang dimaksud.


SINTUA DAN SANCTORUM COMMUNIO

            Sanctorum Communio adalah persekutuan orang percaya berdasar imamat am yang dipanggil Tuhan didalam gereja untuk mengembangkan visi misi Kerajaan Allah ke dalam dunia ini. Di dalam Alkitab terdapat persekutuan umat yang secara langsung terjalin relasi kasih dan kebenaran berdasar prinsip hakiki antara “Aku dan Engkau” ( I and Thou)4 sebagaimana dimulai dari kisah Adam dan Hawa (Kejadian pasal 1 dan 2). Pada masa itu persekutuan yang terjadi adalah persekutuan langsung, di mana jalin hubungan amat jelas perbedaan kehendaknya, antara Pencipta dan yang diciptakan, Penguasa Alam Raya dan yang dikuasai, Pemerintahan Allah (providensia Dei) dan yang diperintahkan. Dalam bahasa kristen sekarang dapat dikatakan hubungan antara Pelayan dan yang dilayani, sebagaimana diungkap Tuhan Yesus, “Aku datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani” (Mrk.10:45) yang dikutip ulang oleh Rasul Paulus, “jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani” (Rom 12:7). Perkembangan pascakejatuhan dalam dosa telah merusak hubungan manis dan mesra tersebut sehingga dosa menciptakan sekat antara Tuhan dan umatNya. Karena itu hingga pada jaman sekarang hubungaan Tuhan dan manusia tidak lagi bersifat langsung melainkan melalui mediasi atau mediator tertentu, misal melalui para nabi, para rasul, bahkan Tuhan Yesus sendiri telah bersabda baahwa tidak ada yang sampai kepada Bapa jika tidak melaluiNya (Yoh.14:6). Dengan demikian hubungan Tuhan sebagai Engkau dan manusia sebagai aku menjadi nyata dan tercermin dalam realitas ilahi. Wajah hubungan demikian menjadi cermin penentuan hubungan manusia dengan sesamanya. Dalam konteks hubungan demikin dapat dimengerti dan dikembangkan makna persekutuan dalam gereja. Teolog kondang yang sangat berani menentang Adolf Hitler, Dietrich Bonhoeffer menyatakan,”Aktivitas Engkau dalam membentuk pribadi tidak bergantung pada beradanya secara pribadi. Sekarang kita tambahkan bahwa berada itu juga tidak tergantung pada kehendak Engkau manusia. Tidak ada seorang pun dapat membuat orang lain menjadi Aku, menjadikan pribadi moral sadar akan tanggung jawabnya. Allah atau Roh Kudus mendatangi Engkau yang konkret”.5 Pemaknaan hubungan tersebut sangat menentukan persekutuan jemaat di dalam gereja, dan sangat mustahil umat dapat memahami hakiki persekutuan jika tidak memahami dasar dari persekutuan dari hubungan yang dipaparkan di atas. Berdasar pandangan ini dapat dikembangkan lebih lanjut dari teologi rakyat.
Di dalam doktrin kredo jemaat HKBP terdapat kata “hatopan” yang dahulu digunakan sebagai modal sosial (social capital) mendasar untuk sebuah kampung (huta), misal parnampunaon hatopan, mual hatopan, losung hatopan. Kepemilikan alam dan asset merupakan milik bersama (poverty in the community) sebagaimana sinkron dengan napas teologis Injil Lukas (lih.Luk.3:11; 12:13-15; 16:14-15; 18:9). Pemeliharaan lingkungan dan hubungan kerabat sangat ditentukan dengan pola budaya dominasi dari hatopan. Pengembangan percikan pemikiran ini sampai sekarang kurang mendapat tempat sewajarnya, sehingga terkesan sangat kuat bahwa teologi di dalam ranah gereja kita hanya tambal sulam. Sempat mencuat pemikiran brilian dari Pdt.Hercules Marbun dahulu di era 1970-an mencoba mengutarakan kontekstualisasi antara kebatakan dan Injil namun justru memunculkaan keraguan, mungkin lebih tepat sebagai “ketakutan”.  Karena itu persoalan di dalam persekutuan HKBP belum terdapat kajian cermat dan pengembangan tentang inkulturasi dan kontekstualisasi antara persekutuan model Kristen dan punguan atau parsaoran di marga-marga Batak Toba menjadi bahasa klise dewasa ini, padahal dalam konteks demikian fungsionalisasi sintua dapat dipahami baik dan membuka cakrawala serta era baru. Sintua sebagai orang tua yang dituakan di dalam persekutuan gereja dapat memaknai ruang hatopan dimaksud, dan menjadi cermin hubungan “Aku dan Engkau”, asal tidak terjebak dalam permainan pengaruh yang kurang baik, yang dikenal dewasa ini sebagai “sisuan bulu”. Pengertian ini melenyapkan pandangan pemikiran tentang kebersamaan dan kerja sama di dalam persekutuan umat. Di dalam makna persekutuan hatopan makna “sisuan bulu” tidak sesuai dengan pemahaman iman Kristen tentang koinonia, dan tidak sesuai dengan konsep punguan orang Batak yang marak hingga ke kota-kota besar seperti parsahutaon.


1 Ketika penulis membuat artikel ini melayani di HKBP Kuta Jaya di Tangerang Banten  sejak Nopember 2006.
2 Lihat Justin Sihombing, “Tohonan: Sidjaga Tondi”, Tarutung: Colportage HKBP, tanpa tahun
3 F.H.Sianipar, “Tohonan Parmahanion, Tohonan Sintua”, Tarutung : Kantor Pusat HKBP, tanpa tahun.
4 Teori ini dikemukakan sebagai tesis teologi relasi dari Martin Buber, sedang pandangan karl Barth, hubungan demikian disebutkan sebagai “relatio entis”.
5 Lihat John de Gruchy,”Saksi Bagi Kristus:Kumpulan Cuplikan Karya Dietrich Bonhoeffer”,Jakarta:BPK GM,1993, hal.59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar